Trauma dan Adaptasi

Sekurangnya duapuluh ribu kilometer ditempuh Maria Cecilia Hurtado sebelum  bertemu dengan ibu-ibu penyintas dari kampung-kampung pesisir barat Banda Aceh. Saat itu bulan Januari tahun 2006. Ibu-ibu berkumpul di balai warga gampong Meuraxa. Mereka duduk melingkar dalam berkelompok. Kemudian Cecilia memberi instruksi dalam bahasa Spanyol. Dengan bantuan penerjemahan simultan dari Javier, ia membuka sesi pelatihan membuat lukisan kain dengan menggunakan perca. Sebelum lukisan kain dibuat, masing-masing peserta menceritakan kisahnya, saat tsunami 26 Desember 2004 menerjang kampung dan rumah, merenggut nyawa anggota keluarga, kerabat, tetangga, jiwa orang-orang paling terkasih.

Ada yang menangis saat bercerita. Lainnya tabah dalam menerima kenyataan. Perihal emosi dan perasaan yang timbul saat bercerita, kolega psikolog-sosial Luisa Cabrera juga hadir di tempat, memberi bimbingan dalam sesi. Setelah seluruh peserta mendapat giliran bercerita, mereka mulai membuat sketsa pada kain latar yang sudah tersedia, ada yang berwarna hijau, hitam, putih, dan biru. Selanjutnya motif dan warna kain perca dipilih, digunting, dan dijelujur pada kain latar. Satu-per-satu langkah dikerjakan hingga utuh menjadi lukisan arpilleras tentang rumah dan suasana kampung saat kejadian tsunami.

Arpillera
Sesi Arpillera di Lam Isek

Cecilia yang berasal dari Chile juga seorang penyintas. Ia pernah mengalami kekejaman rezim fasis Augusto Pinochet 1973-1990, rezim yang merenggut nyawa suaminya. Banyak perempuan mengalami nasib serupa sehingga terdorong untuk berkumpul, untuk saling menguatkan dan mengupayakan penyembuhan trauma lewat arpilleras. Pegiat arpillera Cecilia dan psikolog-sosial Luisa diutus ke Banda Aceh oleh Habitat International Coalition, sebuah jaringan LSM internasional yang memperjuangkan pemenuhan hak atas permukiman yang layak dan bermartabat. Mereka bergabung dalam program rekonstruksi yang dijalankan oleh Urban Poor Linkage (UPLINK) di 26 kampung di pesisir Barat sekitar batas kota Banda Aceh.

Di Aceh trauma psikologis timbul terkait peristiwa kehilangan akibat bencana tsunami. Trauma lainnya muncul sebagai rasa takut terhadap laut dan ombak. Bagi penyintas tsunami kerja fisik, misalnya kalangan bapak-bapak yang membersikan kampung dari puing-puing dan membangun naungan darurat, adalah obat penawar yang manjur bagi trauma. Banyak yang secara alamiah dan secara sosial saja sadar dan mawas untuk tidak membiarkan salah satu dari mereka termenung sendiri sehingga terpapar pada resiko jatuh ke jurang trauma yang semakin mendalam. Bagi para penyintas, momen krisis yang timbul setelah bencana alam hanya memberi dua pilihan; membiarkan diri larut dalam kesedihan atau bangkit meraih kembali sendi-sendi kehidupan yang tercerabut secara tiba-tiba.

Asoenanggroe
Balai darurat di Asoenanggroe

Minggu ketiga setelah kejadian tsunami, UPLINK mengajak para penyintas yang tinggal di barak-barak pengungsian untuk bersama-sama kembali ke kampung. Gotong royong diadakan setiap hari untuk membersihkan kampung yang rata tertimbun oleh puing-puing. Kemudian balai warga didirikan sehingga dapat langsung digunakan untuk beristirahat dan berdiskusi setiap saat terasa perlu, siang dan malam hari. Lalu dapur umum didirikan di bawah tenda-tenda dan diselenggarakan untuk mengisi perut-perut yang kosong setelah lelah bekerja. Maka, waktu para penyintas di kampung menjadi efektif, sehingga semakin banyak yang bergabung dan bekerja di kampung; woe u gampong.

Kehadiran secara fisik di kampung asal telah menjadi semacam katarsis, membangkitkan semangat para penyintas untuk membangun kembali kampung mereka, membangkitkan harapan akan hari esok serta masa depan kampung. Ini kontras dengan suasana umum di barak-barak pengungsian yang terletak jauh hingga lebih dari sepuluh kilometer. Di barak penampungan bantuan makanan instan dan bahan makanan didrop secara reguler. Almarhum Pak Dirman, yang saat itu merupakan salah seorang penyintas, berucap, “tinggal di barak membuat kami serasa menjadi ayam potong.” Pak Dirman bergabung dengan UPLINK.

Meunasah
Meunasah di Lam Rukam

 

Demikian cuplikan berdasar kisah nyata di Aceh sekitar sepuluh tahun lalu. Sekiranya perlu juga dicermati oleh para arsitek,  perencana, serta pekerja yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi pasca bencana. Arsitek dan pekerja pasca bencana juga berperan sebagai teman yang mendampingi. Maka, keterlibatan penyintas dalam proses pengambilan keputusan tentang arsitektur hunian dan ruang hidup secara sosial serta segala fasilitas pendukungnya menjadi penting. Metode desain partisipatif menjadi syarat mutlak dalam proses rekonstruksi rumah maupun tata kelola rehabilitasi kampung. Metode desain partisipatif menjadi jembatan untuk mencapai tujuan arsitektur hunian, psikologis, dan sosial sekaligus.

Dalam masa dua tahun perencanaan, perancangan, dan pembangunan pasca tsunami 2005-2006 oleh UPLINK di Propinsi Aceh tak terhitung berapa kali sesi pelatihan dan bekerja partisipatif dijalankan. Ini mencakup kegiatan pendataan warga yang selamat, pemetaan kampung, pengukuran lahan, perancangan desain rumah yang meliputi kategori rumah bawah dan rumah panggung, perencanaan fasum dan fasos di kampung termsuk meunasah dan masjid, pelatihan manajemen pembangunan rumah, hingga pelatihan produksi bata pres stabilized soil-cement blocks (SSB) dalam rangka menyiasati kelangkaan bata bakar tradisional, sebuah upaya menyediakan sendiri bahan bangunan yang ramah lingkungan.

Meuraxa
Rumah panggung di Meuraxa

Mengingat kembali kunjungan pribadi ke kampung-kampung ini di akhir 2014 lalu, anak-anak bermain dan bercengkrama di lingkungan jalan dan halaman kampung. Generasi pasca tsunami telah lahir dan tumbuh kembang. Kelak mereka mewarisi rumah-rumah dan kampung. Ada kesan, jumlah populasi kampung-kampung ini tidak banyak berubah. Memang tsunami telah menyapu rata-rata 90% penduduk wilayah ini. Tentunya perlu beberapa generasi untuk menjadikan kampung  ramai seperti sebelum tsunami.

Tampak adanya perubahan pada rumah-rumah pasca tsunami. Banyak diantaranya ditujukan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan ruang. Rumah bawah tumbuh secara horisontal sampai semua ruang kosong pada lahan penuh terbangun. Rumah panggung tumbuh secara lebih spesifik dan terkendali, sehingga lahan masih memiliki pekarangan. Adakalanya ruang kosong bawah panggung berubah menjadi garasi mobil. Maka ruang bawah yang dimaksudkan sebagai ruang sosial, kini telah berubah menjadi ruang privat untuk menyimpan barang milik pribadi. Suatu fenomena yang semakin lazim, semakin dekat rumah dengan kota.

Lam Manyang
Rumah pembuat perahu, Lam Manyang

Selain itu ada pula rumah-rumah yang terbengkalai karena ditinggal penghuninya. Menurut para tetangga, sebagian penyintas memilih untuk pergi selamanya dan bergabung dengan keluarga mereka yang tinggal di luar kota Banda Aceh. Memang suasana di kampung pesisir di saat hujan, saat badai di musim angin Barat, terkadang menghadirkan rasa ngeri. Terlebih mengingat gempa bumi yang bisa saja hadir di bumi Aceh setiap saat, seperti halnya yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember lalu. Maka, jika trauma tak kunjung pergi, pilihan tempat bermukim adalah pilihan untuk memperoleh rasa betah, kerasan. Sudah barang tentu di bawah naungan rumah yang tetap aman di saat terjadi gempa.

Etika Profesi dan Sikap Politik: Menilik Perencanaan Kota dan Arsitektur

Cukup rumit untuk membahas ‘etika profesi’ dan ‘sikap politik’ secara singkat karena keduanya sarat makna dan kontekstual. Bukan kapasitas saya pada kesempatan ini untuk membedah tradisi berpikir soal etika atau moral. Namun, mungkin beberapa argumen berikut dapat menjawab pertanyaan apakah etika profesi perlu atau bisa dipisahkan dari sikap politik.

Hampir semua profesi modern memiliki landasan prinsip yang menjamin integritas para pelakunya. Prinsip-prinsip ini terdefinisikan dan pada umumnya tak terpisahkan dari keberadaan sebuah organisasi profesi yang paling berpengaruh. Tentu organisasi profesi tidak bebas nilai atau steril dari konstelasi ekonomi politik. Dalam ruang artikel ini, mari kita bicara lebih konkret tentang profesi arsitek dan perencana kota, atau profesi lain yang terkait dengan praktik merancang bangun dan menciptakan ruang.

Arsitek dan perencana kota punya ruang dan kesempatan untuk mengubah lingkungan kesehariannya. Di sisi lain, mereka pun juga terkungkung dalam rutinitas sehari-hari dan struktur sosial masyarakat di mana mereka berada. Kerja para perencana dan perancang memang mencakup tidak hanya kesadaran estetika yang adalah kesadaran material tetapi juga kesadaran sosial dan diskursif. Mereka punya selera dan dapat membentuk selera para klien, tapi mereka juga bagian dari keluarga yang dinafkahi serta lingkar sosial yang dikenal. Mereka pun harus berkeringat di jalan raya, bermacet ria antara rumah, kantor dan lokasi proyek serta berkegiatan di lokasi-lokasi yang mungkin dibencinya, entah itu pusat belanja atau taman publik, sembari berfantasi tentang ‘ruang yang lebih baik’. Kota yang sehat dan humanis, apakah mungkin?

Bagaimana jika setiap rumah dibangun dengan tetap merawat bumi dan air tanah? Bagaimana jika setiap lahan menyisakan lebih banyak ruang hijau? Bagaimana jika setiap material yang dipakai dihasilkan dari kerja orang-orang ‘lokal’ dan bukan didatangkan dari jauh sehingga merusak ekonomi komunitas dan menambah emisi karbon? Daftar pertanyaan ini dapat menjadi semakin panjang dan saya yakin semua arsitek dan perencana kota yang saya kenal setidaknya pernah mendengarnya. Tapi tunggu dulu, bagaimana dengan ruang-ruang di antara lahan-lahan yang didesain oleh mereka? Apakah ruang-ruang ini bagian dari fantasinya atau sekedar ruang yang dihidupi; dihidupi anak dan ibunya tapi berada di luar kesadaran estetika mereka? Bagaimana dengan cerita hidup lahan yang didesain oleh mereka–siapakah yang pernah mendapat manfaat atasnya dan siapa yang pernah hidup darinya?

Etika profesi semestinya bisa menjadi tuntunan untuk meminimkan semua konflik sosial dan ekologis yang mungkin terjadi atas berubahnya sebuah lahan. Apakah ini mudah, seandainya mungkin? Tentu tidak! Ada banyak undang-undang, yang pada dasarnya adalah payung etika profesi, dibuat sejak tata kota modern dikenal di Indonesia. Hal ini dapat menjadi landasan konsensus para pelaku profesi, tetapi sayang sudah ketinggalan zaman alias tidak lagi sesuai dengan konflik dan kebutuhan saat ini. Lalu apa yang bisa dijadikan pegangan apabila peraturan perundangan atau mekanisme pembangunan fisik kita belum mumpuni? Jika payung undang-undang pun sudah ada dan ideal, apakah dapat dipraktikkan secara adil?

Sering terdengar dalih bahwa arsitek dan perencana hanya menerima sekitar 6-12% nilai proyek sehingga tidak punya banyak kuasa menentukan bagaimana lingkungan terbangun dapat tercipta. Dalih tersebut menyedihkan bagi saya; seseorang dapat dengan mudah mengurangi makna hidup dan pekerjaannya menjadi nilai moneter pemilik modal saja (capitalist market’s monetary value) i.e. prosentasi nilai proyek. Tentu arsitek menginginkan desain yang dapat terwujud; dipakai, terawat, bertahan lama, dan berfungsi baik. Keinginan personal profesional ini adalah juga kondisi material, selain kondisi struktural material ‘di luar sana’ berupa pola perekonomian yang menciptakan kebutuhan ruang dan mendorong adanya sebuah karya.

pemetaan
Kegiatan pemetaan kampung di Bandung: mengenali lingkungan terbangun bersama dengan warga. (ASF-ID dan HMPS Arsitektur Unpar 2016)

 

PERANCANGAN DAN PERENCANAAN ADALAH UPAYA POLITIK

Tibalah kita pada praktik politik, setelah membicarakan perihal etika yang ternyata bukanlah ranah pencarian netralitas atau upaya membangun realitas dengan kacamata objektif. Upaya-upaya untuk mencapai bentuk estetika karya adalah upaya politik karena melibatkan kenyataan sosial dan juga diskursif. Sialnya, kenyataan sosial untuk mewujudkan impian ini harus direkayasa. Dan rekayasa itu pun disertai dengan diskursus-diskursus yang melanggengkan nilai-nilai ‘efisiensi’, ‘efektivitas’, ‘profit’, dan ‘benefit’ yang sering beradu dengan ‘keadilan sosial’, ‘kesejahteraan’, dan ‘toleransi’. Uang pelicin proyek, lobi-lobi kiri kanan, termasuk mendekatkan diri pada pejabat adalah bagian dari realitas politik kaum profesional.

Apakah ada bentuk politik profesional yang lain?

Para penulis ‘critical planning’ mencoba mendudukkan permasalahan kota dalam hubungannya dengan institusi negara. Melampaui pendekatan perencanaan dan perancangan ‘participative’, ‘collaborative’ atau ‘communicative’, para penulis seperti Margo Huxley dan Oren Yiftachel melihat ‘planning’ bukan semata persoalan mencari solusi prosedural, metode teknis perancangan atau cara kerja baru antara pekerja yang terlibat di dalamnya (e.g. Yiftachel, 1998, 2009; Yiftachel & Huxley, 2000). Proses perencanaan dan pembangunan ruang yang tidak berkeadilan bukan hanya dikarenakan para perancang dan perencana kurang melibatkan pengguna fasilitas (users) atau bahkan warga yang lebih luas (public, communities, people).  Perencanaan adalah juga arena kontestasi ide keadilan sosial dan bentuk relasi antara warga dan negara. Singkatnya jika kemiskinan terus ada, banyak warga tidak mendapatkan akses rumah dan infrastruktur dasar, dan ketika sebuah karya mengakibatkan penggusuran, maka persoalan mendasar terletak pada institusi negara dan sistem perekonomian yang ada.

 

Perubahan lahan yang difasilitasi perencanaan dan perancangan turut mengubah alam dan manusia. (Kampung Pulo dilihat dari Sanggar Ciliwung Merdeka, Maret 2016)
Perubahan lahan yang difasilitasi oleh perencanaan dan perancangan turut mengubah alam dan manusia. (Kampung Pulo dilihat dari Sanggar Ciliwung Merdeka, Maret 2016. Sisi Bukit Duri dari sungai ini sudah digusur paksa pada bulan September 2016 saat proses peradilan masih berlangsung.)

 

MEKANISME DALAM BATAS NEGARA

Dalam bukunya ’Seeing Like a State’, James Scott (Scott, 1998) bertutur tentang gagalnya institusi negara modern melalui skema-skema besar pembangunannya dalam memperbaiki kesejahteraan manusia. Negara modern dalam konteks Indonesia yang lahir melalui kolonialisme, mencoba menghadirkan structur, pola dan orde baru, baik pada sistem produksi ekonomi maupun reproduksi sosial. Struktur, pola dan orde ini dibuat dengan menihilkan banyak keberagaman corak produksi dan corak relasi sosial. Realitas diasumsikan dan dibentuk melalui kategori-kategori yang ’universal’. Keberagaman pun disederhanakan dan dikelompokkan dalam kategori-kategori ini, melalui kontrol atas tubuh dan ruang.

Persoalan mendasar adalah hubungan institusi negara dan penduduk tidaklah simetris; kerap dengan represi yang berkuasa. Salah satu produk institusi negara tersebut adalah kota modern, yang dibangun dengan standar-standar ukuran ruang tertentu. Selain standar, orde atau keteraturan bentuk pun digunakan seperti jalan yang lurus, sungai-sungai yang lurus dan mengalir cepat, dan pola bangunan yang berulang. Konsepsi kota modern berbeda dengan kota pre-modern yang direncanakan seiring warga membangun. Kota modern direncanakan di luar aktivitas membangun itu sendiri, dengan visi masa depan yang diidealkan.  Tahap selanjutnya, kota ultra-modern, adalah puncak keinginan merekayasa dengan didukung sains yang semakin mumpuni, menuju presisi absolut.

Dalam buku ini Scott juga bercerita tentang ambisi Charles-Édouard Jeanneret, dikenal sebagai Le Corbusier, yang memimpikan kota tanpa akar keberagaman masa lalu. Apapun indah bagi Le Corbusier adalah estetika bentuk dalam skala yang besar dan seragam (h. 104-14). Untuk merealisasikan ide itu, Le Corbusier harus dekat dengan patron politik, contohnya seperti Nehru ketika membangun Chandigarh di India. Bagi Le Corbusier, penguasa ‘tangan besi’ perlu untuk mewujudkan ide kota modern – yang sesungguhnya kontradiktif dengan ide liberal modernisme. Walaupun orientasi politik Le Corbusier adalah ’kanan’, ia pun berambisi merancang kota untuk Uni-Soviet dengan pusat produksi manufaktur dan perumahan pekerja sebagai ikon yang monumental. Ia melobi Stalin tanpa pantang mundur, tetapi para anggota komite Stalin tidak menyukai idenya. Seorang modernis dari Moscow, El Lissitzky, berujar bahwa kota Le Corbusier adalah ’city of nowhere … neither capitalist, nor ploretarian, nor socialist’. Bukan hal yang asing juga bagi Indonesia, bahwa manuver politik arsitek dapat juga menyerupai kepentingan ambisi individual.

Lopes de Souza, yang banyak menulis tentang sistem dan praktik perencanaan ruang di Brazil, dan mencermati bahwa pergerakan sosial (social movement) adalah pelaku sejati ‘critical urban planning’ (e.g. de Souza, 2006). Entah bersama atau di luar insitusi formal perencanaan ruang, warga harus merencanakan ruang hidup secara mandiri dan membentuk kelompok politik untuk mewujudkannya. (lihat juga https://berkota.wordpress.com/2013/12/08/berhimpun-berkarya-dan-berhuni-bersama-pengalaman-rakyat-brazil/). Kerja-kerja parlementer untuk memengaruhi pembentukan kebijakan dan alokasi anggaran tentu perlu dilakukan, tapi institusi pembangunan ruang yang lain juga perlu disiapkan.

Bahkan menurut de Souza, jika partai progresif menang sekalipun, ide-ide keadilan ruang yang digagas warga dapat dikooptasi karena politik elit tak luput dari negosiasi berbagai kekuatan politik yang alergi terhadap perubahan. Ia pun menyerukan, bahwa perencanaan ruang harus menjadi lebih radikal dan juga anarkis; yaitu mencoba menerobos institusi negara modern. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang keterbatasan institusi negara modern, entah itu kapitalistis atau komunis, dalam perencanaan kota.

 

PRAKTIK YANG LAIN

Dalam kondisi negara seperti Indonesia, dengan sistem politik elektoral yang carut-marut, apakah seorang arsitek atau perencana kota dapat berkarya dengan tenang? Susah! Lalu apakah ia harus menjadi apa yang disebut aktivis politik? Tidak perlu kalau tidak mau! Namun, ada persoalan etika keadilan sosial yang akan kerap menghantuinya. Maka mau tidak mau ia harus memiliki sikap politik yang mandiri dan dengan penuh kesadaran memahami posisinya. Ketika seseorang mengharapkan perubahan, ia harus berani mengandalkan diri dan kelompok profesinya, bukan menggantungkan nasib pada penguasa atau yang sedang berkuasa.

 

Warga Kampung Tongkol membangun Rumah Contoh sebagai bagian upaya perbaikan kampung yang turut direncanakan warga dengan fasilitasi praktisi dan akademisi dari berbagai bidang. (November 2015)
Warga Kampung Tongkol, Jakarta Utara di pinggir sungai Anak Kali Ciliwung membangun Rumah Contoh, dengan konsep cohousing, sebagai bagian upaya perbaikan kampung yang turut direncanakan warga dengan fasilitasi praktisi dan akademisi dari berbagai bidang. (November 2015)

Kesadaran politik adalah kesadaran sehari-hari. Dalam bahasa Gramscian, hegemoni kebudayaan terbentuk dari aktivitas berulang-ulang, yang diamini dan diulang kembali tanpa sedikitpun ada upaya melawan ketidakadilan yang menyertainya (lihat Ekers et al., 2009; Loftus, 2009; Loftus & Ekers, 2008). Dengan demikian, adalah penting untuk mengubah budaya berkarya dan mencari cara berkarya yang tidak hanya baru tapi juga terjaga sistem atau institusinya, sehingga dapat terus dipraktikkan, bahkan oleh yang lain. Jika arsitektur yang lain adalah mungkin, maka kota yang lain pun adalah mungkin.

 

Referensi:

  • de Souza, M. L. (2006). Together with the State, despite the State, against the State. Social movements as ‘critical urban planning’ agents. CITY, 10(3), 327-342.
  • Ekers, M., Loftus, A., & Mann, G. (2009). Gramsci Lives! Geoforum, 40, 287-291.
  • Loftus, A. (2009). Intervening in the environment of the everyday. Geoforum, 40, 326-334.
  • Loftus, A., & Ekers, M. (2008). The power of water: developing dialogues between Foucault and Gramsci. Environment and Planning D: Society and Space, 26, 698-718.
  • Scott, J. C. (1998). Seeing Like a State. How Certain Schemes to Improve the Human Condition have Failed. New Haven and London: Yale University Press.
  • Yiftachel, O. (1998). Planning and Social Control: Exploring the Dark Side. Journal of Planning Literature, 12(4), 395-406.
  • Yiftachel, O. (2009). Theoretical Notes on ‘Gray Cities’: the Coming of Urban Apartheid? Planning Theory, 8(1), 88-100.
  • Yiftachel, O., & Huxley, M. (2000). Debating Dominance and Relevance: Notes on the ‘Communicative Turn’ in Planning Theory. International Journal of Urban and Regional Research, 24(4), 907-913.

 

Save

Save

Konstruksi Bambu & Arsitektur Partisipatif

Malang30Nov16
Konstruksi Bambu dan Arsitektur Alternatif. Malang, 30 Nov 2016

“Konstruksi Bambu dan Arsitektur Partisipatif”
——————————————————–
*Kuliah Tamu (150 pax)*

  • Puspitaningtyas Sulistyowati, Melukis Harapan, Surabaya
  • Andrea Fitrianto, ASF-ID, Bandung
  • Prof. Dr. Ir. Sri Murni Dewi, MS, Teknik Sipil, UB

Rabu 30 November 2016, Jam 8:00-12:00
Universitas Brawijaya, Jl. Veteran MALANG
Pre: IDR 45k OTS: IDR 50k
(sertifikat, snack)
——————————————————–
*Workshop (30 pax)*
Pengolahan dan Pengawetan Bambu
Kamis 1 Desember 2016, Jam 7:00-selesai
Dsn. Purwosari Ds. Srimulyo Kec. Dampit KAB. MALANG
Pre: IDR 35k OTS: IDR 40k (sertifikat, makan)
——————————————————–
info: 0821-1156-0128 (Vidya), 0857-2703-8184 (Umi)

Tantangan Arsitektur Partisipatoris

Catatan Diskusi Arsitektur Partisipatoris di Ruang Gerilya, Bandung, 11 November 2016

Pada akhir tahun 2015 dan awal 2016, sekelompok arsitek muda yang tergabung dalam Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) melakukan pendampingan arsitektur pada masyarakat Kampung Tongkol di tepi kali Ciliwung, Jakarta. Inisiatif datang dari warga. Posisi kampung yang mepet tepi kali Ciliwung sekaligus membelakangi tembok benteng Belanda membuat Kampung Tongkol rentan menjadi target penggusuran. Mengantisipasi ancaman penggusuran inilah seorang tokoh penggerak masyarakat setempat yang akrab dipanggil Mas Gugun berinisiatif membongkar bagian bangunan yang mepet kali serta mengundang kawan-kawan ASF-ID untuk melakukan uji-coba penataan-ulang ruang hidup yang melibatkan warga. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa pemukiman urban di tepi kali (dan berdampingan dengan situs cagar budaya) dapat tumbuh dalam koeksistensi yang saling-menunjang dengan keadaan sekeliling dan, dengan demikian, menjadi lenyaplah rationale bagi penggusuran terhadapnya.

Demikianlah, akhirnya terjadi kerja bersama membangun rumah contoh di Kampung Tongkol yang konstruksinya selesai pada bulan Januari 2016. Dengan dana talangan yang berhasil dihimpun oleh Urban Poor Consortium (UPC) sebesar 160 juta rupiah, warga kampung berhasil membangun ulang sebuah rumah yang dihuni tujuh keluarga. Rumah contoh ini dirancang menjadi tiga lantai dengan dua lantai pertama dikonsepkan sebagai ruang hunian yang disekat-sekat, sedangkan lantai ketiga sedianya dimaksudkan sebagai ruang bersama.

Yang menarik dari proses ini ialah bahwa keseluruhan pekerjaan merancang dan membangun dilakukan oleh warga sendiri. Peran para arsitek, dalam hal ini kawan-kawan ASF-ID, hanyalah untuk memberikan saran dan gagasan bandingan. Inisiatif awal dan keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan warga. Pendekatan semacam ini, seperti dinyatakan oleh Kamil Muhammad, salah seorang arsitek muda yang tergabung dalam upaya tersebut, merupakan pendekatan arsitektur partisipatoris.

Rembuk_1
Diskusi di Ruang Gerilya, Bandung pada 11 November 2016.

Apa itu Arsitektur Partisipatoris?

Saya sendiri tidak mendalami kajian arsitektur. Namun berkat diskusi dengan kawan-kawan ASF-ID dan forum Rembuk!, saya beroleh gambaran tentang apa yang menjadi isu-isu penting dalam arsitektur kontemporer. Salah satunya ialah peran dan posisi arsitek dalam membidani lahirnya perubahan sosial melalui kerja arsitektural. Profesi arsitek dan seni arsitektur itu sendiri dengan mudah dikooptasi oleh kepentingan industri yang hanya memperalat keindahan sekaligus mengerdilkan gagasan keindahan itu sendiri demi mendulang laba sebesar-besarnya. Masalah perubahan sosial dianggap bukan urusan arsitek. Arsitektur partisipatoris merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan tersebut.

Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga. Persoalannya kemudian: siapakah yang dimaksud dengan “warga”? Baiklah kita coba artikan warga sebagai pihak yang berkepentingan terhadap konstruksi arsitektural yang akan dihasilkan lewat campur-tangan arsitek. Pengertian ini tentunya meliputi juga klien bermodal besar dalam praktik arsitektur konvensional. Dalam kerja-kerja arsitektur konvensional seperti membangun hunian mewah atau mall, bukankah arsitek kerapkali juga mesti menurut pada selera klien yang memegang kendali atas modal? Tidakkah visi pengembang macam Agung Podomoro Group atau Agung Sedayu Group ikut menentukan apa yang dirancang arsitek-upahan mereka? Dalam pembangunan piramida di Mesir Kuno, tidakkah keputusan Firaun ikut menentukan kerja para juru-bangun yang mengawasi para pekerja? Dengan kata lain, tidakkah sang klien bermodal besar atau sang penguasa itu ikut berpartisipasi dalam kerja arsitektural? Apakah itu yang dimaksud arsitektur partisipatoris? Kalau ya, maka bukankah setiap kerja arsitektural—dan seni arsitektur itu sendiri—secara inheren sudah berciri partisipatoris? Dan sudah jelas—dari visi Agung Podomoro Group ataupun Firaun—bahwa hal itu sama sekali tak berhubungan dengan cita-cita perubahan sosial. Apakah itu berarti tak ada hubungan yang niscaya antara partisipasi dan perubahan sosial dalam praktik arsitektur partisipatoris?

Dihadapkan pada persoalan ini, kita dipaksa untuk memeriksa kembali konsep “warga”. Mau tidak mau, konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris bukanlah konsep yang netral secara ekonomi-politik. Sebab kalau kita mengartikan “warga” sebagai siapa saja yang berkepentingan terhadap proyek arsitektural, yang kepadanya sang arsitek bekerja, maka gagasan tentang arsitektur partisipatoris itu sendiri akan menjadi sebanal arsitektur konvensional. Karena itu, kita mesti mengakui bahwa konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris itu dicirikan oleh struktur ekonomi-politik masyarakat. “Warga” mesti diposisikan sebagai kaum marginal, kaum yang tertindas oleh tata ekonomi-politik yang berlaku. “Warga”, dengan kata lain, mesti dipandang sebagai kategori politik. Tanpa pengertian itu, kita akan kembali pada business as usual. Dengan demikian, nampak bahwa arsitektur partisipatoris tak mungkin ingkar pada dimensi politisnya sendiri, bahwa kerja arsitektur partisipatoris adalah suatu kerja politik.

Persoalan kemudian muncul. Kalau ciri politis dalam arsitektur partisipatoris menuntut peran aktif sang arsitek dalam menyulut kesadaran politik dalam benak warga, tidakkah ini bertentangan dengan ciri partisipatoris dalam arsitektur partisipatoris yang meniscayakan sentralnya peran warga sebagai pengambil keputusan arsitektural utama, yang menempatkan warga sebagai pusat gravitasi seluruh kerja arsitektural?

Partisipasi versus Kompetensi

Warga dalam konsepsi arsitektur partisipatoris adalah pusat kebenaran. Namun arsitek yang setia pada visi arsitektur partisipatoris, setia pada visi politik-nya, didorong oleh kewajiban untuk membantu membuka jalan menuju perubahan sosial yang sesungguhnya, yang barangkali belum disadari warga—jalan menuju perubahan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian, kita berhadapan pada dua kebenaran: kebenaran warga dan kebenaran arsitek. Di atas kertas, dalam permenungan intelektual, keduanya dengan mudah dapat disatukan: idealnya, warga dan arsitek tinggal berdialog saja maka akan tercapai kesatuan kebenaran. Namun di lapangan persoalannya sama sekali tidak sederhana. Tidak ada kondisi ideal di sana.

Problem ini juga nampak dalam kerja arsitektural yang didukung ASF-ID di Kampung Tongkol. Kamil bercerita, beberapa bulan setelah rumah contoh selesai dibangun, ia kembali berkunjung ke sana dan mendapati fakta bahwa common room yang diciptakan di lantai 3 ternyata sudah ditempati oleh satu keluarga baru dan ruang yang tersisa digunakan sebagai gudang. Kenyataan ini bukannya tak berkaitan dengan keyakinan kukuh warga sejak awal bahwa rumah yang akan dibangun harus distruktur oleh sekat-sekat yang akan menandai teritori milik masing-masing keluarga. Artinya, terdapat tendensi untuk mengorbankan pengorganisasian kolektif atas ruang demi kepemilikan privat atas ruang. Warga memang bukan malaikat (dan memang tidak seharusnya dipandang sebagai malaikat). Cara mereka berpikir dan bertindak dikondisikan oleh lingkungan sekitarnya dan struktur ekonomi-politik yang melatarinya, dalam hal ini lingkungan kebudayaan urban dan tata ekonomi kaum miskin kota Jakarta. Dalam suasana ini, wajar bila warga cenderung bersikap individualistik—itu sudah bagian dari metode mereka untuk bertahan hidup selama ini di perkampungan kumuh perkotaan yang keras.

Apa yang bisa disimpulkan dari sini? Menurut saya, itu menunjukkan adanya kontradiksi yang belum terpecahkan di ranah hubungan sosial. Membangun hunian baru yang lebih baik tidak serta-merta mengubah hubungan sosial menjadi lebih baik. Itu adalah dua jenis kerja yang berbeda, sekalipun terkait. Kaum miskin di tiap-tiap perkampungan kumuh kota besar tidak akan bertahan tanpa bersatu sebagai entitas kolektif. Berjuang sendiri-sendiri, dengan mengandalkan tenaga seorang diri atau satu keluarga saja, akan membuat mereka digulung oleh kenyataan ekonomi-politik urban. Mereka hanya mungkin bertahan sebagai kolektif. Masalahnya, kenyataan kebudayaan urban pula yang mendorong mereka ke arah individualisme, mencerabut mereka dari satu-satunya sarana untuk bertahan hidup. Ke manapun mereka menoleh, mereka melihat individu dengan barang miliknya sendiri. Ideologi inilah yang mendorong mereka untuk mempertahankan tanah sejengkal milik mereka sendiri, kalau perlu dengan cara baku-tikam dengan tetangganya.

Pertanyaannya buat sang arsitek partisipatoris: mesti bagaimana menghadapi warga semacam ini? Sang arsitek tahu bahwa mereka tidak akan selamat kalau terus mengekalkan kepentingan diri sendiri masing-masing. Sang arsitek tahu bahwa mereka hanya bisa selamat kalau mereka memupuk kesadaran kolektif dan kultur gotong-royong. Namun apa yang mesti dilakukan bila ternyata warga sendiri memilih membuang ruang-ruang kolektif demi mengamankan ruang privatnya sendiri dan dengan begitu, tanpa mereka sadari, pelan-pelan melenyapkan satu-satunya syarat keberadaan mereka sendiri? Haruskah sang arsitek, dengan tanggung-jawab politiknya pada visi arsitektur partisipatoris, mengintervensi warga dan menunjukkan jalan ke arah pengorganisasian ruang kolektif baru? Ataukah sang arsitek hanya bisa menyerahkan masalahnya pada mereka dengan anggapan bahwa toh bangunan sudah selesai, kerja arsitek sudah selesai? Haruskah sang arsitek partisipatoris menenangkan-diri dengan mengulang-ulang dalam hatinya “reorganisasi hubungan sosial bukan urusan arsitek”? Tapi bukankah masyarakat adalah seperti juga suatu bangunan—suatu bangunan hidup bersama—dan sang arsitek partisipatoris yang bertanggung-jawab mesti juga menjadi seorang “arsitek masyarakat”? Begitu banyak pertanyaan.

Rembuk_3
Dua maket Rumah Contoh, Kamil, dan Martin.

Sederhananya, pertanyaan pokok sang arsitek partisipatoris adalah ini: mestikah arsitek mengintervensi warga apabila dipandangnya ada gelagat ke arah yang kontra-produktif terhadap cita-cita jangka panjang partisipasi itu sendiri? Namun pertanyaan tersebut merupakan muara dari suatu pertanyaan purba.

Di sini kita sebetulnya berhadapan dengan sebuah teka-teki tua dalam sejarah pemikiran politik. Teka-teki itu dapat dirumuskan dalam sebaris pertanyaan: dapatkah rakyat keliru? Pertanyaan ini serupa sungai bawah tanah yang menghubungkan berbagai benua pemikiran politik sepanjang zaman, mulai dari fasisme, liberalisme, sosialisme hingga anarkisme. Dan tak hanya pemikiran politik, tetapi juga semua pemikiran yang beririsan dengan problem politik (termasuk pemikiran seni-budaya, yang di dalamnya terdapat pula arsitektur) dilatari oleh pertanyaan purba itu. Postulat demokratik mewajibkan kita mengukur benar-salahnya suatu tindakan politik dengan acuan pada kepentingan rakyat, dengan menjadikan kepentingan rakyat sebagai mistarnya kebenaran politik. Suatu tindakan politik adalah keliru apabila itu bertentangan dengan kepentingan rakyat dan benar apabila bersesuaian dengannya. Namun pertanyaan purba kita lebih tricky. Sungguhkah rakyat selalu benar sehingga bisa dijadikan acuan dalam mengukur segala fenomena politik? Jangan-jangan mistar kita salah dan butuh dikalibrasi ulang?

Di sini kita perlu teliti membedakan apa yang disebut “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat”. Kebenaran politik diukur dari keseuaian dengan “kepentingan rakyat”, dan itu tidak sama dengan “suara rakyat”. Rakyat bisa saja bersuara lantang mendukung fasisme. Tapi apakah itu sesuai dengan kepentingannya sebagai rakyat? Tentu tidak, sebab fasisme justru menghancurkan kepentingan rakyat dan menggantikannya dengan kepentingan sang pemimpin. Namun, apabila memang ada gap antara “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat” sehingga “kepentingan rakyat” bisa saja diamankan oleh seorang atau sekelompok orang yang menahkodai bahtera politik sekalipun itu bertentangan dengan “suara rakyat”, tidakkah ini membatalkan semangat dasar demokrasi itu sendiri, yakni bahwa rakyat lah yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Kalau begitu, apakah demokrasi adalah gagasan yang kontradiktif?

Orang bisa saja menggeser asumsi awalnya dengan menyatakan bahwa kebenaran politik tidak diukur berdasarkan kesesuaian dengan “kepentingan rakyat” tetapi dengan “suara rakyat” secara langsung, tanpa perantaraan. Tapi masalah segera mengemuka. Bagaimana kalau rakyat menyuarakan kehendak untuk menghancurkan dirinya sendiri, misalnya dengan mendukung fasisme? Di Tiongkok pada masa Revolusi Kebudayaan, atas dasar keyakinan demokratik pada rakyat, seluruh hierarki sosial dihapuskan, termasuk hierarki di rumah sakit antara dokter spesialis dan perawat magang. Akibatnya, tak terhitung berapa jumlah rakyat yang meninggal akibat malpraktek karena kurangnya pengetahuan kedokteran para perawat yang baru magang. Agaknya memang terdapat hierarki pengetahuan yang tidak bisa digantikan begitu saja dengan “kebebasan berpendapat” dan keyakinan pada kebenaran suara rakyat. Namun, kalau kita mengamini bahwa suara rakyat bisa salah sehingga dapat diwakili oleh suatu mesin aparatus negara yang mengklaim lebih tahu “kepentingan rakyat” daripada rakyat itu sendiri, apa bedanya kita dengan kaum ultra-konservatif pendukung monarki absolut dan para perindu otoritarianisme Orba?

Apabila mau dirumuskan secara ringkas, persoalan kita adalah tegangan antara partisipasi dan kompetensi. Semua pemikir anti-demokrasi di sepanjang zaman selalu memobilisir argumen soal kompetensi untuk mencampakkan klaim partisipasi. Pertanyaan pokok mereka: kompetenkah rakyat dalam mengetahui kepentingannya sendiri sehingga dapat mengatur dirinya sendiri? Sebaliknya, semua pemikir pro-demokrasi di seluruh sejarah selalu mengedepankan partisipasi di atas kompetensi. Pertanyaan pokok mereka: adilkah tatanan politik di mana partisipasi seluruh rakyat digantikan dengan klaim kompetensi segelintir elit dalam menerawang rahasia kepentingan rakyat dan memimpin tatanan politik berdasarkan terawangan itu?

Tapi apa hubungan ini semua dengan arsitektur partisipatoris? Gantilah istilah “rakyat” dalam beberapa paragraf di atas dengan istilah “warga” dan kita akan temui bahwa dilema kaum demokrat adalah juga dilema sang arsitek partisipatoris. Ini, bagi saya, adalah tantangan terbesar arsitektur partisipatoris pada tataran konseptual. Para arsitek partisipatoris mesti berpikir keras mengenai masalah-masalah partisipasi versus kompetensi, suara warga versus kepentingan warga dan semacamnya karena masalah-masalah itu pasti mereka hadapi di lapangan dalam berbagai manifestasinya.

Di Bawah Bayang-Bayang Negara

Ada satu catatan lagi berkenaan dengan tantangan arsitek partisipatoris. Sering kita dengar keluhan atau rerasan di antara arsitek partisipatoris, demikian pula di kalangan perupa partisipatoris, bahwa praktik-praktik partisipatoris seperti timbul-tenggelam dan tak pernah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ke dalam skala yang lebih massif. Di seni rupa, misalnya, praktik seni partisipatoris sudah muncul pada tahun 1980-an oleh Moelyono tanpa perbesaran skala yang berarti sampai kemudian muncul bentuk baru seni partisipatoris sekitar 20 tahun kemudian oleh Jatiwangi art Factory. Ada kesan bahwa praktik-praktik partisipatoris dalam seni dan arsitektur hanya terjadi dalam skala kecil-kecilan dan sporadis. Padahal masing-masing praktisinya punya mimpi tentang perubahan sosial yang tentu saja melibatkan banyak variabel dan mau tak mau mesti berurusan setidaknya dengan pengaruh di tingkat nasional. Mengapa demikian?

Saya menduga akar persoalannya ada pada pendekatan yang dianut para praktisinya. Seni partisipatoris era 1980-an berkembang dalam lingkup pengaruh gerakan masyarakat sipil dan LSM yang ketika itu sedang gandrung pada visi “small is beautiful”. Ada semacam prasangka yang bersumber pada “hati nurani”. Misalnya kecemasan bahwa pembangunan skala makro akan melenyapkan ketahanan komunitas lokal yang otonom, ketakutan bahwa segala bentuk akumulasi akan membuat manusia jadi serakah, kekhawatiran bahwa pengorganisasian secara massif akan membawa birokratisasi dan alienasi. Sehingga muncul persepsi bahwa lebih baik membuat gerakan mikro di tingkat akar rumput, kecil-kecil, yang berorientasi pada subsistensi komunitas dan otonomi dari pengaruh kekuasaan. Biar kecil asal sesuai hati nurani—boleh jadi asumsi advokasi macam inilah yang membuat praktik seni partisipatoris tidak bisa berekskalasi hingga ke level nasional.

Namun sejarah menunjukkan: kapitalisme tidak bisa dilawan dengan berkebun di rumah sendiri, otoritarianisme tidak bisa ditumbangkan dengan olah raga dan imperialisme tidak bisa dihancurkan dengan ngopi-ngopi terpelajar. Kecil adalah kecil.

Praktik seni partisipatoris, termasuk juga arsitektur partisipatoris, rasanya perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi dasarnya sendiri. Adakah kita terjebak dalam romantisasi gerakan kecil dan otonom? Adakah kita selama ini hanyut dalam nina-bobo hati nurani? Salah satu kisah pengantar tidur paling populer di kalangan aktivis sedap malam sampai sekarang adalah cerita hantu tentang negara. Konon, negara itu seperti makhluk raksasa angker dari dasar samudra dengan kepala menyerupai gurita dan punggung ditumbuhi sayap naga. Seperti Cthulhu dalam dongeng Lovecraft, negara merupakan personifikasi dari kedurjanaan paripurna. Cara kita memandang negara seperti ini, dalam banyak hal, memang dibenarkan oleh praktik negara Orde Baru yang sejak lahirnya ditandai dengan pembantaian dan penyiksaan jutaan orang. Dari pengalaman 32 tahun itulah kita mewarisi sikap berjarak tiap kali nama “negara” disebut. Untuk sebagian kasus, memang benar bahwa praktik negara yang represif itu masih berlanjut hingga kini. Inilah yang membuat para praktisi seni partisipatoris kukuh memposisikan di luar negara dan, sebagai akibatnya, cenderung kembali merayakan toko kelontong pencerahannya sendiri.

Kita mesti mengubah sikap mental semacam itu. Mesti disadari bahwa tumbangnya Orde Baru juga membuka lapangan intervensi politik yang baru. Negara pasca-Orde Baru semestinya tidak lagi dilihat sebagai bangunan monolitik tempat bersemayamnya roh-roh jahat, tetapi sebagai situs kontestasi antar berbagai kelompok yang selalu dapat berubah wataknya seturut pasang-surut kekuatan kelompok-kelompok yang bertarung di sana. Tentu ada risiko kita terombang-ambing oleh apa yang dewasa ini sering disebut-sebut sebagai “pertarungan antar faksi elit oligarkis”. Hal itu wajar saja dan pembelajaran politik muncul dari situ. Artinya, para praktisi arsitektur partisipatoris menjajaki kemungkinan melibatkan anasir-anasir negara kalau memang mencita-citakan perluasan gerak yang signifikan. Contoh yang bisa saya berikan adalah apa yang dikerjakan oleh kolektif seniman di Jatiwangi art Factory. Dalam menggelar kerja seni partisipatorisnya, mereka dapat melibatkan satu desa (rekor skala terbesar praktik seni partisipatoris di Indonesia setahu saya) karena membangun hubungan dekat dengan kepala desa dan aparatur desa. Mereka melibatkan tentara, polisi dan sekolah-sekolah untuk menggelar Festival Musik Tanah Liat. Mereka tidak jijik pada aparatus ideologis dan aparatus represif negara yang diteorikan Louis Althusser. Mereka meninggalkan “prasangka kelas menengah” mereka tentang Negara dan berpikir konkrit untuk membesarkan keterlibatan warga. Ini contoh yang bagus.

Saya tidak punya ilusi bahwa negara dan para aktivis seni partisipatoris akan berjalan berdampingan secara harmonis menuju hari esok yang cerah. Dalam momen-momen tertentu, pada isu-isu tertentu, kita memang perlu menyatakan sikap melawan negara. Tapi sikap antagonistik ini tidak bisa digeneralisasi menjadi sikap umum terhadap negara, kecuali kita mau memencilkan diri sendiri. Para aktivis seni partisipatoris perlu melihat segala kemungkinan yang bisa digunakan untuk memperbesar skala operasinya: bangun jejaring dengan simpul seni partisipatoris lain, dari cabang seni lain, dengan gerakan sosial, bekerja dengan negara sejauh ada kepentingan gerakan yang bisa dimajukan, dan seterusnya. Dengan kata lain, bangun kekuatan terlebih dulu. Semua ini mensyaratkan pergeseran cara pandang terhadap negara dan politik secara keseluruhan. Dan ini memang tidak mudah. Itulah tantangan praktis yang dihadapi arsitektur partisipatoris.

*

Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua tantangan besar yang menghadang gerakan arsitektur partisipatoris (dan juga seni partisipatoris) di Indonesia. Yang pertama ialah tantangan konseptual untuk menempatkan secara jernih hubungan antara “suara warga” dan “kepentingan warga”, antara klaim partisipasi dan klaim kompetensi. Yang kedua ialah tantangan praktis untuk menempatkan negara sebagai situs kontestasi antar kepentingan bersifat cair dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perluasan skala gerakan arsitektur (dan seni) partisipatoris. Apabila kedua tantangan ini berhasil dijawab, maka masa depan arsitektur dan seni partisipatoris di Indonesia sungguh cerah.

Mendistribusikan Kuasa: Kompleksitas Kebutuhan akan Urbanisme Partisipatoris

Teks wawancara dengan Jeremy Till yang terbit di Majalah MONU. Tulisan dialihbahasakan dari artikel di Archdaily, 18 Februari 2016, sebagai pengantar diskusi

Sebagai sebuah profesi dengan kekuatan untuk merubah wajah kota dan lingkungan – yang artinya juga ikut merubah kehidupan yang ada di dalamnya – industri arsitektur sering kali menjelma menjadi bisnis yang sangat kontroversial; tak jarang, usaha untuk mengembangkan sebuah kawasan malah menjadi pemicu prasangka negatif dikalangan masyarakat yang berakar di sana, hal yang kemudian menyiratkan bahwa arsitektur adalah sosok jahat yang harus dilawan.

Salah satu cara yang dianggap bisa menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan partisipasi, yaitu usaha untuk melibatkan publik untuk ikut ambil bagian dalam proses perancangan, walaupun dikalangan arsitek sendiri banyak yang skeptis bahwa cara ini akan efektif. Di sisi lain, kita harus mengakui saat ini tanggung jawab arsitek kian tergerus oleh kehadiran insinyur dan menejer proyek, kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, apa yang akan tersisa pada profesi ini ketika publik pun diberi hak untuk ikut menetukan arah desain?

Dalam upaya untuk memahami tantangan ini, dalam wawancara yang dikutip dari MONU Magazine yang berjudul “Participatory Urbanism,” Bernd Upmeyer mencoba menggali opini dari Jeremy Till, seorang arsitek Inggris, penulis, dan pengajar arsitektur yang telah banyak menelurkan tulisan tentang pentingnya melepaskan kontrol dalam praktek seorang arsitek dan mengundang komunitas setempat untuk ikut serta dalam proses desain.

Dalam tulisan ini Bernd Upmeyer, mewakili MONU, mewawancarai Jeremy Till, Ketua dari Central Saint Martins dan wakil rektor dari University of the Arts, London. Sebelumnya, Jeremy Till adalah Dekan Arsitektur dan Lingkungan Terbangun di Universitas Sheffield. Penelitian dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh beliau terfokus pada aspek sosial dan politis dari arsitektur dan lingkungan terbangun. Tulisan-tulisan beliau diantaranya adalah “Flexible Housing,” “Architecture Depends,” dan “Spatial Agency.” Di tahun 2005, Jeremy Till menjadi salah satu editor dalam sebuah buku berjudul “Architecture and Participation,” yang mana beliau menyumbangkan sebuah tulisan berjudul “The Negotiation of Hope.” Wawancara ini dilakukan pada tanggal 3 September 2015 lalu.

 

Arsitektur dan Partisipasi
Bernd Upmeyer: Di tahun 2005, Anda adalah salah satu editor dan kontributor dalam buku “Architecture and Participation” yang dalam pengantarnya dikatakan, berhasil menyatukan praktisi-praktisi kaliber internasional dengan para teoris, beberapa diantaranya merupakan pionir dari gerakan partisipatori di tahun 1960an yang menjadi panutan bagi para penggiat partisipatori masa kini. Bisakah Anda menceritakan kembali beberapa hal tentang masa-masa awal partisipatori? Kapan dan bagaimana masyarakat diperkenalkan tentang arsitektur dan proses perencanaan kota? Manakah dari proyek yang Anda sebutkan dalam tulisan Anda, yang menurut Anda sangat menarik dan cukup berhasil?

Jeremy Till: Salah satu hal yang menurut Saya menarik dari sejarah partisipatori, kalau boleh Saya mengambil contoh, adalah orang-orang seperti Giancarlo De Carlo [1]. Kami menerjemahkan dan menerbitkan teks dari Giancarlo De Carlo yang berjudul “Architecure’s Public.” De Carlo dan nama-nama lainnya memakai partisipasi sebagai cara untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dipercaya menjadi tujuan profesi arsitek atau desainer. Saya merasa bahwa aspek partisipasi ini sangat menarik karena dia mempertanyakan banyak premis yang menjadi landasan dari profesi arsitek selama ini – premis individu unggul-pahlawan, premis tentang kontrol, premis tentang keahlian, dan lain sebagainya. Partisipatori, tak pelak, menantang dan mengusik beberapa standar yang sudah menjadi konvensi selama ini.

BU: Tahun 1960an mungkin adalah tahun dimana proses partisipatori diperkenalkan pertama kali, dengan skala yang lebih substantif, yaitu kedalam proses desain dan perencanaan.

JT: Ya, benar, itu adalah masa dimana banyak arsitek, termasuk diantaranya N. John Habraken [2] dan Giancarlo De Carlo, melakukan banyak percobaan. Kurun tahun 1960an hingga 1980an adalah masa-masa emas dari partisipatori dan revolusi ide dalam desain secara umum. Bahkan dalam beberapa contoh proyek partisipatif ada hal menarik dimana 20% anggaran biaya publik berhasil dihemat melalui proses anggaran partisipatif, itu adalah proses dimana masyarakat mempunyai kesempatan untuk menentukan bagaimana dan untuk apa dana publik dipakai. Di beberapa kota di Brazil, seperti Porto Alegre [3], anggaran partisipatif merupakan bagian dari proses berkota. Proporsi dari anggaran pembiayaan kota di tentukan melalui teknik-teknik partisipatif yang terbuka, yang salah satunya mensyaratkan adanya rapat warga. Hal ini sangat menarik.

BU: Menurut kontributor dari buku ini, kondisi-kondisi spasial dan tipe praktik rancang kota/arsitektur seperti apakah yang dimungkinkan hadir ketika masyarakat dilibatkan dalam proses desain?

JT: Menurut Saya, yang terlihat secara umum adalah lahirnya rasa kolektivitas yang lebih kuat dan rasa berbagi dalam ruang-ruang publik, juga hadirnya ruang-ruang yang tidak melalui proses pemrograman. Sekali lagi, hal ini sangat berbeda dengan apa yang disyaratkan pada praktik-praktik profesi arsitek pada umumnya yang selalu mencoba mengendalikan semua hal. Saya memang membuat generalisasi pada konteks ini, tapi dalam praktik partisipatif setiap orang memang dimungkinkan untuk mengalami ruang publik yang benar-benar publik. Ini karena dalam proses partisipasi keutamaan berada pada bagaimana ruang dihuni dan digunakan, bukan pada standar-standar yang berlaku secara arsitektural.

 

Menegosiasikan Harapan

BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope” yang merupakan bagian dari buku “Architecture and Participation” Anda menyatakan bahwa tantangan utama dari proses partisipasi adalah bagaimana menetapkan dasar nilai dan membuat orang-orang menyadari kebaikan dari sebuah ikatan (sosial), sebuah kesadaran yang bagi banyak arsitek masih merupakan hal yang asing, namun ini adalah kesadaran yang harus ada jika arsitektur ingin tetap relevan di masa depan. Menurut Anda mengapa partisipasi sebegitu relevannya?

JT: Benarkah Saya pernah berkata seperti itu? Itu cukup provokatif. Saya kira partisipasi sebenarnya bukan agen tunggal untuk menumbuhkan kesadaran itu. Saya menulis “The Negotiation of Hope” sebelum saya menulis “Architecture Depends,” di tulisan yang terakhir saya beragumen bahwa arsitektur harus menyadari tanggung jawab politis dan sosialnya, dan partisipasi seperti ini seharusnya menjadi bagian dalam menciptakan tanggung jawab sosial. Jika arsitektur ingin benar-benar menjadi disiplin yang memungkinkan kolaborasi dan punya kesadaran sosial, maka partisipasi, dalam pemaknaan secara harafiah, harus menjadi bagian dari sebuah disiplin ilmu yang benar-benar baru. Elemen-elemen lainnya juga penting dan harus tetap kita lakukan, tapi proses negosiasi, cara kita bercakap-cakap, dan proses komunikasi adalah aspek-aspek yang sangat penting dalam menemukan tujuan-tujuan sosial yang tepat dalam berarsitektur.

BU: Walau begitu, dalam artikel yang Anda tulis, Anda membandingkan ‘partisipasi’ dengan nilai-nilai dalam olimpiade yang menekankan ‘kemenangan,’ nilai-nilai yang biasanya dimengerti oleh atlet-atlet yang kecewa dan marah. Apa sebenarnya yang sangat mengecewakan dari partisipasi?

JT: Yang Saya maksud dalam artikel itu sebenarnya adalah, partisipasi bisa saja menjadi alat politik dalam proses berdemokrasi. Sering kali dia menjadi partisipasi yang palsu, dimana arsitek, perancang kota, atau desainer berpura-pura melibatkan masyarakat. Dalam konteks ini, partisipasi hanya menjadi syarat dari sebuah proses politik tetapi dia sebenarnya tidak benar-benar melibatkan orang-orang di dalamnya. Partisipan hanya digunakan oleh arsitek dan perancang kota untuk memenuhi sebuah kriteria namun secara teknis tidak menjadikannya elemen yang penting dalam proses pengerjaan proyek.

BU: Menurut Anda apakah ada cara untuk menghindari hal ini?

JT: Iya, namun Anda harus punya komitmen dan Anda harus menganggapnya serius. Dan untuk bisa begitu, Anda harus melepas kontrol. Menurut Saya inilah hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam profesi ini. Saya tidak hanya berbicara tentang profesi arsitek, namun semua profesi. Semua keprofesian dibangun atas dasar keahlian dan keahlian ini digunakan sebagai mekanisme kontrol. Dalam partisipasi, Anda harus melepaskan kontrol itu dan melebur menjadi professional dalam bentuk yang lain. Harus ada pengakuan bahwa keahlian Anda sama baik dan bergunanya dengan keahlian dari bidang lain, meskipun berbeda. Bagaimanapun, ‘melepas kontrol’ adalah ancaman serius bagi dasar-dasar keprofesian.

BU: Tapi, jika arsitek dan perancang kota harus melepas kuasa dan mulai berbagi pengetahuan dengan dan kepada warga, apa yang tersisa bagi mereka? Menurut Koolhaas, arsitektur telah menjadi sebuah profesi yang kalah, dimana arsitek telah kehilangan semua kontrol, posisi ini meletakkan arsitek di bawah profesi-profesi lainnya. Saat ini, kontraktor-kontraktor besar berusaha sedapat mungkin untuk tidak bekerja sama dengan arsitek, yaitu dengan mempekerjakan ahli-ahli dalam tim internal mereka. Jadi jika arsitek harus kehilangan kontrol dalam satu-satunya hal yang tersisa bagi profesi ini, sebut saja keahlian gambar, keahlian teknis, dan keahlian arsitekturnya, lalu apa lagi yang tertinggal bagi arsitek? Apa posisinya sekarang ditengah-tengah keprofesian lainnya?

JT: Anda mengungkapkannya dengan baik, karena ruang lingkup kontrol yang dipunyai arsitek saat ini memang berkurang jauh dari masa-masa sebelumnya, sampai-sampai yang tersisa hanyalah visual tentang arsitektur itu sendiri, yang menjadi satu-satunya alat arsitek untuk mengklaim bahwa kejayan arsitektur dulu pernah ada. Namun Saya juga berargumen bahwa fokus kepada visual justru akan membawa arsitek semakin jauh dari proses berarsitektur dengan semua aspek-aspek sosialnya. Jika kita ingin memberi definisi baru kepada arsitektur sebagai alat yang mampu membantu kita untuk membayangkan masa depan – masa depan secara sosial dan spasial – maka menurut hemat saya, kita harus merubah cara-cara arsitektur berproduksi, melampaui nilai-nilai visualnya. Kita perlu melakukan kolaborasi dan berbagi. Jika hal ini mungkin, maka artinya masih ada harapan untuk arsitek, karena itu artinya mereka masih mampu menyumbangkan sebuah ilmu yang unik, yang tidak dipunyai profesi lain. Saya benar-benar percaya bahwa arsitek mempunyai bagasi tentang ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu tentang ruang, yang mereka dapatkan melalui pendidikan di perguruan tinggi dan mereka kembangkan melalui praktik professional mereka. Ini adalah keahlian yang luar biasa jika dipakai untuk memberdayakan dan membangun sebuah konstruksi sosial yang baru.

BU: Apakah ini yang Anda maksud ketika Anda menyebut tentang perlunya “partisipasi yang transformatif”? Apakah hal ini dimungkinkan terjadi jika arsitek mau meletakkan dirinya sebagai warga, dan warga mau meletakkan dirinya sebagai ahli, sehingga kedua belah pihak bisa bekerja bersama dengan lebih baik?

JT: Dengan menyebutkan istilah ‘ahli-warga,’ atau ‘warga-ahli,’ saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh warga harus menjadi ahli, tapi sang ahli mengakui ilmu yang dipunyai warga dan mengakui bahwa ilmu itu juga valid dan relevan sebagaimana ilmu yang dipunyai oleh arsitek sebagai ahli. Ilmu yang dipunyai warga ini hanya terkonstruksi melalui bahasa yang berbeda. Jadi, cara-cara kita berkomunikasi perlu beradaptasi satu sama lain sehingga semua ilmu bisa kita kumpulkan dan pelajari bersama.

BU: Dalam perencanaan kota dan arsitektur, bila dibandingkan dengan keprofesian lain seperti kedokteran, jurang antara ilmu yang dipunyai ahli dengan ilmu yang dipunyai oleh masyarakat sangat kecil karena semua orang dengan mudah bisa berpendapat tentang apa itu bangunan dan apa itu kota. Tidak seperti bedah jantung, dimana orang-orang sangat buta tentang prosesnya. Di sini, partisipasi jelas sekali tidak bisa disamaratakan ke semua hal dan kesemua profesi.

JT: Ya, Saya tentu tidak mengharapkan partisipasi dalam proses bedah jantung yang Saya jalani. Ada hirarki yang berbeda mengenai ilmu yang terkandung dalam profesi-profesi yang ada. Secara awam, dokter dan pengacara berada pada level ilmu yang kuat, dan arsitek berada pada level ilmu yang lemah. Hal ini menyiratkan kasta yang terjadi antara ilmu-ilmu yang kuat dengan ilmu-ilmu yang lemah, dan arsitek mencoba menyeberang ke kasta ilmu yang kuat dengan ‘memaksakan’ ilmu mereka sebagai simbol kontrol dan kuasa. Sebagai bagian dari usaha ini, arsitek sering meminggirkan orang lain dengan tidak memakai metoda partisipasi dalam praktik arsitekturnya, arsitek mencoba untuk tetap otonom. Untuk bisa tetap kuat, arsitek memilih untuk tidak melibatkan partisipasi. Walau begitu, seperti yang saya gambarkan dalam “Architecture Depends,” mungkin ada bentuk-bentuk khusus dari ilmu arsitektur yang bisa sangat efektif ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi tak pasti dan khususnya yang terkait keberagaman. Ilmu-ilmu yang kuat cenderung mematikan hal-hal seperti ini, dia tidak cocok dengan kondisi tak pasti dan keberagaman. Dalam ilmu kedokteran, pasien dipandang sebagai badan yang pasif dan dokter terkadang dikritik karena memanipulasi dan menyalahgunakan kuasa dan ilmu yang mereka punya.

BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope,” Anda juga mengatakan bahwa partisipasi diterima secara luas, dan terkadang secara buta, sebagai cara yang lebih baik dalam melakukan banyak hal, khususnya dalam perencanaan kota, namun tidak dalam arsitektur. Menurut Anda, dimanakah perbedaan antara perencanaan kota dengan arsitektur dalam hal partisipasi? Apakah skala menjadi isu?

JT: Menurut Saya, skala membuat banyak perbedaan. Dalam perencanaan kota, karena secara politis ada tuntutan untuk proses yang demokratis dan karena proses perencanaan kota selalu melibatkan proses sosial, maka keterlibatan warga akan selalu terjadi. Walau begitu, khusus untuk kondisi pemerintah di Inggris saat ini, proses perencanaan kota tidak lagi terlalu melibatkan partisipasi warga.

BU: Anda juga menyebutkan lebih lanjut, bahwa partisipasi sebagai metoda yang dibakukan dan banyak disalahartikan telah mengaburkan fakta bahwa dalam proses partisipatori, ada tingkatan-tingkatan keterlibatan, mulai dari ‘partisipasi sebagai pilihan’ hingga kontrol penuh oleh warga. Dan bagaimana kontrol penuh oleh warga sebenarnya merupakan bentuk ideal dari partisipatori walau dalam kenyataannya hampir tidak mungkin terjadi di dalam arsitektur. Bisakah Anda mengelaborasi hal ini?

JT: Maksud Saya, bahwa proses perencanaan kota dan proses arsitektur akan selalu melibatkan kuasa, dan kita tidak akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun kita selalu mulai dengan niat yang sangat baik, akan selalu ada isu tentang kuasa dalam proses partisipatif dan ini selalu berujung pada kesimpulan bahwa bentuk partisipasi penuh hampir tidak mungkin dilakukan. Tapi jika Anda mengakui adanya kuasa ini dan memperlakukannya secara bertanggung jawab, maka proses partisipasi yang terjadi setidaknya akan terasa tulus, dibandingkan partisipasi yang hanya sebagai gimmick.

Limitasi dalam Partisipasi

BU: Menurut Anda, dimanakah partisipasi bisa efektif? Dalam skala apa atau dalam proyek apakah cara ini lebih cocok untuk diaplikasikan?

JT: Menurut Saya, partisipasi sangat cocok diaplikasikan pada kondisi dimana masyarakat dimungkinkan untuk menggunakan ilmu mereka sendiri. Karena itu mungkin cara ini sangat cocok untuk ruang-ruang publik, karena masyarakat tahu bagaimana ruang publik yang cocok untuk mereka dan semua orang berhak berpendapat. Walau begitu, skalanya sebaiknya tidak terlalu besar karena, jelas, ada kompleksitas dalam lapisan-lapisan kota yang membuat proses partisipasi yang ideal menjadi sulit terjadi.

BU: Menurut Anda, dimanakah limitasi dari proses urbanisme yang partisipatif dan seberapa transparan seharusnya sebuah proses pembentukan kota dilakukan sebelum hadir hal-hal yang kompleks yang kemudian membuatnya menjadi sulit untuk di tata dan berfungsi? Sebagai contoh, Anda tentu tidak membiarkan orang lain ikut berpartisipasi dalam proses desain rumah kediaman Anda di jalan Orchard.

JT: Yah, ketika mendesain rumah pribadi dan ketika Anda menjadi desainer sekaligus klien, Anda sebenarnya sedang dalam proses berkomunikasi secara terus menerus dan partisipatif kalau tidak bisa dikatakan terinternalisasi secara laku.

BU: Dan dimana sebenarnya Anda melihat batas dari proses partisipatori ini secara umum?

JT: Ketika berfikir tentang batas partisipatori, Saya sering teringat dengan kata-kata dari Gillian Rose tentang arsitektur komunitas: “Sang arsitek turun kelas, dan masyarakat tidak mengambil alih posisinya.” [4] Menurut Saya, ini kutipan yang luar biasa. Apa yang coba disampaikannya, jika kita artikan secara luas, adalah bahwa arsitek dituntut untuk bisa melepaskan segalanya, termasuk pengetahuannya (karena pengetahuan adalah kuasa, dan kekuasaan adalah sesuatu yang buruk karena sifatnya menaklukkan). Dengan begitu, bahkan dalam kondisi terburuk di arsitektur komunitas, semua arsitek hanya diperbolehkan untuk menggoreskan pensilnya (kalau sekarang menggerakkan tetikusnya) jika dia dalam status mewakili masyarakat. Namun jika arsitek kehilangan kemampuannya untuk mengaplikasikan ilmunya, maka tidak akan ada yang diuntungkan dan semuanya ikut dirugikan. Menurut saya, tidak masalah jika arsitek membawa ilmunya kepada khalayak awam, namun ini juga harus disertai kesediaan sang arsitek untuk menerima ilmu lain di luar ilmunya.

BU: Bagi saya, kutipan ini terdengar seakan arsitek diminta untuk melepaskan kuasanya, namun masyarakat tidak mengambil alih kuasa itu.

JT: Bukan, bukan artinya masyarakat tidak mengambil alih kuasa sang arsitek, tapi masyarakat tidak mendapat keuntungan apapun dari ilmu yang ditawarkan oleh sang arsitek. Ini yang menempatkan mereka semua pada posisi yang lemah dan semua orang akhirnya dirugikan.

BU: Pernahkah Anda berfikir bahwa mungkin sebenarnya masyarakat juga tidak tertarik untuk mengambil alih kuasa atau berpartisipasi? Kondisi ini juga bisa menjadi masalah.

JT: Masalah sebenarnya dari partisipasi adalah aspek sosial dan kenyataan bahwa hanya beberapa persen saja dari masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi. Anda tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan anggota komunitas. Namun tetap, hal ini bukanlah alasan untuk tidak mencobanya.

BU: Orang-orang yang punya waktu lebih cenderung lebih tertarik untuk berpartisipasi.

JT: Ya, tepat. Hal terburuk adalah mencoba melihat partisipasi sebagai bentuk konsensus. Markus Miessen [5] menyatakan dengan lantang dalam bukunya bahwa memandang partisipasi, sebagai bentuk konsensus, justru adalah hal yang keliru. Kita harus bisa menerima bahwa partisipasi juga adalah proses konfrontasi, dan hal terbaik yang bisa dihasilkan dari proses ini juga ditemukan dalam karakter antagonisnya.

BU: Pernahkan Anda terlibat dalam proses partisipatif, dimana Anda menjadi entah sang ahli atau warga kota? Jika iya, bagaimana pendapat Anda? Apa yang menurut Anda aneh dalam prosesnya yang membuat Anda ingin mentertawakannya atau bahkan sedih karenanya?

JT: Saat ini saya sedang terlibat dalam sebuah proyek seperti ini di University of the Arts di London, dimana kami sedang merencanakan pembangunan gedung bagi dua jurusan baru. Saya disini menjadi klien, bukan sang arsitek, dan sangat menarik untuk melihat bagaimana semua kontrol dan kuasa terdistribusi.

BU: Melibatkan lebih banyak orang dalam proses jelas akan membuat semuanya semakin rumit. Bahkan sebelum adanya partisipasi sebenarnya telah banyak orang juga yang terlibat. Banyak hal yang bisa menjadi rumit bahkan sulit untuk ditangani.

JT: Ya! Dan karena banyak bangunan saat ini yang sebenarnya hanya manifestasi dari ekonomi, sangat sedikit niat dari pengembang atau bahkan klien untuk melibatkan lebih banyak orang untuk berproses bersama, karena hal ini akan mempengaruhi efisiensi secara ekonomi. Akhirnya proses produksi ruang-ruang di dalam kota akan dikendalikan oleh pengembang dan menejer proyek, bukan pengguna.

BU: Bagaimana kemudian Anda melihat kelanjutannya? Karena, jelas, tak semua proyek partisipatori, baik yang arsitektural maupun perencanaan kota, mampu menghasilkan demokrasi yang sebenar-benarnya, mendorong kesadaran awam, dan transparansi, akuntabilitas, juga efektifitas. Menurut Anda apakah situasi ini akan menjadi lebih buruk atau keadaan bisa berubah jika praktek partisipatori lebih banyak dilakukan?

JT: Yah, sebenarnya ada beberapa orang, contohnya Paul Mason, yang berpendapat bahwa struktur kapitalisme saat ini sedang digugat oleh bentuk-bentuk komunikasi baru. [6] Kita harus mempersiapkan diri untuk struktur dan formasi baru ini. Contohnya, saat ini sudah banyak kantor-kantor baru, seperti Architecture 00, yang melakukan hal luar biasa melalui cara-cara kolaboratif dan partisipatif dalam menciptakan ruang.

BU: Dan apakah usaha ini berhasil? Apakah Anda bisa mengatakan bahwa ini sebuah kesuksesan?

JT: Oh iya, bahkan mengagumkan. Mereka baru saja menyelesaikan sebuah gedung di London yang dikerjakan melalui proses partisipatif. Mereka juga telah merancang ‘Wiki House’, sebuah sistem desain yang terbuka dengan menggunakan perangkat CNC untuk memungkinkan proyek-proyek kecil bisa dilakukan secara partisipatif karena memungkinkan akses yang terbuka dan kolaborasi dalam prosesnya.

BU: Seperti yang terjadi pada slogan ‘desain lestari’, partisipasi dalam arsitektur dan perancangan kota berada pada tahap yang kritis karena banyak firma-firma baru yang terlibat yang menyalahartikannya sebagai strategi pencitraan dan akhirnya berkompromi, diatur dan didikte oleh kepentingan komunitas, pemerintah, organisasi, partai, dll. Menurut Anda apakah ini juga terjadi pada proyek-proyek Architecture 00 dan di Inggris secara umum?

JT: Itu hanya omong kosong. Para ekonom adalah corong suara neo-liberalisme, dan dengan begitu mereka tidak mendukung apapun yang bisa menghambat pekerjaan kontraktor dan pengembang atas nama efisiensi ekonomi. Jika Anda melihat contoh-contoh partisipatori yang terjadi di Belanda atau di Jerman, maka Anda akan melihat proses partisipatori yang melibatkan warga secara terintegrasi. Secara khusus, Anda bisa menemukan gedung-gedung di Belanda hasil gerakan partisipatori, juga karya tokoh seperti N. John Habraken. ‘Open building’ di Belanda, yang dibangun berdasarkan tulisan Habraken, tidak serta merta melibatkan warga secara konvensional, namun melibatkan ruang-ruang produksi baru yang mensyaratkan teknik-teknik kolaborasi.

BU: Jika Anda bisa memberikan gambaran masa depan tentang urbanisme partisipatori, apa yang akan Anda katakan? Dimanakah partisipatori akan terjadi di masa depan, maksudnya di titik mana dia akan terjadi secara lebih intensif, tepat guna, dan benar-benar memberi pengaruh?

JT: Kalau suasana hati Saya sedang baik, optimis, dan tidak sedang intens berfikir tentang neo-liberalisme, maka Saya akan mengajukan kontrak sosial dan sistem ekonomi yang berbeda. Lalu Saya bisa membayangkan bentuk baru dari masyarakat juga bentuk baru dari kolaborasi dan partisipasi. Setelah itu Saya baru bisa membayangkan sebuah kolektifitas dan bentuk sosial yang baru di masa depan.

BU: Saya melihat, internet jelas akan memainkan peran penting dalam proses partisipatori di masa depan, terutama ketika berbicara tentang bangunan-bangunan publik di dalam kota

JT: Ya, maksudnya, semuanya sudah berada dalam sebuah kontrol. Internet sudah menjadi sebuah kekuatan yang besar dan bentuk-bentuk komunikasi baru akhirnya akan lahir untuk melawan sistem kontrol yang dibangun oleh kapitalisme ini. Entah itu artinya kapitalisme akan meredefinisi dirinya, seperti yang sering dikatakan oleh Marx, atau kita bisa merebut momen ini dan memberi arah baru bagi sistem yang ada sekarang agar lebih peka terhadap isu sosial dan lingkungan.

Jeremy Till adalah arsitek, penulis, dan pengajar. Beliau adalah ketua dari Central Saint Martins dan wakil rektor di University of Arts, London. Sebelumnya beliau menjabat Dekan Arsitektur dan Lingkungan Terbangun di University of Westminster, dan Profesor Arsitektur sekaligus Ketua Jurusan Arsitektur di University of Sheffield. Karya tulis beliau diantaranya Flexible Housing (dikerjakan bersama Tatjana Schneider, 2007), Architecture Depends (2009), dan Spatial Agency (dikerjakan bersama Nishat Awan dan Tatjana Schneider, 2011). Ketiganya mendapat penghargaan RIBA President Award untuk Outstanding Research. Sebagai arsitek beliau bekerja di Sarah Wigglesworth Architects, juga bekerja secara mandiri di kantor yang juga rumahnya di Jl. 9 Stock Orchard. Beliau juga adalah salah satu anggota dewan kehormatan di New Economics Foundation.

Bernd Upmeyer adalah ketua redaksi sekaligus pendiri MONU Magazine. Beliau juga adalah pendiri Rotterdam-based Bereau of Architecture, Reasearch, and Design (BOARD). Beliau belajar arsitektur dan tata kota di Universitas Kassel (Jerman) dan Technical University of Delft (Belanda). Sejak Juni 2012, beliau dan BOARD menjadi bagian dari grup yang menjadi salah satu dari enam grup yang ditunjuk Atelier International Grand Paris (AIGP) untuk menjadi komite riset dalam program “Grand Paris: pour une metropole durable.” Bernd Upmeyer bergelar PhD (Dr.-Ing) dalam bidang Studi Urban dari Universitas Kassel (Jerman). Beliau juga menjadi penulis dalam buku “Binational Urbanism – On the Road to Paradise”, dimana beliau melahirkan istilah binational urbanism.

Referensi

  1. Giancarlo De Carlo adalah arsitek Italia. Beliau menganut paham Libertarian socialism dalam semua karya perancangannya.
  2. John Habraken adalah seorang arsitek Belanda, pengajar, dan teoris. Kontribusinya dalam teori arsitektur banyak ditemukan dalam bidang perumahan rakyat dan perancangan partisipatif dalam proses perancangan perumahan.
  3. Porto Alegre adalah ibu kota sekaligus kota terbesar dari Rio Grande do Sul, di Brazil. Kota ini menjadi terkenal karena menjadi kota pertama yang mampu mengimplementasikan anggaran kota secara partisipatif.
  4. Gillian Rose, “Athens and Jerusalem: A Tale of Two Cities,” Social and Legal Studies 3 (1994): 337. Untuk pengembangan argumen, silahkan buka Jeremy Till, “Architecture of the Impure Community,” in Occupying Architecture: Between the Architect and the User, ed. Jonathan Hill (London: Routledge, 1998), 61–75.
  5. Markus Miessen adalah arsitek dan penulis. Beliau merupakan inisiator dari publikasi tetralogi partisipasi. Karya-karyanya banyak lahir dari pertanyaan-pertanyaan kritis tentang praktek-praktek keruangan, institusi bangunan, dan politik ruang. Dia adalah penulis dari The Nightmare of Participation – Crossbench Praxis as a Mode of Criticality.
  6. Paul Mason, Post Capitalism: a guide to our future (London, Allen Lane: 2015)