Arsitektur kebencanaan menjadi salah satu pengetahuan yang sangat dibutuhkan dalam mitigasi bencana, khususnya pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengalaman Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) di Sulawesi Tengah selama hampir sebelas bulan pasca gempa 28 September, menawarkan sebuah refleksi. Sebuah gambaran bagaimana arsitek dituntut mampu membaca konteks dan menformulasikan skema kerja di tengah berbagai keterbatasan.
Rumah Tumbuh Bambu
Desember 2018 setelah berakhir masa tanggap darurat, Robbani bersama rekan-rekan dari Kemitraan dan Karsa Institute melakukan assessment di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Setelah meninjau banyaknya rumah dengan kondisi yang rusak sebagian maupun rusak total, diputuskan untuk membangun rumah tumbuh. Merujuk pada assessment yang dilakukan oleh Karsa, diputuskan untuk membangun rumah tumbuh bagi sepuluh keluarga di Bolapapu dan Namo. Termasuk dalam wilayah dengan kondisi paling parah, Bolapapu adalah pusat Kecamatan Kulawi sedangkan Namo terletak sekitar 2,6 km menjelang Bolapapu.
Kedua desa tersebut terletak berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Kegiatan rekonstruksi dikhawatirkan menambah marak penebangan pohon kayu keras untuk keperluan pembangunan rumah. Demikian bambu ditawarkan menjadi alternatif mempertimbangkan asumsi tersebut. Meskipun bambu sebagai bangunan masih perkara awam bagi masyarakat setempat. Pada pertengahan Februari 2019, penulis dan rekan Andrea bergabung dan memulai proses pengadaan dan pengawetan bambu dengan larutan borate dalam konsentrasi ca. 6%. Kemudian ditemukan banyak rumpun, seperti awo toraja (Dendrocalamus asper), walo (Gigantochloa apus), dan awo (Gigantochloa atter). Fleksibilitas dan ketahanan bambu dalam menyalurkan gaya menjadikannya sebagai salah satu material aman gempa. Bambu relatif lebih ringan dari bahan lain sehingga lebih aman saat terjadi goncangan gempa.
Selain unsur teknis diatas, tim arsitek juga menggali unsur arsitektur lokal dalam proses desain. Eksplorasi desain oleh Robbani mengadopsi bentuk geometris bangunan adat lobo sebagai bagian dari arsitektur khas Kulawi. Lewat sebuah maket berskala 1:30 desain awal dipresentasikan pertama kali kepada peserta program saat focus group discussion pada 22 Februari. Juga disepakati jadwal pembangunan rumah tumbuh dalam waktu dua bulan. Kemudian masing-masing kelompok desa menunjuk bendahara untuk bersama-sama mengelola dana pembangunan.
Pembangunan rumah tumbuh pertama di Bolapapu dimulai pada 25 Februari. Rencana pembangunan satu rumah yang sebelumnya diperkirakan memakan waktu satu minggu, pada kenyataannya berlangsung sampai dua bulan. Ada beberapa kendala yang memengaruhi kerangka rencana manajemen proyek. Misalnya, sebagian besar peserta program adalah petani serabutan dan harus memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga sering absen dalam kegiatan pembangunan. Di Bolapapu, seorang peserta yang memiliki enam anak yang masih dalam asuhan harus mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di kebun. Seorang peserta di Namo memerlukan waktu satu bulan penuh untuk persiapan pernikahan anaknya. Demikian pula berbagai kegiatan tradisi maupun seremonial di desa menginterupsi jadwal yang telah disepakati.
Bantuan dirancang dalam bentuk transfer dan pengembangan teknologi dan pengetahuan bambu. Sehingga mutlak memerlukan intensitas keterlibatan peserta. Memasuki bulan ketiga enam unit rumah telah dimulai namun belum satupun ada yang selesai. Sampai tiba waktu tim arsitek untuk rehat lebaran di Jawa. Hingga saat ini, masih ada tiga rumah tumbuh dalam proses finishing secara mandiri.
Posyandu Desa Boladangko
Sekitar satu setengah kilometer dari Bolapapu terletak Desa Boladangko dimana posyandu akan dibangun, dan masih menggunakan bambu sebagai material utama. Bambu awet yang diproduksi oleh Bolapapu kemudian disiapkan untuk posyandu tersebut; cikal bakal koperasi usaha bambu mendapat pelanggan pertama.
Bersama rekan Robbani, penulis mengawal proses ini, melibatkan warga desa pada pekerjaan non-bambu seperti: pembuatan pondasi, umpak, pemasangan atap metal, dan peletakan jaringan pemipaan. Dua perajin bambu dari Sleman, Yogyakarta didatangkan untuk mengeksekusi pekerjaan bambu sekaligus melatih kader perajin bambu setempat. Skema ini bertujuan untuk transfer pengetahuan dan memberikan keahlian baru supaya kemudian terbuka lapangan pekerjaan baru di masa mendatang.
Bobot pekerjaan dicacah sehingga memungkinkan penerapan sistem kerja borongan. Dengan demikian mampu mengejar jadwal proyek. Selama prosesnya, proyek posyandu Boladangko berjalan selama satu bulan tanpa kendala berarti, sebagaimana proses pembangunan pada umumnya di kota. Hal tersebut berhasil mengikis pesimisme warga akibat keterlambatan jadwal pada program rumah tumbuh. Selesainya Posyandu Boladangko kemudian meningkatkan semangat kolektivitas warga dalam proses belajar mengolah dan merangkai bambu.
Sau Singgani di Rogo
Desa Rogo di Kecamatan Dolo Selatan merupakan persinggahan berikut bagi tim. Sebuah desa yang terletak di bibir zona merah likuifaksi. Dalam bahasa Kaili, rogo berarti remuk. Rogo memiliki iklim kering dan berangin sehingga berdebu. Suhu rata-rata siang hari sekitar tigapuluh-empat derajat Celcius. Setelah terjadi likuifaksi, warga merasa lebih sulit mendapatkan air bersih. Kali ini kami bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Skema kerja dari pembangunan posyandu kembali diterapkan pada pembangunan sau singgani, semacam balai warga dalam pengertian setempat. Perajin bambu Akar Bambu Kulawi kini menjadi mentor bagi tiga pemuda Rogo. Sedangkan pekerjaan non-bambu dikerjakan oleh kelompok warga dengan upah yang telah disepakati di antara mereka.
Karena berbagai alasan, community organizer (CO) dari WALHI tidak dapat melanjutkan pekerjaan dan harus meninggalkan lokasi pada bulan kedua. Ini merupakan suatu hal yang tidak dibayangkan oleh warga; para pendamping hadir didukung oleh anggaran terbatas dan tidak dapat selamanya berada diantara mereka. Menanggapi situasi tersebut para arsitek harus beradaptasi dan bersedia mengelola dinamika sosial, yakni menjaga keseimbangan di antara kelompok agama dengan kelompok adat.
Arsitek dan CO suatu hari akan meninggalkan desa, sedangkan peserta dan warga akan tetap tinggal. Demikian relasi antar individu warga harus dijaga. Relasi di antara mereka yang terlibat pekerjaan dengan yang tidak, menjadi hal yang sensitif dan mengundang berbagai potensi konflik. Aspek sosial tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja seperti jika memakai kacamata manajemen proyek. Dinamika sosial menjadi pertimbangan utama dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam proyek.
Dalam mengantisipasi potensi persoalan sosial, waktu assesment selama seminggu ternyata jauh dari memadai. Seperti terbukti lewat program ini, assesment merupakan bagian yang tidak bisa dipandang enteng dari keseluruhan rancangan program. Kepekaan dan ketajaman pembacaan sosial kemasyarakatan saat assesment pertama akan menentukan keberhasilan program.
Refleksi
Ada alat tukar pada setiap kerja partisipasi baik berupa uang maupun waktu. Pada program rumah tumbuh, partisipan bisa terlibat jika kegiatan berlangsung di luar waktu mereka mencari nafkah. Konsekuensinya, pendamping tidak dapat membuat target penyelesaian secara kaku sebagaimana kerangka manajemen proyek yang baku. Patut dicoba, jika kelompok warga diberi kesempatan menjalankan arisan kerja, yaitu bentuk kerja bergantian yang dilakukan di akhir pekan atau ada waktu yang telah ditentukan untuk secara bergiliran membangun rumah setiap anggota arisan.
Pada proyek posyandu dan sau singgani, adanya upah kerja menjadikan proyek dapat dijalankan sesuai jadwal. Skema tersebut mengurangi resiko keterlambatan jadwal pembangunan. Pendamping dapat memilah paket kerja yang kongruen dengan komponen upah yang dibayarkan.
Proses partisipasi dan pengenalan teknologi alternatif kepada warga penyintas di desa pelosok mengandung tantangan tersendiri. Keilmuan arsitektur pada umumnya tidak mencakup pengetahuan ini. Keterlibatan ASF-ID pada kegiatan rekonstruksi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah melampaui pranata space, form, and order atau site analisys yang selama ini menjadi standar di kampus. Ada berbagai hal harus dipenuhi untuk mencapai arsitektur paripurna; aspek-aspek sosial dan kultural yang menyebabkan seorang sarjana arsitektur tidak lagi berfikir tentang “desain yang seperti apa?” namun “bagaimana desain itu memanusiakan?” Demikian, karena semua profesi dituntut untuk meredefinisi bentuk pengabdiannya dalam masyarakat. ////
Leave a comment