“Dari Sabang sampai Merauke. Berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung
menjadi satu. Itulah Indonesia.” – Raden Soerarjo, 1961
Burung yang bertengger di jendela
berkabar, jurusan arsitektur di Indonesia sedang kekurangan peminat. Satu
dekade yang lalu, sebuah perguruan tinggi swasta di kota kembang menerima tidak
kurang dari dua ratus mahasiswa. Kini lebih sulit mencapai angka tersebut.
Tentu, ada banyak faktor yang memengaruhi penurunan angka penerimaan mahasiswa
arsitektur. Sepertinya, profesi arsitek sedang tidak populer di mata masyarakat.
Dalam suatu kuliah di tahun 1975,
John Habraken mengatakan di dunia ini hanya 7% dari lingkungan binaan
tersangkut-paut peran arsitek.[1]
Sisanya, bangunan-bangunan berdiri seperti adanya. Termasuk di dalamnya apa yang
disebut arsitektur tanpa arsitek.[2]
Tentu persentase tersebut tidak sama lagi saat ini, namun dapat disimpulkan
arsitek adalah profesi yang sangat terbatas. Kalangan dosen pendidik pun sudah
memahami sejak lama bahwa tidak semua sarjana arsitektur mesti atau kelak menjadi
arsitek.
Mari kita bicara ekosistem
profesi, misalnya terkait pembaruan regulasi dan undang-undang. Sejak 2017
arsitek adalah profesi yang diatur. Subyek hukum adalah seseorang dengan Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).[3]
Pada 2021 pemerintah menetapkan bahwa setiap perencanaan pembangunan
mensyaratkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).[4]
Dengan kata lain setiap rancangan bangunan harus ditanda-tangani oleh arsitek, yakni
pemegang STRA.
Tugas utama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) adalah membangun dan mengelola iklim profesi supaya sehat. Di dalamnya mencakup upaya memahami fakta demografis seperti tersebut di atas. Begitu besar kebutuhan arsitek di negeri kepulauan ini. Nalar awam mengatakan bahwa peluang ekonomi pada rumpun pekerjaan ini melimpah. Baik lewat proyek swasta maupun pemerintah. Sebagai profesional maupun okupasional. Tetapi, kita juga mendapati kesenjangan yang begitu lebar antara kodratarsitek sebagai profesi terbatas dan produk perundangan yang bermuara kepada arsitektur semesta; pax architectura.
Masih tentang kodrat arsitek. Profesi ini dikenal
sebagai profesi bagi late bloomers; arsitek
yang paling mumpuni baru akan mendapatkan proyek dengan signifikansi tinggi setelah
usia paruh baya. Benar adanya, seiring bertambahnya umur otak manusia semakin
fleksibel. Sehingga mampu memproses input dan informasi, misalnya untuk suatu
tugas perancangan yang kompleks. Maka istilah arsitek muda dipahami sebagai suatu hal lain. Umumnya, merujuk pada
mereka yang mendesain hunian atau proyek komersial berskala kecil, dan tentunya
bangunan sederhana, yang mengikuti tren terkini dalam seni bangunan, dan dalam
ukuran-ukuran yang bersifat lokal.
Perkembangan pengetahuan dan teknologi telah meluaskan keragaman ruang dan cara kerja arsitek. Namun seringkali kita abai pada kesenjangan yang makin lebar. Apa yang harus dijalankan Ikatan Arsitek Indonesia agar setiap anggota sambung-menyambung menjadi satu yaitu arsitek Indonesia?
***
[1] Habraken, J. (1975). The Limits Of Professionalism. AA School of
Architecture: https://youtu.be/RCfxahx9_DY?si=PC0nypHZv0lqxenr.
[2] Rudofsky, B. (1964). Architecture without architects, an introduction
to nonpedigreed architecture. New York,, Museum of Modern Art; distributed
by Doubleday, Garden City.
in memoriam Fredric Jameson (14 April 1934 – 22 September 2024)
Oleh Slavoj Žižek
Fredric Jameson bukan sekadar mahaguru, jenius pamungkas
dalam pemikiran kontemporer. Ia adalah penganut sejati Marxisme Barat, yang tidak
takut menjangkau kubu lawan yang mendefinisikan ruang ideologis kita – seorang
“Eurosentris” yang karyanya bergaung keras di Jepang dan Tiongkok, seorang
Komunis yang mencintai Hollywood, terutama Hitchcock, dan novel-novel detektif,
terutama Chandler, pecinta musik yang tenggelam dalam Wagner, Bruckner, dan
musik pop… Sama sekali tidak ada jejak Cancel
Culture dari moralisme palsu dan kolot dalam karya pun hidupnya – orang boleh
berargumen bahwa ia adalah tokoh terakhir Renaisans.
Apa yang diperjuangkan Jameson sepanjang hidupnya yang panjang
adalah kurangnya apa yang ia sebut “pemetaan kognitif,” ketidak-mampuan untuk
menempatkan pengalaman kita ke dalam makna yang menyeluruh. Naluri yang
mengarahkannya dalam pertarungan ini selalu benar – misalnya, sebuah tikaman cantik
pada penolakan ngetren cultural studies
terhadap “logika biner,” Jameson menyerukan “perayaan besar tentang
oposisi biner” – baginya, penolakan terhadap biner seksual berjalan
seiring dengan penolakan terhadap biner kelas… Masih dalam syok yang
mendalam, saya hanya dapat memberikan sebuah pengamatan sepintas yang menggambarkan
selera yang pas tentang orientasinya.
Kini, kaum Marxist
pada umumnya menolak segala bentuk imediasi sebagai suatu fetish yang mengaburkan mediasi sosialnya. Namun, dalam maha-karyanya
tentang Adorno, Jameson menerapkan bagaimana analisis dialektis mencakup titik
penangguhannya sendiri: di tengah analisis mediasi yang kompleks, Adorno
tiba-tiba membuat gestur vulgar “reduksionisme,” menyela aliran halus
dialektis dengan poin sederhana seperti “pada akhirnya ini tentang
perjuangan kelas.” Beginilah cara perjuangan kelas berfungsi dalam
totalitas sosial: bukan “dasar yang lebih dalam” atau prinsip
penataannya yang mendalam yang memediasi semua momennya, namun sesuatu yang sangat
lebih superfisial, titik kegagalan analisis kompleks yang tak berujung, sebuah
isyarat untuk melompat menuju sebuah kesimpulan, ketika dalam tindakan putus
asa, kita mengangkat tangan dan berkata: “Namun bagaimanapun, ini semua
tentang perjuangan kelas!” Yang harus diingat di sini adalah bahwa
kegagalan analisis ini imanen pada realitas itu sendiri: demikian cara
masyarakat sendiri mentotalkan dirinya sendiri melalui antagonisme
konstitutifnya. Dengan kata lain, perjuangan kelas ADALAH pseudo-totalisasi gegas
ketika totalisasi yang sebenarnya gagal, demikian upaya despret untuk
menggunakan antagonisme itu sendiri sebagai prinsip totalisasi.
Yang juga ngetren pada kaum Kiri saat ini untuk menolak
teori konspirasi sebagai solusi simpel palsu. Namun, beberapa tahun yang lalu
Jameson dengan jelas mencatat bahwa dalam kapitalisme global kini, terjadi
hal-hal yang tak dapat dijelaskan dengan merujuk pada sebentuk “logika
kapital” anonim – misalnya, kini kita tahu bahwa krisis finansial tahun
2008 adalah hasil dari “konspirasi” yang direncanakan dengan baik
oleh sejumlah sirkel keuangan. Tugas sejati analisis sosial adalah menjelaskan
bagaimana kapitalisme kontemporer membuka ruang untuk intervensi
“konspirasional” seperti itu.
Wawasan Jameson lainnya yang bertentangan dengan tren
pascakolonial yang dominan saat ini menyangkut penolakannya terhadap gagasan
“modernitas alternatif,” yaitu klaim bahwa modernitas
liberal-kapitalis Barat hanyalah salah satu jalan menuju modernisasi, dan bahwa
jalan lain mungkin terbuka untuk menghindari kebuntuan dan antagonisme
modernitas: begitu kita menyadari bahwa “modernitas” pada akhirnya
adalah kata sandi untuk kapitalisme, mudah untuk dilihat bahwa relativisasi historisist terhadap modernitas tersebut
disokong oleh mimpi ideologis tentang kapitalisme yang akan menghindari antagonisme
konstitutifnya:
“Lalu, bagaimana para ideolog ‘modernitas’ dalam
pengertiannya kini dapat membedakan produk mereka—revolusi informasi, dan
modernitas pasar bebas global—dari jenis lama yang menjijikkan, tanpa melibatkan
diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan politik, ekonomi, dan sistemik yang
serius yang oleh konsep posmodernitas tak terhindarkan? Jawabannya sederhana: kamu
berbicara tentang modernitas “bergilir(alternate)”
atau modernitas “alternatif.” Semua orang kini sudah tahu formulanya:
artinya bisa jadi ada modernitas untuk semua orang, yang berbeda dari model
Anglo-Saxon yang standar atau hegemonik. Apa pun yang tidak kamu sukai dari
yang terakhir, termasuk posisi subaltern yang kamu alami, dapat dihapuskan oleh
gagasan yang meyakinkan dan gagasan “kultural” bahwa kamu dapat membentuk
modernitasmu sendiri secara berbeda, sehingga bisa ada jenis Amerika Latin,
atau jenis Afrika atau jenis Indonesia, dan seterusnya… Namun ini mengabaikan
makna mendasar lain dari modernitas yaitu kapitalisme sedunia itu sendiri.”
Signifikansi kritik ini jauh melampaui kasus modernitas—kritik
ini terkait keterbatasan fundamental historisisasi nominalis. Jalan lain menuju
multitud (“tak ada satupun modernitas dengan esensi ajeg, ada banyak
modernitas, yang masing-masing tidak dapat direduksi menjadi modernitas lain”)
adalah salah bukan karena kritik ini tidak mengakui “esensi” modernitas yang
unik dan tetap, tetapi karena multiplikasi berfungsi sebagai penyangkalan
terhadap antagonisme yang inheren dalam gagasan modernitas itu sendiri: falsitas
multiplikasi terletak pada fakta bahwa kritik ini membebaskan gagasan universal
modernitas dari antagonismenya, dari cara ia tertanam dalam sistem kapitalis,
dengan mendelegasikan aspek ini hanya kepada salah satu subspesies historisnya.
Kita tidak boleh lupa bahwa paruh pertama abad kedua puluh telah ditandai oleh
dua proyek besar yang sangat sesuai dengan gagasan “modernitas alternatif” ini:
Fasisme dan Komunisme. Bukankah ide dasar Fasisme adalah tentang modernitas
yang menyediakan alternatif bagi liberal-kapitalis Anglo-Saxon standar, menyelamatkan
inti modernitas kapitalis dengan membuang distorsi “kontingen” Yahudi-individualis-pencatut?
Dan bukankah industrialisasi pesat Uni Soviet pada akhir tahun 1920-an dan
1930-an juga bukan merupakan upaya modernisasi yang berbeda dari modernisasi kapitalis-Barat?
Apa yang dihindari Jameson seperti vampir menghindari bawang
putih adalah gagasan tentang kesatuan yang lebih dalam yang dipaksakan dari
berbagai bentuk protes. Pada awal 1980-an, ia memberikan penjelasan halus
tentang kebuntuan dialog antara Kaum Kiri Baru Barat dan para disiden Eropa
Timur, tentang tidak adanya bahasa yang sama di antara mereka:
“Singkatnya, Timur ingin berbicara dalam konteks kekuasaan dan penindasan;
Barat dalam konteks kultur dan komodifikasi. Sebenarnya tidak ada persamaan
dalam perjuangan awal ini untuk aturan-aturan diskursif, dan yang kita dapatkan
adalah komedi yang tak terelakkan dari masing-masing pihak yang menggumamkan
jawaban yang tidak relevan dalam bahasa favoritnya sendiri.”
Lewat cara yang serupa, penulis detektif Swedia Henning
Mankell adalah seniman unik dari sudut pandang paralaks. Artinya, kedua
perspektif – perspektif Ystad yang makmur di Swedia dan perspektif Maputo di
Mozambik – tidak dapat disangkal lagi »tidak sinkron,« sehingga tidak ada
bahasa netral yang memungkinkan kita menerjemahkan yang satu ke yang lain,
apalagi untuk menempatkan yang satu sebagai »kebenaran« dari yang lain. Yang
dapat dilakukan seseorang dalam kondisi saat ini adalah tetap setia pada keterpisahan
ini, untuk merekam itu. Setiap fokus eksklusif pada topik Dunia Pertama tentang
alienasi dan komodifikasi kapitalis (mut)akhir, krisis ekologi, rasisme dan
intoleransi baru, dll., mutlak tampak sinis berhadapan wajah kemiskinan,
kelaparan, dan kekerasan di Dunia Ketiga; di sisi lain, upaya untuk mengabaikan
masalah Dunia Pertama sebagai hal sepele dibandingkan dengan bencana permanen
Dunia Ketiga yang »nyata« juga palsu – berfokus pada »masalah nyata« Dunia
Ketiga adalah bentuk pelarian utama, menghindari konfrontasi dengan antagonisme
masyarakat sendiri. Kesenjangan yang memisahkan kedua perspektif ADALAH
kebenaran tentang situasi ini.
Seperti setiap Marxist yang baik, Jameson dalam analisisnya
tentang seni adalah seorang formalis yang keras – ia pernah menulis tentang
Hemingway bahwa gayanya yang ringkas (kalimat pendek, hampir tidak ada kata
keterangan, dll.) tidak di sini untuk mewakili jenis subyektivitas (naratif)
tertentu (individu sinis yang keras kepala); Sebaliknya, konten naratif
Hemingway (cerita tentang pribadi-pribadi yang keras getir) diciptakan agar
Hemingway mampu menulis jenis kalimat tertentu (yang merupakan tujuan
utamanya). Dalam baris yang sama, dalam esainya yang seminal »On Raymond Chandler,« Jameson
menggambarkan prosedur Chandler yang khas: penulis menggunakan formula cerita
detektif (investigasi detektif yang membawanya ke dalam kontak dengan semua
lapisan kehidupan) sebagai bingkai yang memungkinkannya untuk mengisi tekstur
konkret dengan kilasan sosial dan psikologis, potret-karakter plastis dan
wawasan kepada tragedi kehidupan. Paradoks dialektis yang tepat yang tidak
boleh diabaikan di sini adalah bahwa akan salah untuk mengatakan: »Jadi mengapa
penulis tidak melepaskan bentuk ini dan memberi kita seni murni?« Komplen ini
menjadi korban dari semacam ilusi perspektif: ia mengabaikan bahwa, jika kita
melepaskan bingkai formulaik, kita akan kehilangan konten »artistik« yang
tampaknya terdistorsi oleh bingkai ini.
Capaian unik Jameson selanjutnya adalah pembacaannya tentang Marx melalui Lacan: antagonisme sosial tampak baginya sebagai yang Real dari sebuah masyarakat. Saya masih ingat syok, saat di sebuah konferensi tentang Lenin yang saya selenggarakan di Essen pada tahun 2001, Jameson mengejutkan kita semua dengan menghadirkan Lacan sebagai pembaca mimpi Trotsky. Pada malam tanggal 25 Juni 1935, Trotsky di pengasingan bermimpi tentang Lenin yang sudah meninggal dengan kekuatiran bertanya tentang penyakitnya: “Saya menjawab bahwa saya sudah banyak berkonsultasi dan mulai bercerita kepadanya tentang perjalanan saya ke Berlin; tetapi melihat Lenin saya ingat bahwa dia sudah meninggal. Saya segera mencoba mengusir pikiran ini, untuk menyelesaikan percakapan. Ketika saya selesai bercerita kepadanya tentang perjalanan terapi saya ke Berlin pada tahun 1926, saya ingin menambahkan, ‘Ini setelah kematianmu’; tetapi saya menahan diri dan berkata, ‘Setelah kamu jatuh sakit…’”
Dalam penafsirannya terhadap mimpi ini, Lacan berfokus pada hubungan yang jelas dengan mimpi Freud di mana ayahnya muncul di hadapannya, seorang ayah yang tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Jadi apa artinya Lenin tidak tahu bahwa dia sudah meninggal? Menurut Jameson, secara radikal ada dua cara yang berlawanan untuk membaca mimpi Trotsky. Menurut pembacaan pertama, sosok Lenin yang tidak mati yang sangat menggelikan “tidak tahu bahwa eksperimen sosial besar yang dia hantarkan sendiri (dan yang kita sebut komunisme soviet) telah berakhir. Ia tetap penuh energi, meskipun telah meninggal, dan cercaan yang dilontarkan kepadanya oleh mereka yang masih hidup – bahwa ia adalah pencetus teror Stalinis, bahwa ia adalah pribadi yang agresif dan penuh kebencian, seorang otoriter yang mencintai kekuasaan dan totalitarianisme, bahkan (yang terburuk dari semuanya) penemu kembali pasar dalam NEP(Kebijakan Ekonomi Baru)-nya – tidak satu pun dari hinaan tersebut berhasil kasih sekali mati atau bahkan kematian kedua, kepadanya. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin, ia masih berpikir bahwa ia masih hidup? Dan apa posisi kita di sini – yang pasti akan menjadi posisi Trotsky dalam mimpi itu – apa non-pengetahuan kita, kematian dari apa yang Lenin halangi dari kita?” Namun ada pengertian lain di mana Lenin masih hidup: ia hidup sejauh ia mewujudkan apa yang Badiou sebut sebagai “Ide abadi” tentang emansipasi universal, perjuangan abadi untuk keadilan yang tidak dapat dibunuh oleh hinaan dan katastrofi apa pun.
Seperti saya, Jameson adalah seorang Komunis yang teguh –
namun, ia juga setuju dengan Lacan yang mengklaim bahwa keadilan dan kesetaraan
didasarkan pada rasa iri: rasa iri terhadap orang lain yang memiliki apa yang
tidak kita miliki, dan yang menikmatinya. Mengikuti Lacan, Jameson sepenuhnya
menolak pandangan optimis yang dominan yang menyatakan bahwa dalam Komunisme
rasa iri akan ditinggalkan sebagai sisa kompetisi kapitalis, yang akan
digantikan oleh kolaborasi solidaritas dan kenikmatan dari kenikmatan orang
lain; menepis mitos ini, ia menekankan bahwa dalam Komunisme, justru sejauh
masyarakatnya akan lebih adil, rasa iri dan kebencian akan meledak. Solusi
Jameson di sini radikal hingga ke titik kegilaan: satu-satunya cara agar
Komunisme dapat bertahan hidup adalah suatu bentuk layanan sosial psikoanalitik
universal yang memungkinkan individu untuk menghindari perangkap rasa iri yang
merusak diri sendiri.
Indikasi lain tentang bagaimana Jameson memahami Komunisme adalah bahwa ia membaca cerita Kafka tentang Josefin si tikus bernyanyi sebagai utopia sosial-politik, sebagai visi Kafka tentang masyarakat Komunis yang sangat egaliter – dengan satu-satunya pengecualian bahwa Kafka, yang bagi manusia selalu ditandai oleh rasa bersalah superego, mampu membayangkan masyarakat utopis hanya di antara hewan. Seseorang harus menahan godaan untuk memproyeksikan segala jenis tragedi pada akhir menghilangnya dan kematian Josefin: teks tersebut memperjelas bahwa setelah kematiannya Josefin “dengan senang hati akan kehilangan dirinya di antara kerumunan pahlawan rakyat kita yang tak terhitung jumlahnya” (penekanan saya tambahkan).
Dalam esainya yang panjang “American Utopia,” Jameson bahkan mengejutkan sebagian besar
pengikutnya ketika ia mengusulkan sebagai model masyarakat pos-kapitalis masa
depan tentara – bukan tentara revolusioner tetapi tentara dalam fungsi
birokrasinya yang lembam di masa damai. Jameson mengambil sebagai titik tolaknya
lelucon dari periode Dwight Eisenhower bahwa setiap warga negara Amerika yang menginginkan
layanan kesehatan hanya perlu bergabung dengan tentara untuk mendapatkannya.
Maksud Jameson adalah bahwa militer dapat memainkan peran ini justru karena
militer diorganisasikan dengan cara yang tidak demokratis dan tidak transparan
(para jenderal tidak dipilih, dsb.).
Dengan teologi, sama halnya dengan Komunisme. Meskipun
Jameson seorang materialis yang taat, ia sering menggunakan gagasan teologis
untuk memberikan pandangan baru pada beberapa gagasan Marxist – misalnya, ia
menyatakan predestinasi sebagai konsep teologis yang paling menarik bagi
Marxisme: predestinasi menunjukkan kausalitas retroaktif yang menjadi ciri
proses historis dialektis yang pas. Kaitan tak terduga lainnya dengan teologi
adalah pernyataan Jameson bahwa, dalam proses revolusioner, kekerasan memainkan
peran yang homolog dengan kekayaan dalam legitimasi Protestan terhadap
kapitalisme: meskipun tidak memiliki nilai intrinsik (dan, akibatnya, tidak
boleh difetiskan dan dirayakan untuk dirinya sendiri, seperti dalam faskinasi
Fasis terhadapnya), kekerasan berfungsi sebagai tanda otentisitas upaya
revolusioner kita. Ketika musuh melawan dan melibatkan kita dalam konflik yang
keras, artinya kita telah menyentuh sarafnya yang sensitif…
Penafsiran Jameson yang mungkin paling jelas tentang teologi
muncul dalam teksnya yang kurang dikenal, “Saint
Augustine as a Social Democrat”, di mana ia berpendapat bagaimana
pencapaian Santo Agustinus yang paling terkenal, penemuannya tentang kedalaman
psikologis kepribadian orang beriman, dengan semua kompleksitas keraguan dan
keputusasaan batinnya, secara ketat berkorelasi dengan (atau sisi lain dari)
legitimisasinya terhadap Kekristenan sebagai agama negara, yang sepenuhnya
sesuai dengan pemusnahan puing-puing terakhir politik radikal dari bangunan
Kristen. Hal yang sama berlaku, antara lain, untuk para pemberontak anti-Komunis
dari era Perang Dingin: sebagai aturan, perubahan mereka terhadap Komunisme
berjalan seiring dengan perubahan menuju Freudianisme tertentu, penemuan
kompleksitas psikologis kehidupan individu.
Kategori lain yang diperkenalkan oleh Jameson adalah
“mediator yang lenyap” antara yang lama dan yang baru. “Mediator yang lenyap”
menunjukkan ciri khusus dalam proses peralihan dari orde lama ke orde baru:
ketika orde lama hancur, hal-hal yang tidak terduga terjadi, bukan hanya
kengerian yang disebutkan Gramsci, tetapi juga proyek dan praktik utopis yang
cemerlang. Begitu orde baru terbentuk, narasi baru muncul dan, dalam ruang
ideologis baru ini, mediator lenyap dari pandangan. Cukuplah untuk melihat
peralihan dari Sosialisme ke Kapitalisme di Eropa Timur. Ketika pada tahun
1980-an, orang-orang memprotes rezim Komunis, yang ada dalam pikiran mayoritas
besar bukanlah kapitalisme. Mereka menginginkan jaminan sosial, solidaritas,
semacam keadilan yang kasar; mereka menginginkan kebebasan untuk menjalani
hidup mereka di luar kendali negara, untuk berkumpul dan berbicara sesuka hati;
mereka menginginkan kehidupan dengan kejujuran dan ketulusan yang sederhana,
terbebas dari indoktrinasi ideologis primitif dan kemunafikan sinis yang
berlangsung… singkatnya, cita-cita samar yang memimpin para pengunjuk rasa,
sebagian besar, diambil dari ideologi Sosialis itu sendiri. Dan, seperti yang
kita pelajari dari Freud, apa yang direpresi kembali dalam bentuk yang
terdistorsi. Di Eropa, sosialisme yang direpresi dalam imajinasi disiden
kembali dalam kedok populisme Kanan.
Banyak formulasi Jameson menjadi meme, seperti karakterisasinya tentang postmodernisme sebagai logika kultural kapitalisme (mut)akhir. Meme lain seperti itu adalah sindiran lamanya (terkadang salah dilekatkan kepada saya) yang terlebih-lebih berlaku saat ini: lebih mudah bagi kita untuk membayangkan katastrofi total di bumi yang akan mengakhiri semua kehidupan di atasnya daripada perubahan nyata dalam hubungan kapitalis – seolah-olah, bahkan setelah kataklismik global, kapitalisme entah bagaimana akan terus berlanjut… Jadi bagaimana jika kita menerapkan logika yang sama pada Jameson sendiri? Lebih mudah membayangkan akhir kapitalisme daripada kematian Jameson.
Pandemik – Perjalanan Kilas Balik dari 2050 Oleh Fritjof Capra dan Hazel Henderson
Catatan: Penyebaran virus korona telah menyentuh peri kehidupan umat manusia sedunia. Akibatnya, segala sesuatu yang sebelumnya kita anggap lumrah kini terpikirkan. Berikut, terjemahan perspektif ilmu alam dari Fritjof Capra dan Hazel Henderson tentang kelindan kehidupan masa kini seputar ekonomi, energi, konsumsi, alam, dan kebiasaan lama yang selama ini menghambat penerapan ide-ide baru dan solusi radikal. Terima kasih yang tulus kepada para dokter dan paramedis yang berjuang di garis depan, serta kepada para petani-pekerja di garis belakang. Semoga menjadi berkah inspirasi untuk zaman Pasca-Covid19. Salam sehat!
Bayangkan, ini adalah tahun 2050 dan kita melihat kembali ke asal dan evolusi pandemi coronavirus selama tiga dekade terakhir. Mengekstrapolasi dari peristiwa terkini, kami menawarkan skenario berikut sebagai sebuah pandangan dari masa depan.
Ketika kita memasuki paruh kedua abad kedua puluh satu, kita akhirnya dapat memahami asal dan dampak coronavirus yang melanda dunia pada tahun 2020 dari perspektif sistem evolusioner. Hari ini, pada tahun 2050, melihat ke belakang dalam 40 tahun terakhir yang bergejolak di planet rumah kita, tampak jelas bahwa Bumi telah mengambil alih tugas mengajarkan keluarga manusia. Planet bumi mengajarkan kita keutamaan pemahaman tentang situasi secara keseluruhan sistem, yang diidentifikasi oleh beberapa pemikir berwawasan jauh hingga pertengahan abad ke-19. Kesadaran manusia yang semakin luas ini mengungkapkan bagaimana planet ini benar-benar berfungsi, biosfer kehidupannya secara sistemik didukung oleh aliran foton setiap hari dari bintang induk kita, Matahari.
Akhirnya, kesadaran yang berkembang ini mengatasi keterbatasan kognitif dan asumsi dan ideologi yang salah yang telah menciptakan krisis abad kedua puluh. Teori-teori palsu tentang perkembangan dan kemajuan manusia, diukur secara rabun dengan harga dan metrik berbasis uang, seperti Pendapatan Domestik Bruto (PDB), memuncak dengan meningkatnya kerugian sosial dan lingkungan: polusi udara, air, dan tanah; penghancuran keanekaragaman hayati; hilangnya manfaat ekosistem, semuanya diperburuk oleh pemanasan global, naiknya permukaan laut, dan gangguan iklim besar-besaran.
Kebijakan rabun jauh ini juga telah mendorong kerusakan sosial, ketimpangan, kemiskinan, penyakit mental dan fisik, kecanduan, hilangnya kepercayaan pada lembaga-lembaga – termasuk media, akademisi, dan sains itu sendiri – serta hilangnya solidaritas masyarakat. Mereka juga menyebabkan pandemi abad ke-21, SARS, MERS, AIDS, influenza, dan berbagai coronavirus yang muncul kembali pada tahun 2020.
Selama dekade terakhir abad ke-20, umat manusia telah melampaui daya dukung Bumi. Keluarga manusia telah tumbuh menjadi 7,6 miliar pada tahun 2020 dan melanjutkan obsesinya dengan pertumbuhan ekonomi, perusahaan, dan teknologi yang telah menyebabkan meningkatnya krisis eksistensial yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Dengan mendorong pertumbuhan berlebihan dengan bahan bakar fosil ini, manusia telah memanaskan atmosfer sedemikian rupa sehingga konsorsium ilmu iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IPCC, dalam catatan kiwari 2020 bahwa umat manusia hanya memiliki sepuluh tahun lagi untuk mengubah situasi krisis ini.
Sejauh tahun 2000, semua sarana sudah dekat: kami memiliki pengetahuan, dan telah merancang teknologi terbarukan yang efisien dan sistem ekonomi sirkuler, berdasarkan pada prinsip-prinsip ekologis alam. Pada tahun 2000, masyarakat patriarkal kehilangan kontrol atas populasi wanita mereka, karena kekuatan urbanisasi dan pendidikan. Perempuan sendiri mulai mengendalikan tubuh mereka, dan tingkat kesuburan mulai menurun bahkan sebelum pergantian abad ke-21. Pemberontakan yang meluas terhadap model globalisasi ekonomi sempit dari atas ke bawah dan elitnya yang didominasi laki-laki menyebabkan gangguan pada jalur pembangunan yang tidak berkelanjutan yang didorong oleh bahan bakar fosil, tenaga nuklir, militerisme, laba, keserakahan, dan kepemimpinan egosentris.
Anggaran militer yang telah memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan untuk pembangunan manusia, secara bertahap bergeser dari tank dan kapal perang menjadi perang informasi yang lebih murah dan kurang kejam. Pada awal abad ke-21, persaingan internasional untuk kekuasaan lebih berfokus pada propaganda sosial, teknologi persuasi, infiltrasi, dan kontrol internet global.
Pada tahun 2020, prioritas pandemi coronavirus dalam fasilitas medis bersaing dengan para korban di ruang gawat darurat, apakah mereka yang terluka oleh kekerasan senjata api atau pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa lainnya. Pada tahun 2019, gerakan anak-anak sekolah di seluruh AS bergabung dengan profesi medis dalam menentang kekerasan senjata sebagai krisis kesehatan masyarakat. Undang-undang senjata yang ketat secara bertahap mengikuti, bersama dengan penolakan produsen senjata api terhadap aset dana pensiun yang melumpuhkan lobi senjata dan, di banyak negara, senjata dibeli kembali oleh pemerintah dari pemilik senjata dan dihancurkan, seperti yang dilakukan Australia pada abad ke-20. Ini sangat mengurangi penjualan senjata global, bersama dengan hukum internasional yang membutuhkan lisensi dan asuransi tahunan yang mahal, sementara perpajakan global mengurangi perlombaan senjata yang sia-sia pada abad-abad sebelumnya. Konflik antar negara sekarang sebagian besar diatur oleh perjanjian internasional dan transparansi. Sekarang pada tahun 2050, konflik jarang melibatkan cara militer, beralih ke propaganda internet, pengawasan via gawai, dan perang cyber.
Pada tahun 2020, pemberontakan ini menunjukkan semua garis sesar dalam masyarakat manusia: dari rasisme dan ketidaktahuan, teori konspirasi, xenophobia dan pengkambing-hitaman “yang liyan” ke berbagai bias kognitif – determinisme teknologi, kebutaan yang disebabkan oleh teori, dan kesalah-pahaman fatal yang menyebar luas, yang bingung antara uang dengan kekayaan aktual. Uang, seperti yang kita semua ketahui hari ini, adalah penemuan yang berguna: semua mata uang hanyalah protokol sosial (token kepercayaan fisik atau virtual), yang beroperasi pada platform sosial dengan efek jaringan, harga mereka berfluktuasi sampai-sampai berbagai pengguna percaya dan menggunakannya. Namun, negara dan elit di seluruh dunia menjadi terpesona dengan uang dan dengan perjudian di “kasino keuangan global,” lebih jauh mendorong tujuh dosa mematikan atas nilai-nilai tradisional dari kerja sama, berbagi, saling membantu, dan Aturan Emas.
Para ilmuwan dan aktivis lingkungan telah memperingatkan konsekuensi mengerikan dari masyarakat yang tidak berkelanjutan ini dan sistem nilai retrogresif selama beberapa dekade, tetapi sampai pandemi 2020 para pemimpin perusahaan, politikus, dan elit lainnya, dengan keras kepala menentang peringatan ini. Sebelumnya tidak mampu memutus kecanduan mereka terhadap keuntungan finansial dan kekuasaan politik, rakyat mereka sendiri yang memaksa fokus kembali pada kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia dan komunitas kehidupan. Di setiap negara, industri-industri pemakai bahan bakar fosil atau minyak bumi berjuang untuk mempertahankan keringanan pajak dan subsidi mereka ketika harga gas dan minyak jatuh. Tetapi mereka tidak mampu membeli dukungan politik dan dukungan terhadap hak istimewa mereka. Diperlukan reaksi mendunia jutaan anak muda, “globalis akarrumput,” dan masyarakat adat, yang memahami proses sistemik planet kita Gaia – biosfer yang mengatur diri sendiri dan swa-organisasi yang selama miliaran tahun telah mengelola semua evolusi planet tanpa gangguan dari manusia yang mengalami gangguan kognitif.
Pada tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu, Gaia merespons dengan cara yang tidak terduga, seperti yang sering terjadi selama sejarah panjang evolusi. Manusia yang menebangi hutan hujan tropis yang luas dan intrusi masif ke ekosistem lain di seluruh dunia telah merajang ekosistem yang swa-atur ini dan merusak jaringan kehidupan. Salah satu dari banyak konsekuensi dari tindakan merusak ini adalah saat beberapa virus, yang hidup dalam simbiosis dengan spesies hewan tertentu, melompat dari spesies itu ke spesies lain dan ke manusia, di mana mereka sangat beracun atau mematikan. Orang-orang di banyak negara dan wilayah, yang terpinggirkan oleh sempitnya globalisasi ekonomi yang berorientasi pada keuntungan, mengobati rasa lapar mereka dengan mencari “daging buruan” di daerah-daerah liar yang baru terekspos ini, membunuh monyet, musang, trenggiling, tikus, dan kelelawar sebagai sumber protein tambahan. Spesies liar ini, yang membawa berbagai virus, juga dijual hidup di “pasar basah,” yang semakin mengekspos populasi perkotaan untuk virus baru ini.
Kembali pada 1960-an, misalnya, virus tidak dikenal melompat dari spesies monyet langka yang terbunuh sebagai “daging buruan” dan dimakan oleh manusia di Afrika Barat. Dari sana menyebar ke Amerika Serikat di mana ia diidentifikasi sebagai virus HIV dan menyebabkan epidemi AIDS. Lebih dari empat dekade, itu menyebabkan kematian sekitar 39 juta orang di seluruh dunia, sekitar setengah persen dari populasi dunia. Empat dekade kemudian, dampak dari coronavirus itu cepat dan dramatis. Pada tahun 2020, virus itu melonjak dari satu spesies kelelawar ke manusia di Cina, dan dari sana ia dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, menekan populasi dunia sekitar 50 juta hanya dalam satu dekade.
Dari sudut pandang tahun 2050 kita, kita dapat melihat kembali urutan virus: SARS, MERS, dan dampak global dari berbagai mutasi virus korona yang dimulai kembali pada tahun 2020. Akhirnya pandemi tersebut distabilkan, sebagian oleh larangan langsung, terkait “pasar basah” di seluruh China pada tahun 2020. Larangan tersebut menyebar ke negara-negara lain dan pasar global, memotong perdagangan hewan liar dan mengurangi vektor, bersama dengan sistem kesehatan masyarakat yang lebih baik, perawatan pencegahan, dan pengembangan vaksin dan obat-obatan yang efektif.
Pelajaran dasar bagi manusia dalam 50 tahun krisis tragis yang kita ciptakan sendiri – penderitaan pandemi, kota yang banjir, hutan yang terbakar, kekeringan dan bencana iklim yang semakin keras lainnya – sederhana, banyak berdasarkan penemuan Charles Darwin dan ahli biologi lainnya di abad kesembilan belas dan kedua puluh:
Kita manusia adalah satu spesies dengan sedikit variasi dalam DNA dasar kita.
Kami berevolusi dengan spesies lain di biosfer planet ini melalui seleksi alam, menanggapi perubahan dan tekanan di berbagai habitat dan lingkungan kami.
Kami adalah spesies global, yang bermigrasi keluar dari benua Afrika ke spesies lain, bersaing dengan spesies lain, menyebabkan berbagai kepunahan.
Kolonisasi dan kesuksesan planet kita, di Zaman Antroposen abad kedua puluh satu ini, sebagian besar disebabkan oleh kemampuan kita untuk mengikat, bekerja sama, berbagi, dan berkembang dalam populasi dan organisasi yang semakin besar.
Kemanusiaan tumbuh dari kelompok-kelompok peladang pindah yang tinggal di desa-desa pertanian yang menetap, ke kota-kota, dan kota-kota besar abad kedua puluh, tempat lebih dari 50% populasi kita hidup. Sampai krisis iklim dan pandemi di tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu kita, semua ramalan meramalkan bahwa kota-kota besar ini akan terus tumbuh dan bahwa populasi manusia akan mencapai 10 miliar pada hari ini, pada tahun 2050.
Sekarang kita tahu mengapa populasi manusia mencapai angka 7,6 miliar pada tahun 2030, seperti yang diharapkan dalam skenario IPCC yang paling penuh harapan, serta dalam survei perkotaan global oleh para ilmuwan sosial yang mendokumentasikan penurunan kesuburan, Empty Planet (2019). “Globalis akarrumput” yang baru sadar, pasukan anak-anak sekolah, aktivis lingkungan global, dan perempuan yang berdaya bergabung dengan investor dan pengusaha hijau yang lebih etis di pasar lokal. Jutaan orang dilayani oleh koperasi microgrid, didukung oleh listrik yang terbarukan, menambah perusahaan-perusahaan koperasi dunia, yang bahkan pada tahun 2012 mempekerjakan lebih banyak orang di seluruh dunia yang dipersatukan oleh semua organisasi nirlaba. Mereka tidak lagi menggunakan metrik uang dari PDB yang palsu, tetapi pada 2015 beralih untuk mengarahkan masyarakat mereka dengan Sustainable Development Goals (SDG) dari PBB; tujuhbelas tujuan kelestarian serta pemulihan semua ekosistem dan kesehatan manusia.
Sasaran dan metrik sosial baru ini semuanya berfokus pada kerjasama, saling berbagi, dan bentuk-bentuk pembangunan manusia yang lebih kaya, menggunakan sumber daya terbarukan dan memaksimalkan efisiensi. Kelestarian jangka panjang ini, didistribusikan secara adil, menguntungkan semua anggota keluarga manusia dalam toleransi pada spesies lain di biosfer hidup kita. Persaingan dan kreativitas berkembang dengan ide-ide bagus mengabaikan yang kurang berguna, disertai dengan standar etika berbasis sains dan informasi mendalam dalam masyarakat mandiri yang semakin terhubung di semua tingkatan dari lokal ke global.
Ketika coronavirus menyerang pada tahun 2020, tanggapan manusia pada awalnya kacau dan tidak memadai, tetapi segera menjadi semakin koheren dan bahkan secara dramatis berbeda. Perdagangan global menyusut menjadi hanya mengangkut barang langka, peralihan ke perdagangan informasi. Alih-alih mengirimkan keik, kue, dan biskuit di seluruh planet ini, kami mengirim resep mereka, dan semua resep lain untuk membuat makanan dan minuman nabati; dan secara lokal kami memasang teknologi hijau: matahari, angin, sumber energi panas bumi, lampu LED, kendaraan listrik, kapal, dan bahkan pesawat terbang.
Cadangan bahan bakar fosil tetap aman di tanah, karena karbon dipandang sebagai sumber daya, terlalu berharga untuk dibakar. Kelebihan CO2 di atmosfer dari pembakaran bahan bakar fosil ditangkap oleh bakteri tanah organik, tanaman berakar dalam, miliaran pohon yang baru ditanam, dan dalam penyeimbangan kembali yang meluas dari sistem makanan manusia berdasarkan agribisnis industri agro-kimia, periklanan dan perdagangan global beberapa tanaman monokultur. Ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil, pestisida, pupuk, antibiotik dalam diet daging hewan, semuanya didasarkan pada air tawar yang semakin menipis di planet ini dan terbukti tidak berkelanjutan. Saat ini, pada tahun 2050, makanan global kami diproduksi secara lokal, termasuk lebih banyak lagi tanaman asli dan liar yang terlewatkan, pertanian air asin dan semua tanaman pangan pencinta garam (halofit) lainnya yang protein lengkapnya lebih sehat untuk diet manusia.
Turisme massal dan perjalanan secara umum menurun secara radikal bersama dengan lalu-lintas udara dan penyusutan penggunaan bahan bakar minyak bumi. Masyarakat di seluruh dunia stabil di pusat-pusat populasi berukuran kecil hingga menengah, yang menjadi sangat mandiri dengan produksi makanan dan energi secara lokal dan regional. Penggunaan bahan bakar minyak bumi benar-benar menghilang, seperti yang sudah terjadi pada tahun 2020, ia tidak dapat lagi bersaing dengan pengembangan sumber daya energi terbarukan yang cepat dan teknologi baru yang sesuai serta mendaur ulang semua sumber daya yang sebelumnya terbuang menjadi ekonomi sirkuler kita saat ini.
Karena bahaya infeksi, pertemuan massal, gerai keringat, toko waralaba besar, serta acara olahraga dan hiburan di arena besar secara bertahap menghilang. Politik demokrasi menjadi lebih rasional, karena para demagog tidak lagi dapat mengumpulkan ribuan orang dalam demonstrasi besar untuk mendengarkan mereka. Janji-janji kosong mereka juga dikekang di media sosial, karena monopoli yang menghasilkan keuntungan ini dipecah pada tahun 2025 dan sekarang pada tahun 2050 diatur sebagai utilitas publik yang melayani kepentingan publik di semua negara.
Pasar keuangan kasino global runtuh dan kegiatan ekonomi bergeser kembali dari sektor finansial ke serikat kredit dan bank rakyat di sektor koperasi kita saat ini. Perakitan barang dan ekonomi-berbasis-jasa kita menghidupkan kembali tradisi barter dan sektor sukarela informal, mata uang lokal, serta berbagai transaksi non-moneter yang telah berkembang selama puncak pandemi. Sebagai konsekuensi dari desentralisasi yang tersebar luas dan pertumbuhan komunitas mandiri, ekonomi kita saat ini di tahun 2050 telah menjadi regeneratif tidak lagi ekstraktif. Kesenjangan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan akibat model eksploitatif dan obsesi pada uang sebagian besar telah menghilang.
Pandemik tahun 2020, yang menghancurkan pasar global, akhirnya menjungkirbalikkan ideologi uang dan fundamentalisme pasar. Alat-alat bank sentral tidak lagi berfungsi, sehingga “uang helikopter” dan pembayaran tunai diberikan langsung ke keluarga yang membutuhkan, seperti yang dipelopori oleh Brasil, menjadi satu-satunya cara mempertahankan daya beli untuk memperlancar transisi ekonomi yang tertib ke masyarakat yang berkelanjutan. Ini menggeser politisi AS dan Eropa untuk menciptakan uang baru dan kebijakan stimulus ini menggantikan “pengetatan” dan dengan cepat diinvestasikan dalam semua infrastruktur sumber daya terbarukan dalam masing-masing rencana Green New Deal mereka.
Ketika coronavirus menyebar ke hewan domestik, ternak, dan ruminansia lainnya, domba dan kambing, beberapa hewan ini menjadi pembawa penyakit tanpa menunjukkan gejala apa pun. Akibatnya, pembantaian dan konsumsi hewan menurun drastis di seluruh dunia. Penggembalaan dan pemeliharaan ternak telah menambah hampir 15% dari gas rumah kaca global tahunan. Perusahaan besar multinasional yang memproduksi daging disalip oleh investor yang cerdas sebagai grup penerus “aset terlantar”, demikian juga perusahaan bahan bakar minyak bumi. Beberapa beralih sepenuhnya ke makanan nabati dengan banyak analog daging, ikan, dan keju. Daging sapi menjadi sangat mahal dan langka, dan sapi biasanya dimiliki oleh keluarga, seperti biasanya, di peternakan kecil untuk susu lokal, keju, dan daging, bersama dengan telur dari ayam mereka.
Setelah pandemi mereda dengan ongkos mahal, vaksin telah ditemukan, perjalanan luar negeri hanya diizinkan dengan syarat sertifikat vaksinasi saat ini, yang digunakan terutama oleh kaum pedagang dan orang kaya. Mayoritas populasi dunia sekarang lebih suka paguyuban, pertemuan online dan berkomunikasi, juga bepergian secara lokal dengan transportasi umum, mobil listrik, dengan perahu layar bertenaga surya yang kita semua nikmati hari ini. Sebagai akibatnya, polusi udara telah menurun secara dramatis di semua kota besar di seluruh dunia.
Dengan tumbuhnya komunitas mandiri, apa yang disebut “desa perkotaan” telah bermunculan di banyak kota – lingkungan yang dirancang ulang yang menampilkan struktur kepadatan tinggi dikombinasikan dengan ruang hijau yang cukup umum. Area-area ini memiliki penghematan energi yang signifikan dan lingkungan yang sehat, aman, dan berorientasi komunitas dengan tingkat polusi yang berkurang secara drastis.
Kota-kota ramah lingkungan saat ini termasuk makanan yang tumbuh di gedung-gedung tinggi dengan atap-atap surya, kebun sayur-sayuran, dan transportasi umum listrik, setelah mobil-mobil sebagian besar dilarang dari jalan-jalan kota pada tahun 2030. Jalan-jalan ini direklamasi oleh pejalan kaki, pesepeda, dan orang-orang dengan skuter listrik menyusuri gerai lokal yang lebih kecil, galeri kerajinan, dan pasar petani. Kendaraan listrik tenaga surya untuk penggunaan antar kota sering mengisi dan mengosongkan baterai mereka di malam hari untuk menyeimbangkan pemakaian listrik di rumah. Anjungan mandiri pengisian-ulang kendaraan bertenaga surya tersedia di semua wilayah, mengurangi penggunaan listrik berbasis fosil dari jaringan terpusat yang usang, banyak diantaranya bangkrut pada tahun 2030.
Setelah semua perubahan dramatis yang kita nikmati hari ini, kita menyadari bahwa hidup kita sekarang bebas stres, lebih sehat, menyenangkan, sehingga komunitas kita dapat merencanakan masa depan jangka panjang. Untuk memastikan kelestarian cara hidup baru ini, kami menyadari bahwa pemulihan ekosistem di seluruh dunia sangat penting. Sehingga virus yang berbahaya bagi manusia tetap berada pada spesies hewan lain di mana mereka tidak berbahaya. Untuk memulihkan ekosistem di seluruh dunia, pergeseran ke pertanian organik dan regeneratif tumbuh subur, bersama dengan makanan nabati, minuman, dan semua makanan yang tumbuh di air asin dan hidangan rumput laut yang kita nikmati. Miliaran pohon, yang kita tanam di seluruh dunia setelah tahun 2020, bersama dengan perbaikan pertanian secara bertahap memulihkan ekosistem.
Sebagai konsekuensi dari semua perubahan ini iklim global akhirnya stabil dengan konsentrasi CO2 hari ini di atmosfer kembali ke tingkat yang aman, 350 bagian per juta. Permukaan laut yang lebih tinggi akan tetap selama satu abad dan banyak kota sekarang berkembang di tempat yang lebih aman dan lebih tinggi. Bencana iklim sekarang jarang terjadi, sementara banyak peristiwa cuaca masih terus mengganggu kehidupan kita, seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Berbagai krisis global dan pandemi, karena ketidaktahuan kita sebelumnya tentang proses planet dan putaran umpan-balik, memberi konsekuensi tragis yang meluas bagi individu dan masyarakat. Namun, kita manusia telah belajar banyak dari pelajaran menyakitkan. Hari ini, melihat ke belakang dari tahun 2050, kita menyadari bahwa Bumi adalah guru kita yang paling bijaksana, dan pelajarannya yang mengerikan mungkin telah menyelamatkan umat manusia dan sebagian besar komunitas kehidupan planet dari kepunahan.
Kuliah Tamu: Arsitektur Tanpa Batas
Andrea Fitrianto & Rakha’ P. Shonigiya
Rabu, 20 Pebruari 2019
Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Tadulako, Palu
Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) adalah organisasi non-profit bertujuan memberi wawasan sosial kepada para arsitek maupun mahasiswa, melalui wacana maupun aksi arsitektural.
Architecture Sans Frontieres Indonesia is mobilizing a relief fund for the next one month (until 3 November 2018) for the disaster that struck Palu and Donggala in Central Sulawesi. Our hearts go to those affected and we wish for a considered and speedy recovery. We are once again reminded of how nature can, and will, be a force that the built environment has no choice but to respond to. The time is now to consider for an architecture that advances resiliency and sustainability.
Tsunami 28 September 2018 in Palu and Donggala area, Central Sulawesi.
Architecture Sans Frontieres Indonesia mobilise relief fund.