KASEP: Sistem Pengelolaan Sampah untuk Warga Kampung Kota
Indonesia’s Top 12 Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016
Masyarakat selaku penghasil sampah harus ikut berperan dalam pengelolaan sampah sebagai amanat UU No. 18 Tahun 2008 dan Perda No. 09 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah Kota Bandung. Kampung kota, seringkali dikaitkan dengan informalitas, adalah penyusun terbesar struktur terbangun kota dan penyumbang sampah utama. Kampung kumuh, maka kota kumuh. Namun di sisi lain, berdayanya kampung akan menjadi kontribusi yang amat sangat besar terhadap kebersihan kota.
Menilik kesenjangan dan potensi antara tata kelola formal dan informal seperti kampung, tiga lulusan muda arsitektur dengan dukungan ASF-ID, Kristo, Usie, dan Siska, mengolah konsep aplikasi pengelolaan sampah berbasis peta. Konsep tersebut diajukan dalam ajang Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016, pada bulan Maret lalu. KASEP: Kampung-scale Waste Management Platform menjadi bagian Top 12 yang terpilih dari 100 lebih partisipan di Indonesia.
Simak saduran kisah kegiatan-kegiatan nyata yang mendasari konsep KASEP dalam format komik.
INDONESIA DARURAT SAMPAH
Indonesia mengalami darurat sampah[1]. Tata kelola persampahan seringkali tidak dapat mewadahi dinamika dan realita. Aktivitas manusia makin banyak menyisihkan material terbuang terlebih lagi di perkotaan. Timbulan sampah terjadi di area berkepadatan penduduk tinggi di mana sarana kelola dan lahan penampungan terbatas.
Kota Bandung pun tidak luput dari permasalahan itu. Setiap hari, kota Bandung menghasilkan 1500-1600 ton sampah.[2] Lebih dari separuh sampah tersebut adalah sampah organik.[3] Namun nyatanya, 30% dari total sampah per hari tidak dapat ditransportasikan karena berbagai kendala[4].
Tata kelola sampah Indonesia sudah mengenal Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) maupun usaha-usaha pengolahan lain. Akan tetapi, tata kelola masih cenderung mengutamakan konsep pemindahan sampah dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Pengumpulan Akhir (TPA). Di kota Bandung, terdapat 160 TPS, 10 di antaranya adalah TPST.
Sebanyak 1000-1100 ton sampah Bandung dipindahkan setiap hari ke TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung. Pemindahan sampah ini mengandalkan sarana-sarana perusahaan daerah maupun swasta. Semakin banyak sampah yang harus dipindah, semakin besar pula upaya transportasi sampah.
Sebelum proses pengolahan dan pemindahan sampah oleh Perusahaan Daerah Kebersihan (PD Kebersihan), terjadi proses manajemen sampah di masing-masing tempat timbulan sampah. Sumber sampah terbesar kota Bandung adalah permukiman yang mencapai 65% dari total sampah.
Tabel 1. Sumber sampah kota Bandung (PD Kebersihan Action Plan 2014)
No. | Sumber Sampah | Ton | % |
1 | Permukiman | 983.40 | 65.56 |
2 | Pasar | 281.55 | 18.77 |
3 | Jalan | 82.80 | 5.52 |
4 | Daerah Komersil | 89.85 | 5.99 |
5 | Institusi | 42.15 | 2.81 |
6 | Industri | 20.25 | 1.35 |
TOTAL | 1.500 | 100 |
Manajemen sampah berbeda satu sumber ke sumber yang lain. Pada permukiman swadaya seperti kampung kota, warga mengelola secara swadaya dengan perangkat RT dan RW. Beberapa permukiman formal/privat memiliki sistem kelola masing-masing. Pun industri, institusi dan komersial memiliki pengelola setempat. Berikut skema operasional manajemen dan transportasi sampah yang disiarkan oleh PD Kebersihan Bandung:
Gambar 1. Operasional komersil dan nonkomersil
(diolah dari Peraturan Daerah Kota Bandung No 09 Th. 2011 Tentang Pengelolaan Sampah)
Gambar 2. Operasional rumah tinggal
(diolah dari Peraturan Daerah Kota Bandung No. 09 Th. 2011 Tentang Pengelolaan Sampah)
Permukiman menghasilkan sampah terbesar (65%). Selain karena kepadatan penduduk yang tinggi, permukiman bertipologi kampung memang menyusun 46.12% lahan terbangun di kota Bandung. Prosentase ini jauh lebih besar dibandingkan permukiman formal, industri, dan jasa.
Gambar 3. Diagram lahan terbangun kota Bandung (diolah dari Widjaja, 2003)
Kesimpulan dapat kita tarik dari data-data yang terkumpul. Terdapat kesenjangan struktur antara informalitas dan formalitas. Di luar retribusi, institusi komersial maupun nonkomersial memiliki kelebihan tersendiri karena dapat mengelola sampah dengan sumber daya profesional (berbayar). Sedangkan persampahan di ruang-ruang informal tidak memiliki keistimewaan tersebut. Pengelolaan swadaya sering mengalami kendala baik dari segi teknis, pengetahuan, dan kesadaran masyarakat.
Kesenjangan tersebut menjadi masalah. Dilihat dari data sumber sampah, lahan terbangun, hingga skema operasional; permukiman terutama kampung menduduki posisi yang pelik. Apabila kampung kumuh, maka kota pun menjadi kumuh. Namun di sisi lain jika kampung berdaya menata diri, upaya-swadaya kampung akan menjad kontribusi yang sangat besar terhadap kota.
PLATFORM MANAJEMEN PERSAMPAHAN SKALA KAMPUNG
KASEP, Kampung-scale Waste Management Platform, dikonsepkan sebagai sebuah tools persampahan yang dapat digunakan warga per skala kampung kota. Platform ini bisa digunakan untuk membantu perencanaan dan pengelolaan persampahan komunitas yang dirintis oleh swadaya maupun mitra warga.
Konsep platform ini adalah berbagai fitur manajemen persampahan yang terintegrasi dengan peta dasar terolah. Peta dasar seperti Google Map dan Open Street Map diolah dengan peta kampung yang telah dipetakan secara partisipatif bersama warga.
Gambar 4. Rancangan UI dan fitur-fitur KASEP
Empat kelompok fitur yang dirancang adalah:
1. Mobilitas
– Rute pengelolaan resmi
– Input rute pengelolaan swadaya
2. Kuantitas
– Input data berbagai jenis dan kuantitas sampah seperti (1) organik, (2) daur-ulang, dan (3) berbahaya
3. Kualitas
– Lokasi terkait persampahan di skala komunitas dengan input informasi antara lain (1) deskripsi, (2) rating, dan (3) foto.
– Lokasi yang dapat dipetakan dalam skala kampung antara lain: (1) TPS, (2) TPST, (3) tempat pembuangan informal, (4) bank sampah, (5) biodigester, (6) komposter, (7) pengumpul barang bekas, dll.
4. Layanan masyarakat
– Kalender kegiatan persampahan (contoh: satu hari pengumpulan sampah plastik dalam seminggu, event penyuluhan bank sampah, dll)
– Layanan pendataan retribusi sampah
THEORY OF CHANGE
Gambar 5. Theory of change
Platform KASEP dirancang untuk dibentuk oleh aksi dan partisipasi nyata warga kampung kota. Visibilitas dan visualisasi adalah kata kunci yang penting di era digital dewasa ini. Basis peta dipilih karena peta dapat digambarkan tidak hanya secara digital, tetapi juga secara analog dan sederhana oleh siapapun—lintas umur, gender, bahkan level pendidikan. Pemetaan partisipatif menjadi pelengkap peta dasar yang disediakan oleh layanan publik.
Hasil peta partisipatif penting, terutama karena peta struktur ruang kampung/permukiman informal tidak semua terdata di peta layanan publik. Kenyataaan tersebut mengungkap bahwa pada dasarnya, ruang kampung belum dianggap sepenuhnya sebagai data penting. Proses dan hasil visualisasi akan mempermudah pemahaman sistem dan ruang baik bagi warga maupun petugas.
Gambar 6. Tatanan platform KASEP di sisi teknologi maupun implementasi
Dengan konsep tersebut, petugas dan pengguna platform akan mendapatkan sebuah metode baru yang dapat membantu pendekatan konvensional seperti sosialisasi dan penyuluhan.
MELIHAT KE DEPAN
Titik mula konsep KASEP berawal dari kesenjangan tata kelola maupun ketersediaan data antara formalitas dan informalitas. KASEP dirancang untuk menjadi jembatan tidak hanya dari segi tata kelola tetapi juga keberlanjutan. Pilot project KASEP ditujukan bagi komunitas kampung kota. Namun dalam roadmap pertumbuhannya, platform KASEP yang sudah dikembangkan dapat digunakan lebih lanjut oleh permukiman formal maupun sektor privat. Monetisasi yang didapatkan dari proses tersebut dapat digunakan untuk menjaga keberlanjutan platform agar tetap tersedia bagi warga kampung kota.
Gambar 7. Peta pertumbuhan KASEP
Urgensi kampung kota untuk berjejaring juga tidak kalah penting. Partisipasi berjejaring tidak hanya akan menghasilkan data komprehensif, tetapi juga upaya yang sistematis. Selain sebagai ruang hunian terjangkau, kampung juga merupakan ruang ekonomi, sosial dan budaya. Segala aktivitas warga yang terangkum telah membentuk jejaring kota. Kini saat yang tepat untuk mengarahkan langkah agar potensi tersebut tidak hilang, akan tetapi diberdayakan dan dihargai. Untuk menuju kota yang inklusif, aman, tahan, dan berlanjut seperti diamanatkan di SDG 11, partisipasi warga tanpa kecuali adalah syarat yang terutama [5].
Referensi:
[1] Indonesia Darurat Sampah. http://properti.kompas.com/read/2016/01/27/121624921/Indonesia.Darurat.Sampah. diakses Oktober 2016
[2] PD Kebersihan Kota Bandung, Action Plan 2014
[3] Ibid
[4] Profil PD Kebersihan Kota Bandung, 2016
[5] Sustainable Development Goals: SDG 11. Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable. https://sustainabledevelopment.un.org/sdg11. diakses Oktober 2016