Kodrat Arsitek di Negeri Kepulauan

“Dari Sabang sampai Merauke. Berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia.” – Raden Soerarjo, 1961

Burung yang bertengger di jendela berkabar, jurusan arsitektur di Indonesia sedang kekurangan peminat. Satu dekade yang lalu, sebuah perguruan tinggi swasta di kota kembang menerima tidak kurang dari dua ratus mahasiswa. Kini lebih sulit mencapai angka tersebut. Tentu, ada banyak faktor yang memengaruhi penurunan angka penerimaan mahasiswa arsitektur. Sepertinya, profesi arsitek sedang tidak populer di mata masyarakat.

Dalam suatu kuliah di tahun 1975, John Habraken mengatakan di dunia ini hanya 7% dari lingkungan binaan tersangkut-paut peran arsitek.[1] Sisanya, bangunan-bangunan berdiri seperti adanya. Termasuk di dalamnya apa yang disebut arsitektur tanpa arsitek.[2] Tentu persentase tersebut tidak sama lagi saat ini, namun dapat disimpulkan arsitek adalah profesi yang sangat terbatas. Kalangan dosen pendidik pun sudah memahami sejak lama bahwa tidak semua sarjana arsitektur mesti atau kelak menjadi arsitek.  

kasteel batavia (penulis, Februari, 2016)

Mari kita bicara ekosistem profesi, misalnya terkait pembaruan regulasi dan undang-undang. Sejak 2017 arsitek adalah profesi yang diatur. Subyek hukum adalah seseorang dengan Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).[3] Pada 2021 pemerintah menetapkan bahwa setiap perencanaan pembangunan mensyaratkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).[4] Dengan kata lain setiap rancangan bangunan harus ditanda-tangani oleh arsitek, yakni pemegang STRA.

Tugas utama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) adalah membangun dan mengelola iklim profesi supaya sehat. Di dalamnya mencakup upaya memahami fakta demografis seperti tersebut di atas. Begitu besar kebutuhan arsitek di negeri kepulauan ini. Nalar awam mengatakan bahwa peluang ekonomi pada rumpun pekerjaan ini melimpah. Baik lewat proyek swasta maupun pemerintah. Sebagai profesional maupun okupasional. Tetapi, kita juga mendapati kesenjangan yang begitu lebar antara kodrat arsitek sebagai profesi terbatas dan produk perundangan yang bermuara kepada arsitektur semesta; pax architectura.

Masih tentang kodrat arsitek. Profesi ini dikenal sebagai profesi bagi late bloomers; arsitek yang paling mumpuni baru akan mendapatkan proyek dengan signifikansi tinggi setelah usia paruh baya. Benar adanya, seiring bertambahnya umur otak manusia semakin fleksibel. Sehingga mampu memproses input dan informasi, misalnya untuk suatu tugas perancangan yang kompleks. Maka istilah arsitek muda dipahami sebagai suatu hal lain. Umumnya, merujuk pada mereka yang mendesain hunian atau proyek komersial berskala kecil, dan tentunya bangunan sederhana, yang mengikuti tren terkini dalam seni bangunan, dan dalam ukuran-ukuran yang bersifat lokal.

Perkembangan pengetahuan dan teknologi telah meluaskan keragaman ruang dan cara kerja arsitek. Namun seringkali kita abai pada kesenjangan yang makin lebar. Apa yang harus dijalankan Ikatan Arsitek Indonesia agar setiap anggota sambung-menyambung menjadi satu yaitu arsitek Indonesia?

***

Kandidat ketua umum Ikatan Arsitek Indonesia 2024-2027 Ar. Ariko Andikabina, IAI berbincang-bincang mengenai organisasi, ekosistem, dan etika profesi, serta pendidikan arsitek bersama David Hutama dan Avianti Armand (3/10/2024).

[1] Habraken, J. (1975). The Limits Of Professionalism. AA School of Architecture: https://youtu.be/RCfxahx9_DY?si=PC0nypHZv0lqxenr.

[2] Rudofsky, B. (1964). Architecture without architects, an introduction to nonpedigreed architecture. New York,, Museum of Modern Art; distributed by Doubleday, Garden City.

[3] Undang Undang No 6 (2017). “Tentang Arsitek.”       

[4] Peraturan Pemerintah no.16 (2021). “Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.”

Pandemik – Perjalanan Kilas Balik dari 2050

Pandemik – Perjalanan Kilas Balik dari 2050
Oleh Fritjof Capra dan Hazel Henderson

Catatan: Penyebaran virus korona telah menyentuh peri kehidupan umat manusia sedunia. Akibatnya, segala sesuatu yang sebelumnya kita anggap lumrah kini terpikirkan. Berikut, terjemahan perspektif ilmu alam dari Fritjof Capra dan Hazel Henderson tentang kelindan kehidupan masa kini seputar ekonomi, energi, konsumsi, alam, dan kebiasaan lama yang selama ini menghambat penerapan ide-ide baru dan solusi radikal. Terima kasih yang tulus kepada para dokter dan paramedis yang berjuang di garis depan, serta kepada para petani-pekerja di garis belakang.  Semoga menjadi berkah inspirasi untuk zaman Pasca-Covid19. Salam sehat!

fraktal
Mandelbrot set, Wikipedia.org

Bayangkan, ini adalah tahun 2050 dan kita melihat kembali ke asal dan evolusi pandemi coronavirus selama tiga dekade terakhir. Mengekstrapolasi dari peristiwa terkini, kami menawarkan skenario berikut sebagai sebuah pandangan dari masa depan.

Ketika kita memasuki paruh kedua abad kedua puluh satu, kita akhirnya dapat memahami asal dan dampak coronavirus yang melanda dunia pada tahun 2020 dari perspektif sistem evolusioner. Hari ini, pada tahun 2050, melihat ke belakang dalam 40 tahun terakhir yang bergejolak di planet rumah kita, tampak jelas bahwa Bumi telah mengambil alih tugas mengajarkan keluarga manusia. Planet bumi mengajarkan kita keutamaan pemahaman tentang situasi secara keseluruhan sistem, yang diidentifikasi oleh beberapa pemikir berwawasan jauh hingga pertengahan abad ke-19. Kesadaran manusia yang semakin luas ini mengungkapkan bagaimana planet ini benar-benar berfungsi, biosfer kehidupannya secara sistemik didukung oleh aliran foton setiap hari dari bintang induk kita, Matahari.

Akhirnya, kesadaran yang berkembang ini mengatasi keterbatasan kognitif dan asumsi dan ideologi yang salah yang telah menciptakan krisis abad kedua puluh. Teori-teori palsu tentang perkembangan dan kemajuan manusia, diukur secara rabun dengan harga dan metrik berbasis uang, seperti Pendapatan Domestik Bruto (PDB), memuncak dengan meningkatnya kerugian sosial dan lingkungan: polusi udara, air, dan tanah; penghancuran keanekaragaman hayati; hilangnya manfaat ekosistem, semuanya diperburuk oleh pemanasan global, naiknya permukaan laut, dan gangguan iklim besar-besaran.

Kebijakan rabun jauh ini juga telah mendorong kerusakan sosial, ketimpangan, kemiskinan, penyakit mental dan fisik, kecanduan, hilangnya kepercayaan pada lembaga-lembaga – termasuk media, akademisi, dan sains itu sendiri – serta hilangnya solidaritas masyarakat. Mereka juga menyebabkan pandemi abad ke-21, SARS, MERS, AIDS, influenza, dan berbagai coronavirus yang muncul kembali pada tahun 2020.

Selama dekade terakhir abad ke-20, umat manusia telah melampaui daya dukung Bumi. Keluarga manusia telah tumbuh menjadi 7,6 miliar pada tahun 2020 dan melanjutkan obsesinya dengan pertumbuhan ekonomi, perusahaan, dan teknologi yang telah menyebabkan meningkatnya krisis eksistensial yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Dengan mendorong pertumbuhan berlebihan dengan bahan bakar fosil ini, manusia telah memanaskan atmosfer sedemikian rupa sehingga konsorsium ilmu iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IPCC, dalam catatan kiwari 2020 bahwa umat manusia hanya memiliki sepuluh tahun lagi untuk mengubah situasi krisis ini.

Sejauh tahun 2000, semua sarana sudah dekat: kami memiliki pengetahuan, dan telah merancang teknologi terbarukan yang efisien dan sistem ekonomi sirkuler, berdasarkan pada prinsip-prinsip ekologis alam. Pada tahun 2000, masyarakat patriarkal kehilangan kontrol atas populasi wanita mereka, karena kekuatan urbanisasi dan pendidikan. Perempuan sendiri mulai mengendalikan tubuh mereka, dan tingkat kesuburan mulai menurun bahkan sebelum pergantian abad ke-21. Pemberontakan yang meluas terhadap model globalisasi ekonomi sempit dari atas ke bawah dan elitnya yang didominasi laki-laki menyebabkan gangguan pada jalur pembangunan yang tidak berkelanjutan yang didorong oleh bahan bakar fosil, tenaga nuklir, militerisme, laba, keserakahan, dan kepemimpinan egosentris.

Anggaran militer yang telah memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan untuk pembangunan manusia, secara bertahap bergeser dari tank dan kapal perang menjadi perang informasi yang lebih murah dan kurang kejam. Pada awal abad ke-21, persaingan internasional untuk kekuasaan lebih berfokus pada propaganda sosial, teknologi persuasi, infiltrasi, dan kontrol internet global.

Pada tahun 2020, prioritas pandemi coronavirus dalam fasilitas medis bersaing dengan para korban di ruang gawat darurat, apakah mereka yang terluka oleh kekerasan senjata api atau pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa lainnya. Pada tahun 2019, gerakan anak-anak sekolah di seluruh AS bergabung dengan profesi medis dalam menentang kekerasan senjata sebagai krisis kesehatan masyarakat. Undang-undang senjata yang ketat secara bertahap mengikuti, bersama dengan penolakan produsen senjata api terhadap aset dana pensiun yang melumpuhkan lobi senjata dan, di banyak negara, senjata dibeli kembali oleh pemerintah dari pemilik senjata dan dihancurkan, seperti yang dilakukan Australia pada abad ke-20. Ini sangat mengurangi penjualan senjata global, bersama dengan hukum internasional yang membutuhkan lisensi dan asuransi tahunan yang mahal, sementara perpajakan global mengurangi perlombaan senjata yang sia-sia pada abad-abad sebelumnya. Konflik antar negara sekarang sebagian besar diatur oleh perjanjian internasional dan transparansi. Sekarang pada tahun 2050, konflik jarang melibatkan cara militer, beralih ke propaganda internet, pengawasan via gawai, dan perang cyber.

Pada tahun 2020, pemberontakan ini menunjukkan semua garis sesar dalam masyarakat manusia: dari rasisme dan ketidaktahuan, teori konspirasi, xenophobia dan pengkambing-hitaman “yang liyan” ke berbagai bias kognitif – determinisme teknologi, kebutaan yang disebabkan oleh teori, dan kesalah-pahaman fatal yang menyebar luas, yang bingung antara uang dengan kekayaan aktual. Uang, seperti yang kita semua ketahui hari ini, adalah penemuan yang berguna: semua mata uang hanyalah protokol sosial (token kepercayaan fisik atau virtual), yang beroperasi pada platform sosial dengan efek jaringan, harga mereka berfluktuasi sampai-sampai berbagai pengguna percaya dan menggunakannya. Namun, negara dan elit di seluruh dunia menjadi terpesona dengan uang dan dengan perjudian di “kasino keuangan global,” lebih jauh mendorong tujuh dosa mematikan atas nilai-nilai tradisional dari kerja sama, berbagi, saling membantu, dan Aturan Emas.

Para ilmuwan dan aktivis lingkungan telah memperingatkan konsekuensi mengerikan dari masyarakat yang tidak berkelanjutan ini dan sistem nilai retrogresif selama beberapa dekade, tetapi sampai pandemi 2020 para pemimpin perusahaan, politikus, dan elit lainnya, dengan keras kepala menentang peringatan ini. Sebelumnya tidak mampu memutus kecanduan mereka terhadap keuntungan finansial dan kekuasaan politik, rakyat mereka sendiri yang memaksa fokus kembali pada kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia dan komunitas kehidupan. Di setiap negara, industri-industri pemakai bahan bakar fosil atau minyak bumi berjuang untuk mempertahankan keringanan pajak dan subsidi mereka ketika harga gas dan minyak jatuh. Tetapi mereka tidak mampu membeli dukungan politik dan dukungan terhadap hak istimewa mereka. Diperlukan reaksi mendunia jutaan anak muda, “globalis akarrumput,” dan masyarakat adat, yang memahami proses sistemik planet kita Gaia – biosfer yang mengatur diri sendiri dan swa-organisasi yang selama miliaran tahun telah mengelola semua evolusi planet tanpa gangguan dari manusia yang mengalami gangguan kognitif.

Pada tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu, Gaia merespons dengan cara yang tidak terduga, seperti yang sering terjadi selama sejarah panjang evolusi. Manusia yang menebangi hutan hujan tropis yang luas dan intrusi masif ke ekosistem lain di seluruh dunia telah merajang ekosistem yang swa-atur ini dan merusak jaringan kehidupan. Salah satu dari banyak konsekuensi dari tindakan merusak ini adalah saat beberapa virus, yang hidup dalam simbiosis dengan spesies hewan tertentu, melompat dari spesies itu ke spesies lain dan ke manusia, di mana mereka sangat beracun atau mematikan. Orang-orang di banyak negara dan wilayah, yang terpinggirkan oleh sempitnya globalisasi ekonomi yang berorientasi pada keuntungan, mengobati rasa lapar mereka dengan mencari “daging buruan” di daerah-daerah liar yang baru terekspos ini, membunuh monyet, musang, trenggiling, tikus, dan kelelawar sebagai sumber protein tambahan. Spesies liar ini, yang membawa berbagai virus, juga dijual hidup di “pasar basah,” yang semakin mengekspos populasi perkotaan untuk virus baru ini.

Kembali pada 1960-an, misalnya, virus tidak dikenal melompat dari spesies monyet langka yang terbunuh sebagai “daging buruan” dan dimakan oleh manusia di Afrika Barat. Dari sana menyebar ke Amerika Serikat di mana ia diidentifikasi sebagai virus HIV dan menyebabkan epidemi AIDS. Lebih dari empat dekade, itu menyebabkan kematian sekitar 39 juta orang di seluruh dunia, sekitar setengah persen dari populasi dunia. Empat dekade kemudian, dampak dari coronavirus itu cepat dan dramatis. Pada tahun 2020, virus itu melonjak dari satu spesies kelelawar ke manusia di Cina, dan dari sana ia dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, menekan populasi dunia sekitar 50 juta hanya dalam satu dekade.

Dari sudut pandang tahun 2050 kita, kita dapat melihat kembali urutan virus: SARS, MERS, dan dampak global dari berbagai mutasi virus korona yang dimulai kembali pada tahun 2020. Akhirnya pandemi tersebut distabilkan, sebagian oleh larangan langsung, terkait “pasar basah” di seluruh China pada tahun 2020. Larangan tersebut menyebar ke negara-negara lain dan pasar global, memotong perdagangan hewan liar dan mengurangi vektor, bersama dengan sistem kesehatan masyarakat yang lebih baik, perawatan pencegahan, dan pengembangan vaksin dan obat-obatan yang efektif.

Pelajaran dasar bagi manusia dalam 50 tahun krisis tragis yang kita ciptakan sendiri – penderitaan pandemi, kota yang banjir, hutan yang terbakar, kekeringan dan bencana iklim yang semakin keras lainnya – sederhana, banyak berdasarkan penemuan Charles Darwin dan ahli biologi lainnya di abad kesembilan belas dan kedua puluh:

  • Kita manusia adalah satu spesies dengan sedikit variasi dalam DNA dasar kita.
  • Kami berevolusi dengan spesies lain di biosfer planet ini melalui seleksi alam, menanggapi perubahan dan tekanan di berbagai habitat dan lingkungan kami.
  • Kami adalah spesies global, yang bermigrasi keluar dari benua Afrika ke spesies lain, bersaing dengan spesies lain, menyebabkan berbagai kepunahan.
  • Kolonisasi dan kesuksesan planet kita, di Zaman Antroposen abad kedua puluh satu ini, sebagian besar disebabkan oleh kemampuan kita untuk mengikat, bekerja sama, berbagi, dan berkembang dalam populasi dan organisasi yang semakin besar.
  • Kemanusiaan tumbuh dari kelompok-kelompok peladang pindah yang tinggal di desa-desa pertanian yang menetap, ke kota-kota, dan kota-kota besar abad kedua puluh, tempat lebih dari 50% populasi kita hidup. Sampai krisis iklim dan pandemi di tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu kita, semua ramalan meramalkan bahwa kota-kota besar ini akan terus tumbuh dan bahwa populasi manusia akan mencapai 10 miliar pada hari ini, pada tahun 2050.

Sekarang kita tahu mengapa populasi manusia mencapai angka 7,6 miliar pada tahun 2030, seperti yang diharapkan dalam skenario IPCC yang paling penuh harapan, serta dalam survei perkotaan global oleh para ilmuwan sosial yang mendokumentasikan penurunan kesuburan, Empty Planet  (2019). “Globalis akarrumput” yang baru sadar, pasukan anak-anak sekolah, aktivis lingkungan global, dan perempuan yang berdaya bergabung dengan investor dan pengusaha hijau yang lebih etis di pasar lokal. Jutaan orang dilayani oleh koperasi microgrid, didukung oleh listrik yang terbarukan, menambah perusahaan-perusahaan koperasi dunia, yang bahkan pada tahun 2012 mempekerjakan lebih banyak orang di seluruh dunia yang dipersatukan oleh semua organisasi nirlaba. Mereka tidak lagi menggunakan metrik uang dari PDB yang palsu, tetapi pada 2015 beralih untuk mengarahkan masyarakat mereka dengan Sustainable Development Goals (SDG) dari PBB; tujuhbelas tujuan kelestarian serta pemulihan semua ekosistem dan kesehatan manusia.

Sasaran dan metrik sosial baru ini semuanya berfokus pada kerjasama, saling berbagi, dan bentuk-bentuk pembangunan manusia yang lebih kaya, menggunakan sumber daya terbarukan dan memaksimalkan efisiensi. Kelestarian jangka panjang ini, didistribusikan secara adil, menguntungkan semua anggota keluarga manusia dalam toleransi pada spesies lain di biosfer hidup kita. Persaingan dan kreativitas berkembang dengan ide-ide bagus mengabaikan yang kurang berguna, disertai dengan standar etika berbasis sains dan informasi mendalam dalam masyarakat mandiri yang semakin terhubung di semua tingkatan dari lokal ke global.

Ketika coronavirus menyerang pada tahun 2020, tanggapan manusia pada awalnya kacau dan tidak memadai, tetapi segera menjadi semakin koheren dan bahkan secara dramatis berbeda. Perdagangan global menyusut menjadi hanya mengangkut barang langka, peralihan ke perdagangan informasi. Alih-alih mengirimkan keik, kue, dan biskuit di seluruh planet ini, kami mengirim resep mereka, dan semua resep lain untuk membuat makanan dan minuman nabati; dan secara lokal kami memasang teknologi hijau: matahari, angin, sumber energi panas bumi, lampu LED, kendaraan listrik, kapal, dan bahkan pesawat terbang.

Cadangan bahan bakar fosil tetap aman di tanah, karena karbon dipandang sebagai sumber daya, terlalu berharga untuk dibakar. Kelebihan CO2 di atmosfer dari pembakaran bahan bakar fosil ditangkap oleh bakteri tanah organik, tanaman berakar dalam, miliaran pohon yang baru ditanam, dan dalam penyeimbangan kembali yang meluas dari sistem makanan manusia berdasarkan agribisnis industri agro-kimia, periklanan dan perdagangan global beberapa tanaman monokultur. Ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil, pestisida, pupuk, antibiotik dalam diet daging hewan, semuanya didasarkan pada air tawar yang semakin menipis di planet ini dan terbukti tidak berkelanjutan. Saat ini, pada tahun 2050, makanan global kami diproduksi secara lokal, termasuk lebih banyak lagi tanaman asli dan liar yang terlewatkan, pertanian air asin dan semua tanaman pangan pencinta garam (halofit) lainnya yang protein lengkapnya lebih sehat untuk diet manusia.

Turisme massal dan perjalanan secara umum menurun secara radikal bersama dengan lalu-lintas udara dan penyusutan penggunaan bahan bakar minyak bumi. Masyarakat di seluruh dunia stabil di pusat-pusat populasi berukuran kecil hingga menengah, yang menjadi sangat mandiri dengan produksi makanan dan energi secara lokal dan regional. Penggunaan bahan bakar minyak bumi benar-benar menghilang, seperti yang sudah terjadi pada tahun 2020, ia tidak dapat lagi bersaing dengan pengembangan sumber daya energi terbarukan yang cepat dan teknologi baru yang sesuai serta mendaur ulang semua sumber daya yang sebelumnya terbuang menjadi ekonomi sirkuler kita saat ini.

Karena bahaya infeksi, pertemuan massal, gerai keringat, toko waralaba besar, serta acara olahraga dan hiburan di arena besar secara bertahap menghilang. Politik demokrasi menjadi lebih rasional, karena para demagog tidak lagi dapat mengumpulkan ribuan orang dalam demonstrasi besar untuk mendengarkan mereka. Janji-janji kosong mereka juga dikekang di media sosial, karena monopoli yang menghasilkan keuntungan ini dipecah pada tahun 2025 dan sekarang pada tahun 2050 diatur sebagai utilitas publik yang melayani kepentingan publik di semua negara.

Pasar keuangan kasino global runtuh dan kegiatan ekonomi bergeser kembali dari sektor finansial ke serikat kredit dan bank rakyat di sektor koperasi kita saat ini. Perakitan barang dan ekonomi-berbasis-jasa kita menghidupkan kembali tradisi barter dan sektor sukarela informal, mata uang lokal, serta berbagai transaksi non-moneter yang telah berkembang selama puncak pandemi. Sebagai konsekuensi dari desentralisasi yang tersebar luas dan pertumbuhan komunitas mandiri, ekonomi kita saat ini di tahun 2050 telah menjadi regeneratif tidak lagi ekstraktif. Kesenjangan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan akibat model eksploitatif dan obsesi pada uang sebagian besar telah menghilang.

Pandemik tahun 2020, yang menghancurkan pasar global, akhirnya menjungkirbalikkan ideologi uang dan fundamentalisme pasar. Alat-alat bank sentral tidak lagi berfungsi, sehingga “uang helikopter” dan pembayaran tunai diberikan langsung ke keluarga yang membutuhkan, seperti yang dipelopori oleh Brasil, menjadi satu-satunya cara mempertahankan daya beli untuk memperlancar transisi ekonomi yang tertib ke masyarakat yang berkelanjutan. Ini menggeser politisi AS dan Eropa untuk menciptakan uang baru dan kebijakan stimulus ini menggantikan “pengetatan” dan dengan cepat diinvestasikan dalam semua infrastruktur sumber daya terbarukan dalam masing-masing rencana Green New Deal mereka.

Ketika coronavirus menyebar ke hewan domestik, ternak, dan ruminansia lainnya, domba dan kambing, beberapa hewan ini menjadi pembawa penyakit tanpa menunjukkan gejala apa pun. Akibatnya, pembantaian dan konsumsi hewan menurun drastis di seluruh dunia. Penggembalaan dan pemeliharaan ternak telah menambah hampir 15% dari gas rumah kaca global tahunan. Perusahaan besar multinasional yang memproduksi daging disalip oleh investor yang cerdas sebagai grup penerus “aset terlantar”, demikian juga perusahaan bahan bakar minyak bumi. Beberapa beralih sepenuhnya ke makanan nabati dengan banyak analog daging, ikan, dan keju. Daging sapi menjadi sangat mahal dan langka, dan sapi biasanya dimiliki oleh keluarga, seperti biasanya, di peternakan kecil untuk susu lokal, keju, dan daging, bersama dengan telur dari ayam mereka.

Setelah pandemi mereda dengan ongkos mahal, vaksin telah ditemukan, perjalanan luar negeri hanya diizinkan dengan syarat sertifikat vaksinasi saat ini, yang digunakan terutama oleh kaum pedagang dan orang kaya. Mayoritas populasi dunia sekarang lebih suka paguyuban, pertemuan online dan berkomunikasi, juga bepergian secara lokal dengan transportasi umum, mobil listrik, dengan perahu layar bertenaga surya yang kita semua nikmati hari ini. Sebagai akibatnya, polusi udara telah menurun secara dramatis di semua kota besar di seluruh dunia.

Dengan tumbuhnya komunitas mandiri, apa yang disebut “desa perkotaan” telah bermunculan di banyak kota – lingkungan yang dirancang ulang yang menampilkan struktur kepadatan tinggi dikombinasikan dengan ruang hijau yang cukup umum. Area-area ini memiliki penghematan energi yang signifikan dan lingkungan yang sehat, aman, dan berorientasi komunitas dengan tingkat polusi yang berkurang secara drastis.

Kota-kota ramah lingkungan saat ini termasuk makanan yang tumbuh di gedung-gedung tinggi dengan atap-atap surya, kebun sayur-sayuran, dan transportasi umum listrik, setelah mobil-mobil sebagian besar dilarang dari jalan-jalan kota pada tahun 2030. Jalan-jalan ini direklamasi oleh pejalan kaki, pesepeda, dan orang-orang dengan skuter listrik menyusuri gerai lokal yang lebih kecil, galeri kerajinan, dan pasar petani. Kendaraan listrik tenaga surya untuk penggunaan antar kota sering mengisi dan mengosongkan baterai mereka di malam hari untuk menyeimbangkan pemakaian listrik di rumah. Anjungan mandiri pengisian-ulang kendaraan bertenaga surya tersedia di semua wilayah, mengurangi penggunaan listrik berbasis fosil dari jaringan terpusat yang usang, banyak diantaranya bangkrut pada tahun 2030.

Setelah semua perubahan dramatis yang kita nikmati hari ini, kita menyadari bahwa hidup kita sekarang bebas stres, lebih sehat, menyenangkan, sehingga komunitas kita dapat merencanakan masa depan jangka panjang. Untuk memastikan kelestarian cara hidup baru ini, kami menyadari bahwa pemulihan ekosistem di seluruh dunia sangat penting. Sehingga virus yang berbahaya bagi manusia tetap berada pada spesies hewan lain di mana mereka tidak berbahaya. Untuk memulihkan ekosistem di seluruh dunia, pergeseran ke pertanian organik dan regeneratif tumbuh subur, bersama dengan makanan nabati, minuman, dan semua makanan yang tumbuh di air asin dan hidangan rumput laut yang kita nikmati. Miliaran pohon, yang kita tanam di seluruh dunia setelah tahun 2020, bersama dengan perbaikan pertanian secara bertahap memulihkan ekosistem.

Sebagai konsekuensi dari semua perubahan ini iklim global akhirnya stabil dengan konsentrasi CO2 hari ini di atmosfer kembali ke tingkat yang aman, 350 bagian per juta. Permukaan laut yang lebih tinggi akan tetap selama satu abad dan banyak kota sekarang berkembang di tempat yang lebih aman dan lebih tinggi. Bencana iklim sekarang jarang terjadi, sementara banyak peristiwa cuaca masih terus mengganggu kehidupan kita, seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Berbagai krisis global dan pandemi, karena ketidaktahuan kita sebelumnya tentang proses planet dan putaran umpan-balik, memberi konsekuensi tragis yang meluas bagi individu dan masyarakat. Namun, kita manusia telah belajar banyak dari pelajaran menyakitkan. Hari ini, melihat ke belakang dari tahun 2050, kita menyadari bahwa Bumi adalah guru kita yang paling bijaksana, dan pelajarannya yang mengerikan mungkin telah menyelamatkan umat manusia dan sebagian besar komunitas kehidupan planet dari kepunahan.

Tadulako: Arsitektur Tanpa Batas

Arsitektur Tanpa Batas
Arsitektur Tanpa Batas

Kuliah Tamu: Arsitektur Tanpa Batas
Andrea Fitrianto & Rakha’ P. Shonigiya

Rabu, 20 Pebruari 2019
Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Tadulako, Palu

Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) adalah organisasi non-profit bertujuan memberi wawasan sosial kepada para arsitek maupun mahasiswa, melalui wacana maupun aksi arsitektural.

Tsunami Relief Fund – Dana Pasca Tsunami

Architecture Sans Frontieres Indonesia is mobilizing a relief fund for the next one month (until 3 November 2018) for the disaster that struck Palu and Donggala in Central Sulawesi. Our hearts go to those affected and we wish for a considered and speedy recovery. We are once again reminded of how nature can, and will, be a force that the built environment has no choice but to respond to. The time is now to consider for an architecture that advances resiliency and sustainability.

ASFID - Tsunami 2018 En
ASFID – Tsunami 2018 En

ASFID - Tsunami 2018 Id

Tsunami 28 September 2018 in Palu and Donggala area, Central Sulawesi. 

Architecture Sans Frontieres Indonesia mobilise relief fund.

Bank Mandiri acc. 130-00-1465467-0

Arsitektur Swadaya dan Fasilitasi SWIFT: BMRIIDJA

contact: +62-857-2758-9273 (Hani) home@asf.or.id

#SavePalu #SaveDonggala #PrayforPalu #PrayforDonggala

——————————————–

Tsunami 28 September 2018 di Palu, Donggala dan sekitar, Sulawesi Tengah

Architecture Sans Frontieres Indonesia menggalang dana pemulihan

Bank Mandiri acc. 130-00-1465467-0

Arsitektur Swadaya dan Fasilitasi. SWIFT: BMRIIDJA

kontak: +62-857-2758-9273 (Hani) home@asf.or.id

#SavePalu #SaveDonggala #PrayforPalu #PrayforDonggala

——————————————–

Brief Note on The State of Informal Settlement in Yangon

Kyu kyaw—Burmese term for slum and informal settlements—have existed as far back as early 1980s, but their numbers have greatly increased due to the influx of refugees from the 2008 Cyclone Nargis that devastated much of the delta region in the south of Myanmar. Approximately 85,000 dead and millions were made homeless. With it, around 143,000 survivors moved northward to Yangon to resettle. Many of these people were originally farmers, fishermen and animal herders; the type of vocation that, in the dense urban context, lacks its equivalent for its rootedness in sprawling fertile land and water body.

Some communities, such as the Bo Aung Kyaw community (named after the street that runs through the settlement), did manage to find some land to continue to farm. Not for long, though, as these lands were privately acquired and turned into garment factories. Farms dwindled when some residents turn to industrialized skill—builders and factory workers—to survive, while others work as petty traders or remain unemployed. As both the settlement and the factories mushroomed, I sense a kind of symbiosis. The urban morphology has nominally embraced the factory as evident in the prevalent use of blue corrugated iron sheets and the spatial orientation where many of the houses face directly towards the factories. The presence of the settlement presents a continuous stream of activity, which in turns creates of sense of safety and security for the area. The small shops also offer affordable meals to the factory workers in a city where the daily minimum wage is 3,600 Kyat (approx. 2.5 USD). During major celebrations, factories partake in the festive mood by giving some money around. Is there a positive relationship? “Not with the bosses,” answered a community elder, alluding to their more positive reception towards the factory workers.

These issues in kyu kyaw reflect the broader condition of the city. I ran a workshop on such topic, where the 26 participants (comprised of community leaders, architecture students and practicing architects) identified the primary issues that present significant barriers to making a more livable city. These issues are lack of access to basic services (including electricity and clean water), flooding, eviction and land rights, waste management, traffic and transit, and an increase in population. After spending a couple of hours in further discussion, nearly all agreed that all six issues lead to one: land rights.

A house in Bo Aung Kyaw community
A house in Bo Aung Kyaw community.

The land ownership system in Myanmar is a familiar one. The problem is the perceived conflation between the types, particularly between state and government land. The former is all land in the country that lacks any formal title, which includes farms and fishing regions scattered throughout Myanmar, while the latter requires proof of ownership and is used to facilitate the functioning of the government. When they appear to be one and the same, the government—as an entity that wields actual power—is able to seize lands as they see fit.

A Performative Eviction
Of course, the poor occupies these vague territories both in the rural areas and the fringes of the city, which, evidently, have continued to be seized and converted into commercial and industrial purposes. As recounted by a community elder, when eviction happens “it tends to be massive,” and occurs in the interval of 5 to 10 years. What happens in between, however, is where things get interesting: in order to keep the façade of stability, some evictions must continue to happen. But carrying out an actual eviction is cumbersome, particularly in the face of mounting resistance and potential disorder. Equipped with knowing when the police will come to evict, residents dismantled their house and left the settlement for a few hours to ‘disappear,’ carrying with them just the basic necessity for the duration. Sometimes they will even hire people from neighbouring kyu kyaw to help dismantle. The police will come and occupy the settlement for a few hours, then leave. I inquired about what happened to the area. “We came home and rebuilt the settlement on the same site,” answered an elder.

In recent years the government has stopped sending in the police and instead used a warning letter to inform about impending eviction. “But,” Keh Zer, a community organiser, quickly noted, “they always do this during rainy season, in which residents will plead that it is difficult to move now, and that they will do so immediately during the dry season.” Which, of course, never materialized. It will remain unresolved, that is, until the next rainy season where the same story repeats.

So is it really a performance of some sort, notwithstanding the unsolved issue of land tenure and lingering threat of eviction, that both the government and the residents must partake in? “Not when the government really needs the land. At that time, the real eviction will take place.”

Recently, in 2017 the federal government has finally recognized the existence of kyu kyaw and their residents. In addition to a personal national identity card, a kyu kyaw resident card is issued to each family that includes information such as the name of the head of the family and the location of their house. Just like the national ID card, there is no immediate benefit in having one for there is no provision of any kind of social security such as free healthcare. If anything, it may help in reducing the black market for the borrowing of ID card to apply for jobs, which can run as high as 10,000 Kyat per job application.

What it certainly does, however, presents a real quantification—a number—of the identity of these kyu kyaw residents. My curiosity is affixed to the experience of many other developing cities: the political class will do anything during election times for the sizable voting block of the urban poor. When asked about this, Marry, a community civil engineer, underscores that Myanmar is in the process of gaining greater political and governmental transparency since the election in 2015 where the country saw a democratic shift that propelled its opposition leader, Aung San Su Kyi, into power. Her explanation of the shift from the authoritarian system into a democratic one gave me the impression that it suggests the surfacing volatility of democracy: the emergence of a new voting block to be seduced and manipulated. Perhaps it is just cynicism on my part.

Housing Block

One of the biggest evidences of the struggle in reforming the field of housing. Steven, a professional affiliated to Médecins Sans Frontières, indicated that the government has to build approximately 100,000 new housing units each year to cover the existing demand, a stress that Cyclone Nargis has further contributed to. I visited a series of ‘low-cost’ housing in Shwe Lim Pahn area where there were at least eight four-storey apartments, each with 24 units, that seemed to be completely empty. These apartments are built on government land by private contractors under the auspice of the housing agency. During our visit, a West-facing show unit was presented to us by a lady who also happens to live in it. It was a bare unit measuring 6 x 9m with 1.2 x 2m bathroom inside. I must admit, the combination of the emptiness and a generous afternoon light makes for a spacious room. I inquired whether anyone has lived in any of these blocks since they were completed a few years ago. “None,” she replied, and revealed that these units never reached its intended target, the low income, and have instead been purchased by the wealthier residents of Yangon upon its release in the market.

Though at the design level, in Yangon the slab housing typology is as tried and tested as they come: one can easily see the numerous four to six storey apartments (as they are called when it uses no lift, and ‘condominium’ when there is) that fill the city housing stock. The wide variety of the façade treatment suggests that these blocks have been well settled in and have perhaps gone through some renovation. Most that I saw were located in and near the city centres and have a strong access to various centres of activity and public transit. I couldn’t find the data on the type of tenure these apartment residents have due to my limited time in the city, but I’d be curious as to the level of tenure security it provides.

'Low Cost' housing in Shwe Lim Pahn.
‘Low Cost’ housing in Shwe Lim Pahn.

Apartments in the city centre, Yangon
Apartments in the city centre, Yangon.

I saw no kyu kyaw in these city centres—or perhaps they take a different form? Nevertheless, houses in city fringe kyu kyaw are small, measuring roughly 4 x 6m, inclusive of a bedroom, storage, a kitchen, and a living room. Toilets are shared with other house. For some residents, they extend their unit further back into whatever land available. Nearly all of them are built rather shoddily, with most covered in thatched palm leaves and a few use the blue iron sheets for their roof. However, some self-upgrading seem to have happened in at least two occasions. The first is the making of a ditch to mitigate flooding caused by heavy rainfall. The second is a beautiful façade renovation that keeps the kyu kyaw looking clean and tidy, that, as I was told, was inspired after seeing a renovated kampung in Jakarta. The façade is a series of split bamboos fence 1.6m high that runs nearly uninterrupted, saves for house entrances, for 20 houses. These two self-upgrades were collectively financed.

Viability of Further Upgrading

I was invited to Yangon to gain an understanding of how informal settlements in the city operate and to share some lessons learned from an upgrading that I took a part in in a kampung in Jakarta. While the idea is to further the discussion and to stimulate some actions, at this stage I could only help investigate in which way community groups and outside groups, such as architects, could work together to come up with a resolution to the fragile tenure that the kyu kyaw are currently in. Some physical truths may need to be accepted: a kyu kyaw sit on a garbage filled water body while another sit on gas pipeline. The desire to do something was visible, but we all soon realised that if there is one thing to be learned from successful bottom-up upgrading is that you can’t do it alone and you must work together not only for the sharing of resources and skills, but for a shared vision as well.

“There are many things that we haven’t thought about,” said Keh Zer, who looks weary but remain spirited after showing us the city, “but I’m glad that there is a possibility to continue.”


I thank BEDAR and Leaders and Organizers of Community Organizations in Asia (LOCOA) for inviting Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID) to Yangon to run a workshop and present our work. ASF-ID is represented by myself and Khusnul Hanifati. I also would like to thank Wardah Hafidz and Gugun Muhammad for their recommendation of us. This note is a result of an intense 3-days trip in Yangon where ASF-ID, in conjunction with BEDAR, ran a full day workshop to identify where architects and community organisers could connect. We also visited two kyu kyaws for a public conversation with some local residents.