Urbanisasi Covid-19, Urbanisasi Kapital

Substansi tulisan ini didiskusikan dalam acara diskusi daring via Zoom bertajuk “New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik” yang diselenggarakan oleh Architecture Sans Frontières Indonesia pada 11 Juli 2020, dimana penulis menjadi salah satu pemantik.


Percepatan Pembangunan Sepuluh Kawasan Metropolitan

Pada 21 Juli 2020, laman Badan Pembangunan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memuat satu entri yang bertajuk “BPIW Susun Rencana Pengembangan 10 Kawasan Metropolitan.” Entri tersebut menyatakan bahwa “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19” pembangunan di sepuluh kawasan meteropolitan itu dipercepat. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai “amanat” Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu sebelumnya menyatakan bahwa “pada masa krisis perasaan pejabat publik harus sama, rasa dalam krisis.” Sebagai implementasi dari “rasa dalam krisis” tersebut, maka “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” diperlukan. BPIW PUPR menerjemahkan “rasa dalam krisis” dan keperluan akan “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” itu dalam bentuk percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan, yang pengembangannya memang sudah direncanakan sebelum pandemi Covid-19.

Kesepuluh kawasan metropolitan yang dimaksud adalah: Mebidangro (Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Karo); Patungraya Agung (Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir); Jabodetabekpunjur (DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Cianjur); Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi); Kedungsepur (Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kota Semarang, Ungaran Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Purwodadi Kabupaten Grobogan); Gerbangkertosusila (Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bangkalan); Banjar Bakula (Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Tanah Laut); Sarbagita (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan); Mamminasata (Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar); dan Bimin (Kota Manado, Kota Bitung, dan Kabupaten Minahasa Utara).

Tulisan ini melihat bahwa rencana percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan ini adalah satu manifestasi dari kondisi bahwa pemerintah lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi kapitalis daripada kesehatan/keselamatan warga negara. Pendapat ini akan ditopang dengan cara mendudukkan kasus percepatan pembangunan ini dalam konteks urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, dan inter-koneksi di antara keduanya.

Urbanisasi Covid-19

Sampai saat ini (6 Agustus 2020) berdasarkan visualisasi melalui peta di laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19, di Pulau Jawa dengan cepat terlihat bahwa daerah yang memiliki risiko tinggi kenaikan kasus adalah daerah-daerah perkotaan yang semuanya atau sebagian termasuk daerah yang dirancang sebagai bagian dari sepuluh kawasan metropolitan yang akan dipercepat pengembangannya itu.

Penting disampaikan di sini tentang data yang dipakai. Pada laman yang dimaksud di alinea sebelumnya, disebutkan bahwa “Hasil Pembobotan Skor dan Zonasi Risiko Daerah akan diperbaharui secara mingguan.” Namun disebutkan juga di laman tersebut, ketika diakses pada 6 Agustus 2020, data yang tersaji dalam “Peta Risiko” adalah data per 26 Juli 2020. Alias, “Peta Risiko” tidak diperbaharui sesuai dengan yang dijanjikan (mingguan).

“Peta Risiko” itu membagi-bagi daerah berdasarkan risiko kenaikan kasus Covid-19 ke dalam lima golongan, yaitu risiko tinggi, sedang, rendah, tidak ada kasus, dan tidak terdampak.

Kalau diurut dari barat ke timur, seperti yang tersaji dalam peta pada gambar di bawah, maka daerah-daerah yang memiliki “Risiko Tinggi” di Pulau Jawa tersebut adalah DKI Jakarta minus Kota/Kabupaten Kepulauan Seribu. DKI Jakarta dalam skema percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan yang disebutkan di atas termasuk ke dalam area Jabodetabekpunjur.

Bergerak ke tengah, kelompok dengan kategori “Risiko Tinggi” yang terlihat sangat mencolok di “Peta Risiko” adalah kawasan Kota Semarang dan sekitarnya, meliputi Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Jepara. Beberapa dari Kota/Kabupaten-kabupaten yang termasuk ke dalam risiko tinggi di bagian tengah Pulau Jawa ini dalam skema pengembangan sepuluh kawasan metropolitan yang direncanakan oleh BPIW termasuk ke dalam area metropolitan Kedungsepur.

Masih di Pulau Jawa, bergerak ke arah timur, satu plot “Risiko Tinggi” yang di peta terlihat berwarna merah adalah di sekitar Kota Surabaya. Termasuk dalam kelompok ini adalah Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, dan Kota Batu. Beberapa dari area ini masuk ke dalam apa yang disebut sebagai kawasan metropolitan Gerbangkertosusila.

 

Peta Risiko Kenaikan Kasus Covid-19 di Pulau Jawa dengan tiga zona merah di barat, tengah, dan timur. (sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, diunduh pada 6 Agustus 2020)

 

Dari penampakan “Peta Risiko” dan daerah-daerah yang dikategorikan memiliki risiko tinggi (atau biasanya disebut zona merah) tersebut, terlihat satu pola: bahwa zona-zona merah itu berada di wilayah perkotaan, terutama dalam hal ini adalah daerah-daerah yang diproyeksikan untuk dipercepat pengembangannya “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19.”

Dengan demikian, pertanyaan yang pertama sekali layak diajukan, atau pertanyaan yang masuk akal, sebelum mencanangkan percepatan proses pembangunan, seharusnya adalah: relasi/koneksi internal seperti apa yang ada (dibentuk dan membentuk) antara kawasan metropolitan dengan Covid-19 sehingga area-area perkotaan itu menjadi zona merah?

Dalam sebuah esei bertajuk “Global urbanization created the conditions for the current coronavirus pandemic” di The Conversation beberapa geografer mengidentifikasi bagaimana proses urbanisasi yang kapitalistik berlangsung melalui momen urbanisasi yang diperluas (extended urbanization) dan konsentrasi spasial (concentrated urbanization) menjadi mekanisme yang mengendalikan hubungan manusia dengan non-manusia, yang dalam hal ini adalah SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.

Extended dan concentrated urbanization adalah dua gerak dialektis dalam proses urbanisasi. Dialektis berarti yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain. Urbanisasi yang diperluas muncul dalam berbagai bentuk seperti bagaimana proses produksi-pertukaran-distribusi-konsumsi di perkotaan ditarik hingga molor ke pedesaan untuk kepentingan pasokan bahan mentah dan buruh murah atau juga untuk memasarkan komoditas (barang jualan). Posisi kawasan pedesaan (atau non-kota secara lebih umum) yang tersubordinasi oleh kawasan perkotaan ini membuat pakar menyebut kawasan pedesaan sebagai bentang alam operasional (operational landscape) yang dipetakan, digambar, didisain ulang, dan diekstrak; menjadi operasional dan terkoneksi dengan kawasan perkotaan. SARS-CoV-2 menginvasi manusia sebab habitat awalnya terganggu karena diubah menjadi operational landscape. Extended urbanization juga dapat dilihat dalam bagaimana kota-kota di dunia sudah saling terhubung melalui proses mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur transportasi.

Sementara concentrated urbanization adalah suatu pola konsentrasi moda-produsksi dan buruh dalam satu area geografis untuk mempermudah ekstraksi surplus oleh kapital. Kota adalah manifestasi material dari concentrated urbanization.

Kalau kita mengikuti ide yang ada dalam tulisan di The Conversation itu, maka kedua momen dalam proses urbanisasi ini menyumbang terhadap persebaran Covid-19. Di satu sisi, extended urbanization menyebabkan koneksi yang kuat antara berbagai ontologi spasial melalui mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur transportasi. Koneksi/mobilitas ini menjadi media bagi SARS-CoV-2 untuk melebarkan cakupan pengaruhnya ke hampir semua area di Planet Bumi.

Sementara, di sisi lain, kepadatan penduduk di daerah perkotaan (concentrated urbanization) menyebabkan persebaran Covid-19 di perkotaan menjadi lebih mudah. Hal ini sederhana untuk dipahami; di kawasan perkotaan yang padat, ada manusia – inang SARS-CoV-2 – banyak.

Dalam kesempatan ini, tulisan ini ingin melengkapi perspektif yang sudah dibangun oleh tulisan di The Conversation itu tentang bagaimana extended dan concentrated urbanization menciptakan kondisi bagi persebaran Covid-19, dengan menambahkan satu gerak dinamis dalam urbanisasi tentang bagaimana proses urbanisasi memiliki dampak yang berbeda terhadap orang/daerah tertentu.

Orang kaya, atau juga kota-kota di negara kaya, dapat melakukan work from home (kerja dari rumah), lockdown (mengunci teritori kota), atau juga physical distancing (jaga jarak). Orang miskin ada yang tidak dapat melakukan work from home, karena kadang-kadang apa yang disebut “work” dan “home” saja tidak punya. Lockdown juga tidak dapat dilakukan di kota seperti Jakarta karena bermacam-macam hal, misalnya, keterdesakan warga untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Demikian juga dengan physical distancing. Ini susah dilakukan karena ada banyak tempat di kota macam Jakarta dimana orang hidup berdesakan dalam satu ruang yang terbatas. Jadi, lockdown dan semacamnya, demikian sebuah artikel membuatnya eksplisit, sama sekali tidak ada/bisa dilakukan di kota macam Jakarta.

Dalam sebuah kesempatan, pembelajar urbanisasi yang lain menyebutkan bahwa selain extended dan concentrated urbanization, ada satu momen lagi yang bekerja dalam proses urbanisasi, yaitu differential urbanization, yang berarti dampak proses urbanisasi yang berbeda terhadap orang/daerah yang berbeda. Pengaruh dari Covid-19 yang dialami oleh orang miskin dan orang kaya, kota di negara miskin dan di negara kaya, tidaklah sama. Dampaknya timpang. Dimensi ketimpangan ini yang tidak secara eksplisit disampaikan oleh tulisan di The Conversation melalui lensa teori urbanisasi.

Ketiga momen dalam proses urbanisasi inilah (extended, concentrated, dan differential) yang saya lihat sejauh ini mengendalikan gerak persebaran/urbanisasi Covid-19. Maka tak mengherankan apabila kawasan-kawasan konsentrasi spasial seperti tiga area yang termasuk ke dalam zona merah di Pulau Jawa seperti disebutkan di atas menjadi pusat persebaran Covid-19.

Kalau begitu adanya, mengapa BPIW masih mendorong percepatan perencanaan pembangunan sepuluh kawasan metropolitan? Bukankah itu sama saja dengan mempercepat penciptaan suatu kawasan yang rentan terhadap pandemi seperti Covid-19? Kondisi ini semakin parah, karena, selain di Indonesia persebaran Covid-19 masih terus berlangsung dan menunjukkan gejala yang tidak membaik dari sudut pandang manusia, kerusakan-kerusakan lingkungan telah memosisikan manusia dan pemukimannya semakin rentan terhadap pandemi di masa depan. Untuk membangun pemahaman mengapa percepatan pembangunan kawasan-kawasan metropolitan ini terjadi meskipun ia berisiko memproduksi kawasan yang rentan terhadap pandemi di masa depan, saya perlu menjelaskan relasi urbanisasi dan kapitalisme.

Urbanisasi Kapital

Dalam buku “Rebel Cities: From the Right to the City to the Urban Revolution” meskipun tidak rigid/ketat, David Harvey menganalisis inter-relasi antara urbanisasi dan kapitalisme. Tidak ketat maksud saya di sini, misalnya, tidak disertai dengan satu rumus/formula matematis, apalagi mengaplikasikannya dalam ekonometri. Urbanisasi dan kapitalisme, demikian Harvey, saling membutuhkan. Di satu sisi urbanisasi adalah proses dari mana surplus diekstrak. Di sisi lain, ekstraksi surplus yang berujung pada akumulasi kapital membutuhkan urbanisasi untuk menyerapnya.

Untuk sampai ke poin itu, Harvey melakukan kritik (atau melengkapi) sudut pandang Marx(ist). Yang dominan dalam sudut pandang Marx, terutama dalam Capital I, adalah proses eksploitasi nilai-lebih dari hasil kerja-lebih buruh di dalam pabrik oleh kapitalis. Buruh begitu sentral dalam teori kapitalisme di pabrik yang dibangun oleh Marx. Bagi saya, ini tidak aneh, karena Marx menulis dengan tujuan politis: melihat buruh se-dunia bersatu.

Proses eksploitasi nilai-lebih di dalam pabrik tidak merefleksikan proses ekstraksi surplus melalui urbanisasi. Demikian kalau kita ikuti pemikiran Harvey. Kata-kata kunci dalam urbanisasi misalnya, bukanlah buruh, tapi kredit, kota, properti, atau juga harga/sewa tanah. Tentu saja untuk membangun infrastruktur kota dan properti seperti apartemen dan mall, tenaga buruh tetap dibutuhkan. Itu selaras dengan narasi dominan dalam Capital I-nya Marx. Yang baru adalah sifat pabrik yang berbeda dengan bisnis properti.

Dalam pabrik, katakanlah pabrik sepatu, investasi kapital relatif cepat kembali, seiring dengan penjualan (realisasi) produk/komoditasnya dalam bentuk sepatu yang relatif cepat. Dalam bisnis properti, kapital memiliki waktu-kembali (turn-over time) yang relatif lama. Ini terjadi karena harga properti seperti perumahan yang mahal, dan biasanya konsumen mendapatkannya melalui mekanisme kredit dengan jangka waktu pembayaran pinjaman (tenor) yang relatif panjang sampai puluhan tahun.

Namun, meskipun turn-over time di sektor properti lama, kapitalis tetap berinvestasi di sana. Ini terjadi, menurut Harvey, karena adanya “kapital fiktif” (fictitious capital). Kapital fiktif kira-kira adalah kapital semu yang diciptakan agar roda investasi tetap berputar. Sebab, kapital bukanlah kapital kalau tidak mengalami penganakan (valorisasi); sebagai kapital, ia akan mati kalau tidak diinivestasikan – tidak diinjeksikan dalam satu sirkuit yang baru. Jadi, kapital yang terakumulasi di tangan kapitalis (yang sering muncul dengan ekspresi minoritas jumlah orang yang menguasai mayoritas kekayaan) harus tetap diputar/ diinvestasikan/ diinjeksikan agar kapital tidak mati. Di sinilah sektor properti melalui skema kapital fiktif semakin mendapatkan ruangnya.

Pengembangan kawasan-kawasan metropolitan dan segala infrastrukturnya dianggap sebagai suatu jalan untuk memulihkan krisis ekonomi. Ia adalah satu cara dimana kapital yang terakumulasi dapat diinvestasikan; dimana buruh dan non-buruh dimobilisasi; dan pada gilirannya, darimana surplus dapat (kembali) diekstrak. Karena itu, agar krisis ekonomi yang terjadi karena Covid-19 dapat ditanggulangi, kira-kira demikian jalan pikiran orang-orang di BPIW, pengembangan kawasan-kawasan metropolitan itu harus dipercepat.

Untuk mengawalinya, pemerintah atau pengembang dapat meminjam kepada lembaga-lembaga finansial. Lembaga-lembaga finansial memiliki banyak cara untuk mendapatkan/mengumpulkan kapital, misalnya, menyedot uang dari publik melalui berbagai skema investasi. Lembaga finansial juga mengucurkan kredit kepada konsumen, baik itu untuk membeli rumah/apartemen, atau mobil untuk menggunakan infrastruktur seperti jalan tol di atau sekitar kawasan metropolitan yang akan dibangun itu.

Jadi, meskipun konsumen tidak memiliki uang, kredit selalu ada. Ia adalah kapital-semu, karena pada dasarnya dalam perputaran ini, surplus terutama didapatkan bukan dari eksploitasi nilai-lebih dari buruh seperti di pabrik, tapi dengan cara yang lain seperti melalui bunga pinjaman, sewa, dan/atau laba. Sementara, makna kapital dalam definisi yang dibangun Marx (dalam Capital I) adalah melalui eksploitasi waktu kerja-lebih buruh yang oleh kapitalis diubah menjadi nilai-lebih. Jadi ini bukan kapital dalam pengertian klasik seperti itu, tapi dalam bentuk lain. Karena itu dia disebut kapital fiktif.

Kapital fiktif adalah fiksi-fiksi (pembelian rumah, mobil, apartemen, dan lain-lain oleh konsumen dengan menggunakan kredit) yang dibangun di atas fiksi (pembangunan rumah atau apartemen atau infrastruktur, pendeknya kawasan perkotaan, melalui dana yang didapatkan dari mekanisme kredit); meminjam frase Harvey: “fictions built upon fiction.”

Sama seperti urbanisasi Covid-19 yang telah mendominasi dunia, kapital juga sudah mengalami urbanisasi (urbanisasi kapital) dan mendominasi cara pandang dan kerja pemerintah dalam hal bagaimana seharusnya dunia ini diatur. Ia sudah menjadi kebijakan negara. Bahwa: “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19,” sepuluh kawasan metropolitan akan dipercepat pembangunannya. Seolah-olah ini adalah satu-satunya cara pandang dan kerja. Seolah-olah ini adalah kebenaran.

Dalam kasus di AS pada 1930-an, seperti yang dijelaskan oleh Harvey, motivasi valorisasi kapital berpilin dengan motivasi/keuntungan politik (Harvey: “to kill two birds with one stone”). Di satu sisi ia menyegarkan ekonomi kapitalistik. Di sisi lain ini adalah satu cara mengkooptasi para pekerja yang termakan kampanye kebudayan tentang betapa pentingnya kepemilikan rumah. Para pekerja yang memiliki utang banyak karena mengambil kredit rumah menjadi konservatif dalam sikap politik, mereka enggan/tidak berdemonstrasi terhadap pemerintah.

Hal yang kurang lebih sama, dengan konteks dan kasus yang berbeda, terjadi di Jabodetabek. Bahwa dalam inter-koneksi kapital-urbanisasi, menumpang satu proses yang menguntungkan kapital: peredaman perlawanan. Jadi, bagi kapitalis, dengan sekali tembak (pembangunan kota melalui proses urbanisasi), ia mendapatkan dua mangsa (ekstraksi surplus sekaligus meredam perlawanan).

Pemikiran logisnya dapat saya paparkan sebagai berikut. Tujuan bernegara adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Rumah atau keamanan bermukim, fasilitas publik (akses terhadap energi, air, transportasi, udara, dan lain-lain) yang baik adalah hak warga negara. Manakala hak-hak itu tidak terpenuhi, sementara di sisi lain ada kelompok yang terus melakukan akumulasi kapital, dan tak jarang dengan menambah risiko buat orang lain (misalnya: konversi ruang hijau kota untuk mall oleh pengusaha properti yang membuat orang miskin semakin rentan terhadap risiko banjir), maka ini adalah sebuah ketidakadilan. Kondisi yang tidak adil biasanya memunculkan perlawanan.

Namun perlawanan sistematis untuk perubahan radikal-revolusioner itu tidak muncul. Saya memahami susahnya kemunculan perlawanan yang membawa perubahan radikal ini dari ritme kehidupan sehari-hari orang di metropolitan macam Jakarta dan sekitarnya.

Bagi orang yang tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta, maka hidup adalah bangun pagi, mungkin jam 5, naik KRL, dan pulang malam (mungkin jam 9). Sampai di rumah, pikiran dan badannya sudah lelah. Hidup adalah untuk bekerja, dan bekerja adalah untuk hidup, menjadi sekrup kapitalisme. Nyaris tak ada ruang untuk memikirkan mengapa hidup seperti itu. Kota Jakarta yang banjir, macet dan penuh polusi, diterima apa adanya. Kalau bisa, dinikmati.

Tatanan sosio-spasial Jakarta dan sekitarnya yang seperti itu (yang macet dan menyita sebagian besar waktu orang untuk berangkat kerja dan bekerja, yang penuh polusi, yang menjadi langganan banjir, yang tanahnya ambles), saya identifikasi sebagai model ideal dari tatanan sosio-spasial produk kapitalisme. Bersarang/tinggal di model ideal sosio-spasial kapitalisme ini artinya adalah kurangnya waktu untuk berfikir lebih politis-reflektif karena hidup adalah pergi-pagi-pulang-malam atau juga tersedot untuk menghadapi bencana (macam banjir yang semakin ke sini semakin intens) dan isu kesehatan (karena udara yang kotor).

Berbeda dari Harvey yang analisisnya melahirkan suatu cara pandang yang optimis akan terjadinya sebuah revolusi perkotaan, apa yang saya sampaikan ini adalah suatu cara pandang yang pesimis. Tetapi setidaknya berguna bagi saya sendiri untuk menjelaskan mengapa kehidupan yang begitu keras di kota macam Jakarta dan sekitarnya sangat susah menghasilkan perlawanan yang radikal-revolusioner terhadap berbagai muka ketidakadilan (ekonomi, budaya/representasi, akses, ruang, risiko pembangunan) dari warganya. Bukan berarti saya mengabaikan atau menganggap tidak penting semua bentuk perlawanan yang sejauh ini telah, dan akan tetap, muncul di Jakarta dan sekitarnya. Namun fakta bahwa dari hari ke hari di mata saya Jakarta terlihat semakin memburuk (dalam hal banjir, amblesan tanah, polusi, macet, ketimpangan, pandemi), setidaknya berbicara sendiri bahwa perubahan ke arah yang lebih baik itu belumlah mewujud.

Perlawanan sistematis terhadap proses kehidupan perkotaan macam metropolitan Jakarta yang ekstraktif dan penuh ketidakadilan memang masih ada, namun rasanya ia lebih banyak membeku di dalam buku-buku, menghuni perpustakaan atau berkas-berkas PDF, atau kadang-kadang hidup di kepala beberapa orang yang memiliki waktu senggang untuk membaca.

Urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, sampai di titik ini, telah berpilin (dibentuk dan membentuk). Persebaran atau urbanisasi Covid-19 sampai mendunia dibentuk melalui tiga momen dalam proses urbanisasi yang kapitalistik (extended, concentrated, dan differential). Pada gilirannya, urbanisasi Covid-19 ikut membentuk urbanisasi kapital. Ini terlihat dari bagaimana “pemulihan ekonomi” dari krisis yang dibentuk oleh Covid-19, menjadi pembenar bagi percepatan pembangunan sepuluh kawasan metropolitan yang sudah pasti tidak bisa lepas dari tiga momen dalam proses urbanisasi kapitalistik.

Dengan cara pandang seperti yang dipaparkan sepanjang tulisan ini, maka dapatlah disebutkan bahwa keselamatan warga kalah penting dari “pemulihan ekonomi” bagi kelompok macam BPIW. Sudah tidak penting lagi meskipun model perkotaan metropolitan merefleksikan kerentanan terhadap Covid-19, dan dengan demikian, membangun sepuluh kawasan metropolitan baru “dalam rangka pemulihan ekonomi” kapitalistik, kalau jalan pemikiran yang dipaparkan dalam tulisan ini diikuti, sama saja artinya dengan menciptakan secara massal kawasan-kawasan yang rentan pandemi di masa depan. Toh, diset untuk hidup dalam kawasan-kawasan metropolitan dengan risiko besar diserang pandemi pun, orang mungkin merasa itu adalah sesuatu yang normal, dan seharusnya memang begitu, tidak perlu dilawan; atau kalau ada yang merasa bahwa itu perlu dilawan, ia tidak (mampu) mengorganisasikan perlawanan yang setidaknya sepadan dengan kekuatan yang mau dilawan, setidaknya sampai saat ini. /////////

Rumah Pasca Pandemi: Mungkinkah Diterapkan?

ASFBDG-IAIJB4 - 1
Rumah Pasca Pandemi: Mungkinkah Diterapkan?

Diskusi #4 ASF-BDG & IAI Jabar

Rumah Pasca Pandemi: Mungkinkah Diterapkan?

Hadirnya pandemi SARS-NCOV2 saat ini bukan saja menyingkap tabir mengenai buruknya keadaan dan kebijakan kesehatan masyarakat kita, tapi juga ikut mengungkap rapuhnya sektor lain yang berkaitan dengan kesejahteraan publik atau masyarakat sipil. Salah satu yang menyeruak adalah persoalan krisis atau ketahanan pangan. Adanya krisis ini berdampak pada rantai pasokan pangan (food supply-chain). Tidak hanya pada produsen, krisis juga berdampak pada masyarakat urban yang dalam rantai pasokan pangan yang notabene memiliki peran sebagai konsumen.

Terkait dengan isu ketahanan pangan, tim arsitek muda dari Indonesia, terdiri dari Vinsensius Gilrandy Santoso dan Sri Rahma Apriliyanthi, telah memenangkan sayembara desain arsitektur sekancah Asia. Dengan berbekal isu krisis ketahanan pangan di Indonesia, tim mencoba menerapkan konsep permakultur yang melibatkan masyarakat sekitar dalam desain rancangan mereka. Apakah konsep rancangan ‘Rumah Pasca Pandemi’ dapat diterapkan pada kehidupan bermasyarakat di Indonesia? Bagaimana pengaruh praktek permakultur dalam isu ketahanan pangan?

Vinsensius Gilrandy Santoso dan Sri Rahma Apriliyanthi, Tim pemenang sayembara ARCASIA-ACYA 2020

Penanggap: Misbah Dwiyanto, Pendiri Kebun Belakang
Moderator: Fiqih R. Purnama, ASF-Bandung

Sabtu, 1 Agustus 2020, pukul 09.30 WIB – selesai
Platform: Zoom Meeting & Live Youtube ASF-ID

Registrasi : Rp 20.000,- (E-Sertifikat dan KUM IAI: 2.5)
Link Pendaftaran: ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Pembayaran: Bank Mandiri 130-00-1465467-0 a.n Arsitektur Swadaya dan Fasilitasi

*tautan Zoom akan diberikan via konfirmasi bukti pembayaran yang diunggah pada form pendaftaran⠀

Narahubung : +62-856-9308-9795 (Whatsapp: Alvin)

Akan disiarkan langsung via kanal YouTube ASF Indonesia:


Sri Rahma Apriliyanthi
Akrab disapa Riri ini merupakan jebolan dari program fast-track Arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 2019 berhasil meraih gelar sarjana dan magisternya dengan predikat cum-laude. Sebelumnya menjadi asisten dosen dan menjadi asisten dari tim riset di ITB, sekarang Riri berpraktik menjadi arsitek yunior. Di tahun 2020 Ia bersama Randy berhasil menjadi pemenang pertama dalam sayembara internasional dengan tema desain rumah yang merespon pandemi SARS-NCOV2 yang diselenggarakan oleh ARCASIA Committee on Young Architects (ACYA) dan Forum Arsitek Muda Yogyakarta (YYAF).

Vinsensius Gilrandy Santoso
Randy merupakan praktisi arsitek yang berkantor di studio Akanoma. Lulusan Unika Soegiapranata ini memiliki minat lebih pada material bambu. Risetnya bersama Gustav Anandhita berjudul “Pemanfaatan Botol Plastik Untuk Sambungan Ikat Pada Konstruksi Bambu” masuk dalam Seminar Struktur dalam Arsitektur IPLBI tahun 2019. Prestasi teranyar Randy adalah menjadi pemenang pertama dalam sayembara internasional dengan tema desain rumah yang merespon pandemi SARS-NCOV2 yang diselenggarakan oleh ARCASIA Committee on Young Architects (ACYA) dan Forum Arsitek Muda Yogyakarta (YYAF) bersama rekannya Riri.

Misbah Dwiyanto
Misbah adalah pendiri Kebun Belakang, sebua ruang untuk berbagi tentang berkebun natural dan cara hidup berkelanjutan. Lulusan Master of Communication di University of Gothenburg ini memutuskan untuk serius menjadi petani pada tahun 2015. Berkebun dan mengolah hasil kebun sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik

new normal
new normal COVID-19

Diskusi daring 
New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik

Via Zoom & Live Youtube
Sabtu, 11 Juli 2020, 11.00-13.00 WIB

Indonesia sedang berjuang melawan pandemi COVID-19 sejak bulan Maret 2020. Berbagai usaha penanganan dan pencegahan terus dilakukan untuk menahan laju persebarannya, baik oleh pemerintah maupun dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Namun, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman atau Eijkman Institute sempat menyatakan bahwa COVID-19 tidak akan hilang dalam waktu dekat, sehingga manusia harus hidup berdampingan dengan virus ini. Fase ini dikenal dengan sebutan new normal, yakni kehidupan baru yang mengadaptasi situasi pascapandemi. Konsep new normal ini menuai berbagai kritik. Banyak pihak menilai belum waktunya Indonesia masuk ke dalam fase tersebut, lantaran kasus COVID-19 belum berkurang, atau melandai sekalipun.

Sampai kapan pola kehidupan baru ini dijalankan? Bagaimana respon yang tepat dalam menanggapi keputusan pemerintah terkait kebijakan new normal di Indonesia?

Pemantik:
Arina Resyta (Peneliti, Rame-Rame Jakarta)
Bosman Batubara (Serikat Tani Kota Semarang)
Kamil Muhammad (Arsitek/Pegiat, pppooolll & ASF-Jakarta)

Moderator:
Fauziyyah Sofiyah

Registrasi:
Live Yotube: ASF Indonesia


Arina Resyta adalah sarjana arsitektur dari Institut Teknologi Bandung dengan pengalaman lima tahun dalam bidang desain urban dan perencanaan. Arina turut merancang beberapa panduan rancang kota terkait pengembangan berorientasi transit (transit-oriented development, TOD) di Jakarta serta terlibat dalam perencanaan empat TOD dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Saat ini Arina meneliti pada komunitas Rame-Rame Jakarta dalam tema compact neighborhood.

Bosman Batubara adalah alumnus teknik geologi pada Universitas Gadjah Mada (2005) dan Inter-University Programme in Water Resources Engineering, Katholieke Universiteit Leuven dan Vrije Universiteit Brussel, Belgia (2012). Bosman adalah kandidat doktoral dalam penyelesaian disertasi di Water Governance Department, IHE- Delft Institute for Water Education, Delft, dan Human Geography, Planning and International Development Department, University of Amsterdam dengan tajuk “Near-South Urbanization: Flows of people, water, and capital in and beyond (post-) New Order Jakarta.” Bosman juga anggota Serikat Tani Kota Semarang.

Kamil Muhammad adalah arsitek dan periset di pppooolll. Kamil adalah salah seorang pendiri Architecture Sans Frontieres Indonesia. Bertitel Master of Architecture dari University of Melbourne, risetnya terfokus pada persimpangan antara praktik spasial kritikal dan partisipasi masyarakat. Saat ini, Kamil mendampingi Kampung Kunir bersama ASF-Jakarta.

Pandemik – Perjalanan Kilas Balik dari 2050

Pandemik – Perjalanan Kilas Balik dari 2050
Oleh Fritjof Capra dan Hazel Henderson

Catatan: Penyebaran virus korona telah menyentuh peri kehidupan umat manusia sedunia. Akibatnya, segala sesuatu yang sebelumnya kita anggap lumrah kini terpikirkan. Berikut, terjemahan perspektif ilmu alam dari Fritjof Capra dan Hazel Henderson tentang kelindan kehidupan masa kini seputar ekonomi, energi, konsumsi, alam, dan kebiasaan lama yang selama ini menghambat penerapan ide-ide baru dan solusi radikal. Terima kasih yang tulus kepada para dokter dan paramedis yang berjuang di garis depan, serta kepada para petani-pekerja di garis belakang.  Semoga menjadi berkah inspirasi untuk zaman Pasca-Covid19. Salam sehat!

fraktal
Mandelbrot set, Wikipedia.org

Bayangkan, ini adalah tahun 2050 dan kita melihat kembali ke asal dan evolusi pandemi coronavirus selama tiga dekade terakhir. Mengekstrapolasi dari peristiwa terkini, kami menawarkan skenario berikut sebagai sebuah pandangan dari masa depan.

Ketika kita memasuki paruh kedua abad kedua puluh satu, kita akhirnya dapat memahami asal dan dampak coronavirus yang melanda dunia pada tahun 2020 dari perspektif sistem evolusioner. Hari ini, pada tahun 2050, melihat ke belakang dalam 40 tahun terakhir yang bergejolak di planet rumah kita, tampak jelas bahwa Bumi telah mengambil alih tugas mengajarkan keluarga manusia. Planet bumi mengajarkan kita keutamaan pemahaman tentang situasi secara keseluruhan sistem, yang diidentifikasi oleh beberapa pemikir berwawasan jauh hingga pertengahan abad ke-19. Kesadaran manusia yang semakin luas ini mengungkapkan bagaimana planet ini benar-benar berfungsi, biosfer kehidupannya secara sistemik didukung oleh aliran foton setiap hari dari bintang induk kita, Matahari.

Akhirnya, kesadaran yang berkembang ini mengatasi keterbatasan kognitif dan asumsi dan ideologi yang salah yang telah menciptakan krisis abad kedua puluh. Teori-teori palsu tentang perkembangan dan kemajuan manusia, diukur secara rabun dengan harga dan metrik berbasis uang, seperti Pendapatan Domestik Bruto (PDB), memuncak dengan meningkatnya kerugian sosial dan lingkungan: polusi udara, air, dan tanah; penghancuran keanekaragaman hayati; hilangnya manfaat ekosistem, semuanya diperburuk oleh pemanasan global, naiknya permukaan laut, dan gangguan iklim besar-besaran.

Kebijakan rabun jauh ini juga telah mendorong kerusakan sosial, ketimpangan, kemiskinan, penyakit mental dan fisik, kecanduan, hilangnya kepercayaan pada lembaga-lembaga – termasuk media, akademisi, dan sains itu sendiri – serta hilangnya solidaritas masyarakat. Mereka juga menyebabkan pandemi abad ke-21, SARS, MERS, AIDS, influenza, dan berbagai coronavirus yang muncul kembali pada tahun 2020.

Selama dekade terakhir abad ke-20, umat manusia telah melampaui daya dukung Bumi. Keluarga manusia telah tumbuh menjadi 7,6 miliar pada tahun 2020 dan melanjutkan obsesinya dengan pertumbuhan ekonomi, perusahaan, dan teknologi yang telah menyebabkan meningkatnya krisis eksistensial yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Dengan mendorong pertumbuhan berlebihan dengan bahan bakar fosil ini, manusia telah memanaskan atmosfer sedemikian rupa sehingga konsorsium ilmu iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IPCC, dalam catatan kiwari 2020 bahwa umat manusia hanya memiliki sepuluh tahun lagi untuk mengubah situasi krisis ini.

Sejauh tahun 2000, semua sarana sudah dekat: kami memiliki pengetahuan, dan telah merancang teknologi terbarukan yang efisien dan sistem ekonomi sirkuler, berdasarkan pada prinsip-prinsip ekologis alam. Pada tahun 2000, masyarakat patriarkal kehilangan kontrol atas populasi wanita mereka, karena kekuatan urbanisasi dan pendidikan. Perempuan sendiri mulai mengendalikan tubuh mereka, dan tingkat kesuburan mulai menurun bahkan sebelum pergantian abad ke-21. Pemberontakan yang meluas terhadap model globalisasi ekonomi sempit dari atas ke bawah dan elitnya yang didominasi laki-laki menyebabkan gangguan pada jalur pembangunan yang tidak berkelanjutan yang didorong oleh bahan bakar fosil, tenaga nuklir, militerisme, laba, keserakahan, dan kepemimpinan egosentris.

Anggaran militer yang telah memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan untuk pembangunan manusia, secara bertahap bergeser dari tank dan kapal perang menjadi perang informasi yang lebih murah dan kurang kejam. Pada awal abad ke-21, persaingan internasional untuk kekuasaan lebih berfokus pada propaganda sosial, teknologi persuasi, infiltrasi, dan kontrol internet global.

Pada tahun 2020, prioritas pandemi coronavirus dalam fasilitas medis bersaing dengan para korban di ruang gawat darurat, apakah mereka yang terluka oleh kekerasan senjata api atau pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa lainnya. Pada tahun 2019, gerakan anak-anak sekolah di seluruh AS bergabung dengan profesi medis dalam menentang kekerasan senjata sebagai krisis kesehatan masyarakat. Undang-undang senjata yang ketat secara bertahap mengikuti, bersama dengan penolakan produsen senjata api terhadap aset dana pensiun yang melumpuhkan lobi senjata dan, di banyak negara, senjata dibeli kembali oleh pemerintah dari pemilik senjata dan dihancurkan, seperti yang dilakukan Australia pada abad ke-20. Ini sangat mengurangi penjualan senjata global, bersama dengan hukum internasional yang membutuhkan lisensi dan asuransi tahunan yang mahal, sementara perpajakan global mengurangi perlombaan senjata yang sia-sia pada abad-abad sebelumnya. Konflik antar negara sekarang sebagian besar diatur oleh perjanjian internasional dan transparansi. Sekarang pada tahun 2050, konflik jarang melibatkan cara militer, beralih ke propaganda internet, pengawasan via gawai, dan perang cyber.

Pada tahun 2020, pemberontakan ini menunjukkan semua garis sesar dalam masyarakat manusia: dari rasisme dan ketidaktahuan, teori konspirasi, xenophobia dan pengkambing-hitaman “yang liyan” ke berbagai bias kognitif – determinisme teknologi, kebutaan yang disebabkan oleh teori, dan kesalah-pahaman fatal yang menyebar luas, yang bingung antara uang dengan kekayaan aktual. Uang, seperti yang kita semua ketahui hari ini, adalah penemuan yang berguna: semua mata uang hanyalah protokol sosial (token kepercayaan fisik atau virtual), yang beroperasi pada platform sosial dengan efek jaringan, harga mereka berfluktuasi sampai-sampai berbagai pengguna percaya dan menggunakannya. Namun, negara dan elit di seluruh dunia menjadi terpesona dengan uang dan dengan perjudian di “kasino keuangan global,” lebih jauh mendorong tujuh dosa mematikan atas nilai-nilai tradisional dari kerja sama, berbagi, saling membantu, dan Aturan Emas.

Para ilmuwan dan aktivis lingkungan telah memperingatkan konsekuensi mengerikan dari masyarakat yang tidak berkelanjutan ini dan sistem nilai retrogresif selama beberapa dekade, tetapi sampai pandemi 2020 para pemimpin perusahaan, politikus, dan elit lainnya, dengan keras kepala menentang peringatan ini. Sebelumnya tidak mampu memutus kecanduan mereka terhadap keuntungan finansial dan kekuasaan politik, rakyat mereka sendiri yang memaksa fokus kembali pada kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia dan komunitas kehidupan. Di setiap negara, industri-industri pemakai bahan bakar fosil atau minyak bumi berjuang untuk mempertahankan keringanan pajak dan subsidi mereka ketika harga gas dan minyak jatuh. Tetapi mereka tidak mampu membeli dukungan politik dan dukungan terhadap hak istimewa mereka. Diperlukan reaksi mendunia jutaan anak muda, “globalis akarrumput,” dan masyarakat adat, yang memahami proses sistemik planet kita Gaia – biosfer yang mengatur diri sendiri dan swa-organisasi yang selama miliaran tahun telah mengelola semua evolusi planet tanpa gangguan dari manusia yang mengalami gangguan kognitif.

Pada tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu, Gaia merespons dengan cara yang tidak terduga, seperti yang sering terjadi selama sejarah panjang evolusi. Manusia yang menebangi hutan hujan tropis yang luas dan intrusi masif ke ekosistem lain di seluruh dunia telah merajang ekosistem yang swa-atur ini dan merusak jaringan kehidupan. Salah satu dari banyak konsekuensi dari tindakan merusak ini adalah saat beberapa virus, yang hidup dalam simbiosis dengan spesies hewan tertentu, melompat dari spesies itu ke spesies lain dan ke manusia, di mana mereka sangat beracun atau mematikan. Orang-orang di banyak negara dan wilayah, yang terpinggirkan oleh sempitnya globalisasi ekonomi yang berorientasi pada keuntungan, mengobati rasa lapar mereka dengan mencari “daging buruan” di daerah-daerah liar yang baru terekspos ini, membunuh monyet, musang, trenggiling, tikus, dan kelelawar sebagai sumber protein tambahan. Spesies liar ini, yang membawa berbagai virus, juga dijual hidup di “pasar basah,” yang semakin mengekspos populasi perkotaan untuk virus baru ini.

Kembali pada 1960-an, misalnya, virus tidak dikenal melompat dari spesies monyet langka yang terbunuh sebagai “daging buruan” dan dimakan oleh manusia di Afrika Barat. Dari sana menyebar ke Amerika Serikat di mana ia diidentifikasi sebagai virus HIV dan menyebabkan epidemi AIDS. Lebih dari empat dekade, itu menyebabkan kematian sekitar 39 juta orang di seluruh dunia, sekitar setengah persen dari populasi dunia. Empat dekade kemudian, dampak dari coronavirus itu cepat dan dramatis. Pada tahun 2020, virus itu melonjak dari satu spesies kelelawar ke manusia di Cina, dan dari sana ia dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, menekan populasi dunia sekitar 50 juta hanya dalam satu dekade.

Dari sudut pandang tahun 2050 kita, kita dapat melihat kembali urutan virus: SARS, MERS, dan dampak global dari berbagai mutasi virus korona yang dimulai kembali pada tahun 2020. Akhirnya pandemi tersebut distabilkan, sebagian oleh larangan langsung, terkait “pasar basah” di seluruh China pada tahun 2020. Larangan tersebut menyebar ke negara-negara lain dan pasar global, memotong perdagangan hewan liar dan mengurangi vektor, bersama dengan sistem kesehatan masyarakat yang lebih baik, perawatan pencegahan, dan pengembangan vaksin dan obat-obatan yang efektif.

Pelajaran dasar bagi manusia dalam 50 tahun krisis tragis yang kita ciptakan sendiri – penderitaan pandemi, kota yang banjir, hutan yang terbakar, kekeringan dan bencana iklim yang semakin keras lainnya – sederhana, banyak berdasarkan penemuan Charles Darwin dan ahli biologi lainnya di abad kesembilan belas dan kedua puluh:

  • Kita manusia adalah satu spesies dengan sedikit variasi dalam DNA dasar kita.
  • Kami berevolusi dengan spesies lain di biosfer planet ini melalui seleksi alam, menanggapi perubahan dan tekanan di berbagai habitat dan lingkungan kami.
  • Kami adalah spesies global, yang bermigrasi keluar dari benua Afrika ke spesies lain, bersaing dengan spesies lain, menyebabkan berbagai kepunahan.
  • Kolonisasi dan kesuksesan planet kita, di Zaman Antroposen abad kedua puluh satu ini, sebagian besar disebabkan oleh kemampuan kita untuk mengikat, bekerja sama, berbagi, dan berkembang dalam populasi dan organisasi yang semakin besar.
  • Kemanusiaan tumbuh dari kelompok-kelompok peladang pindah yang tinggal di desa-desa pertanian yang menetap, ke kota-kota, dan kota-kota besar abad kedua puluh, tempat lebih dari 50% populasi kita hidup. Sampai krisis iklim dan pandemi di tahun-tahun pertama abad kedua puluh satu kita, semua ramalan meramalkan bahwa kota-kota besar ini akan terus tumbuh dan bahwa populasi manusia akan mencapai 10 miliar pada hari ini, pada tahun 2050.

Sekarang kita tahu mengapa populasi manusia mencapai angka 7,6 miliar pada tahun 2030, seperti yang diharapkan dalam skenario IPCC yang paling penuh harapan, serta dalam survei perkotaan global oleh para ilmuwan sosial yang mendokumentasikan penurunan kesuburan, Empty Planet  (2019). “Globalis akarrumput” yang baru sadar, pasukan anak-anak sekolah, aktivis lingkungan global, dan perempuan yang berdaya bergabung dengan investor dan pengusaha hijau yang lebih etis di pasar lokal. Jutaan orang dilayani oleh koperasi microgrid, didukung oleh listrik yang terbarukan, menambah perusahaan-perusahaan koperasi dunia, yang bahkan pada tahun 2012 mempekerjakan lebih banyak orang di seluruh dunia yang dipersatukan oleh semua organisasi nirlaba. Mereka tidak lagi menggunakan metrik uang dari PDB yang palsu, tetapi pada 2015 beralih untuk mengarahkan masyarakat mereka dengan Sustainable Development Goals (SDG) dari PBB; tujuhbelas tujuan kelestarian serta pemulihan semua ekosistem dan kesehatan manusia.

Sasaran dan metrik sosial baru ini semuanya berfokus pada kerjasama, saling berbagi, dan bentuk-bentuk pembangunan manusia yang lebih kaya, menggunakan sumber daya terbarukan dan memaksimalkan efisiensi. Kelestarian jangka panjang ini, didistribusikan secara adil, menguntungkan semua anggota keluarga manusia dalam toleransi pada spesies lain di biosfer hidup kita. Persaingan dan kreativitas berkembang dengan ide-ide bagus mengabaikan yang kurang berguna, disertai dengan standar etika berbasis sains dan informasi mendalam dalam masyarakat mandiri yang semakin terhubung di semua tingkatan dari lokal ke global.

Ketika coronavirus menyerang pada tahun 2020, tanggapan manusia pada awalnya kacau dan tidak memadai, tetapi segera menjadi semakin koheren dan bahkan secara dramatis berbeda. Perdagangan global menyusut menjadi hanya mengangkut barang langka, peralihan ke perdagangan informasi. Alih-alih mengirimkan keik, kue, dan biskuit di seluruh planet ini, kami mengirim resep mereka, dan semua resep lain untuk membuat makanan dan minuman nabati; dan secara lokal kami memasang teknologi hijau: matahari, angin, sumber energi panas bumi, lampu LED, kendaraan listrik, kapal, dan bahkan pesawat terbang.

Cadangan bahan bakar fosil tetap aman di tanah, karena karbon dipandang sebagai sumber daya, terlalu berharga untuk dibakar. Kelebihan CO2 di atmosfer dari pembakaran bahan bakar fosil ditangkap oleh bakteri tanah organik, tanaman berakar dalam, miliaran pohon yang baru ditanam, dan dalam penyeimbangan kembali yang meluas dari sistem makanan manusia berdasarkan agribisnis industri agro-kimia, periklanan dan perdagangan global beberapa tanaman monokultur. Ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil, pestisida, pupuk, antibiotik dalam diet daging hewan, semuanya didasarkan pada air tawar yang semakin menipis di planet ini dan terbukti tidak berkelanjutan. Saat ini, pada tahun 2050, makanan global kami diproduksi secara lokal, termasuk lebih banyak lagi tanaman asli dan liar yang terlewatkan, pertanian air asin dan semua tanaman pangan pencinta garam (halofit) lainnya yang protein lengkapnya lebih sehat untuk diet manusia.

Turisme massal dan perjalanan secara umum menurun secara radikal bersama dengan lalu-lintas udara dan penyusutan penggunaan bahan bakar minyak bumi. Masyarakat di seluruh dunia stabil di pusat-pusat populasi berukuran kecil hingga menengah, yang menjadi sangat mandiri dengan produksi makanan dan energi secara lokal dan regional. Penggunaan bahan bakar minyak bumi benar-benar menghilang, seperti yang sudah terjadi pada tahun 2020, ia tidak dapat lagi bersaing dengan pengembangan sumber daya energi terbarukan yang cepat dan teknologi baru yang sesuai serta mendaur ulang semua sumber daya yang sebelumnya terbuang menjadi ekonomi sirkuler kita saat ini.

Karena bahaya infeksi, pertemuan massal, gerai keringat, toko waralaba besar, serta acara olahraga dan hiburan di arena besar secara bertahap menghilang. Politik demokrasi menjadi lebih rasional, karena para demagog tidak lagi dapat mengumpulkan ribuan orang dalam demonstrasi besar untuk mendengarkan mereka. Janji-janji kosong mereka juga dikekang di media sosial, karena monopoli yang menghasilkan keuntungan ini dipecah pada tahun 2025 dan sekarang pada tahun 2050 diatur sebagai utilitas publik yang melayani kepentingan publik di semua negara.

Pasar keuangan kasino global runtuh dan kegiatan ekonomi bergeser kembali dari sektor finansial ke serikat kredit dan bank rakyat di sektor koperasi kita saat ini. Perakitan barang dan ekonomi-berbasis-jasa kita menghidupkan kembali tradisi barter dan sektor sukarela informal, mata uang lokal, serta berbagai transaksi non-moneter yang telah berkembang selama puncak pandemi. Sebagai konsekuensi dari desentralisasi yang tersebar luas dan pertumbuhan komunitas mandiri, ekonomi kita saat ini di tahun 2050 telah menjadi regeneratif tidak lagi ekstraktif. Kesenjangan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan akibat model eksploitatif dan obsesi pada uang sebagian besar telah menghilang.

Pandemik tahun 2020, yang menghancurkan pasar global, akhirnya menjungkirbalikkan ideologi uang dan fundamentalisme pasar. Alat-alat bank sentral tidak lagi berfungsi, sehingga “uang helikopter” dan pembayaran tunai diberikan langsung ke keluarga yang membutuhkan, seperti yang dipelopori oleh Brasil, menjadi satu-satunya cara mempertahankan daya beli untuk memperlancar transisi ekonomi yang tertib ke masyarakat yang berkelanjutan. Ini menggeser politisi AS dan Eropa untuk menciptakan uang baru dan kebijakan stimulus ini menggantikan “pengetatan” dan dengan cepat diinvestasikan dalam semua infrastruktur sumber daya terbarukan dalam masing-masing rencana Green New Deal mereka.

Ketika coronavirus menyebar ke hewan domestik, ternak, dan ruminansia lainnya, domba dan kambing, beberapa hewan ini menjadi pembawa penyakit tanpa menunjukkan gejala apa pun. Akibatnya, pembantaian dan konsumsi hewan menurun drastis di seluruh dunia. Penggembalaan dan pemeliharaan ternak telah menambah hampir 15% dari gas rumah kaca global tahunan. Perusahaan besar multinasional yang memproduksi daging disalip oleh investor yang cerdas sebagai grup penerus “aset terlantar”, demikian juga perusahaan bahan bakar minyak bumi. Beberapa beralih sepenuhnya ke makanan nabati dengan banyak analog daging, ikan, dan keju. Daging sapi menjadi sangat mahal dan langka, dan sapi biasanya dimiliki oleh keluarga, seperti biasanya, di peternakan kecil untuk susu lokal, keju, dan daging, bersama dengan telur dari ayam mereka.

Setelah pandemi mereda dengan ongkos mahal, vaksin telah ditemukan, perjalanan luar negeri hanya diizinkan dengan syarat sertifikat vaksinasi saat ini, yang digunakan terutama oleh kaum pedagang dan orang kaya. Mayoritas populasi dunia sekarang lebih suka paguyuban, pertemuan online dan berkomunikasi, juga bepergian secara lokal dengan transportasi umum, mobil listrik, dengan perahu layar bertenaga surya yang kita semua nikmati hari ini. Sebagai akibatnya, polusi udara telah menurun secara dramatis di semua kota besar di seluruh dunia.

Dengan tumbuhnya komunitas mandiri, apa yang disebut “desa perkotaan” telah bermunculan di banyak kota – lingkungan yang dirancang ulang yang menampilkan struktur kepadatan tinggi dikombinasikan dengan ruang hijau yang cukup umum. Area-area ini memiliki penghematan energi yang signifikan dan lingkungan yang sehat, aman, dan berorientasi komunitas dengan tingkat polusi yang berkurang secara drastis.

Kota-kota ramah lingkungan saat ini termasuk makanan yang tumbuh di gedung-gedung tinggi dengan atap-atap surya, kebun sayur-sayuran, dan transportasi umum listrik, setelah mobil-mobil sebagian besar dilarang dari jalan-jalan kota pada tahun 2030. Jalan-jalan ini direklamasi oleh pejalan kaki, pesepeda, dan orang-orang dengan skuter listrik menyusuri gerai lokal yang lebih kecil, galeri kerajinan, dan pasar petani. Kendaraan listrik tenaga surya untuk penggunaan antar kota sering mengisi dan mengosongkan baterai mereka di malam hari untuk menyeimbangkan pemakaian listrik di rumah. Anjungan mandiri pengisian-ulang kendaraan bertenaga surya tersedia di semua wilayah, mengurangi penggunaan listrik berbasis fosil dari jaringan terpusat yang usang, banyak diantaranya bangkrut pada tahun 2030.

Setelah semua perubahan dramatis yang kita nikmati hari ini, kita menyadari bahwa hidup kita sekarang bebas stres, lebih sehat, menyenangkan, sehingga komunitas kita dapat merencanakan masa depan jangka panjang. Untuk memastikan kelestarian cara hidup baru ini, kami menyadari bahwa pemulihan ekosistem di seluruh dunia sangat penting. Sehingga virus yang berbahaya bagi manusia tetap berada pada spesies hewan lain di mana mereka tidak berbahaya. Untuk memulihkan ekosistem di seluruh dunia, pergeseran ke pertanian organik dan regeneratif tumbuh subur, bersama dengan makanan nabati, minuman, dan semua makanan yang tumbuh di air asin dan hidangan rumput laut yang kita nikmati. Miliaran pohon, yang kita tanam di seluruh dunia setelah tahun 2020, bersama dengan perbaikan pertanian secara bertahap memulihkan ekosistem.

Sebagai konsekuensi dari semua perubahan ini iklim global akhirnya stabil dengan konsentrasi CO2 hari ini di atmosfer kembali ke tingkat yang aman, 350 bagian per juta. Permukaan laut yang lebih tinggi akan tetap selama satu abad dan banyak kota sekarang berkembang di tempat yang lebih aman dan lebih tinggi. Bencana iklim sekarang jarang terjadi, sementara banyak peristiwa cuaca masih terus mengganggu kehidupan kita, seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Berbagai krisis global dan pandemi, karena ketidaktahuan kita sebelumnya tentang proses planet dan putaran umpan-balik, memberi konsekuensi tragis yang meluas bagi individu dan masyarakat. Namun, kita manusia telah belajar banyak dari pelajaran menyakitkan. Hari ini, melihat ke belakang dari tahun 2050, kita menyadari bahwa Bumi adalah guru kita yang paling bijaksana, dan pelajarannya yang mengerikan mungkin telah menyelamatkan umat manusia dan sebagian besar komunitas kehidupan planet dari kepunahan.