Teks wawancara dengan Jeremy Till yang terbit di Majalah MONU. Tulisan dialihbahasakan dari artikel di Archdaily, 18 Februari 2016, sebagai pengantar diskusi
Sebagai sebuah profesi dengan kekuatan untuk merubah wajah kota dan lingkungan – yang artinya juga ikut merubah kehidupan yang ada di dalamnya – industri arsitektur sering kali menjelma menjadi bisnis yang sangat kontroversial; tak jarang, usaha untuk mengembangkan sebuah kawasan malah menjadi pemicu prasangka negatif dikalangan masyarakat yang berakar di sana, hal yang kemudian menyiratkan bahwa arsitektur adalah sosok jahat yang harus dilawan.
Salah satu cara yang dianggap bisa menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan partisipasi, yaitu usaha untuk melibatkan publik untuk ikut ambil bagian dalam proses perancangan, walaupun dikalangan arsitek sendiri banyak yang skeptis bahwa cara ini akan efektif. Di sisi lain, kita harus mengakui saat ini tanggung jawab arsitek kian tergerus oleh kehadiran insinyur dan menejer proyek, kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, apa yang akan tersisa pada profesi ini ketika publik pun diberi hak untuk ikut menetukan arah desain?
Dalam upaya untuk memahami tantangan ini, dalam wawancara yang dikutip dari MONU Magazine yang berjudul “Participatory Urbanism,” Bernd Upmeyer mencoba menggali opini dari Jeremy Till, seorang arsitek Inggris, penulis, dan pengajar arsitektur yang telah banyak menelurkan tulisan tentang pentingnya melepaskan kontrol dalam praktek seorang arsitek dan mengundang komunitas setempat untuk ikut serta dalam proses desain.
Dalam tulisan ini Bernd Upmeyer, mewakili MONU, mewawancarai Jeremy Till, Ketua dari Central Saint Martins dan wakil rektor dari University of the Arts, London. Sebelumnya, Jeremy Till adalah Dekan Arsitektur dan Lingkungan Terbangun di Universitas Sheffield. Penelitian dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh beliau terfokus pada aspek sosial dan politis dari arsitektur dan lingkungan terbangun. Tulisan-tulisan beliau diantaranya adalah “Flexible Housing,” “Architecture Depends,” dan “Spatial Agency.” Di tahun 2005, Jeremy Till menjadi salah satu editor dalam sebuah buku berjudul “Architecture and Participation,” yang mana beliau menyumbangkan sebuah tulisan berjudul “The Negotiation of Hope.” Wawancara ini dilakukan pada tanggal 3 September 2015 lalu.
Arsitektur dan Partisipasi
Bernd Upmeyer: Di tahun 2005, Anda adalah salah satu editor dan kontributor dalam buku “Architecture and Participation” yang dalam pengantarnya dikatakan, berhasil menyatukan praktisi-praktisi kaliber internasional dengan para teoris, beberapa diantaranya merupakan pionir dari gerakan partisipatori di tahun 1960an yang menjadi panutan bagi para penggiat partisipatori masa kini. Bisakah Anda menceritakan kembali beberapa hal tentang masa-masa awal partisipatori? Kapan dan bagaimana masyarakat diperkenalkan tentang arsitektur dan proses perencanaan kota? Manakah dari proyek yang Anda sebutkan dalam tulisan Anda, yang menurut Anda sangat menarik dan cukup berhasil?
Jeremy Till: Salah satu hal yang menurut Saya menarik dari sejarah partisipatori, kalau boleh Saya mengambil contoh, adalah orang-orang seperti Giancarlo De Carlo [1]. Kami menerjemahkan dan menerbitkan teks dari Giancarlo De Carlo yang berjudul “Architecure’s Public.” De Carlo dan nama-nama lainnya memakai partisipasi sebagai cara untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dipercaya menjadi tujuan profesi arsitek atau desainer. Saya merasa bahwa aspek partisipasi ini sangat menarik karena dia mempertanyakan banyak premis yang menjadi landasan dari profesi arsitek selama ini – premis individu unggul-pahlawan, premis tentang kontrol, premis tentang keahlian, dan lain sebagainya. Partisipatori, tak pelak, menantang dan mengusik beberapa standar yang sudah menjadi konvensi selama ini.
BU: Tahun 1960an mungkin adalah tahun dimana proses partisipatori diperkenalkan pertama kali, dengan skala yang lebih substantif, yaitu kedalam proses desain dan perencanaan.
JT: Ya, benar, itu adalah masa dimana banyak arsitek, termasuk diantaranya N. John Habraken [2] dan Giancarlo De Carlo, melakukan banyak percobaan. Kurun tahun 1960an hingga 1980an adalah masa-masa emas dari partisipatori dan revolusi ide dalam desain secara umum. Bahkan dalam beberapa contoh proyek partisipatif ada hal menarik dimana 20% anggaran biaya publik berhasil dihemat melalui proses anggaran partisipatif, itu adalah proses dimana masyarakat mempunyai kesempatan untuk menentukan bagaimana dan untuk apa dana publik dipakai. Di beberapa kota di Brazil, seperti Porto Alegre [3], anggaran partisipatif merupakan bagian dari proses berkota. Proporsi dari anggaran pembiayaan kota di tentukan melalui teknik-teknik partisipatif yang terbuka, yang salah satunya mensyaratkan adanya rapat warga. Hal ini sangat menarik.
BU: Menurut kontributor dari buku ini, kondisi-kondisi spasial dan tipe praktik rancang kota/arsitektur seperti apakah yang dimungkinkan hadir ketika masyarakat dilibatkan dalam proses desain?
JT: Menurut Saya, yang terlihat secara umum adalah lahirnya rasa kolektivitas yang lebih kuat dan rasa berbagi dalam ruang-ruang publik, juga hadirnya ruang-ruang yang tidak melalui proses pemrograman. Sekali lagi, hal ini sangat berbeda dengan apa yang disyaratkan pada praktik-praktik profesi arsitek pada umumnya yang selalu mencoba mengendalikan semua hal. Saya memang membuat generalisasi pada konteks ini, tapi dalam praktik partisipatif setiap orang memang dimungkinkan untuk mengalami ruang publik yang benar-benar publik. Ini karena dalam proses partisipasi keutamaan berada pada bagaimana ruang dihuni dan digunakan, bukan pada standar-standar yang berlaku secara arsitektural.
Menegosiasikan Harapan
BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope” yang merupakan bagian dari buku “Architecture and Participation” Anda menyatakan bahwa tantangan utama dari proses partisipasi adalah bagaimana menetapkan dasar nilai dan membuat orang-orang menyadari kebaikan dari sebuah ikatan (sosial), sebuah kesadaran yang bagi banyak arsitek masih merupakan hal yang asing, namun ini adalah kesadaran yang harus ada jika arsitektur ingin tetap relevan di masa depan. Menurut Anda mengapa partisipasi sebegitu relevannya?
JT: Benarkah Saya pernah berkata seperti itu? Itu cukup provokatif. Saya kira partisipasi sebenarnya bukan agen tunggal untuk menumbuhkan kesadaran itu. Saya menulis “The Negotiation of Hope” sebelum saya menulis “Architecture Depends,” di tulisan yang terakhir saya beragumen bahwa arsitektur harus menyadari tanggung jawab politis dan sosialnya, dan partisipasi seperti ini seharusnya menjadi bagian dalam menciptakan tanggung jawab sosial. Jika arsitektur ingin benar-benar menjadi disiplin yang memungkinkan kolaborasi dan punya kesadaran sosial, maka partisipasi, dalam pemaknaan secara harafiah, harus menjadi bagian dari sebuah disiplin ilmu yang benar-benar baru. Elemen-elemen lainnya juga penting dan harus tetap kita lakukan, tapi proses negosiasi, cara kita bercakap-cakap, dan proses komunikasi adalah aspek-aspek yang sangat penting dalam menemukan tujuan-tujuan sosial yang tepat dalam berarsitektur.
BU: Walau begitu, dalam artikel yang Anda tulis, Anda membandingkan ‘partisipasi’ dengan nilai-nilai dalam olimpiade yang menekankan ‘kemenangan,’ nilai-nilai yang biasanya dimengerti oleh atlet-atlet yang kecewa dan marah. Apa sebenarnya yang sangat mengecewakan dari partisipasi?
JT: Yang Saya maksud dalam artikel itu sebenarnya adalah, partisipasi bisa saja menjadi alat politik dalam proses berdemokrasi. Sering kali dia menjadi partisipasi yang palsu, dimana arsitek, perancang kota, atau desainer berpura-pura melibatkan masyarakat. Dalam konteks ini, partisipasi hanya menjadi syarat dari sebuah proses politik tetapi dia sebenarnya tidak benar-benar melibatkan orang-orang di dalamnya. Partisipan hanya digunakan oleh arsitek dan perancang kota untuk memenuhi sebuah kriteria namun secara teknis tidak menjadikannya elemen yang penting dalam proses pengerjaan proyek.
BU: Menurut Anda apakah ada cara untuk menghindari hal ini?
JT: Iya, namun Anda harus punya komitmen dan Anda harus menganggapnya serius. Dan untuk bisa begitu, Anda harus melepas kontrol. Menurut Saya inilah hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam profesi ini. Saya tidak hanya berbicara tentang profesi arsitek, namun semua profesi. Semua keprofesian dibangun atas dasar keahlian dan keahlian ini digunakan sebagai mekanisme kontrol. Dalam partisipasi, Anda harus melepaskan kontrol itu dan melebur menjadi professional dalam bentuk yang lain. Harus ada pengakuan bahwa keahlian Anda sama baik dan bergunanya dengan keahlian dari bidang lain, meskipun berbeda. Bagaimanapun, ‘melepas kontrol’ adalah ancaman serius bagi dasar-dasar keprofesian.
BU: Tapi, jika arsitek dan perancang kota harus melepas kuasa dan mulai berbagi pengetahuan dengan dan kepada warga, apa yang tersisa bagi mereka? Menurut Koolhaas, arsitektur telah menjadi sebuah profesi yang kalah, dimana arsitek telah kehilangan semua kontrol, posisi ini meletakkan arsitek di bawah profesi-profesi lainnya. Saat ini, kontraktor-kontraktor besar berusaha sedapat mungkin untuk tidak bekerja sama dengan arsitek, yaitu dengan mempekerjakan ahli-ahli dalam tim internal mereka. Jadi jika arsitek harus kehilangan kontrol dalam satu-satunya hal yang tersisa bagi profesi ini, sebut saja keahlian gambar, keahlian teknis, dan keahlian arsitekturnya, lalu apa lagi yang tertinggal bagi arsitek? Apa posisinya sekarang ditengah-tengah keprofesian lainnya?
JT: Anda mengungkapkannya dengan baik, karena ruang lingkup kontrol yang dipunyai arsitek saat ini memang berkurang jauh dari masa-masa sebelumnya, sampai-sampai yang tersisa hanyalah visual tentang arsitektur itu sendiri, yang menjadi satu-satunya alat arsitek untuk mengklaim bahwa kejayan arsitektur dulu pernah ada. Namun Saya juga berargumen bahwa fokus kepada visual justru akan membawa arsitek semakin jauh dari proses berarsitektur dengan semua aspek-aspek sosialnya. Jika kita ingin memberi definisi baru kepada arsitektur sebagai alat yang mampu membantu kita untuk membayangkan masa depan – masa depan secara sosial dan spasial – maka menurut hemat saya, kita harus merubah cara-cara arsitektur berproduksi, melampaui nilai-nilai visualnya. Kita perlu melakukan kolaborasi dan berbagi. Jika hal ini mungkin, maka artinya masih ada harapan untuk arsitek, karena itu artinya mereka masih mampu menyumbangkan sebuah ilmu yang unik, yang tidak dipunyai profesi lain. Saya benar-benar percaya bahwa arsitek mempunyai bagasi tentang ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu tentang ruang, yang mereka dapatkan melalui pendidikan di perguruan tinggi dan mereka kembangkan melalui praktik professional mereka. Ini adalah keahlian yang luar biasa jika dipakai untuk memberdayakan dan membangun sebuah konstruksi sosial yang baru.
BU: Apakah ini yang Anda maksud ketika Anda menyebut tentang perlunya “partisipasi yang transformatif”? Apakah hal ini dimungkinkan terjadi jika arsitek mau meletakkan dirinya sebagai warga, dan warga mau meletakkan dirinya sebagai ahli, sehingga kedua belah pihak bisa bekerja bersama dengan lebih baik?
JT: Dengan menyebutkan istilah ‘ahli-warga,’ atau ‘warga-ahli,’ saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh warga harus menjadi ahli, tapi sang ahli mengakui ilmu yang dipunyai warga dan mengakui bahwa ilmu itu juga valid dan relevan sebagaimana ilmu yang dipunyai oleh arsitek sebagai ahli. Ilmu yang dipunyai warga ini hanya terkonstruksi melalui bahasa yang berbeda. Jadi, cara-cara kita berkomunikasi perlu beradaptasi satu sama lain sehingga semua ilmu bisa kita kumpulkan dan pelajari bersama.
BU: Dalam perencanaan kota dan arsitektur, bila dibandingkan dengan keprofesian lain seperti kedokteran, jurang antara ilmu yang dipunyai ahli dengan ilmu yang dipunyai oleh masyarakat sangat kecil karena semua orang dengan mudah bisa berpendapat tentang apa itu bangunan dan apa itu kota. Tidak seperti bedah jantung, dimana orang-orang sangat buta tentang prosesnya. Di sini, partisipasi jelas sekali tidak bisa disamaratakan ke semua hal dan kesemua profesi.
JT: Ya, Saya tentu tidak mengharapkan partisipasi dalam proses bedah jantung yang Saya jalani. Ada hirarki yang berbeda mengenai ilmu yang terkandung dalam profesi-profesi yang ada. Secara awam, dokter dan pengacara berada pada level ilmu yang kuat, dan arsitek berada pada level ilmu yang lemah. Hal ini menyiratkan kasta yang terjadi antara ilmu-ilmu yang kuat dengan ilmu-ilmu yang lemah, dan arsitek mencoba menyeberang ke kasta ilmu yang kuat dengan ‘memaksakan’ ilmu mereka sebagai simbol kontrol dan kuasa. Sebagai bagian dari usaha ini, arsitek sering meminggirkan orang lain dengan tidak memakai metoda partisipasi dalam praktik arsitekturnya, arsitek mencoba untuk tetap otonom. Untuk bisa tetap kuat, arsitek memilih untuk tidak melibatkan partisipasi. Walau begitu, seperti yang saya gambarkan dalam “Architecture Depends,” mungkin ada bentuk-bentuk khusus dari ilmu arsitektur yang bisa sangat efektif ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi tak pasti dan khususnya yang terkait keberagaman. Ilmu-ilmu yang kuat cenderung mematikan hal-hal seperti ini, dia tidak cocok dengan kondisi tak pasti dan keberagaman. Dalam ilmu kedokteran, pasien dipandang sebagai badan yang pasif dan dokter terkadang dikritik karena memanipulasi dan menyalahgunakan kuasa dan ilmu yang mereka punya.
BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope,” Anda juga mengatakan bahwa partisipasi diterima secara luas, dan terkadang secara buta, sebagai cara yang lebih baik dalam melakukan banyak hal, khususnya dalam perencanaan kota, namun tidak dalam arsitektur. Menurut Anda, dimanakah perbedaan antara perencanaan kota dengan arsitektur dalam hal partisipasi? Apakah skala menjadi isu?
JT: Menurut Saya, skala membuat banyak perbedaan. Dalam perencanaan kota, karena secara politis ada tuntutan untuk proses yang demokratis dan karena proses perencanaan kota selalu melibatkan proses sosial, maka keterlibatan warga akan selalu terjadi. Walau begitu, khusus untuk kondisi pemerintah di Inggris saat ini, proses perencanaan kota tidak lagi terlalu melibatkan partisipasi warga.
BU: Anda juga menyebutkan lebih lanjut, bahwa partisipasi sebagai metoda yang dibakukan dan banyak disalahartikan telah mengaburkan fakta bahwa dalam proses partisipatori, ada tingkatan-tingkatan keterlibatan, mulai dari ‘partisipasi sebagai pilihan’ hingga kontrol penuh oleh warga. Dan bagaimana kontrol penuh oleh warga sebenarnya merupakan bentuk ideal dari partisipatori walau dalam kenyataannya hampir tidak mungkin terjadi di dalam arsitektur. Bisakah Anda mengelaborasi hal ini?
JT: Maksud Saya, bahwa proses perencanaan kota dan proses arsitektur akan selalu melibatkan kuasa, dan kita tidak akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun kita selalu mulai dengan niat yang sangat baik, akan selalu ada isu tentang kuasa dalam proses partisipatif dan ini selalu berujung pada kesimpulan bahwa bentuk partisipasi penuh hampir tidak mungkin dilakukan. Tapi jika Anda mengakui adanya kuasa ini dan memperlakukannya secara bertanggung jawab, maka proses partisipasi yang terjadi setidaknya akan terasa tulus, dibandingkan partisipasi yang hanya sebagai gimmick.
Limitasi dalam Partisipasi
BU: Menurut Anda, dimanakah partisipasi bisa efektif? Dalam skala apa atau dalam proyek apakah cara ini lebih cocok untuk diaplikasikan?
JT: Menurut Saya, partisipasi sangat cocok diaplikasikan pada kondisi dimana masyarakat dimungkinkan untuk menggunakan ilmu mereka sendiri. Karena itu mungkin cara ini sangat cocok untuk ruang-ruang publik, karena masyarakat tahu bagaimana ruang publik yang cocok untuk mereka dan semua orang berhak berpendapat. Walau begitu, skalanya sebaiknya tidak terlalu besar karena, jelas, ada kompleksitas dalam lapisan-lapisan kota yang membuat proses partisipasi yang ideal menjadi sulit terjadi.
BU: Menurut Anda, dimanakah limitasi dari proses urbanisme yang partisipatif dan seberapa transparan seharusnya sebuah proses pembentukan kota dilakukan sebelum hadir hal-hal yang kompleks yang kemudian membuatnya menjadi sulit untuk di tata dan berfungsi? Sebagai contoh, Anda tentu tidak membiarkan orang lain ikut berpartisipasi dalam proses desain rumah kediaman Anda di jalan Orchard.
JT: Yah, ketika mendesain rumah pribadi dan ketika Anda menjadi desainer sekaligus klien, Anda sebenarnya sedang dalam proses berkomunikasi secara terus menerus dan partisipatif kalau tidak bisa dikatakan terinternalisasi secara laku.
BU: Dan dimana sebenarnya Anda melihat batas dari proses partisipatori ini secara umum?
JT: Ketika berfikir tentang batas partisipatori, Saya sering teringat dengan kata-kata dari Gillian Rose tentang arsitektur komunitas: “Sang arsitek turun kelas, dan masyarakat tidak mengambil alih posisinya.” [4] Menurut Saya, ini kutipan yang luar biasa. Apa yang coba disampaikannya, jika kita artikan secara luas, adalah bahwa arsitek dituntut untuk bisa melepaskan segalanya, termasuk pengetahuannya (karena pengetahuan adalah kuasa, dan kekuasaan adalah sesuatu yang buruk karena sifatnya menaklukkan). Dengan begitu, bahkan dalam kondisi terburuk di arsitektur komunitas, semua arsitek hanya diperbolehkan untuk menggoreskan pensilnya (kalau sekarang menggerakkan tetikusnya) jika dia dalam status mewakili masyarakat. Namun jika arsitek kehilangan kemampuannya untuk mengaplikasikan ilmunya, maka tidak akan ada yang diuntungkan dan semuanya ikut dirugikan. Menurut saya, tidak masalah jika arsitek membawa ilmunya kepada khalayak awam, namun ini juga harus disertai kesediaan sang arsitek untuk menerima ilmu lain di luar ilmunya.
BU: Bagi saya, kutipan ini terdengar seakan arsitek diminta untuk melepaskan kuasanya, namun masyarakat tidak mengambil alih kuasa itu.
JT: Bukan, bukan artinya masyarakat tidak mengambil alih kuasa sang arsitek, tapi masyarakat tidak mendapat keuntungan apapun dari ilmu yang ditawarkan oleh sang arsitek. Ini yang menempatkan mereka semua pada posisi yang lemah dan semua orang akhirnya dirugikan.
BU: Pernahkah Anda berfikir bahwa mungkin sebenarnya masyarakat juga tidak tertarik untuk mengambil alih kuasa atau berpartisipasi? Kondisi ini juga bisa menjadi masalah.
JT: Masalah sebenarnya dari partisipasi adalah aspek sosial dan kenyataan bahwa hanya beberapa persen saja dari masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi. Anda tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan anggota komunitas. Namun tetap, hal ini bukanlah alasan untuk tidak mencobanya.
BU: Orang-orang yang punya waktu lebih cenderung lebih tertarik untuk berpartisipasi.
JT: Ya, tepat. Hal terburuk adalah mencoba melihat partisipasi sebagai bentuk konsensus. Markus Miessen [5] menyatakan dengan lantang dalam bukunya bahwa memandang partisipasi, sebagai bentuk konsensus, justru adalah hal yang keliru. Kita harus bisa menerima bahwa partisipasi juga adalah proses konfrontasi, dan hal terbaik yang bisa dihasilkan dari proses ini juga ditemukan dalam karakter antagonisnya.
BU: Pernahkan Anda terlibat dalam proses partisipatif, dimana Anda menjadi entah sang ahli atau warga kota? Jika iya, bagaimana pendapat Anda? Apa yang menurut Anda aneh dalam prosesnya yang membuat Anda ingin mentertawakannya atau bahkan sedih karenanya?
JT: Saat ini saya sedang terlibat dalam sebuah proyek seperti ini di University of the Arts di London, dimana kami sedang merencanakan pembangunan gedung bagi dua jurusan baru. Saya disini menjadi klien, bukan sang arsitek, dan sangat menarik untuk melihat bagaimana semua kontrol dan kuasa terdistribusi.
BU: Melibatkan lebih banyak orang dalam proses jelas akan membuat semuanya semakin rumit. Bahkan sebelum adanya partisipasi sebenarnya telah banyak orang juga yang terlibat. Banyak hal yang bisa menjadi rumit bahkan sulit untuk ditangani.
JT: Ya! Dan karena banyak bangunan saat ini yang sebenarnya hanya manifestasi dari ekonomi, sangat sedikit niat dari pengembang atau bahkan klien untuk melibatkan lebih banyak orang untuk berproses bersama, karena hal ini akan mempengaruhi efisiensi secara ekonomi. Akhirnya proses produksi ruang-ruang di dalam kota akan dikendalikan oleh pengembang dan menejer proyek, bukan pengguna.
BU: Bagaimana kemudian Anda melihat kelanjutannya? Karena, jelas, tak semua proyek partisipatori, baik yang arsitektural maupun perencanaan kota, mampu menghasilkan demokrasi yang sebenar-benarnya, mendorong kesadaran awam, dan transparansi, akuntabilitas, juga efektifitas. Menurut Anda apakah situasi ini akan menjadi lebih buruk atau keadaan bisa berubah jika praktek partisipatori lebih banyak dilakukan?
JT: Yah, sebenarnya ada beberapa orang, contohnya Paul Mason, yang berpendapat bahwa struktur kapitalisme saat ini sedang digugat oleh bentuk-bentuk komunikasi baru. [6] Kita harus mempersiapkan diri untuk struktur dan formasi baru ini. Contohnya, saat ini sudah banyak kantor-kantor baru, seperti Architecture 00, yang melakukan hal luar biasa melalui cara-cara kolaboratif dan partisipatif dalam menciptakan ruang.
BU: Dan apakah usaha ini berhasil? Apakah Anda bisa mengatakan bahwa ini sebuah kesuksesan?
JT: Oh iya, bahkan mengagumkan. Mereka baru saja menyelesaikan sebuah gedung di London yang dikerjakan melalui proses partisipatif. Mereka juga telah merancang ‘Wiki House’, sebuah sistem desain yang terbuka dengan menggunakan perangkat CNC untuk memungkinkan proyek-proyek kecil bisa dilakukan secara partisipatif karena memungkinkan akses yang terbuka dan kolaborasi dalam prosesnya.
BU: Seperti yang terjadi pada slogan ‘desain lestari’, partisipasi dalam arsitektur dan perancangan kota berada pada tahap yang kritis karena banyak firma-firma baru yang terlibat yang menyalahartikannya sebagai strategi pencitraan dan akhirnya berkompromi, diatur dan didikte oleh kepentingan komunitas, pemerintah, organisasi, partai, dll. Menurut Anda apakah ini juga terjadi pada proyek-proyek Architecture 00 dan di Inggris secara umum?
JT: Itu hanya omong kosong. Para ekonom adalah corong suara neo-liberalisme, dan dengan begitu mereka tidak mendukung apapun yang bisa menghambat pekerjaan kontraktor dan pengembang atas nama efisiensi ekonomi. Jika Anda melihat contoh-contoh partisipatori yang terjadi di Belanda atau di Jerman, maka Anda akan melihat proses partisipatori yang melibatkan warga secara terintegrasi. Secara khusus, Anda bisa menemukan gedung-gedung di Belanda hasil gerakan partisipatori, juga karya tokoh seperti N. John Habraken. ‘Open building’ di Belanda, yang dibangun berdasarkan tulisan Habraken, tidak serta merta melibatkan warga secara konvensional, namun melibatkan ruang-ruang produksi baru yang mensyaratkan teknik-teknik kolaborasi.
BU: Jika Anda bisa memberikan gambaran masa depan tentang urbanisme partisipatori, apa yang akan Anda katakan? Dimanakah partisipatori akan terjadi di masa depan, maksudnya di titik mana dia akan terjadi secara lebih intensif, tepat guna, dan benar-benar memberi pengaruh?
JT: Kalau suasana hati Saya sedang baik, optimis, dan tidak sedang intens berfikir tentang neo-liberalisme, maka Saya akan mengajukan kontrak sosial dan sistem ekonomi yang berbeda. Lalu Saya bisa membayangkan bentuk baru dari masyarakat juga bentuk baru dari kolaborasi dan partisipasi. Setelah itu Saya baru bisa membayangkan sebuah kolektifitas dan bentuk sosial yang baru di masa depan.
BU: Saya melihat, internet jelas akan memainkan peran penting dalam proses partisipatori di masa depan, terutama ketika berbicara tentang bangunan-bangunan publik di dalam kota
JT: Ya, maksudnya, semuanya sudah berada dalam sebuah kontrol. Internet sudah menjadi sebuah kekuatan yang besar dan bentuk-bentuk komunikasi baru akhirnya akan lahir untuk melawan sistem kontrol yang dibangun oleh kapitalisme ini. Entah itu artinya kapitalisme akan meredefinisi dirinya, seperti yang sering dikatakan oleh Marx, atau kita bisa merebut momen ini dan memberi arah baru bagi sistem yang ada sekarang agar lebih peka terhadap isu sosial dan lingkungan.
Jeremy Till adalah arsitek, penulis, dan pengajar. Beliau adalah ketua dari Central Saint Martins dan wakil rektor di University of Arts, London. Sebelumnya beliau menjabat Dekan Arsitektur dan Lingkungan Terbangun di University of Westminster, dan Profesor Arsitektur sekaligus Ketua Jurusan Arsitektur di University of Sheffield. Karya tulis beliau diantaranya Flexible Housing (dikerjakan bersama Tatjana Schneider, 2007), Architecture Depends (2009), dan Spatial Agency (dikerjakan bersama Nishat Awan dan Tatjana Schneider, 2011). Ketiganya mendapat penghargaan RIBA President Award untuk Outstanding Research. Sebagai arsitek beliau bekerja di Sarah Wigglesworth Architects, juga bekerja secara mandiri di kantor yang juga rumahnya di Jl. 9 Stock Orchard. Beliau juga adalah salah satu anggota dewan kehormatan di New Economics Foundation.
Bernd Upmeyer adalah ketua redaksi sekaligus pendiri MONU Magazine. Beliau juga adalah pendiri Rotterdam-based Bereau of Architecture, Reasearch, and Design (BOARD). Beliau belajar arsitektur dan tata kota di Universitas Kassel (Jerman) dan Technical University of Delft (Belanda). Sejak Juni 2012, beliau dan BOARD menjadi bagian dari grup yang menjadi salah satu dari enam grup yang ditunjuk Atelier International Grand Paris (AIGP) untuk menjadi komite riset dalam program “Grand Paris: pour une metropole durable.” Bernd Upmeyer bergelar PhD (Dr.-Ing) dalam bidang Studi Urban dari Universitas Kassel (Jerman). Beliau juga menjadi penulis dalam buku “Binational Urbanism – On the Road to Paradise”, dimana beliau melahirkan istilah binational urbanism.
Referensi
- Giancarlo De Carlo adalah arsitek Italia. Beliau menganut paham Libertarian socialism dalam semua karya perancangannya.
- John Habraken adalah seorang arsitek Belanda, pengajar, dan teoris. Kontribusinya dalam teori arsitektur banyak ditemukan dalam bidang perumahan rakyat dan perancangan partisipatif dalam proses perancangan perumahan.
- Porto Alegre adalah ibu kota sekaligus kota terbesar dari Rio Grande do Sul, di Brazil. Kota ini menjadi terkenal karena menjadi kota pertama yang mampu mengimplementasikan anggaran kota secara partisipatif.
- Gillian Rose, “Athens and Jerusalem: A Tale of Two Cities,” Social and Legal Studies 3 (1994): 337. Untuk pengembangan argumen, silahkan buka Jeremy Till, “Architecture of the Impure Community,” in Occupying Architecture: Between the Architect and the User, ed. Jonathan Hill (London: Routledge, 1998), 61–75.
- Markus Miessen adalah arsitek dan penulis. Beliau merupakan inisiator dari publikasi tetralogi partisipasi. Karya-karyanya banyak lahir dari pertanyaan-pertanyaan kritis tentang praktek-praktek keruangan, institusi bangunan, dan politik ruang. Dia adalah penulis dari The Nightmare of Participation – Crossbench Praxis as a Mode of Criticality.
- Paul Mason, Post Capitalism: a guide to our future (London, Allen Lane: 2015)