Istilah arsitektur rakyat adalah istilah yang semakin sering terdengar akhir-akhir ini. Rasa penasaran yang besar membuat saya memilih untuk melakukan kerja praktik di lembaga yang memang dekat dengan isu arsitektur rakyat, dan saya memilih ASF Indonesia (ASF-ID). Setelah mengajukan diri, memenuhi syarat dan ketentuan, saya pun diterima sebagai relawan magang/kerja praktik. Kerja praktik ini saya lakukan selama 2,5 bulan di Bandung, di mana selama masa itu saya belajar untuk melihat lebih dekat bagaimana masyarakat menciptakan dan menggunakan ruang-ruang di sekitar mereka.
Kerja praktik saya dimulai pada awal bulan Desember 2016. Ketika itu salah satu proyek yang sedang dikerjakan ASF-ID adalah PAUD Nur Hikmat di Tasikmalaya. Perancangan PAUD Nur Hikmat ini dilakukan dengan metoda partisipasi, maksudnya proses perancangan juga melibatkan peran serta dari orangtua, guru, serta pengelola PAUD.
PROSES PERANCANGAN PAUD NUR HIKMAT, TASIKMALAYA
Sebagai gambaran awal, selama ini kegiatan belajar mengajar di PAUD dilakukan di dalam garasi salah satu rumah pengelola. Kondisi yang tidak ideal ini membuat operasional PAUD menjadi sedikit terhambat. Beberapa waktu kemudian, PAUD mendapat hibah tanah yang berupa tanah persawahan yang dekat dengan sungai. Konsep baru PAUD kemudian diarahkan untuk menjadi sekolah alam, dimana denah ruang-ruang sekolah dirancang bersama-sama dengan orangtua, guru, serta pengelola. Struktur bangunan diputuskan untuk menggunakan material bambu yang dengan mudah diakomodasi oleh masyarakat. Dan untuk mengurangi biaya pembangunan, konstruksi pondasi diputuskan untuk menggunakan umpak dari buis beton yang diisi kerikil. Model umpak ini (umpak berongga) dikembangkan oleh Eugenius Pradipto, seorang dosen UGM yang memiliki spesialisasi di struktur bambu.
Di awal kerja praktik, saya sempat ditanyai mengenai sejauh mana pengetahuan saya mengenai material bambu. Sayangnya selama dua tahun berkuliah, pengetahuan mengenai material bambu hanya pernah saya rasakan melalui kegiatan himpunan di kampus lewat pembuatan instalasi pada awal masa kuliah dulu. Istilah-istilah seperti ‘pendekatan partisipatoris’ ataupun pengetahuan tentang material bambu baru saya dapatkan setelah bergabung bersama ASF-ID.
Pada awal perancangan, saya juga belajar tentang pembuatan maket dengan bahan tusuk sate, bor, lem, dan jarum yang berfungsi sebagai baut. Menurut salah satu mentor, pada perancangan yang menggunakan material bambu, pembuatan maket menjadi titik kritis karena sangat membantu dalam pengujian kekuatan struktur dan mengevaluasi sambungan-sambungan bambu yang dipakai. Melalui maket, perkiraan mengenai kekuatan dan kestabilan stuktur juga dapat didekati secara lebih real. Pada proyek PAUD ini kestabilan stuktur baru dicapai pada alternatif desain yang ke-2. Pada pembuatan maket pertama didapati bahwa strukturnya kurang stabil karena sifat pondasi yang tidak mengikat stuktur bangunan.
Selain untuk menguji kekuatan stuktur bangunan, saya juga belajar bagaimana pembuatan maket ternyata sangat efektif untuk mengkomunikasikan desain kepada masyarakat dan mempermudah komunikasi dengan tukang pada saat konstruksi. Melalui sarana maket pun dapat dibuat simulasi sederhana mengenai proses kontruksi, sehingga pada pelaksanaannya nanti tahapan-tahapan dan prosesnya tidak melenceng jauh dari tahapan pembuatan maket.
BERGIAT DI KAMPUNG KOTA
Selain proyek PAUD, selama kerja praktik saya juga mengikuti beberapa kegiatan ASF-ID di kampung kota. Antara lain, mengunjungi Kampung Pasirluyu. Kampung Pasirluyu di bantaran Sungai Cikapundung yang membelah Bandung dari Utara ke Selatan. Sebelumnya, ASF-ID pernah melakukan kegiatan pemetaan di Kampung Pasirluyu dengan dukungan Perween Rahman Fellowship 2015. Lalu, rekan-rekan mahasiswa Arsitektur UPI pun bergabung mengadakan workshop dari Agustus-November 2016.
Menanggapi hasil kegiatan pemetaan dan perumusan masalah bersama, Karang Taruna di Kampung Pasirluyu mengusulkan taman terbuka hijau yang akan diutamakan untuk kegiatan anak-anak dan remaja. Permasalahan lapangan yang kemudian ditemui antara lain ketersediaan lahan terbuka yang bisa dimanfaatkan bersama hingga bagaimana secara swadaya mengumpulkan dana, baik dari program pemerintah maupun warga sekitar.
Dari berbagai kendala lapangan yang dihadapi saat bertemu warga kampung, saya berfikir bahwa metoda partisipatoris tidaklah sesederhana kelihatannya. Salah satunya karena sistem di dalam komunitas bukanlah sesuatu yang mapan karena kenyataannya warga memang bukan entitas yang tunggal. Warga sendiri terdiri dari banyak kelompok-kelompok masyarakat.
Warga pun terkadang menemui kendala memahami bahwa pegiat-pegiat yang datang dan mengusahakan kerjasama bisa datang dari berbagai lembaga dan bisa jadi akan sangat cair. Pada saat proses datang kepada warga di Kampung Pasirluyu, kami masih dikenal dengan sebutan ‘teman-teman UPI’. Memang kadang penamaan tersebut kondisional dan cair dengan relasi-relasi yang lentur. Almamater atau institusi pendidikan menjadi label atau pintu masuk yang kemudian paling mudah diingat untuk warga kampung.
PENUTUP
Mungkin memang istilah ‘arsitek swadaya’ atau ‘arsitek komunitas’ masih belum menjadi istilah yang akrab bagi warga sendiri. Namun begitu, sempat muncul keingintahuan dari warga, mengapa ASF-ID banyak bergiat di kampung-kampung kota. Usie, salah satu pembimbing saya selama kerja praktik, berpendapat bahwa kampung kota merupakan bagian penting dari kota. Kampung berkontribusi terhadap citra kota, begitupun dalam menopang ketahanan ekonominya. Saya melihat bahwa mungkin inilah yang dimaksud dalam slogan ASF-ID, “arsitektur tanpa batas” bahwa sejatinya setiap manusia berhak atas ruang hidup yang layak, yang mana sering tidak terjadi pada warga yang termarjinalkan dalam lingkup kampung kota.
Budaya diskusi yang cair dan hangat menjadi kultur yang saya temui di Sekretariat Nasional ASF-ID. Diskusi-diskusi ini juga menjadi sarana belajar yang sayang untuk dilewatkan. Pengalaman selama 2,5 bulan bekerja bersama teman-teman ASF-ID harus saya akui telah memberikan banyak pelajaran, membuka wawasan, dan mengisi saya dengan pengetahuan baru. Terimakasih kepada teman-teman ASF-ID: Cak-cak, Siska, Usie, Kristo, Uji, Frans, Take, Vani, Theo, dan teman-teman ASF-ID lainnya. Semoga apa yang saya dapatkan selama kerja praktik bisa terus tumbuh dan menyuburkan keingintahuan serta kesukarelaan untuk bekerja bersama masyarakat ke depan.
Leave a comment