Architecture Sans Frontieres Indonesia is mobilizing a relief fund for the next one month (until 3 November 2018) for the disaster that struck Palu and Donggala in Central Sulawesi. Our hearts go to those affected and we wish for a considered and speedy recovery. We are once again reminded of how nature can, and will, be a force that the built environment has no choice but to respond to. The time is now to consider for an architecture that advances resiliency and sustainability.
Tsunami 28 September 2018 in Palu and Donggala area, Central Sulawesi.
Architecture Sans Frontieres Indonesia mobilise relief fund.
Asep, pemuda taktis dan kritis, menghuni kos-kosan di salah satu permukiman berkepadatan sedang bantaran Sungai Cikapundung Bandung. Ia mengamini bahwa segala tindakan ada penyebabnya. Seperti tindakan ibu-ibu yang membuang sampah langsung ke sungai. Melihat hal tersebut di depan matanya saat ia menunggu ikan lele yang mampir di kailnya, ia tidak langsung menghakimi dengan buta perilaku ibu-ibu tersebut. Kurang kesadaran lah, kebiasaan jorok lah, malas buang sampah ke tempat yang seharusnya lah, dan segala cap lainnya yang biasa terdengar tertempel pada masyarakat bantaran sungai.
Asep pun melakukan riset kecil-kecilan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan sistem persampahan yang diterapkan di lingkungannya. Bermodal wifi gratis di kampusnya, ia melakukan pencarian dari sumber-sumber sekunder dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan manajemen persampahan kota Bandung. Pencarian data primer pun tidak lupa dilakukan oleh Asep, baik itu wawancara dengan stakeholder lokal atau sekadar nongkrong di warung kopi. Fakta apa saja yang ia temukan?
Ternyata Asep tidak hanya mencoba menggali isu persampahan di lingkungannya. Ia memiliki ide untuk membuat sebuah aplikasi manajemen persampahan skala kampung yang memungkinkan warganya untuk memetakan permasalahan manajemen sampah secara swadaya. Bagaimana cara kerja aplikasi tersebut?
Mari simak apa saja yang Asep temukan dan ide apa yang ia tawarkan dalam komik KASEP berikut.
Arsitektur sering kali dipahami sebagai sebuah keluaran karya yang dihasilkan lewat kerja arsitek, sebagai seorang pencipta, pemilik kuasa, serta standar selera, yang mengendalikan seluruh rangkaian proses yang ada. Arsitektur dengan segala kelengkapan struktur, guna, serta keindahannya,menjadi otoritas dan otonomi sang arsitek. Arsitek adalah sang seniman. Dalam konteks ini, memahami karya arsitektur adalah dengan memahami arsiteknya, vice versa.
Namun begitu, beberapa dekade terakhir, pendekatan praktik profesi arsitek yang otonom dengan kuasa terpusat pada arsiteknya mulai dianggap tidak lagi cukup untuk menghadapi tantangan jaman, bahkan dianggap sebagai sumber persoalan. Manfredo Tafuri (1973) menyebut model praktik seperti ini telah mencabut arsitek dan arsitekturnya dari tanah realita, hal yang kemudian disebutnya sebagai matinya arsitektur. C. Greig Crysler (2013) juga turut mengkritik model profesi yang otonom karena model ini mengakar hingga ke model pendidikan arsitektur, yang turut melahirkan profesional-profesional arsitek yang pasif dan lepas dari tantangan sosial politik yang melingkupi konteks praktiknya.
Kesadaran ‘baru’ inilah yang kemudian mendorong lahirnya praktik arsitektur yang lain, yakni model yang mengedepankan prinsip partisipasi, yang mensyaratkan terjadinya distribusi kuasa dalam proses kerjanya. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah; arsitek bukan lagi pemegang otoritas tunggal atas nilai suatu karya. Hal ini juga berbuntut panjang, sejalan dengan terjadinya distribusi kuasa (multi author), proses kerja perancangan tidak lagi berjalan linier dan dapat ‘(sepenuhnya) dikontrol’, seringkali membesar dan melebar ketimbang mengerucut atau (dipaksa untuk) fokus, karenanya keluaran karya pun menjadi sangat-sangat berbeda dengan keluaran karya arsitektur umumnya.
Inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti, ”Lalu di manakah arsitekturnya? Siapa sebenarnya arsiteknya? Apa itu keindahan?”
Untuk menjawab pertanyaan ‘ringan’ tersebut Rembuk dan ASF Indonesia mengajakmu mengupas bersama karya-karya dari Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID), yang bernapaskan partisipasi dalam banyak praktik kerjanya, lewat kaca mata filsafat estetika. Filsafat estetika dipakai sebagai perangkat kritis untuk menjawab pertanyaan di atas secara luas dan mendalam karena melalui cabang filsafat ini, kita akan dibantu untuk melihat keindahan sebagai bukan satu-satunya nilai estetis (masih ada nilai estetis lain dalam estetika), serta memahami estetika yang bukan hanya membahas tentang nilai estetis tetapi juga pengalaman estetis: seperti hubungan antara karya dengan masyarakat (Martin Suryajaya, 2016).
Oktober 2016, Rembuk! dan ASF Indonesia
***
Hadirilah diskusi santai dan dekat yang akan mengupas dan merefleksikan satu tahun pembangunan Rumah Contoh Kampung Tongkol bersama Kamil Muhammad (ASF-ID) dan Martin Suryajaya, dengan tajuk:
“Arsitektur Partisipatoris:
(di mana) Arsitektur,
(siapa) Arsitek, dan
(apa) Keindahan?”
Jumat, 11 November 2016 Pukul 17:30-21:00 Ruang Gerilya, Jl. Raden Patah 12, Bandung
Tempat terbatas Pendaftaran di (tidak dipungut biaya)
Abad ke-21 adalah abad yang penuh krisis, begitu kata teman ngobrol malam mingguan gw kemarin. Karena kondisi krisis, justru konteks berarsitektur harusnya juga lebih lentur dan tanggap dengan keadaan dan kebutuhan. Ini yang membuat participatory design atau arsitektur komunitas terdengar relevan kembali. Kita harus berhenti bergantung pada kelompok 1% untuk mengelola sumber daya bagi kelompok 99%. Arsitektur harus mulai bisa beradaptasi dengan bahasa-bahasa awam dan terbuka dengan masukan.
Temen gw ini emang suka berat mikirnya, makanya udah mulai ubanan, walau umurnya masih dikit. Tapi dari sudut manapun, bagi gw pendapatnya terdengar berdasar. Keterhubungan, antara sumber daya, pelaku, dan permintaan, adalah kunci dimana sebuah sinergi baru yang lebih mandiri bisa terjadi. Ini yang mendorong Architecture in Development (AiD) sangat antusias dalam mendorong terbentuknya sebuah platform baru yang memungkinkan pertemuan ketiga elemen ini agar bisa terjadi secara asik.
Beberapa tahun terakhir, AiD telah membantu pertumbuhan gerakan-gerakan arsitektur komunitas di banyak negara dengan melibatkan lebih dari 40.000 profesional muda yang memang berdedikasi dalam bidang arsitektur komunitas.
Juni lalu, AiD meluncurkan kompetisi #Buildify yaitu sebuah platform global yang memungkinkan pendistribusian sumber daya dalam berbagai bentuk dan mengusahakan pertemuan dan kolaborasi antar elemen. Harapannya, arsitektur tidak hanya bergerak dari atas ke bawah, tapi juga bisa terbangun dari bawah keatas, dan benar-benar didorong oleh kebutuhan dan aspirasi oleh komunitas.
#Buildify(baca: bildifai) tidak semata sebuah kompetisi, namun juga kesempatan untuk terhubung dengan para profesional, sumber daya, juga para innovator yang memungkinkan hadirnya karya yang tadinya terlihat mustahil menjadi mungkin. Insiatif komunitas yang tadinya hanya berdampak mikro, bisa jadi menjangkau komunitas-komunitas dan bahkan kelompok lain di belahan dunia yang lain. Ayo bantu inisiatif baik ini dengan mengajukan proyek yang menurut kalian memenuhi kriteria berikut:
Merupakan kolaborasi tim yang terdiri dari lintas ilmu dan mengikut-sertakan wakil dari komunitas sebagai pihak yang berhak dan bertanggung jawab atas hak cipta proyek.
Merupakan bentuk respon dari sebuah kebutuhan yang mendesak dalam komunitas tersebut.
Mempunyai nilai arsitektur, kususnya dalam hal mewakili nilai dan identitas dari komunitas tersebut.
Proyek mempunyai perspektif jangka panjang untuk pengembangan komunitas.
Proyek mewakili sebuah model pengembangan yang sangat spesifik dengan konteks yang ada.
Terdapat keterlibatan komunitas yang kuat di dalam tim.
Ini adalah upaya untuk mengubah wajah praktek arsitektur kita menjadi lebih terbuka, lebih partisipatif, juga tepat sasaran karena dilandasi oleh kebutuhan serta aspirasi dari komunitas. Sampai dengan 10 Agustus 2016*, #Buildify akan menjaring inisiatif-inisiatif dari arsitek komunitas yang memenuhi kriteria di atas. Lalu proyek-proyek yang masuk akan mendapat ulasan di AiD sebagai bentuk promosi dan penyebaran informasi mengenai proyek.
Pada bulan September, akan diadakan penjaringan untuk proyek-proyek yang menjadi finalis. Lalu, selama bulan Oktober hingga November, finalis akan melakukan kampanye untuk mengundang pihak-pihak yang dibutuhkan agar ikut terlibat lebih lanjut. Lalu, 9 bulan setelahnya, tim #Buildify berkomitmen untuk membantu proyek-proyek ini untuk bisa mendapatkan semua bantuan yang dibutuhkan untuk bisa diwujudkan.
Ayo, kapan lagi neh!!!
*) tenggat pemasukan #Buildify diperpanjang menjadi 20 Agustus 2016
Pengabdian Masyarakat (Pengmas) adalah salah satu program dari Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur (HMPSARS) di Universitas Parahyangan yang diselenggarakan sekali setiap tahun. Untuk tahun 2016, Dennis, Brian, Galih, dkk. menyelenggarakan dengan cara yang sedikit berbeda dengan sebelumnya; Pengmas tidak membawa gambar rancangan ke kampung tujuan melainkan hanya membawa selembar kertas kosong dan pikiran yang sudah dikosongkan; tabula rasa.
Sikap tabula rasa perlu. Supaya bisa menyerap sebanyak mungkin informasi yang didapat melalui observasi, wawancara, maupun pertemuan focus group discussion (FGD) bersama warga. Pertemuan FGD memberi kesempatan kepada setiap peserta untuk bersama-sama mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah-masalah di kampung. FGD juga membaurkan bias persepsi antara mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, maupun kelompok muda warga, menjadi jembatan bagi kelompok-kelompok tersebut. Metode riset bersama ini disebut participatory action research (PAR), di mana dihasilkan dokumen riset kampung yang inklusif dan berorientasi pada solusi strategis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Dokumentasi riset kampung ini menjadi langkah awal dari proses intervensi Pengmas bersama ASF-ID di Nangkasuni, sebuah kampung tepi sungai Cikapundung di dalam wilayah administrasi Kelurahan Tamansari, Bandung.