Tadulako: Arsitektur Tanpa Batas

Arsitektur Tanpa Batas
Arsitektur Tanpa Batas

Kuliah Tamu: Arsitektur Tanpa Batas
Andrea Fitrianto & Rakha’ P. Shonigiya

Rabu, 20 Pebruari 2019
Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Tadulako, Palu

Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) adalah organisasi non-profit bertujuan memberi wawasan sosial kepada para arsitek maupun mahasiswa, melalui wacana maupun aksi arsitektural.

ASF Indonesia menangkan ASF Award 2017

ASFAW2017-1
ASF Award 2017: Social Construction of Habitat diserahkan oleh arsitek Gopalan Shankar disaksikan oleh Prof. Jayakumar dari College of Architecture Trivandrum dan Xavier Codina.

Umur yang masih belia tidak menjadi hambatan bagi ASF-Indonesia untuk berani unjuk karya di panggung internasional. Sehingga sekian waktu lalu ASF-Indonesia mendaftarkan karya Pilot House and Kampung Upgrading di Jakarta, Bamboo Bridge di Solo, Rhizomatic Kampung di Malang, dan Cikapundung Riverside Community Mapping di Bandung ke ASF Award 2017. ASF Award menampilkan sekumpulan solusi paling efisien dari komunitas arsitektur global dalam menjawab tantangan sosial, lingkungan, dan ekonomi seputar keadaan lingkungan binaan saat ini.

Sekitar sebulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 April 2017, pada event General Assembly di Thiruvananthapuram (Trivandrum), Kerala, India, ASF-Internasional mengumumkan bahwa pemenang kategori “Social Construction of Habitat” jatuh kepada ASF-Indonesia. Pemenang lain dalam kategori “Challenging Practice” adalah Architecture for Refugees, sebuah inisiatif kolektif berbasis Eropa untuk membantu para penyintas konflik politik.

ASFAW2017-2
Kamil, Usie, dan Andrea, delegasi ASF-Indonesia pada General Assembly 2017 di Thiruvananthapuram, Kerala, India berpose di depan panel poster ASF Award 2017.

Tergabung dalam panel juri pada ASF Award tahun ini adalah Xavier Codina (ASF-International, Ketua), Lígia Nunes (ASF-Portugal), Niclas Dünnebacke (ASF-France), Indah Widiastuti (Institut Teknologi Bandung, Indonesia), René M. Segbenou (Konsultan, Benin), dan Pilvi Vanamo (South of North, Finlandia).

Sekretariat mengucapkan terima kasih untuk kontribusi teman-teman pegiat di Jakarta, Solo, Malang dan di Bandung lewat kerja kolaboratif dalam jejaring ASF-ID. Semoga capaian ini menjadi berkah dan inspirasi untuk terus bergiat, dalam setiap kesempatan, serta berkontribusi nyata untuk masyarakat.

Hari Kumpul Relawan

Hari Kumpul Relawan
Hari Kumpul Relawan 6 Mei 2017

Ayo ikut Hari Kumpul Relawan ASF-ID!

Kamu relawan yang pernah bergiat di ASF-ID? Atau tertarik untuk mengenal lebih dekat dan ikut ambil bagian? Mari bertemu dengan semua teman-teman di Jakarta, Bandung, dan Malang pada hari Sabtu, 6 Mei 2017. Pada tanggal tersebut, setiap kota ASF-ID akan turut memaknai Hari Kumpul Relawan, mengadakan acara dengan tema sesuai konteks wilayah kerja masing-masing. Pada kesempatan ini, kesimpulan umum dari angket Suara Relawan juga akan disampaikan. Tunggu informasi selanjutnya atau hubungi kota-kota terdekat di:

Jakarta: 0821-1406-1227 (Brahm), Bandung: 0812-2446-4494 (Atika), Malang: 0823-3125-3029 (Robbani)

Jika kamu tertarik untuk mengadakan kumpul serupa di kota lain, hubungi kami di home@asf.or.id

Sampa jumpa, tidak ada kesan tanpa kehadiranmu!

Melihat dari Dekat “Arsitektur Rakyat” Melalui Kerja Praktik di ASF-ID

Istilah arsitektur rakyat adalah istilah yang semakin sering terdengar akhir-akhir ini. Rasa penasaran yang besar membuat saya memilih untuk melakukan kerja praktik di lembaga yang memang dekat dengan isu arsitektur rakyat, dan saya memilih ASF Indonesia (ASF-ID). Setelah mengajukan diri, memenuhi syarat dan ketentuan, saya pun diterima sebagai relawan magang/kerja praktik. Kerja praktik ini saya lakukan selama 2,5 bulan di Bandung, di mana selama masa itu saya belajar untuk melihat lebih dekat bagaimana masyarakat menciptakan dan menggunakan ruang-ruang di sekitar mereka.

Kerja praktik saya dimulai pada awal bulan Desember 2016. Ketika itu salah satu proyek yang sedang dikerjakan ASF-ID adalah  PAUD Nur Hikmat di Tasikmalaya. Perancangan PAUD Nur Hikmat ini dilakukan dengan metoda partisipasi, maksudnya proses perancangan juga melibatkan peran serta dari orangtua, guru, serta pengelola PAUD.

 

PROSES PERANCANGAN PAUD NUR HIKMAT, TASIKMALAYA

Sebagai gambaran awal, selama ini kegiatan belajar mengajar di PAUD dilakukan di dalam garasi salah satu rumah pengelola. Kondisi yang tidak ideal ini membuat operasional PAUD menjadi sedikit terhambat. Beberapa waktu kemudian, PAUD mendapat hibah tanah yang berupa tanah persawahan yang dekat dengan sungai. Konsep baru PAUD kemudian diarahkan untuk menjadi sekolah alam, dimana denah ruang-ruang sekolah dirancang bersama-sama dengan orangtua, guru, serta pengelola. Struktur bangunan diputuskan untuk menggunakan material bambu yang dengan mudah diakomodasi oleh masyarakat. Dan untuk mengurangi biaya pembangunan, konstruksi pondasi diputuskan untuk menggunakan umpak dari buis beton yang diisi kerikil. Model umpak ini (umpak berongga) dikembangkan oleh Eugenius Pradipto, seorang dosen UGM yang memiliki spesialisasi di struktur bambu.

 

Di awal kerja praktik, saya sempat ditanyai mengenai sejauh mana pengetahuan saya mengenai material bambu. Sayangnya selama dua tahun berkuliah, pengetahuan mengenai material bambu hanya pernah saya rasakan melalui kegiatan himpunan di kampus lewat pembuatan instalasi pada awal masa kuliah dulu. Istilah-istilah seperti ‘pendekatan partisipatoris’ ataupun pengetahuan tentang material  bambu baru saya dapatkan setelah bergabung bersama ASF-ID.

Pada awal perancangan, saya juga belajar tentang pembuatan maket dengan bahan tusuk sate, bor, lem, dan jarum yang berfungsi sebagai baut. Menurut salah satu mentor, pada perancangan yang menggunakan material bambu, pembuatan maket menjadi titik kritis karena sangat membantu dalam pengujian kekuatan struktur dan mengevaluasi sambungan-sambungan bambu yang dipakai. Melalui maket, perkiraan mengenai kekuatan dan kestabilan stuktur juga dapat didekati secara lebih real. Pada proyek PAUD ini kestabilan stuktur baru dicapai pada alternatif desain yang ke-2. Pada pembuatan maket pertama didapati bahwa strukturnya kurang stabil karena sifat pondasi yang tidak mengikat stuktur bangunan.

Selain untuk menguji kekuatan stuktur bangunan, saya juga belajar bagaimana pembuatan maket ternyata sangat efektif untuk mengkomunikasikan desain kepada masyarakat dan mempermudah komunikasi dengan tukang pada saat konstruksi. Melalui sarana maket pun dapat dibuat simulasi sederhana mengenai proses kontruksi, sehingga pada pelaksanaannya nanti tahapan-tahapan dan prosesnya tidak melenceng jauh dari tahapan pembuatan maket.

 

BERGIAT DI KAMPUNG KOTA

Selain proyek PAUD, selama kerja praktik saya juga mengikuti beberapa kegiatan ASF-ID di kampung kota. Antara lain, mengunjungi Kampung Pasirluyu. Kampung Pasirluyu di bantaran Sungai Cikapundung yang membelah Bandung dari Utara ke Selatan. Sebelumnya, ASF-ID pernah melakukan kegiatan pemetaan di Kampung Pasirluyu dengan dukungan Perween Rahman Fellowship 2015. Lalu, rekan-rekan mahasiswa Arsitektur UPI pun bergabung mengadakan workshop dari Agustus-November 2016.

 

Menanggapi hasil kegiatan pemetaan dan perumusan masalah bersama, Karang Taruna di Kampung Pasirluyu mengusulkan taman terbuka hijau yang akan diutamakan untuk kegiatan anak-anak dan remaja. Permasalahan lapangan yang kemudian ditemui antara lain ketersediaan lahan terbuka yang bisa dimanfaatkan bersama hingga bagaimana secara swadaya mengumpulkan dana, baik dari program pemerintah maupun warga sekitar.

Dari berbagai kendala lapangan yang dihadapi saat bertemu warga kampung, saya berfikir bahwa metoda partisipatoris tidaklah sesederhana kelihatannya. Salah satunya karena sistem di dalam komunitas bukanlah sesuatu yang mapan karena kenyataannya warga memang bukan entitas yang tunggal. Warga sendiri terdiri dari banyak kelompok-kelompok masyarakat.

Warga pun terkadang menemui kendala memahami bahwa pegiat-pegiat yang datang dan mengusahakan kerjasama bisa datang dari berbagai lembaga dan bisa jadi akan sangat cair. Pada saat proses datang kepada warga di Kampung Pasirluyu, kami masih dikenal dengan sebutan ‘teman-teman UPI’. Memang kadang penamaan tersebut kondisional dan cair dengan relasi-relasi yang lentur. Almamater atau institusi pendidikan menjadi label atau pintu masuk yang kemudian paling mudah diingat untuk warga kampung.

 

PENUTUP

Mungkin memang istilah ‘arsitek swadaya’ atau ‘arsitek komunitas’ masih belum menjadi istilah yang akrab bagi warga sendiri. Namun begitu, sempat muncul keingintahuan dari warga, mengapa ASF-ID banyak bergiat di kampung-kampung kota. Usie, salah satu pembimbing saya selama kerja praktik, berpendapat bahwa kampung kota merupakan bagian penting dari kota. Kampung berkontribusi terhadap citra kota, begitupun dalam menopang ketahanan ekonominya. Saya melihat bahwa mungkin inilah yang dimaksud dalam slogan ASF-ID, “arsitektur tanpa batas” bahwa sejatinya setiap manusia berhak atas ruang hidup yang layak, yang mana sering tidak terjadi pada warga yang termarjinalkan dalam lingkup kampung kota.

Budaya diskusi yang cair dan hangat menjadi kultur yang saya temui di Sekretariat Nasional ASF-ID. Diskusi-diskusi ini juga menjadi sarana belajar yang sayang untuk dilewatkan. Pengalaman selama 2,5 bulan bekerja bersama teman-teman ASF-ID harus saya akui telah memberikan banyak pelajaran, membuka wawasan, dan mengisi saya dengan pengetahuan baru. Terimakasih kepada teman-teman ASF-ID: Cak-cak, Siska, Usie, Kristo, Uji, Frans, Take, Vani, Theo, dan teman-teman ASF-ID lainnya. Semoga apa yang saya dapatkan selama kerja praktik bisa terus tumbuh dan menyuburkan keingintahuan serta kesukarelaan untuk bekerja bersama masyarakat ke depan.

[Diskusi] Arsitektur Partisipatoris: (di mana) Arsitektur, (siapa) Arsitek, dan (apa) Keindahan?

Arsitektur sering kali dipahami sebagai sebuah keluaran karya yang dihasilkan lewat kerja arsitek, sebagai seorang pencipta, pemilik kuasa, serta standar selera, yang mengendalikan seluruh rangkaian proses yang ada. Arsitektur dengan segala kelengkapan struktur, guna, serta keindahannya,menjadi otoritas dan otonomi sang arsitek. Arsitek adalah sang seniman. Dalam konteks ini, memahami karya arsitektur adalah dengan memahami arsiteknya, vice versa.

Namun begitu, beberapa dekade terakhir, pendekatan praktik profesi arsitek yang otonom dengan kuasa terpusat pada arsiteknya mulai dianggap tidak lagi cukup untuk menghadapi tantangan jaman, bahkan dianggap sebagai sumber persoalan. Manfredo Tafuri (1973) menyebut model praktik seperti ini telah mencabut arsitek dan arsitekturnya dari tanah realita, hal yang kemudian disebutnya sebagai matinya arsitektur. C. Greig Crysler (2013) juga turut mengkritik model profesi yang otonom karena model ini mengakar hingga ke model pendidikan arsitektur, yang turut melahirkan profesional-profesional arsitek yang pasif dan lepas dari tantangan sosial politik yang melingkupi konteks praktiknya.

Kesadaran ‘baru’ inilah yang kemudian mendorong lahirnya praktik arsitektur yang lain, yakni model yang mengedepankan prinsip partisipasi, yang mensyaratkan terjadinya distribusi kuasa dalam proses kerjanya. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah; arsitek bukan lagi pemegang otoritas tunggal atas nilai suatu karya. Hal ini juga berbuntut panjang, sejalan dengan terjadinya distribusi kuasa (multi author), proses kerja perancangan tidak lagi berjalan linier dan dapat ‘(sepenuhnya) dikontrol’, seringkali membesar dan melebar ketimbang mengerucut atau (dipaksa untuk) fokus, karenanya keluaran karya pun menjadi sangat-sangat berbeda dengan keluaran karya arsitektur umumnya.

Inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti, ”Lalu di manakah arsitekturnya? Siapa sebenarnya arsiteknya? Apa itu keindahan?”

Untuk menjawab pertanyaan ‘ringan’ tersebut Rembuk dan ASF Indonesia mengajakmu mengupas bersama karya-karya dari Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID), yang bernapaskan partisipasi dalam banyak praktik kerjanya, lewat kaca mata filsafat estetika. Filsafat estetika dipakai sebagai perangkat kritis untuk menjawab pertanyaan di atas secara luas dan mendalam karena melalui cabang filsafat ini, kita akan dibantu untuk melihat keindahan sebagai bukan satu-satunya nilai estetis (masih ada nilai estetis lain dalam estetika), serta memahami estetika yang bukan hanya membahas tentang nilai estetis tetapi juga pengalaman estetis: seperti hubungan antara karya dengan masyarakat (Martin Suryajaya, 2016).

Oktober 2016,
Rembuk! dan ASF Indonesia


***
Hadirilah diskusi santai dan dekat yang akan mengupas dan merefleksikan satu tahun pembangunan Rumah Contoh Kampung Tongkol bersama Kamil Muhammad (ASF-ID) dan Martin Suryajaya, dengan tajuk:

“Arsitektur Partisipatoris:
(di mana) Arsitektur,
(siapa) Arsitek, dan
(apa) Keindahan?”

Jumat, 11 November 2016
Pukul 17:30-21:00
Ruang Gerilya,
Jl. Raden Patah 12, Bandung

Tempat terbatas
Pendaftaran di (tidak dipungut biaya)

poster-rembuk-asf-bw1