[Call for Support] Komik KASEP

Kampung-Scale Waste Management Platform (KASEP) terpilih dalam Top 12 Indonesia di Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016. KASEP dikembangkan oleh tiga orang lulusan arsitektur yang menaruh perhatian pada isu kampung kota dan partisipasi. Konsep ini membutuhkan dukungan lebih lanjut dari bidang-bidang lain untuk pengembangannya. Ingin berkontribusi? Hubungi Kristo, Usie dan Siska via home[at]asf.or.id.

Suatu hari di Bandung

Asep, pemuda taktis dan kritis, menghuni kos-kosan di salah satu permukiman berkepadatan sedang bantaran Sungai Cikapundung Bandung. Ia mengamini bahwa segala tindakan ada penyebabnya. Seperti tindakan ibu-ibu yang membuang sampah langsung ke sungai. Melihat hal tersebut di depan matanya saat ia menunggu ikan lele yang mampir di kailnya, ia tidak langsung menghakimi dengan buta perilaku ibu-ibu tersebut. Kurang kesadaran lah, kebiasaan jorok lah, malas buang sampah ke tempat yang seharusnya lah, dan segala cap lainnya yang biasa terdengar tertempel pada masyarakat bantaran sungai.

Asep pun melakukan riset kecil-kecilan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan sistem persampahan yang diterapkan di lingkungannya. Bermodal wifi gratis di kampusnya, ia melakukan pencarian dari sumber-sumber sekunder dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan manajemen persampahan kota Bandung. Pencarian data primer pun tidak lupa dilakukan oleh Asep, baik itu wawancara dengan stakeholder lokal atau sekadar nongkrong di warung kopi. Fakta apa saja yang ia temukan?

Ternyata Asep tidak hanya mencoba menggali isu persampahan di lingkungannya. Ia memiliki ide untuk membuat sebuah aplikasi manajemen persampahan skala kampung yang  memungkinkan warganya untuk memetakan permasalahan manajemen sampah secara swadaya. Bagaimana cara kerja aplikasi tersebut?

Mari simak apa saja yang Asep temukan dan ide apa yang ia tawarkan dalam komik KASEP berikut.


Save

Rumah Contoh di Kampung Tongkol, Jakarta Utara

Pada pertengahan tahun 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pembersihan kawasan pinggir Sungai Ciliwung dalam rangka normalisasi. Kampung-kampung yang berjajar di pinggiran Kali Ciliwung pun tak terhindar dari penggusuran. Sekitar 300 rumah di Kampung Pinangsia dan lainnya dihancurkan, sisanya kehilangan muka rumah yang menghadap ke kali. Penggusuran pinggir kali menjadi momok bagi warga kampung lainnya. Mengantisipasi penggusuran, warga kampung Tongkol, Krapu, dan Lodan tidak putus harapan. Terletak diantara Sungai Anak Kali Ciliwung dan sisa-sisa benteng kolonial Belanda di utara Jakarta, tiga kampung tersebut percaya bahwa penggusuran bukanlah satu-satunya cara dalam pembangunan kota. Mereka mengorganisasi diri dan menunjukan alternatif lain yaitu perbaikan kampung (kampung upgrading).

Gambar 1. Rumah contoh yang telah selesai dibangun

Difasilitasi oleh Urban Poor Consortium (UPC), warga menerima pinjaman sebesar 160 juta Rupiah pada bulan November 2015. Pinjaman tersebut merupakan dana bergulir untuk kepentingan peningkatan kualitas lingkungan di pinggir kali, termasuk pembangunan lima unit Rumah Contoh. Warga yang tergabung sebagai Komunitas Anak Kali Ciliwung memulai perbaikan dengan memotong struktur bangunan di sepanjang Anak Kali Ciliwung selebar lima meter dari bibir sungai. Ruang lima meter tersebut akan digunakan sebagai jalan inspeksi sungai.

Rumah Contoh pertama di Kampung Tongkol dirancang tiga lantai untuk mentransformasi hunian horizontal milik tujuh keluarga menjadi hunian multi-keluarga vertical (co-housing). Tujuh keluarga ini saling berbagi ruang semi-privat, fasilitas air bersih, dan sanitasi di bawah satu atap. Keterbatasan ruang menjadi tantangan bagi mereka. Keterlibatan warga dalam proses perancangan sangat diperlukan. Warga ikut bernegosiasi terutama dalam pembagian luas dan perletakan ruang.

Pemilihan material Rumah Contoh jatuh kepada bahan bangunan lokal yang sangat mudah didapat, yaitu bata ringan berpori, kayu daur-ulang, dan bambu. Struktur utama menggunakan beton bertulang dengan bata ringan sebagai material dinding. Struktur rangka atap dan kanopi menggunakan bambu yang sudah diawetkan. Selain kemudahan dalam mendapatkannya, bambu merupakan material yang ringan dan kuat. Rangka atap tersebut tidak memberikan beban yang berat kepada dua lantai di bawahnya. Pengunaannya sebagai rangka atap masih terbilang baru di kalangan warga. Oleh karena itu, Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) memfasilitasi warga dalam pelatihan pengawetan bambu dan konstruksi bambu dengan sambungan mur-baut. Kegiatan pelatihan konstruksi merupakan salah satu media yang efektif dalam proses pertukaran pengetahuan diantara warga serta arsitek selaku fasilitator.

Gambar 2. Proses kostruksi selama workshop

Gambar 3. Warga mengecat rumah contoh

Pada Januari 2016, proses konstruksi selesai. Warga mengecat dinding rumah bersama-sama dan anak-anak turut menggambar lukisan dinding. Beberapa modifikasi pada railing bambu dan penopang kanopi dilakukan oleh warga, membuat bangunan menjadi sedikit berbeda dari rancangan awal. Hal tersebutlah yang membuat proses pembangunan partisipatif ini menjadi semakin menarik.

Proses pembenahan kampung hingga pembangunan Rumah Contoh merupakan bukti bahwa warga kampung informal bantaran dapat hidup serasi dengan sungai. Dan di Kampung Tongkol, mereka tetap menjaga reruntuhan tembok warisan kolonial. Sebuah solusi saling menguntungkan tercapai melalui proses perencanaan desain dan perbaikan kampung yang partisipatif. Tentunya, ini menjadi sebuah alternatif terhadap praktek penggusuran dan pemindahan ke rusunawa.

Tidak berhenti pada pembangunan rumah contoh, bersama relawan arsitektur Universitas Indonesia dan ASF-ID, warga meneruskan kegiatan melalui pelatihan merancang fasad, utilitas, dan pertanian kota (urban farming), pengelolaan sampah, pembuatan kompos, hingga pada hari Minggu, 26 Juni 2016 lalu menyelenggarakan tur wisata sejarah kota tua sebagai bagian dari rangkaian acara Kotatua Ruang Kita yang diselenggarakan bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur dan UNESCO.

Pembangunan Rumah Contoh sebagai permulaan proses perbaikan di Kampung Tongkol, Lodan, dan Krapu berikut rangkaian kegiatan-kegiatan positif setelah itu memberi bukti; bahwa keswadayaan masyarakat kampung kota dalam mengorganisasi diri dan mengubah kampung dan memperbaiki lingkungannya adalah sebuah potensi yang selama ini hanya dipandang sebelah mata.

 

***

Liputan media: