Urbanisasi Covid-19, Urbanisasi Kapital

Substansi tulisan ini didiskusikan dalam acara diskusi daring via Zoom bertajuk “New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik” yang diselenggarakan oleh Architecture Sans Frontières Indonesia pada 11 Juli 2020, dimana penulis menjadi salah satu pemantik.


Percepatan Pembangunan Sepuluh Kawasan Metropolitan

Pada 21 Juli 2020, laman Badan Pembangunan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memuat satu entri yang bertajuk “BPIW Susun Rencana Pengembangan 10 Kawasan Metropolitan.” Entri tersebut menyatakan bahwa “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19” pembangunan di sepuluh kawasan meteropolitan itu dipercepat. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai “amanat” Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu sebelumnya menyatakan bahwa “pada masa krisis perasaan pejabat publik harus sama, rasa dalam krisis.” Sebagai implementasi dari “rasa dalam krisis” tersebut, maka “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” diperlukan. BPIW PUPR menerjemahkan “rasa dalam krisis” dan keperluan akan “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” itu dalam bentuk percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan, yang pengembangannya memang sudah direncanakan sebelum pandemi Covid-19.

Kesepuluh kawasan metropolitan yang dimaksud adalah: Mebidangro (Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Karo); Patungraya Agung (Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir); Jabodetabekpunjur (DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Cianjur); Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi); Kedungsepur (Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kota Semarang, Ungaran Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Purwodadi Kabupaten Grobogan); Gerbangkertosusila (Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bangkalan); Banjar Bakula (Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Tanah Laut); Sarbagita (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan); Mamminasata (Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar); dan Bimin (Kota Manado, Kota Bitung, dan Kabupaten Minahasa Utara).

Tulisan ini melihat bahwa rencana percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan ini adalah satu manifestasi dari kondisi bahwa pemerintah lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi kapitalis daripada kesehatan/keselamatan warga negara. Pendapat ini akan ditopang dengan cara mendudukkan kasus percepatan pembangunan ini dalam konteks urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, dan inter-koneksi di antara keduanya.

Urbanisasi Covid-19

Sampai saat ini (6 Agustus 2020) berdasarkan visualisasi melalui peta di laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19, di Pulau Jawa dengan cepat terlihat bahwa daerah yang memiliki risiko tinggi kenaikan kasus adalah daerah-daerah perkotaan yang semuanya atau sebagian termasuk daerah yang dirancang sebagai bagian dari sepuluh kawasan metropolitan yang akan dipercepat pengembangannya itu.

Penting disampaikan di sini tentang data yang dipakai. Pada laman yang dimaksud di alinea sebelumnya, disebutkan bahwa “Hasil Pembobotan Skor dan Zonasi Risiko Daerah akan diperbaharui secara mingguan.” Namun disebutkan juga di laman tersebut, ketika diakses pada 6 Agustus 2020, data yang tersaji dalam “Peta Risiko” adalah data per 26 Juli 2020. Alias, “Peta Risiko” tidak diperbaharui sesuai dengan yang dijanjikan (mingguan).

“Peta Risiko” itu membagi-bagi daerah berdasarkan risiko kenaikan kasus Covid-19 ke dalam lima golongan, yaitu risiko tinggi, sedang, rendah, tidak ada kasus, dan tidak terdampak.

Kalau diurut dari barat ke timur, seperti yang tersaji dalam peta pada gambar di bawah, maka daerah-daerah yang memiliki “Risiko Tinggi” di Pulau Jawa tersebut adalah DKI Jakarta minus Kota/Kabupaten Kepulauan Seribu. DKI Jakarta dalam skema percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan yang disebutkan di atas termasuk ke dalam area Jabodetabekpunjur.

Bergerak ke tengah, kelompok dengan kategori “Risiko Tinggi” yang terlihat sangat mencolok di “Peta Risiko” adalah kawasan Kota Semarang dan sekitarnya, meliputi Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Jepara. Beberapa dari Kota/Kabupaten-kabupaten yang termasuk ke dalam risiko tinggi di bagian tengah Pulau Jawa ini dalam skema pengembangan sepuluh kawasan metropolitan yang direncanakan oleh BPIW termasuk ke dalam area metropolitan Kedungsepur.

Masih di Pulau Jawa, bergerak ke arah timur, satu plot “Risiko Tinggi” yang di peta terlihat berwarna merah adalah di sekitar Kota Surabaya. Termasuk dalam kelompok ini adalah Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, dan Kota Batu. Beberapa dari area ini masuk ke dalam apa yang disebut sebagai kawasan metropolitan Gerbangkertosusila.

 

Peta Risiko Kenaikan Kasus Covid-19 di Pulau Jawa dengan tiga zona merah di barat, tengah, dan timur. (sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, diunduh pada 6 Agustus 2020)

 

Dari penampakan “Peta Risiko” dan daerah-daerah yang dikategorikan memiliki risiko tinggi (atau biasanya disebut zona merah) tersebut, terlihat satu pola: bahwa zona-zona merah itu berada di wilayah perkotaan, terutama dalam hal ini adalah daerah-daerah yang diproyeksikan untuk dipercepat pengembangannya “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19.”

Dengan demikian, pertanyaan yang pertama sekali layak diajukan, atau pertanyaan yang masuk akal, sebelum mencanangkan percepatan proses pembangunan, seharusnya adalah: relasi/koneksi internal seperti apa yang ada (dibentuk dan membentuk) antara kawasan metropolitan dengan Covid-19 sehingga area-area perkotaan itu menjadi zona merah?

Dalam sebuah esei bertajuk “Global urbanization created the conditions for the current coronavirus pandemic” di The Conversation beberapa geografer mengidentifikasi bagaimana proses urbanisasi yang kapitalistik berlangsung melalui momen urbanisasi yang diperluas (extended urbanization) dan konsentrasi spasial (concentrated urbanization) menjadi mekanisme yang mengendalikan hubungan manusia dengan non-manusia, yang dalam hal ini adalah SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.

Extended dan concentrated urbanization adalah dua gerak dialektis dalam proses urbanisasi. Dialektis berarti yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain. Urbanisasi yang diperluas muncul dalam berbagai bentuk seperti bagaimana proses produksi-pertukaran-distribusi-konsumsi di perkotaan ditarik hingga molor ke pedesaan untuk kepentingan pasokan bahan mentah dan buruh murah atau juga untuk memasarkan komoditas (barang jualan). Posisi kawasan pedesaan (atau non-kota secara lebih umum) yang tersubordinasi oleh kawasan perkotaan ini membuat pakar menyebut kawasan pedesaan sebagai bentang alam operasional (operational landscape) yang dipetakan, digambar, didisain ulang, dan diekstrak; menjadi operasional dan terkoneksi dengan kawasan perkotaan. SARS-CoV-2 menginvasi manusia sebab habitat awalnya terganggu karena diubah menjadi operational landscape. Extended urbanization juga dapat dilihat dalam bagaimana kota-kota di dunia sudah saling terhubung melalui proses mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur transportasi.

Sementara concentrated urbanization adalah suatu pola konsentrasi moda-produsksi dan buruh dalam satu area geografis untuk mempermudah ekstraksi surplus oleh kapital. Kota adalah manifestasi material dari concentrated urbanization.

Kalau kita mengikuti ide yang ada dalam tulisan di The Conversation itu, maka kedua momen dalam proses urbanisasi ini menyumbang terhadap persebaran Covid-19. Di satu sisi, extended urbanization menyebabkan koneksi yang kuat antara berbagai ontologi spasial melalui mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur transportasi. Koneksi/mobilitas ini menjadi media bagi SARS-CoV-2 untuk melebarkan cakupan pengaruhnya ke hampir semua area di Planet Bumi.

Sementara, di sisi lain, kepadatan penduduk di daerah perkotaan (concentrated urbanization) menyebabkan persebaran Covid-19 di perkotaan menjadi lebih mudah. Hal ini sederhana untuk dipahami; di kawasan perkotaan yang padat, ada manusia – inang SARS-CoV-2 – banyak.

Dalam kesempatan ini, tulisan ini ingin melengkapi perspektif yang sudah dibangun oleh tulisan di The Conversation itu tentang bagaimana extended dan concentrated urbanization menciptakan kondisi bagi persebaran Covid-19, dengan menambahkan satu gerak dinamis dalam urbanisasi tentang bagaimana proses urbanisasi memiliki dampak yang berbeda terhadap orang/daerah tertentu.

Orang kaya, atau juga kota-kota di negara kaya, dapat melakukan work from home (kerja dari rumah), lockdown (mengunci teritori kota), atau juga physical distancing (jaga jarak). Orang miskin ada yang tidak dapat melakukan work from home, karena kadang-kadang apa yang disebut “work” dan “home” saja tidak punya. Lockdown juga tidak dapat dilakukan di kota seperti Jakarta karena bermacam-macam hal, misalnya, keterdesakan warga untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Demikian juga dengan physical distancing. Ini susah dilakukan karena ada banyak tempat di kota macam Jakarta dimana orang hidup berdesakan dalam satu ruang yang terbatas. Jadi, lockdown dan semacamnya, demikian sebuah artikel membuatnya eksplisit, sama sekali tidak ada/bisa dilakukan di kota macam Jakarta.

Dalam sebuah kesempatan, pembelajar urbanisasi yang lain menyebutkan bahwa selain extended dan concentrated urbanization, ada satu momen lagi yang bekerja dalam proses urbanisasi, yaitu differential urbanization, yang berarti dampak proses urbanisasi yang berbeda terhadap orang/daerah yang berbeda. Pengaruh dari Covid-19 yang dialami oleh orang miskin dan orang kaya, kota di negara miskin dan di negara kaya, tidaklah sama. Dampaknya timpang. Dimensi ketimpangan ini yang tidak secara eksplisit disampaikan oleh tulisan di The Conversation melalui lensa teori urbanisasi.

Ketiga momen dalam proses urbanisasi inilah (extended, concentrated, dan differential) yang saya lihat sejauh ini mengendalikan gerak persebaran/urbanisasi Covid-19. Maka tak mengherankan apabila kawasan-kawasan konsentrasi spasial seperti tiga area yang termasuk ke dalam zona merah di Pulau Jawa seperti disebutkan di atas menjadi pusat persebaran Covid-19.

Kalau begitu adanya, mengapa BPIW masih mendorong percepatan perencanaan pembangunan sepuluh kawasan metropolitan? Bukankah itu sama saja dengan mempercepat penciptaan suatu kawasan yang rentan terhadap pandemi seperti Covid-19? Kondisi ini semakin parah, karena, selain di Indonesia persebaran Covid-19 masih terus berlangsung dan menunjukkan gejala yang tidak membaik dari sudut pandang manusia, kerusakan-kerusakan lingkungan telah memosisikan manusia dan pemukimannya semakin rentan terhadap pandemi di masa depan. Untuk membangun pemahaman mengapa percepatan pembangunan kawasan-kawasan metropolitan ini terjadi meskipun ia berisiko memproduksi kawasan yang rentan terhadap pandemi di masa depan, saya perlu menjelaskan relasi urbanisasi dan kapitalisme.

Urbanisasi Kapital

Dalam buku “Rebel Cities: From the Right to the City to the Urban Revolution” meskipun tidak rigid/ketat, David Harvey menganalisis inter-relasi antara urbanisasi dan kapitalisme. Tidak ketat maksud saya di sini, misalnya, tidak disertai dengan satu rumus/formula matematis, apalagi mengaplikasikannya dalam ekonometri. Urbanisasi dan kapitalisme, demikian Harvey, saling membutuhkan. Di satu sisi urbanisasi adalah proses dari mana surplus diekstrak. Di sisi lain, ekstraksi surplus yang berujung pada akumulasi kapital membutuhkan urbanisasi untuk menyerapnya.

Untuk sampai ke poin itu, Harvey melakukan kritik (atau melengkapi) sudut pandang Marx(ist). Yang dominan dalam sudut pandang Marx, terutama dalam Capital I, adalah proses eksploitasi nilai-lebih dari hasil kerja-lebih buruh di dalam pabrik oleh kapitalis. Buruh begitu sentral dalam teori kapitalisme di pabrik yang dibangun oleh Marx. Bagi saya, ini tidak aneh, karena Marx menulis dengan tujuan politis: melihat buruh se-dunia bersatu.

Proses eksploitasi nilai-lebih di dalam pabrik tidak merefleksikan proses ekstraksi surplus melalui urbanisasi. Demikian kalau kita ikuti pemikiran Harvey. Kata-kata kunci dalam urbanisasi misalnya, bukanlah buruh, tapi kredit, kota, properti, atau juga harga/sewa tanah. Tentu saja untuk membangun infrastruktur kota dan properti seperti apartemen dan mall, tenaga buruh tetap dibutuhkan. Itu selaras dengan narasi dominan dalam Capital I-nya Marx. Yang baru adalah sifat pabrik yang berbeda dengan bisnis properti.

Dalam pabrik, katakanlah pabrik sepatu, investasi kapital relatif cepat kembali, seiring dengan penjualan (realisasi) produk/komoditasnya dalam bentuk sepatu yang relatif cepat. Dalam bisnis properti, kapital memiliki waktu-kembali (turn-over time) yang relatif lama. Ini terjadi karena harga properti seperti perumahan yang mahal, dan biasanya konsumen mendapatkannya melalui mekanisme kredit dengan jangka waktu pembayaran pinjaman (tenor) yang relatif panjang sampai puluhan tahun.

Namun, meskipun turn-over time di sektor properti lama, kapitalis tetap berinvestasi di sana. Ini terjadi, menurut Harvey, karena adanya “kapital fiktif” (fictitious capital). Kapital fiktif kira-kira adalah kapital semu yang diciptakan agar roda investasi tetap berputar. Sebab, kapital bukanlah kapital kalau tidak mengalami penganakan (valorisasi); sebagai kapital, ia akan mati kalau tidak diinivestasikan – tidak diinjeksikan dalam satu sirkuit yang baru. Jadi, kapital yang terakumulasi di tangan kapitalis (yang sering muncul dengan ekspresi minoritas jumlah orang yang menguasai mayoritas kekayaan) harus tetap diputar/ diinvestasikan/ diinjeksikan agar kapital tidak mati. Di sinilah sektor properti melalui skema kapital fiktif semakin mendapatkan ruangnya.

Pengembangan kawasan-kawasan metropolitan dan segala infrastrukturnya dianggap sebagai suatu jalan untuk memulihkan krisis ekonomi. Ia adalah satu cara dimana kapital yang terakumulasi dapat diinvestasikan; dimana buruh dan non-buruh dimobilisasi; dan pada gilirannya, darimana surplus dapat (kembali) diekstrak. Karena itu, agar krisis ekonomi yang terjadi karena Covid-19 dapat ditanggulangi, kira-kira demikian jalan pikiran orang-orang di BPIW, pengembangan kawasan-kawasan metropolitan itu harus dipercepat.

Untuk mengawalinya, pemerintah atau pengembang dapat meminjam kepada lembaga-lembaga finansial. Lembaga-lembaga finansial memiliki banyak cara untuk mendapatkan/mengumpulkan kapital, misalnya, menyedot uang dari publik melalui berbagai skema investasi. Lembaga finansial juga mengucurkan kredit kepada konsumen, baik itu untuk membeli rumah/apartemen, atau mobil untuk menggunakan infrastruktur seperti jalan tol di atau sekitar kawasan metropolitan yang akan dibangun itu.

Jadi, meskipun konsumen tidak memiliki uang, kredit selalu ada. Ia adalah kapital-semu, karena pada dasarnya dalam perputaran ini, surplus terutama didapatkan bukan dari eksploitasi nilai-lebih dari buruh seperti di pabrik, tapi dengan cara yang lain seperti melalui bunga pinjaman, sewa, dan/atau laba. Sementara, makna kapital dalam definisi yang dibangun Marx (dalam Capital I) adalah melalui eksploitasi waktu kerja-lebih buruh yang oleh kapitalis diubah menjadi nilai-lebih. Jadi ini bukan kapital dalam pengertian klasik seperti itu, tapi dalam bentuk lain. Karena itu dia disebut kapital fiktif.

Kapital fiktif adalah fiksi-fiksi (pembelian rumah, mobil, apartemen, dan lain-lain oleh konsumen dengan menggunakan kredit) yang dibangun di atas fiksi (pembangunan rumah atau apartemen atau infrastruktur, pendeknya kawasan perkotaan, melalui dana yang didapatkan dari mekanisme kredit); meminjam frase Harvey: “fictions built upon fiction.”

Sama seperti urbanisasi Covid-19 yang telah mendominasi dunia, kapital juga sudah mengalami urbanisasi (urbanisasi kapital) dan mendominasi cara pandang dan kerja pemerintah dalam hal bagaimana seharusnya dunia ini diatur. Ia sudah menjadi kebijakan negara. Bahwa: “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19,” sepuluh kawasan metropolitan akan dipercepat pembangunannya. Seolah-olah ini adalah satu-satunya cara pandang dan kerja. Seolah-olah ini adalah kebenaran.

Dalam kasus di AS pada 1930-an, seperti yang dijelaskan oleh Harvey, motivasi valorisasi kapital berpilin dengan motivasi/keuntungan politik (Harvey: “to kill two birds with one stone”). Di satu sisi ia menyegarkan ekonomi kapitalistik. Di sisi lain ini adalah satu cara mengkooptasi para pekerja yang termakan kampanye kebudayan tentang betapa pentingnya kepemilikan rumah. Para pekerja yang memiliki utang banyak karena mengambil kredit rumah menjadi konservatif dalam sikap politik, mereka enggan/tidak berdemonstrasi terhadap pemerintah.

Hal yang kurang lebih sama, dengan konteks dan kasus yang berbeda, terjadi di Jabodetabek. Bahwa dalam inter-koneksi kapital-urbanisasi, menumpang satu proses yang menguntungkan kapital: peredaman perlawanan. Jadi, bagi kapitalis, dengan sekali tembak (pembangunan kota melalui proses urbanisasi), ia mendapatkan dua mangsa (ekstraksi surplus sekaligus meredam perlawanan).

Pemikiran logisnya dapat saya paparkan sebagai berikut. Tujuan bernegara adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Rumah atau keamanan bermukim, fasilitas publik (akses terhadap energi, air, transportasi, udara, dan lain-lain) yang baik adalah hak warga negara. Manakala hak-hak itu tidak terpenuhi, sementara di sisi lain ada kelompok yang terus melakukan akumulasi kapital, dan tak jarang dengan menambah risiko buat orang lain (misalnya: konversi ruang hijau kota untuk mall oleh pengusaha properti yang membuat orang miskin semakin rentan terhadap risiko banjir), maka ini adalah sebuah ketidakadilan. Kondisi yang tidak adil biasanya memunculkan perlawanan.

Namun perlawanan sistematis untuk perubahan radikal-revolusioner itu tidak muncul. Saya memahami susahnya kemunculan perlawanan yang membawa perubahan radikal ini dari ritme kehidupan sehari-hari orang di metropolitan macam Jakarta dan sekitarnya.

Bagi orang yang tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta, maka hidup adalah bangun pagi, mungkin jam 5, naik KRL, dan pulang malam (mungkin jam 9). Sampai di rumah, pikiran dan badannya sudah lelah. Hidup adalah untuk bekerja, dan bekerja adalah untuk hidup, menjadi sekrup kapitalisme. Nyaris tak ada ruang untuk memikirkan mengapa hidup seperti itu. Kota Jakarta yang banjir, macet dan penuh polusi, diterima apa adanya. Kalau bisa, dinikmati.

Tatanan sosio-spasial Jakarta dan sekitarnya yang seperti itu (yang macet dan menyita sebagian besar waktu orang untuk berangkat kerja dan bekerja, yang penuh polusi, yang menjadi langganan banjir, yang tanahnya ambles), saya identifikasi sebagai model ideal dari tatanan sosio-spasial produk kapitalisme. Bersarang/tinggal di model ideal sosio-spasial kapitalisme ini artinya adalah kurangnya waktu untuk berfikir lebih politis-reflektif karena hidup adalah pergi-pagi-pulang-malam atau juga tersedot untuk menghadapi bencana (macam banjir yang semakin ke sini semakin intens) dan isu kesehatan (karena udara yang kotor).

Berbeda dari Harvey yang analisisnya melahirkan suatu cara pandang yang optimis akan terjadinya sebuah revolusi perkotaan, apa yang saya sampaikan ini adalah suatu cara pandang yang pesimis. Tetapi setidaknya berguna bagi saya sendiri untuk menjelaskan mengapa kehidupan yang begitu keras di kota macam Jakarta dan sekitarnya sangat susah menghasilkan perlawanan yang radikal-revolusioner terhadap berbagai muka ketidakadilan (ekonomi, budaya/representasi, akses, ruang, risiko pembangunan) dari warganya. Bukan berarti saya mengabaikan atau menganggap tidak penting semua bentuk perlawanan yang sejauh ini telah, dan akan tetap, muncul di Jakarta dan sekitarnya. Namun fakta bahwa dari hari ke hari di mata saya Jakarta terlihat semakin memburuk (dalam hal banjir, amblesan tanah, polusi, macet, ketimpangan, pandemi), setidaknya berbicara sendiri bahwa perubahan ke arah yang lebih baik itu belumlah mewujud.

Perlawanan sistematis terhadap proses kehidupan perkotaan macam metropolitan Jakarta yang ekstraktif dan penuh ketidakadilan memang masih ada, namun rasanya ia lebih banyak membeku di dalam buku-buku, menghuni perpustakaan atau berkas-berkas PDF, atau kadang-kadang hidup di kepala beberapa orang yang memiliki waktu senggang untuk membaca.

Urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, sampai di titik ini, telah berpilin (dibentuk dan membentuk). Persebaran atau urbanisasi Covid-19 sampai mendunia dibentuk melalui tiga momen dalam proses urbanisasi yang kapitalistik (extended, concentrated, dan differential). Pada gilirannya, urbanisasi Covid-19 ikut membentuk urbanisasi kapital. Ini terlihat dari bagaimana “pemulihan ekonomi” dari krisis yang dibentuk oleh Covid-19, menjadi pembenar bagi percepatan pembangunan sepuluh kawasan metropolitan yang sudah pasti tidak bisa lepas dari tiga momen dalam proses urbanisasi kapitalistik.

Dengan cara pandang seperti yang dipaparkan sepanjang tulisan ini, maka dapatlah disebutkan bahwa keselamatan warga kalah penting dari “pemulihan ekonomi” bagi kelompok macam BPIW. Sudah tidak penting lagi meskipun model perkotaan metropolitan merefleksikan kerentanan terhadap Covid-19, dan dengan demikian, membangun sepuluh kawasan metropolitan baru “dalam rangka pemulihan ekonomi” kapitalistik, kalau jalan pemikiran yang dipaparkan dalam tulisan ini diikuti, sama saja artinya dengan menciptakan secara massal kawasan-kawasan yang rentan pandemi di masa depan. Toh, diset untuk hidup dalam kawasan-kawasan metropolitan dengan risiko besar diserang pandemi pun, orang mungkin merasa itu adalah sesuatu yang normal, dan seharusnya memang begitu, tidak perlu dilawan; atau kalau ada yang merasa bahwa itu perlu dilawan, ia tidak (mampu) mengorganisasikan perlawanan yang setidaknya sepadan dengan kekuatan yang mau dilawan, setidaknya sampai saat ini. /////////