Urbanisasi Covid-19, Urbanisasi Kapital

Substansi tulisan ini didiskusikan dalam acara diskusi daring via Zoom bertajuk “New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik” yang diselenggarakan oleh Architecture Sans Frontières Indonesia pada 11 Juli 2020, dimana penulis menjadi salah satu pemantik.


Percepatan Pembangunan Sepuluh Kawasan Metropolitan

Pada 21 Juli 2020, laman Badan Pembangunan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memuat satu entri yang bertajuk “BPIW Susun Rencana Pengembangan 10 Kawasan Metropolitan.” Entri tersebut menyatakan bahwa “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19” pembangunan di sepuluh kawasan meteropolitan itu dipercepat. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai “amanat” Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu sebelumnya menyatakan bahwa “pada masa krisis perasaan pejabat publik harus sama, rasa dalam krisis.” Sebagai implementasi dari “rasa dalam krisis” tersebut, maka “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” diperlukan. BPIW PUPR menerjemahkan “rasa dalam krisis” dan keperluan akan “kerja luar biasa dan terobosan-terobosan baru” itu dalam bentuk percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan, yang pengembangannya memang sudah direncanakan sebelum pandemi Covid-19.

Kesepuluh kawasan metropolitan yang dimaksud adalah: Mebidangro (Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Karo); Patungraya Agung (Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir); Jabodetabekpunjur (DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Cianjur); Cekungan Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi); Kedungsepur (Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kota Semarang, Ungaran Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Purwodadi Kabupaten Grobogan); Gerbangkertosusila (Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bangkalan); Banjar Bakula (Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten Tanah Laut); Sarbagita (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan); Mamminasata (Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar); dan Bimin (Kota Manado, Kota Bitung, dan Kabupaten Minahasa Utara).

Tulisan ini melihat bahwa rencana percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan ini adalah satu manifestasi dari kondisi bahwa pemerintah lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi kapitalis daripada kesehatan/keselamatan warga negara. Pendapat ini akan ditopang dengan cara mendudukkan kasus percepatan pembangunan ini dalam konteks urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, dan inter-koneksi di antara keduanya.

Urbanisasi Covid-19

Sampai saat ini (6 Agustus 2020) berdasarkan visualisasi melalui peta di laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19, di Pulau Jawa dengan cepat terlihat bahwa daerah yang memiliki risiko tinggi kenaikan kasus adalah daerah-daerah perkotaan yang semuanya atau sebagian termasuk daerah yang dirancang sebagai bagian dari sepuluh kawasan metropolitan yang akan dipercepat pengembangannya itu.

Penting disampaikan di sini tentang data yang dipakai. Pada laman yang dimaksud di alinea sebelumnya, disebutkan bahwa “Hasil Pembobotan Skor dan Zonasi Risiko Daerah akan diperbaharui secara mingguan.” Namun disebutkan juga di laman tersebut, ketika diakses pada 6 Agustus 2020, data yang tersaji dalam “Peta Risiko” adalah data per 26 Juli 2020. Alias, “Peta Risiko” tidak diperbaharui sesuai dengan yang dijanjikan (mingguan).

“Peta Risiko” itu membagi-bagi daerah berdasarkan risiko kenaikan kasus Covid-19 ke dalam lima golongan, yaitu risiko tinggi, sedang, rendah, tidak ada kasus, dan tidak terdampak.

Kalau diurut dari barat ke timur, seperti yang tersaji dalam peta pada gambar di bawah, maka daerah-daerah yang memiliki “Risiko Tinggi” di Pulau Jawa tersebut adalah DKI Jakarta minus Kota/Kabupaten Kepulauan Seribu. DKI Jakarta dalam skema percepatan pengembangan sepuluh kawasan metropolitan yang disebutkan di atas termasuk ke dalam area Jabodetabekpunjur.

Bergerak ke tengah, kelompok dengan kategori “Risiko Tinggi” yang terlihat sangat mencolok di “Peta Risiko” adalah kawasan Kota Semarang dan sekitarnya, meliputi Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Jepara. Beberapa dari Kota/Kabupaten-kabupaten yang termasuk ke dalam risiko tinggi di bagian tengah Pulau Jawa ini dalam skema pengembangan sepuluh kawasan metropolitan yang direncanakan oleh BPIW termasuk ke dalam area metropolitan Kedungsepur.

Masih di Pulau Jawa, bergerak ke arah timur, satu plot “Risiko Tinggi” yang di peta terlihat berwarna merah adalah di sekitar Kota Surabaya. Termasuk dalam kelompok ini adalah Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, dan Kota Batu. Beberapa dari area ini masuk ke dalam apa yang disebut sebagai kawasan metropolitan Gerbangkertosusila.

 

Peta Risiko Kenaikan Kasus Covid-19 di Pulau Jawa dengan tiga zona merah di barat, tengah, dan timur. (sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, diunduh pada 6 Agustus 2020)

 

Dari penampakan “Peta Risiko” dan daerah-daerah yang dikategorikan memiliki risiko tinggi (atau biasanya disebut zona merah) tersebut, terlihat satu pola: bahwa zona-zona merah itu berada di wilayah perkotaan, terutama dalam hal ini adalah daerah-daerah yang diproyeksikan untuk dipercepat pengembangannya “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19.”

Dengan demikian, pertanyaan yang pertama sekali layak diajukan, atau pertanyaan yang masuk akal, sebelum mencanangkan percepatan proses pembangunan, seharusnya adalah: relasi/koneksi internal seperti apa yang ada (dibentuk dan membentuk) antara kawasan metropolitan dengan Covid-19 sehingga area-area perkotaan itu menjadi zona merah?

Dalam sebuah esei bertajuk “Global urbanization created the conditions for the current coronavirus pandemic” di The Conversation beberapa geografer mengidentifikasi bagaimana proses urbanisasi yang kapitalistik berlangsung melalui momen urbanisasi yang diperluas (extended urbanization) dan konsentrasi spasial (concentrated urbanization) menjadi mekanisme yang mengendalikan hubungan manusia dengan non-manusia, yang dalam hal ini adalah SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.

Extended dan concentrated urbanization adalah dua gerak dialektis dalam proses urbanisasi. Dialektis berarti yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain. Urbanisasi yang diperluas muncul dalam berbagai bentuk seperti bagaimana proses produksi-pertukaran-distribusi-konsumsi di perkotaan ditarik hingga molor ke pedesaan untuk kepentingan pasokan bahan mentah dan buruh murah atau juga untuk memasarkan komoditas (barang jualan). Posisi kawasan pedesaan (atau non-kota secara lebih umum) yang tersubordinasi oleh kawasan perkotaan ini membuat pakar menyebut kawasan pedesaan sebagai bentang alam operasional (operational landscape) yang dipetakan, digambar, didisain ulang, dan diekstrak; menjadi operasional dan terkoneksi dengan kawasan perkotaan. SARS-CoV-2 menginvasi manusia sebab habitat awalnya terganggu karena diubah menjadi operational landscape. Extended urbanization juga dapat dilihat dalam bagaimana kota-kota di dunia sudah saling terhubung melalui proses mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur transportasi.

Sementara concentrated urbanization adalah suatu pola konsentrasi moda-produsksi dan buruh dalam satu area geografis untuk mempermudah ekstraksi surplus oleh kapital. Kota adalah manifestasi material dari concentrated urbanization.

Kalau kita mengikuti ide yang ada dalam tulisan di The Conversation itu, maka kedua momen dalam proses urbanisasi ini menyumbang terhadap persebaran Covid-19. Di satu sisi, extended urbanization menyebabkan koneksi yang kuat antara berbagai ontologi spasial melalui mobilitas orang dan barang yang dimediasi oleh infrastruktur transportasi. Koneksi/mobilitas ini menjadi media bagi SARS-CoV-2 untuk melebarkan cakupan pengaruhnya ke hampir semua area di Planet Bumi.

Sementara, di sisi lain, kepadatan penduduk di daerah perkotaan (concentrated urbanization) menyebabkan persebaran Covid-19 di perkotaan menjadi lebih mudah. Hal ini sederhana untuk dipahami; di kawasan perkotaan yang padat, ada manusia – inang SARS-CoV-2 – banyak.

Dalam kesempatan ini, tulisan ini ingin melengkapi perspektif yang sudah dibangun oleh tulisan di The Conversation itu tentang bagaimana extended dan concentrated urbanization menciptakan kondisi bagi persebaran Covid-19, dengan menambahkan satu gerak dinamis dalam urbanisasi tentang bagaimana proses urbanisasi memiliki dampak yang berbeda terhadap orang/daerah tertentu.

Orang kaya, atau juga kota-kota di negara kaya, dapat melakukan work from home (kerja dari rumah), lockdown (mengunci teritori kota), atau juga physical distancing (jaga jarak). Orang miskin ada yang tidak dapat melakukan work from home, karena kadang-kadang apa yang disebut “work” dan “home” saja tidak punya. Lockdown juga tidak dapat dilakukan di kota seperti Jakarta karena bermacam-macam hal, misalnya, keterdesakan warga untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Demikian juga dengan physical distancing. Ini susah dilakukan karena ada banyak tempat di kota macam Jakarta dimana orang hidup berdesakan dalam satu ruang yang terbatas. Jadi, lockdown dan semacamnya, demikian sebuah artikel membuatnya eksplisit, sama sekali tidak ada/bisa dilakukan di kota macam Jakarta.

Dalam sebuah kesempatan, pembelajar urbanisasi yang lain menyebutkan bahwa selain extended dan concentrated urbanization, ada satu momen lagi yang bekerja dalam proses urbanisasi, yaitu differential urbanization, yang berarti dampak proses urbanisasi yang berbeda terhadap orang/daerah yang berbeda. Pengaruh dari Covid-19 yang dialami oleh orang miskin dan orang kaya, kota di negara miskin dan di negara kaya, tidaklah sama. Dampaknya timpang. Dimensi ketimpangan ini yang tidak secara eksplisit disampaikan oleh tulisan di The Conversation melalui lensa teori urbanisasi.

Ketiga momen dalam proses urbanisasi inilah (extended, concentrated, dan differential) yang saya lihat sejauh ini mengendalikan gerak persebaran/urbanisasi Covid-19. Maka tak mengherankan apabila kawasan-kawasan konsentrasi spasial seperti tiga area yang termasuk ke dalam zona merah di Pulau Jawa seperti disebutkan di atas menjadi pusat persebaran Covid-19.

Kalau begitu adanya, mengapa BPIW masih mendorong percepatan perencanaan pembangunan sepuluh kawasan metropolitan? Bukankah itu sama saja dengan mempercepat penciptaan suatu kawasan yang rentan terhadap pandemi seperti Covid-19? Kondisi ini semakin parah, karena, selain di Indonesia persebaran Covid-19 masih terus berlangsung dan menunjukkan gejala yang tidak membaik dari sudut pandang manusia, kerusakan-kerusakan lingkungan telah memosisikan manusia dan pemukimannya semakin rentan terhadap pandemi di masa depan. Untuk membangun pemahaman mengapa percepatan pembangunan kawasan-kawasan metropolitan ini terjadi meskipun ia berisiko memproduksi kawasan yang rentan terhadap pandemi di masa depan, saya perlu menjelaskan relasi urbanisasi dan kapitalisme.

Urbanisasi Kapital

Dalam buku “Rebel Cities: From the Right to the City to the Urban Revolution” meskipun tidak rigid/ketat, David Harvey menganalisis inter-relasi antara urbanisasi dan kapitalisme. Tidak ketat maksud saya di sini, misalnya, tidak disertai dengan satu rumus/formula matematis, apalagi mengaplikasikannya dalam ekonometri. Urbanisasi dan kapitalisme, demikian Harvey, saling membutuhkan. Di satu sisi urbanisasi adalah proses dari mana surplus diekstrak. Di sisi lain, ekstraksi surplus yang berujung pada akumulasi kapital membutuhkan urbanisasi untuk menyerapnya.

Untuk sampai ke poin itu, Harvey melakukan kritik (atau melengkapi) sudut pandang Marx(ist). Yang dominan dalam sudut pandang Marx, terutama dalam Capital I, adalah proses eksploitasi nilai-lebih dari hasil kerja-lebih buruh di dalam pabrik oleh kapitalis. Buruh begitu sentral dalam teori kapitalisme di pabrik yang dibangun oleh Marx. Bagi saya, ini tidak aneh, karena Marx menulis dengan tujuan politis: melihat buruh se-dunia bersatu.

Proses eksploitasi nilai-lebih di dalam pabrik tidak merefleksikan proses ekstraksi surplus melalui urbanisasi. Demikian kalau kita ikuti pemikiran Harvey. Kata-kata kunci dalam urbanisasi misalnya, bukanlah buruh, tapi kredit, kota, properti, atau juga harga/sewa tanah. Tentu saja untuk membangun infrastruktur kota dan properti seperti apartemen dan mall, tenaga buruh tetap dibutuhkan. Itu selaras dengan narasi dominan dalam Capital I-nya Marx. Yang baru adalah sifat pabrik yang berbeda dengan bisnis properti.

Dalam pabrik, katakanlah pabrik sepatu, investasi kapital relatif cepat kembali, seiring dengan penjualan (realisasi) produk/komoditasnya dalam bentuk sepatu yang relatif cepat. Dalam bisnis properti, kapital memiliki waktu-kembali (turn-over time) yang relatif lama. Ini terjadi karena harga properti seperti perumahan yang mahal, dan biasanya konsumen mendapatkannya melalui mekanisme kredit dengan jangka waktu pembayaran pinjaman (tenor) yang relatif panjang sampai puluhan tahun.

Namun, meskipun turn-over time di sektor properti lama, kapitalis tetap berinvestasi di sana. Ini terjadi, menurut Harvey, karena adanya “kapital fiktif” (fictitious capital). Kapital fiktif kira-kira adalah kapital semu yang diciptakan agar roda investasi tetap berputar. Sebab, kapital bukanlah kapital kalau tidak mengalami penganakan (valorisasi); sebagai kapital, ia akan mati kalau tidak diinivestasikan – tidak diinjeksikan dalam satu sirkuit yang baru. Jadi, kapital yang terakumulasi di tangan kapitalis (yang sering muncul dengan ekspresi minoritas jumlah orang yang menguasai mayoritas kekayaan) harus tetap diputar/ diinvestasikan/ diinjeksikan agar kapital tidak mati. Di sinilah sektor properti melalui skema kapital fiktif semakin mendapatkan ruangnya.

Pengembangan kawasan-kawasan metropolitan dan segala infrastrukturnya dianggap sebagai suatu jalan untuk memulihkan krisis ekonomi. Ia adalah satu cara dimana kapital yang terakumulasi dapat diinvestasikan; dimana buruh dan non-buruh dimobilisasi; dan pada gilirannya, darimana surplus dapat (kembali) diekstrak. Karena itu, agar krisis ekonomi yang terjadi karena Covid-19 dapat ditanggulangi, kira-kira demikian jalan pikiran orang-orang di BPIW, pengembangan kawasan-kawasan metropolitan itu harus dipercepat.

Untuk mengawalinya, pemerintah atau pengembang dapat meminjam kepada lembaga-lembaga finansial. Lembaga-lembaga finansial memiliki banyak cara untuk mendapatkan/mengumpulkan kapital, misalnya, menyedot uang dari publik melalui berbagai skema investasi. Lembaga finansial juga mengucurkan kredit kepada konsumen, baik itu untuk membeli rumah/apartemen, atau mobil untuk menggunakan infrastruktur seperti jalan tol di atau sekitar kawasan metropolitan yang akan dibangun itu.

Jadi, meskipun konsumen tidak memiliki uang, kredit selalu ada. Ia adalah kapital-semu, karena pada dasarnya dalam perputaran ini, surplus terutama didapatkan bukan dari eksploitasi nilai-lebih dari buruh seperti di pabrik, tapi dengan cara yang lain seperti melalui bunga pinjaman, sewa, dan/atau laba. Sementara, makna kapital dalam definisi yang dibangun Marx (dalam Capital I) adalah melalui eksploitasi waktu kerja-lebih buruh yang oleh kapitalis diubah menjadi nilai-lebih. Jadi ini bukan kapital dalam pengertian klasik seperti itu, tapi dalam bentuk lain. Karena itu dia disebut kapital fiktif.

Kapital fiktif adalah fiksi-fiksi (pembelian rumah, mobil, apartemen, dan lain-lain oleh konsumen dengan menggunakan kredit) yang dibangun di atas fiksi (pembangunan rumah atau apartemen atau infrastruktur, pendeknya kawasan perkotaan, melalui dana yang didapatkan dari mekanisme kredit); meminjam frase Harvey: “fictions built upon fiction.”

Sama seperti urbanisasi Covid-19 yang telah mendominasi dunia, kapital juga sudah mengalami urbanisasi (urbanisasi kapital) dan mendominasi cara pandang dan kerja pemerintah dalam hal bagaimana seharusnya dunia ini diatur. Ia sudah menjadi kebijakan negara. Bahwa: “dalam rangka pemulihan ekonomi dampak Covid-19,” sepuluh kawasan metropolitan akan dipercepat pembangunannya. Seolah-olah ini adalah satu-satunya cara pandang dan kerja. Seolah-olah ini adalah kebenaran.

Dalam kasus di AS pada 1930-an, seperti yang dijelaskan oleh Harvey, motivasi valorisasi kapital berpilin dengan motivasi/keuntungan politik (Harvey: “to kill two birds with one stone”). Di satu sisi ia menyegarkan ekonomi kapitalistik. Di sisi lain ini adalah satu cara mengkooptasi para pekerja yang termakan kampanye kebudayan tentang betapa pentingnya kepemilikan rumah. Para pekerja yang memiliki utang banyak karena mengambil kredit rumah menjadi konservatif dalam sikap politik, mereka enggan/tidak berdemonstrasi terhadap pemerintah.

Hal yang kurang lebih sama, dengan konteks dan kasus yang berbeda, terjadi di Jabodetabek. Bahwa dalam inter-koneksi kapital-urbanisasi, menumpang satu proses yang menguntungkan kapital: peredaman perlawanan. Jadi, bagi kapitalis, dengan sekali tembak (pembangunan kota melalui proses urbanisasi), ia mendapatkan dua mangsa (ekstraksi surplus sekaligus meredam perlawanan).

Pemikiran logisnya dapat saya paparkan sebagai berikut. Tujuan bernegara adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Rumah atau keamanan bermukim, fasilitas publik (akses terhadap energi, air, transportasi, udara, dan lain-lain) yang baik adalah hak warga negara. Manakala hak-hak itu tidak terpenuhi, sementara di sisi lain ada kelompok yang terus melakukan akumulasi kapital, dan tak jarang dengan menambah risiko buat orang lain (misalnya: konversi ruang hijau kota untuk mall oleh pengusaha properti yang membuat orang miskin semakin rentan terhadap risiko banjir), maka ini adalah sebuah ketidakadilan. Kondisi yang tidak adil biasanya memunculkan perlawanan.

Namun perlawanan sistematis untuk perubahan radikal-revolusioner itu tidak muncul. Saya memahami susahnya kemunculan perlawanan yang membawa perubahan radikal ini dari ritme kehidupan sehari-hari orang di metropolitan macam Jakarta dan sekitarnya.

Bagi orang yang tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta, maka hidup adalah bangun pagi, mungkin jam 5, naik KRL, dan pulang malam (mungkin jam 9). Sampai di rumah, pikiran dan badannya sudah lelah. Hidup adalah untuk bekerja, dan bekerja adalah untuk hidup, menjadi sekrup kapitalisme. Nyaris tak ada ruang untuk memikirkan mengapa hidup seperti itu. Kota Jakarta yang banjir, macet dan penuh polusi, diterima apa adanya. Kalau bisa, dinikmati.

Tatanan sosio-spasial Jakarta dan sekitarnya yang seperti itu (yang macet dan menyita sebagian besar waktu orang untuk berangkat kerja dan bekerja, yang penuh polusi, yang menjadi langganan banjir, yang tanahnya ambles), saya identifikasi sebagai model ideal dari tatanan sosio-spasial produk kapitalisme. Bersarang/tinggal di model ideal sosio-spasial kapitalisme ini artinya adalah kurangnya waktu untuk berfikir lebih politis-reflektif karena hidup adalah pergi-pagi-pulang-malam atau juga tersedot untuk menghadapi bencana (macam banjir yang semakin ke sini semakin intens) dan isu kesehatan (karena udara yang kotor).

Berbeda dari Harvey yang analisisnya melahirkan suatu cara pandang yang optimis akan terjadinya sebuah revolusi perkotaan, apa yang saya sampaikan ini adalah suatu cara pandang yang pesimis. Tetapi setidaknya berguna bagi saya sendiri untuk menjelaskan mengapa kehidupan yang begitu keras di kota macam Jakarta dan sekitarnya sangat susah menghasilkan perlawanan yang radikal-revolusioner terhadap berbagai muka ketidakadilan (ekonomi, budaya/representasi, akses, ruang, risiko pembangunan) dari warganya. Bukan berarti saya mengabaikan atau menganggap tidak penting semua bentuk perlawanan yang sejauh ini telah, dan akan tetap, muncul di Jakarta dan sekitarnya. Namun fakta bahwa dari hari ke hari di mata saya Jakarta terlihat semakin memburuk (dalam hal banjir, amblesan tanah, polusi, macet, ketimpangan, pandemi), setidaknya berbicara sendiri bahwa perubahan ke arah yang lebih baik itu belumlah mewujud.

Perlawanan sistematis terhadap proses kehidupan perkotaan macam metropolitan Jakarta yang ekstraktif dan penuh ketidakadilan memang masih ada, namun rasanya ia lebih banyak membeku di dalam buku-buku, menghuni perpustakaan atau berkas-berkas PDF, atau kadang-kadang hidup di kepala beberapa orang yang memiliki waktu senggang untuk membaca.

Urbanisasi Covid-19 dan urbanisasi kapital, sampai di titik ini, telah berpilin (dibentuk dan membentuk). Persebaran atau urbanisasi Covid-19 sampai mendunia dibentuk melalui tiga momen dalam proses urbanisasi yang kapitalistik (extended, concentrated, dan differential). Pada gilirannya, urbanisasi Covid-19 ikut membentuk urbanisasi kapital. Ini terlihat dari bagaimana “pemulihan ekonomi” dari krisis yang dibentuk oleh Covid-19, menjadi pembenar bagi percepatan pembangunan sepuluh kawasan metropolitan yang sudah pasti tidak bisa lepas dari tiga momen dalam proses urbanisasi kapitalistik.

Dengan cara pandang seperti yang dipaparkan sepanjang tulisan ini, maka dapatlah disebutkan bahwa keselamatan warga kalah penting dari “pemulihan ekonomi” bagi kelompok macam BPIW. Sudah tidak penting lagi meskipun model perkotaan metropolitan merefleksikan kerentanan terhadap Covid-19, dan dengan demikian, membangun sepuluh kawasan metropolitan baru “dalam rangka pemulihan ekonomi” kapitalistik, kalau jalan pemikiran yang dipaparkan dalam tulisan ini diikuti, sama saja artinya dengan menciptakan secara massal kawasan-kawasan yang rentan pandemi di masa depan. Toh, diset untuk hidup dalam kawasan-kawasan metropolitan dengan risiko besar diserang pandemi pun, orang mungkin merasa itu adalah sesuatu yang normal, dan seharusnya memang begitu, tidak perlu dilawan; atau kalau ada yang merasa bahwa itu perlu dilawan, ia tidak (mampu) mengorganisasikan perlawanan yang setidaknya sepadan dengan kekuatan yang mau dilawan, setidaknya sampai saat ini. /////////

Perween Rahman: Arsitek tanpa Batas*

Perween Rahman
Perween Rahman

Mimpi buruk tadi malam: asap putih mengepul dari cerobong asap Kastil Pritzker menandakan terpilihnya bapak baru ordo arsitek putih, yang konon telah empatpuluh tahun mengabdi pada profesi mencipta bangunan-bangunan putih yang klimis, berongga, dan sensual. Masih seputih kapel di Ronchamp rancangan le Corbusier enam dekade lalu. Hampir satu abad sudah arsitektur modern mengorbit dalam kelembaman. Kapel-kapel putih itu kini menjadi kapal-kapal hantu, benda-benda asing dalam vakum. Seperti serakan bangkai satelit Cina yang menabrak satelit Rusia, ia merusak sesamanya, swa-destruktif dalam eksistensinya, begitupun, ia langgeng oleh momen inersia.

Sementara itu di distrik Orangi, Karachi, Pakistan, pada tahun 1970-an gravitasi begitu kuat. Ribuan keluarga dari sekitaran, pedalaman, dan dari Pakistan Timur (kini: Bangladesh) yang tengah bergejolak tiba untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Namun, mereka dapatkan modernitas bagai sebuah mimpi buruk; distopia. Bagi kaum miskin di distrik Orangi, hidup di masa kini artinya harus mau tinggal di kampung-kampung kumuh dengan jalanan yang becek, minus sanitasi rumah maupun lingkungan. Lahan dan air bersih dibayar mahal karena dibeli dari para calo.

Perween Rahman, nama arsitek muda itu. Setelah lulus sarjana pada tahun 1981 ia langsung mendapat pekerjaan. Tapi, selang beberapa bulan ia tinggalkan kantor arsitek ternama itu begitu saja. Gravitasi yang begitu kuat menarik Perween membumi. Saat itu dengan satu-setengah juta penduduk, Orangi adalah salah satu kampung miskin terbesar di Asia. Perween bergabung dengan sebuah lembaga lokal bernama Orangi Pilot Project (OPP) dan bertemu ahli pembangunan Akhtar Hameed Khan. Terhindar dari bayang-bayang nama besar senior, ia bebas menyuarakan pikiran-pikirannya. Tentang seniornya kelak ia berkata, “saya beruntung sempat bekerja dengan yang terbaik. Di OPP kita belajar sambil tumbuh berkembang. Disini kita belajar bagaimana menikmati hidup meski dalam kesederhanaan.” Perween sempat menempuh pendidikan tinggi di Belanda hingga kembali tahun 1986 dan menjadi direktur OPP. Sejak itu ia fokus pada bidang sanitasi dan kredit-mikro demi memperbaiki kehidupan kaum yang ditelantarkan oleh pemerintah, dan dipinggirkan oleh saudara sebangsanya.

Ahh, tak penting bagi mereka apa itu konsep kebangsaan, tidak juga itu penting analisis budaya, teori-teori poskolonial, pertentangan ideologi dalam Perang Dingin, apalagi kerjasama pembangunan dan bantuan internasional, semua itu tidak mungkin dapat mengatasi masalah perumahan yang begitu kentara dan mepet dihadapi kaum miskin di Karachi, Sindh, maupun Pakistan. Etos mereka adalah bekerja langsung bersama warga. OPP berusaha menjadi organisasi yang responsif, relevan, mandiri, dan mengakar. “Kalau mereka bilang Bank Dunia perlu $10 untuk melakukan itu, kami sanggup melakukan hal yang sama dengan $1,” ujar Perween. OPP melatih anak-anak muda setempat untuk memetakan kampung sehingga mereka paham akan situasi mereka sendiri, mampu merencana kampung, memperbaiki jalan, meletakan sistim drainase, menyambung pipa dari rumah ke rumah.

Di kemudian hari OPP menjadi rujukan bagi pers dan siapapun yang haus akan informasi tentang kenyataan di Karachi. Hasil kerja mereka sangat dihargai di dunia profesi, oleh para pelaku pembangunan swadaya dan partisipatoris. Tetapi Perween tidak nyaman dengan sorotan media. Sehingga dunia mengenal perannya lebih detil lewat buku “Instant City: Life and Death in Karachi” yang ditulis oleh Steve Inskeep. Dari ibu asal Hyderabad dan ayah dari Patna, Perween lahir pada tahun 1957 di Dhaka, yang saat itu adalah ibukota Pakistan Timur. Perween remaja dan keluarga harus mengungsi ke Karachi, Pakistan Barat, saat kekerasan komunal atau konflik sektarian muncul seiring kekacauan politik menjelang berdirinya Bangladesh pada tahun 1971.

Melalui peta-peta itu kelak tampak bagi semua, pihak-pihak mana yang mengambil keuntungan besar dari bisnis kotor penyerobotan lahan, serta dari para pengecer sekaligus pencuri air ledeng. Peta-peta itu telah mengusik status quo. Di Karachi konflik perebutan lahan kota seringkali dikelabui dengan konflik dan kekerasan atas nama suku, agama, atau sekte. Tuding-menuding adalah permainan rutin bagi politisi dan penguasa kota, dan kaum militer menaklukkan rakyatnya sendiri sekali setiap empat tahun. Namun, Perween bukan pribadi yang berkecil hati, “saya orang optimis. Paling lama saya depresi 10 menit!”

Ancaman dan kekerasan adalah menu rutin bagi Perween dan staff OPP. Suatu saat gerombolan bersenjata mendatangi kantor, mengancam staff, dan mematikan komputer dengan kasar. “Menghubungi polisi adalah hal sia-sia, maka kami lapor pada geng yang lebih kuat. Lalu mereka pergi,” cerita Perween sembari menertawakan ironi. Baginya, tidak perlu menunjukkan rasa takut kepada para preman, “yang  kalian bisa lakukan hanya membunuh kami. Lalu apa lagi? Kami tidak takut pada kalian.” Namun demikian, dalam beberapa kesempatan Perween sampaikan kerisauannya akan kekerasan di Karachi yang semakin memprihatinkan.

Pada bulan Januari 2006 di Banda Aceh, saat peringatan satu tahun tsunami yang diselenggarakan oleh Jaringan Udeep Beusaree dan Urban Poor Linkage (UPLINK), Perween hadir berkumpul bersama teman seprofesi merayakan keberhasilan proses rekonstruksi oleh rakyat. Karena kesibukkan, hanya sesekali waktu ia hadir dalam pertemuan-pertemuan lain dalam jaringan Asian Coalition for Housing Rights (ACHR). Namun demikian, ia kembali hadir di tengah-tengah kami di Bangkok pada akhir Februari 2013. Pemilik tubuh tinggi-kurus yang bersuara halus itu bicara dengan berirama, “Kamilah kura-kura ninja pembuat peta! Peta bagi kami seperti foto Rontgen bagi dokter: ia menunjukkan dimana letak masalah dan bagaimana menyelesaikannya.”

Peta-peta yang dibuat OPP telah menolong ratusan-ribu penghuni kampung miskin, misalnya, ia menunjukan bahwa ada lebih dari 2.000 kampung semacam itu, ketika pemerintah kota hanya mengakui seperlima dari jumlah itu. Di tahun 2010, peta-peta ini meyakinkan pemerintah kota untuk menerbitkan sertifikat bagi sekitar separuh dari jumlah keseluruhan. “Peta melakukan itu. Peta membantu memperbaiki hubungan,” ujarnya. “Peta memberi tahu apa yang harus dilakukan, kemana harus pergi, siapa harus dilobi, serta menolong para ahli untuk melihat kenyataan, lantas punya keberanian untuk mengakui itu.” Banyak dari peta-peta ini yang diadopsi menjadi peta resmi ,“kami suka kalau otoritas mengklaim peta buatan kampung yang kami bantu siapkan,” lanjutnya, “dalam peta-peta ini, kita tidak pasang nama, sebenarnya pemuda kampung yang membuat itu. Kita hanya bantu melatih mereka, lalu mundur, duduk di belakang, hilang dari pandangan.”

Lanjutnya, “Saat ini Karachi membara, dan salah satu aspek dari kekerasan di kota adalah politik lahan dan penguasaan terhadapnya. Mendapatkan sertifikat lahan bagi kampung-kampung ini, yang sudah terbentuk jauh sebelum partisi 1947, merupakan langkah maju bagi perdamaian dan keseimbangan politik di Karachi. Sampai-sampai kami bergurau, kalaupun kita mati saat ini, kita akan mati dalam kesenangan, karena kerja kita telah berhasil.” Selang dua pekan, kami semua terhenyak ketika kenyataan menelan kata-kata itu. Sore hari itu, seusai jam kantor, tanggal 13 Maret 2013, dua pengendara motor bertopeng menghadang mobil yang dikendarai Perween bersama sang supir. Peluru menerjang leher Perween dan menyebabkan luka parah, supir melarikan Perween ke rumah sakit, namun jiwanya tak tertolong.

Polisi menuduh Taliban sebagai pelaku, tetapi sejak lama Perween sudah mengisayaratkan jika partai- partai politik utama adalah pelindung bagi para mafia kota dan berada dibalik serangkaian kekerasan yang terjadi di Karachi. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari otoritas sebuah negara yang digerogoti kanker korupsi, dijangkiti oleh kultur kalashnikov yang mengakar sejak masa Perang Dingin. Teroris dan para pembunuh menikmati impunitas, bebas melenggang selama para pelindungnya berkuasa.

Arsitek Perween Rahman hidup dalam kenyataan yang keras; dominasi pria dalam politik, budaya kekerasan, korupsi, dan kemiskinan. Tetapi ia menolak untuk hidup dalam ilusi sempit; superioritas arsitek dan Arsitektur diatas kenyataan sosial dan kemanusiaan. Karirnya sebagai arsitek komunitas selama lebih dari tigapuluh tahun meletakkan infrastruktur, sistim sanitasi bersama warga kampung miskin mendatangkan manfaat bagi tiga juta manusia; membantu mereka memperoleh hak tinggal, ketentraman, dan akhirnya untuk kehidupan kota yang lebih baik dalam damai. Empat tahun setelah kepergian Perween secercah harapan masih nampak untuk digapai oleh mereka yang memimpikan masa depan kota yang lebih baik, dan mereka yang memperjuangkan keadilan, di Karachi dan di manapun di muka bumi.

———— oOo ————

*) terbit sebelumnya di blog Ruang17 dan dalam bahasa Inggris di Architecture in Development.

Etika Profesi dan Sikap Politik: Menilik Perencanaan Kota dan Arsitektur

Cukup rumit untuk membahas ‘etika profesi’ dan ‘sikap politik’ secara singkat karena keduanya sarat makna dan kontekstual. Bukan kapasitas saya pada kesempatan ini untuk membedah tradisi berpikir soal etika atau moral. Namun, mungkin beberapa argumen berikut dapat menjawab pertanyaan apakah etika profesi perlu atau bisa dipisahkan dari sikap politik.

Hampir semua profesi modern memiliki landasan prinsip yang menjamin integritas para pelakunya. Prinsip-prinsip ini terdefinisikan dan pada umumnya tak terpisahkan dari keberadaan sebuah organisasi profesi yang paling berpengaruh. Tentu organisasi profesi tidak bebas nilai atau steril dari konstelasi ekonomi politik. Dalam ruang artikel ini, mari kita bicara lebih konkret tentang profesi arsitek dan perencana kota, atau profesi lain yang terkait dengan praktik merancang bangun dan menciptakan ruang.

Arsitek dan perencana kota punya ruang dan kesempatan untuk mengubah lingkungan kesehariannya. Di sisi lain, mereka pun juga terkungkung dalam rutinitas sehari-hari dan struktur sosial masyarakat di mana mereka berada. Kerja para perencana dan perancang memang mencakup tidak hanya kesadaran estetika yang adalah kesadaran material tetapi juga kesadaran sosial dan diskursif. Mereka punya selera dan dapat membentuk selera para klien, tapi mereka juga bagian dari keluarga yang dinafkahi serta lingkar sosial yang dikenal. Mereka pun harus berkeringat di jalan raya, bermacet ria antara rumah, kantor dan lokasi proyek serta berkegiatan di lokasi-lokasi yang mungkin dibencinya, entah itu pusat belanja atau taman publik, sembari berfantasi tentang ‘ruang yang lebih baik’. Kota yang sehat dan humanis, apakah mungkin?

Bagaimana jika setiap rumah dibangun dengan tetap merawat bumi dan air tanah? Bagaimana jika setiap lahan menyisakan lebih banyak ruang hijau? Bagaimana jika setiap material yang dipakai dihasilkan dari kerja orang-orang ‘lokal’ dan bukan didatangkan dari jauh sehingga merusak ekonomi komunitas dan menambah emisi karbon? Daftar pertanyaan ini dapat menjadi semakin panjang dan saya yakin semua arsitek dan perencana kota yang saya kenal setidaknya pernah mendengarnya. Tapi tunggu dulu, bagaimana dengan ruang-ruang di antara lahan-lahan yang didesain oleh mereka? Apakah ruang-ruang ini bagian dari fantasinya atau sekedar ruang yang dihidupi; dihidupi anak dan ibunya tapi berada di luar kesadaran estetika mereka? Bagaimana dengan cerita hidup lahan yang didesain oleh mereka–siapakah yang pernah mendapat manfaat atasnya dan siapa yang pernah hidup darinya?

Etika profesi semestinya bisa menjadi tuntunan untuk meminimkan semua konflik sosial dan ekologis yang mungkin terjadi atas berubahnya sebuah lahan. Apakah ini mudah, seandainya mungkin? Tentu tidak! Ada banyak undang-undang, yang pada dasarnya adalah payung etika profesi, dibuat sejak tata kota modern dikenal di Indonesia. Hal ini dapat menjadi landasan konsensus para pelaku profesi, tetapi sayang sudah ketinggalan zaman alias tidak lagi sesuai dengan konflik dan kebutuhan saat ini. Lalu apa yang bisa dijadikan pegangan apabila peraturan perundangan atau mekanisme pembangunan fisik kita belum mumpuni? Jika payung undang-undang pun sudah ada dan ideal, apakah dapat dipraktikkan secara adil?

Sering terdengar dalih bahwa arsitek dan perencana hanya menerima sekitar 6-12% nilai proyek sehingga tidak punya banyak kuasa menentukan bagaimana lingkungan terbangun dapat tercipta. Dalih tersebut menyedihkan bagi saya; seseorang dapat dengan mudah mengurangi makna hidup dan pekerjaannya menjadi nilai moneter pemilik modal saja (capitalist market’s monetary value) i.e. prosentasi nilai proyek. Tentu arsitek menginginkan desain yang dapat terwujud; dipakai, terawat, bertahan lama, dan berfungsi baik. Keinginan personal profesional ini adalah juga kondisi material, selain kondisi struktural material ‘di luar sana’ berupa pola perekonomian yang menciptakan kebutuhan ruang dan mendorong adanya sebuah karya.

pemetaan
Kegiatan pemetaan kampung di Bandung: mengenali lingkungan terbangun bersama dengan warga. (ASF-ID dan HMPS Arsitektur Unpar 2016)

 

PERANCANGAN DAN PERENCANAAN ADALAH UPAYA POLITIK

Tibalah kita pada praktik politik, setelah membicarakan perihal etika yang ternyata bukanlah ranah pencarian netralitas atau upaya membangun realitas dengan kacamata objektif. Upaya-upaya untuk mencapai bentuk estetika karya adalah upaya politik karena melibatkan kenyataan sosial dan juga diskursif. Sialnya, kenyataan sosial untuk mewujudkan impian ini harus direkayasa. Dan rekayasa itu pun disertai dengan diskursus-diskursus yang melanggengkan nilai-nilai ‘efisiensi’, ‘efektivitas’, ‘profit’, dan ‘benefit’ yang sering beradu dengan ‘keadilan sosial’, ‘kesejahteraan’, dan ‘toleransi’. Uang pelicin proyek, lobi-lobi kiri kanan, termasuk mendekatkan diri pada pejabat adalah bagian dari realitas politik kaum profesional.

Apakah ada bentuk politik profesional yang lain?

Para penulis ‘critical planning’ mencoba mendudukkan permasalahan kota dalam hubungannya dengan institusi negara. Melampaui pendekatan perencanaan dan perancangan ‘participative’, ‘collaborative’ atau ‘communicative’, para penulis seperti Margo Huxley dan Oren Yiftachel melihat ‘planning’ bukan semata persoalan mencari solusi prosedural, metode teknis perancangan atau cara kerja baru antara pekerja yang terlibat di dalamnya (e.g. Yiftachel, 1998, 2009; Yiftachel & Huxley, 2000). Proses perencanaan dan pembangunan ruang yang tidak berkeadilan bukan hanya dikarenakan para perancang dan perencana kurang melibatkan pengguna fasilitas (users) atau bahkan warga yang lebih luas (public, communities, people).  Perencanaan adalah juga arena kontestasi ide keadilan sosial dan bentuk relasi antara warga dan negara. Singkatnya jika kemiskinan terus ada, banyak warga tidak mendapatkan akses rumah dan infrastruktur dasar, dan ketika sebuah karya mengakibatkan penggusuran, maka persoalan mendasar terletak pada institusi negara dan sistem perekonomian yang ada.

 

Perubahan lahan yang difasilitasi perencanaan dan perancangan turut mengubah alam dan manusia. (Kampung Pulo dilihat dari Sanggar Ciliwung Merdeka, Maret 2016)
Perubahan lahan yang difasilitasi oleh perencanaan dan perancangan turut mengubah alam dan manusia. (Kampung Pulo dilihat dari Sanggar Ciliwung Merdeka, Maret 2016. Sisi Bukit Duri dari sungai ini sudah digusur paksa pada bulan September 2016 saat proses peradilan masih berlangsung.)

 

MEKANISME DALAM BATAS NEGARA

Dalam bukunya ’Seeing Like a State’, James Scott (Scott, 1998) bertutur tentang gagalnya institusi negara modern melalui skema-skema besar pembangunannya dalam memperbaiki kesejahteraan manusia. Negara modern dalam konteks Indonesia yang lahir melalui kolonialisme, mencoba menghadirkan structur, pola dan orde baru, baik pada sistem produksi ekonomi maupun reproduksi sosial. Struktur, pola dan orde ini dibuat dengan menihilkan banyak keberagaman corak produksi dan corak relasi sosial. Realitas diasumsikan dan dibentuk melalui kategori-kategori yang ’universal’. Keberagaman pun disederhanakan dan dikelompokkan dalam kategori-kategori ini, melalui kontrol atas tubuh dan ruang.

Persoalan mendasar adalah hubungan institusi negara dan penduduk tidaklah simetris; kerap dengan represi yang berkuasa. Salah satu produk institusi negara tersebut adalah kota modern, yang dibangun dengan standar-standar ukuran ruang tertentu. Selain standar, orde atau keteraturan bentuk pun digunakan seperti jalan yang lurus, sungai-sungai yang lurus dan mengalir cepat, dan pola bangunan yang berulang. Konsepsi kota modern berbeda dengan kota pre-modern yang direncanakan seiring warga membangun. Kota modern direncanakan di luar aktivitas membangun itu sendiri, dengan visi masa depan yang diidealkan.  Tahap selanjutnya, kota ultra-modern, adalah puncak keinginan merekayasa dengan didukung sains yang semakin mumpuni, menuju presisi absolut.

Dalam buku ini Scott juga bercerita tentang ambisi Charles-Édouard Jeanneret, dikenal sebagai Le Corbusier, yang memimpikan kota tanpa akar keberagaman masa lalu. Apapun indah bagi Le Corbusier adalah estetika bentuk dalam skala yang besar dan seragam (h. 104-14). Untuk merealisasikan ide itu, Le Corbusier harus dekat dengan patron politik, contohnya seperti Nehru ketika membangun Chandigarh di India. Bagi Le Corbusier, penguasa ‘tangan besi’ perlu untuk mewujudkan ide kota modern – yang sesungguhnya kontradiktif dengan ide liberal modernisme. Walaupun orientasi politik Le Corbusier adalah ’kanan’, ia pun berambisi merancang kota untuk Uni-Soviet dengan pusat produksi manufaktur dan perumahan pekerja sebagai ikon yang monumental. Ia melobi Stalin tanpa pantang mundur, tetapi para anggota komite Stalin tidak menyukai idenya. Seorang modernis dari Moscow, El Lissitzky, berujar bahwa kota Le Corbusier adalah ’city of nowhere … neither capitalist, nor ploretarian, nor socialist’. Bukan hal yang asing juga bagi Indonesia, bahwa manuver politik arsitek dapat juga menyerupai kepentingan ambisi individual.

Lopes de Souza, yang banyak menulis tentang sistem dan praktik perencanaan ruang di Brazil, dan mencermati bahwa pergerakan sosial (social movement) adalah pelaku sejati ‘critical urban planning’ (e.g. de Souza, 2006). Entah bersama atau di luar insitusi formal perencanaan ruang, warga harus merencanakan ruang hidup secara mandiri dan membentuk kelompok politik untuk mewujudkannya. (lihat juga https://berkota.wordpress.com/2013/12/08/berhimpun-berkarya-dan-berhuni-bersama-pengalaman-rakyat-brazil/). Kerja-kerja parlementer untuk memengaruhi pembentukan kebijakan dan alokasi anggaran tentu perlu dilakukan, tapi institusi pembangunan ruang yang lain juga perlu disiapkan.

Bahkan menurut de Souza, jika partai progresif menang sekalipun, ide-ide keadilan ruang yang digagas warga dapat dikooptasi karena politik elit tak luput dari negosiasi berbagai kekuatan politik yang alergi terhadap perubahan. Ia pun menyerukan, bahwa perencanaan ruang harus menjadi lebih radikal dan juga anarkis; yaitu mencoba menerobos institusi negara modern. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang keterbatasan institusi negara modern, entah itu kapitalistis atau komunis, dalam perencanaan kota.

 

PRAKTIK YANG LAIN

Dalam kondisi negara seperti Indonesia, dengan sistem politik elektoral yang carut-marut, apakah seorang arsitek atau perencana kota dapat berkarya dengan tenang? Susah! Lalu apakah ia harus menjadi apa yang disebut aktivis politik? Tidak perlu kalau tidak mau! Namun, ada persoalan etika keadilan sosial yang akan kerap menghantuinya. Maka mau tidak mau ia harus memiliki sikap politik yang mandiri dan dengan penuh kesadaran memahami posisinya. Ketika seseorang mengharapkan perubahan, ia harus berani mengandalkan diri dan kelompok profesinya, bukan menggantungkan nasib pada penguasa atau yang sedang berkuasa.

 

Warga Kampung Tongkol membangun Rumah Contoh sebagai bagian upaya perbaikan kampung yang turut direncanakan warga dengan fasilitasi praktisi dan akademisi dari berbagai bidang. (November 2015)
Warga Kampung Tongkol, Jakarta Utara di pinggir sungai Anak Kali Ciliwung membangun Rumah Contoh, dengan konsep cohousing, sebagai bagian upaya perbaikan kampung yang turut direncanakan warga dengan fasilitasi praktisi dan akademisi dari berbagai bidang. (November 2015)

Kesadaran politik adalah kesadaran sehari-hari. Dalam bahasa Gramscian, hegemoni kebudayaan terbentuk dari aktivitas berulang-ulang, yang diamini dan diulang kembali tanpa sedikitpun ada upaya melawan ketidakadilan yang menyertainya (lihat Ekers et al., 2009; Loftus, 2009; Loftus & Ekers, 2008). Dengan demikian, adalah penting untuk mengubah budaya berkarya dan mencari cara berkarya yang tidak hanya baru tapi juga terjaga sistem atau institusinya, sehingga dapat terus dipraktikkan, bahkan oleh yang lain. Jika arsitektur yang lain adalah mungkin, maka kota yang lain pun adalah mungkin.

 

Referensi:

  • de Souza, M. L. (2006). Together with the State, despite the State, against the State. Social movements as ‘critical urban planning’ agents. CITY, 10(3), 327-342.
  • Ekers, M., Loftus, A., & Mann, G. (2009). Gramsci Lives! Geoforum, 40, 287-291.
  • Loftus, A. (2009). Intervening in the environment of the everyday. Geoforum, 40, 326-334.
  • Loftus, A., & Ekers, M. (2008). The power of water: developing dialogues between Foucault and Gramsci. Environment and Planning D: Society and Space, 26, 698-718.
  • Scott, J. C. (1998). Seeing Like a State. How Certain Schemes to Improve the Human Condition have Failed. New Haven and London: Yale University Press.
  • Yiftachel, O. (1998). Planning and Social Control: Exploring the Dark Side. Journal of Planning Literature, 12(4), 395-406.
  • Yiftachel, O. (2009). Theoretical Notes on ‘Gray Cities’: the Coming of Urban Apartheid? Planning Theory, 8(1), 88-100.
  • Yiftachel, O., & Huxley, M. (2000). Debating Dominance and Relevance: Notes on the ‘Communicative Turn’ in Planning Theory. International Journal of Urban and Regional Research, 24(4), 907-913.

 

Save

Save

Mendistribusikan Kuasa: Kompleksitas Kebutuhan akan Urbanisme Partisipatoris

Teks wawancara dengan Jeremy Till yang terbit di Majalah MONU. Tulisan dialihbahasakan dari artikel di Archdaily, 18 Februari 2016, sebagai pengantar diskusi

Sebagai sebuah profesi dengan kekuatan untuk merubah wajah kota dan lingkungan – yang artinya juga ikut merubah kehidupan yang ada di dalamnya – industri arsitektur sering kali menjelma menjadi bisnis yang sangat kontroversial; tak jarang, usaha untuk mengembangkan sebuah kawasan malah menjadi pemicu prasangka negatif dikalangan masyarakat yang berakar di sana, hal yang kemudian menyiratkan bahwa arsitektur adalah sosok jahat yang harus dilawan.

Salah satu cara yang dianggap bisa menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan partisipasi, yaitu usaha untuk melibatkan publik untuk ikut ambil bagian dalam proses perancangan, walaupun dikalangan arsitek sendiri banyak yang skeptis bahwa cara ini akan efektif. Di sisi lain, kita harus mengakui saat ini tanggung jawab arsitek kian tergerus oleh kehadiran insinyur dan menejer proyek, kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, apa yang akan tersisa pada profesi ini ketika publik pun diberi hak untuk ikut menetukan arah desain?

Dalam upaya untuk memahami tantangan ini, dalam wawancara yang dikutip dari MONU Magazine yang berjudul “Participatory Urbanism,” Bernd Upmeyer mencoba menggali opini dari Jeremy Till, seorang arsitek Inggris, penulis, dan pengajar arsitektur yang telah banyak menelurkan tulisan tentang pentingnya melepaskan kontrol dalam praktek seorang arsitek dan mengundang komunitas setempat untuk ikut serta dalam proses desain.

Dalam tulisan ini Bernd Upmeyer, mewakili MONU, mewawancarai Jeremy Till, Ketua dari Central Saint Martins dan wakil rektor dari University of the Arts, London. Sebelumnya, Jeremy Till adalah Dekan Arsitektur dan Lingkungan Terbangun di Universitas Sheffield. Penelitian dan tulisan-tulisan yang dibuat oleh beliau terfokus pada aspek sosial dan politis dari arsitektur dan lingkungan terbangun. Tulisan-tulisan beliau diantaranya adalah “Flexible Housing,” “Architecture Depends,” dan “Spatial Agency.” Di tahun 2005, Jeremy Till menjadi salah satu editor dalam sebuah buku berjudul “Architecture and Participation,” yang mana beliau menyumbangkan sebuah tulisan berjudul “The Negotiation of Hope.” Wawancara ini dilakukan pada tanggal 3 September 2015 lalu.

 

Arsitektur dan Partisipasi
Bernd Upmeyer: Di tahun 2005, Anda adalah salah satu editor dan kontributor dalam buku “Architecture and Participation” yang dalam pengantarnya dikatakan, berhasil menyatukan praktisi-praktisi kaliber internasional dengan para teoris, beberapa diantaranya merupakan pionir dari gerakan partisipatori di tahun 1960an yang menjadi panutan bagi para penggiat partisipatori masa kini. Bisakah Anda menceritakan kembali beberapa hal tentang masa-masa awal partisipatori? Kapan dan bagaimana masyarakat diperkenalkan tentang arsitektur dan proses perencanaan kota? Manakah dari proyek yang Anda sebutkan dalam tulisan Anda, yang menurut Anda sangat menarik dan cukup berhasil?

Jeremy Till: Salah satu hal yang menurut Saya menarik dari sejarah partisipatori, kalau boleh Saya mengambil contoh, adalah orang-orang seperti Giancarlo De Carlo [1]. Kami menerjemahkan dan menerbitkan teks dari Giancarlo De Carlo yang berjudul “Architecure’s Public.” De Carlo dan nama-nama lainnya memakai partisipasi sebagai cara untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dipercaya menjadi tujuan profesi arsitek atau desainer. Saya merasa bahwa aspek partisipasi ini sangat menarik karena dia mempertanyakan banyak premis yang menjadi landasan dari profesi arsitek selama ini – premis individu unggul-pahlawan, premis tentang kontrol, premis tentang keahlian, dan lain sebagainya. Partisipatori, tak pelak, menantang dan mengusik beberapa standar yang sudah menjadi konvensi selama ini.

BU: Tahun 1960an mungkin adalah tahun dimana proses partisipatori diperkenalkan pertama kali, dengan skala yang lebih substantif, yaitu kedalam proses desain dan perencanaan.

JT: Ya, benar, itu adalah masa dimana banyak arsitek, termasuk diantaranya N. John Habraken [2] dan Giancarlo De Carlo, melakukan banyak percobaan. Kurun tahun 1960an hingga 1980an adalah masa-masa emas dari partisipatori dan revolusi ide dalam desain secara umum. Bahkan dalam beberapa contoh proyek partisipatif ada hal menarik dimana 20% anggaran biaya publik berhasil dihemat melalui proses anggaran partisipatif, itu adalah proses dimana masyarakat mempunyai kesempatan untuk menentukan bagaimana dan untuk apa dana publik dipakai. Di beberapa kota di Brazil, seperti Porto Alegre [3], anggaran partisipatif merupakan bagian dari proses berkota. Proporsi dari anggaran pembiayaan kota di tentukan melalui teknik-teknik partisipatif yang terbuka, yang salah satunya mensyaratkan adanya rapat warga. Hal ini sangat menarik.

BU: Menurut kontributor dari buku ini, kondisi-kondisi spasial dan tipe praktik rancang kota/arsitektur seperti apakah yang dimungkinkan hadir ketika masyarakat dilibatkan dalam proses desain?

JT: Menurut Saya, yang terlihat secara umum adalah lahirnya rasa kolektivitas yang lebih kuat dan rasa berbagi dalam ruang-ruang publik, juga hadirnya ruang-ruang yang tidak melalui proses pemrograman. Sekali lagi, hal ini sangat berbeda dengan apa yang disyaratkan pada praktik-praktik profesi arsitek pada umumnya yang selalu mencoba mengendalikan semua hal. Saya memang membuat generalisasi pada konteks ini, tapi dalam praktik partisipatif setiap orang memang dimungkinkan untuk mengalami ruang publik yang benar-benar publik. Ini karena dalam proses partisipasi keutamaan berada pada bagaimana ruang dihuni dan digunakan, bukan pada standar-standar yang berlaku secara arsitektural.

 

Menegosiasikan Harapan

BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope” yang merupakan bagian dari buku “Architecture and Participation” Anda menyatakan bahwa tantangan utama dari proses partisipasi adalah bagaimana menetapkan dasar nilai dan membuat orang-orang menyadari kebaikan dari sebuah ikatan (sosial), sebuah kesadaran yang bagi banyak arsitek masih merupakan hal yang asing, namun ini adalah kesadaran yang harus ada jika arsitektur ingin tetap relevan di masa depan. Menurut Anda mengapa partisipasi sebegitu relevannya?

JT: Benarkah Saya pernah berkata seperti itu? Itu cukup provokatif. Saya kira partisipasi sebenarnya bukan agen tunggal untuk menumbuhkan kesadaran itu. Saya menulis “The Negotiation of Hope” sebelum saya menulis “Architecture Depends,” di tulisan yang terakhir saya beragumen bahwa arsitektur harus menyadari tanggung jawab politis dan sosialnya, dan partisipasi seperti ini seharusnya menjadi bagian dalam menciptakan tanggung jawab sosial. Jika arsitektur ingin benar-benar menjadi disiplin yang memungkinkan kolaborasi dan punya kesadaran sosial, maka partisipasi, dalam pemaknaan secara harafiah, harus menjadi bagian dari sebuah disiplin ilmu yang benar-benar baru. Elemen-elemen lainnya juga penting dan harus tetap kita lakukan, tapi proses negosiasi, cara kita bercakap-cakap, dan proses komunikasi adalah aspek-aspek yang sangat penting dalam menemukan tujuan-tujuan sosial yang tepat dalam berarsitektur.

BU: Walau begitu, dalam artikel yang Anda tulis, Anda membandingkan ‘partisipasi’ dengan nilai-nilai dalam olimpiade yang menekankan ‘kemenangan,’ nilai-nilai yang biasanya dimengerti oleh atlet-atlet yang kecewa dan marah. Apa sebenarnya yang sangat mengecewakan dari partisipasi?

JT: Yang Saya maksud dalam artikel itu sebenarnya adalah, partisipasi bisa saja menjadi alat politik dalam proses berdemokrasi. Sering kali dia menjadi partisipasi yang palsu, dimana arsitek, perancang kota, atau desainer berpura-pura melibatkan masyarakat. Dalam konteks ini, partisipasi hanya menjadi syarat dari sebuah proses politik tetapi dia sebenarnya tidak benar-benar melibatkan orang-orang di dalamnya. Partisipan hanya digunakan oleh arsitek dan perancang kota untuk memenuhi sebuah kriteria namun secara teknis tidak menjadikannya elemen yang penting dalam proses pengerjaan proyek.

BU: Menurut Anda apakah ada cara untuk menghindari hal ini?

JT: Iya, namun Anda harus punya komitmen dan Anda harus menganggapnya serius. Dan untuk bisa begitu, Anda harus melepas kontrol. Menurut Saya inilah hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam profesi ini. Saya tidak hanya berbicara tentang profesi arsitek, namun semua profesi. Semua keprofesian dibangun atas dasar keahlian dan keahlian ini digunakan sebagai mekanisme kontrol. Dalam partisipasi, Anda harus melepaskan kontrol itu dan melebur menjadi professional dalam bentuk yang lain. Harus ada pengakuan bahwa keahlian Anda sama baik dan bergunanya dengan keahlian dari bidang lain, meskipun berbeda. Bagaimanapun, ‘melepas kontrol’ adalah ancaman serius bagi dasar-dasar keprofesian.

BU: Tapi, jika arsitek dan perancang kota harus melepas kuasa dan mulai berbagi pengetahuan dengan dan kepada warga, apa yang tersisa bagi mereka? Menurut Koolhaas, arsitektur telah menjadi sebuah profesi yang kalah, dimana arsitek telah kehilangan semua kontrol, posisi ini meletakkan arsitek di bawah profesi-profesi lainnya. Saat ini, kontraktor-kontraktor besar berusaha sedapat mungkin untuk tidak bekerja sama dengan arsitek, yaitu dengan mempekerjakan ahli-ahli dalam tim internal mereka. Jadi jika arsitek harus kehilangan kontrol dalam satu-satunya hal yang tersisa bagi profesi ini, sebut saja keahlian gambar, keahlian teknis, dan keahlian arsitekturnya, lalu apa lagi yang tertinggal bagi arsitek? Apa posisinya sekarang ditengah-tengah keprofesian lainnya?

JT: Anda mengungkapkannya dengan baik, karena ruang lingkup kontrol yang dipunyai arsitek saat ini memang berkurang jauh dari masa-masa sebelumnya, sampai-sampai yang tersisa hanyalah visual tentang arsitektur itu sendiri, yang menjadi satu-satunya alat arsitek untuk mengklaim bahwa kejayan arsitektur dulu pernah ada. Namun Saya juga berargumen bahwa fokus kepada visual justru akan membawa arsitek semakin jauh dari proses berarsitektur dengan semua aspek-aspek sosialnya. Jika kita ingin memberi definisi baru kepada arsitektur sebagai alat yang mampu membantu kita untuk membayangkan masa depan – masa depan secara sosial dan spasial – maka menurut hemat saya, kita harus merubah cara-cara arsitektur berproduksi, melampaui nilai-nilai visualnya. Kita perlu melakukan kolaborasi dan berbagi. Jika hal ini mungkin, maka artinya masih ada harapan untuk arsitek, karena itu artinya mereka masih mampu menyumbangkan sebuah ilmu yang unik, yang tidak dipunyai profesi lain. Saya benar-benar percaya bahwa arsitek mempunyai bagasi tentang ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu tentang ruang, yang mereka dapatkan melalui pendidikan di perguruan tinggi dan mereka kembangkan melalui praktik professional mereka. Ini adalah keahlian yang luar biasa jika dipakai untuk memberdayakan dan membangun sebuah konstruksi sosial yang baru.

BU: Apakah ini yang Anda maksud ketika Anda menyebut tentang perlunya “partisipasi yang transformatif”? Apakah hal ini dimungkinkan terjadi jika arsitek mau meletakkan dirinya sebagai warga, dan warga mau meletakkan dirinya sebagai ahli, sehingga kedua belah pihak bisa bekerja bersama dengan lebih baik?

JT: Dengan menyebutkan istilah ‘ahli-warga,’ atau ‘warga-ahli,’ saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh warga harus menjadi ahli, tapi sang ahli mengakui ilmu yang dipunyai warga dan mengakui bahwa ilmu itu juga valid dan relevan sebagaimana ilmu yang dipunyai oleh arsitek sebagai ahli. Ilmu yang dipunyai warga ini hanya terkonstruksi melalui bahasa yang berbeda. Jadi, cara-cara kita berkomunikasi perlu beradaptasi satu sama lain sehingga semua ilmu bisa kita kumpulkan dan pelajari bersama.

BU: Dalam perencanaan kota dan arsitektur, bila dibandingkan dengan keprofesian lain seperti kedokteran, jurang antara ilmu yang dipunyai ahli dengan ilmu yang dipunyai oleh masyarakat sangat kecil karena semua orang dengan mudah bisa berpendapat tentang apa itu bangunan dan apa itu kota. Tidak seperti bedah jantung, dimana orang-orang sangat buta tentang prosesnya. Di sini, partisipasi jelas sekali tidak bisa disamaratakan ke semua hal dan kesemua profesi.

JT: Ya, Saya tentu tidak mengharapkan partisipasi dalam proses bedah jantung yang Saya jalani. Ada hirarki yang berbeda mengenai ilmu yang terkandung dalam profesi-profesi yang ada. Secara awam, dokter dan pengacara berada pada level ilmu yang kuat, dan arsitek berada pada level ilmu yang lemah. Hal ini menyiratkan kasta yang terjadi antara ilmu-ilmu yang kuat dengan ilmu-ilmu yang lemah, dan arsitek mencoba menyeberang ke kasta ilmu yang kuat dengan ‘memaksakan’ ilmu mereka sebagai simbol kontrol dan kuasa. Sebagai bagian dari usaha ini, arsitek sering meminggirkan orang lain dengan tidak memakai metoda partisipasi dalam praktik arsitekturnya, arsitek mencoba untuk tetap otonom. Untuk bisa tetap kuat, arsitek memilih untuk tidak melibatkan partisipasi. Walau begitu, seperti yang saya gambarkan dalam “Architecture Depends,” mungkin ada bentuk-bentuk khusus dari ilmu arsitektur yang bisa sangat efektif ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi tak pasti dan khususnya yang terkait keberagaman. Ilmu-ilmu yang kuat cenderung mematikan hal-hal seperti ini, dia tidak cocok dengan kondisi tak pasti dan keberagaman. Dalam ilmu kedokteran, pasien dipandang sebagai badan yang pasif dan dokter terkadang dikritik karena memanipulasi dan menyalahgunakan kuasa dan ilmu yang mereka punya.

BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope,” Anda juga mengatakan bahwa partisipasi diterima secara luas, dan terkadang secara buta, sebagai cara yang lebih baik dalam melakukan banyak hal, khususnya dalam perencanaan kota, namun tidak dalam arsitektur. Menurut Anda, dimanakah perbedaan antara perencanaan kota dengan arsitektur dalam hal partisipasi? Apakah skala menjadi isu?

JT: Menurut Saya, skala membuat banyak perbedaan. Dalam perencanaan kota, karena secara politis ada tuntutan untuk proses yang demokratis dan karena proses perencanaan kota selalu melibatkan proses sosial, maka keterlibatan warga akan selalu terjadi. Walau begitu, khusus untuk kondisi pemerintah di Inggris saat ini, proses perencanaan kota tidak lagi terlalu melibatkan partisipasi warga.

BU: Anda juga menyebutkan lebih lanjut, bahwa partisipasi sebagai metoda yang dibakukan dan banyak disalahartikan telah mengaburkan fakta bahwa dalam proses partisipatori, ada tingkatan-tingkatan keterlibatan, mulai dari ‘partisipasi sebagai pilihan’ hingga kontrol penuh oleh warga. Dan bagaimana kontrol penuh oleh warga sebenarnya merupakan bentuk ideal dari partisipatori walau dalam kenyataannya hampir tidak mungkin terjadi di dalam arsitektur. Bisakah Anda mengelaborasi hal ini?

JT: Maksud Saya, bahwa proses perencanaan kota dan proses arsitektur akan selalu melibatkan kuasa, dan kita tidak akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun kita selalu mulai dengan niat yang sangat baik, akan selalu ada isu tentang kuasa dalam proses partisipatif dan ini selalu berujung pada kesimpulan bahwa bentuk partisipasi penuh hampir tidak mungkin dilakukan. Tapi jika Anda mengakui adanya kuasa ini dan memperlakukannya secara bertanggung jawab, maka proses partisipasi yang terjadi setidaknya akan terasa tulus, dibandingkan partisipasi yang hanya sebagai gimmick.

Limitasi dalam Partisipasi

BU: Menurut Anda, dimanakah partisipasi bisa efektif? Dalam skala apa atau dalam proyek apakah cara ini lebih cocok untuk diaplikasikan?

JT: Menurut Saya, partisipasi sangat cocok diaplikasikan pada kondisi dimana masyarakat dimungkinkan untuk menggunakan ilmu mereka sendiri. Karena itu mungkin cara ini sangat cocok untuk ruang-ruang publik, karena masyarakat tahu bagaimana ruang publik yang cocok untuk mereka dan semua orang berhak berpendapat. Walau begitu, skalanya sebaiknya tidak terlalu besar karena, jelas, ada kompleksitas dalam lapisan-lapisan kota yang membuat proses partisipasi yang ideal menjadi sulit terjadi.

BU: Menurut Anda, dimanakah limitasi dari proses urbanisme yang partisipatif dan seberapa transparan seharusnya sebuah proses pembentukan kota dilakukan sebelum hadir hal-hal yang kompleks yang kemudian membuatnya menjadi sulit untuk di tata dan berfungsi? Sebagai contoh, Anda tentu tidak membiarkan orang lain ikut berpartisipasi dalam proses desain rumah kediaman Anda di jalan Orchard.

JT: Yah, ketika mendesain rumah pribadi dan ketika Anda menjadi desainer sekaligus klien, Anda sebenarnya sedang dalam proses berkomunikasi secara terus menerus dan partisipatif kalau tidak bisa dikatakan terinternalisasi secara laku.

BU: Dan dimana sebenarnya Anda melihat batas dari proses partisipatori ini secara umum?

JT: Ketika berfikir tentang batas partisipatori, Saya sering teringat dengan kata-kata dari Gillian Rose tentang arsitektur komunitas: “Sang arsitek turun kelas, dan masyarakat tidak mengambil alih posisinya.” [4] Menurut Saya, ini kutipan yang luar biasa. Apa yang coba disampaikannya, jika kita artikan secara luas, adalah bahwa arsitek dituntut untuk bisa melepaskan segalanya, termasuk pengetahuannya (karena pengetahuan adalah kuasa, dan kekuasaan adalah sesuatu yang buruk karena sifatnya menaklukkan). Dengan begitu, bahkan dalam kondisi terburuk di arsitektur komunitas, semua arsitek hanya diperbolehkan untuk menggoreskan pensilnya (kalau sekarang menggerakkan tetikusnya) jika dia dalam status mewakili masyarakat. Namun jika arsitek kehilangan kemampuannya untuk mengaplikasikan ilmunya, maka tidak akan ada yang diuntungkan dan semuanya ikut dirugikan. Menurut saya, tidak masalah jika arsitek membawa ilmunya kepada khalayak awam, namun ini juga harus disertai kesediaan sang arsitek untuk menerima ilmu lain di luar ilmunya.

BU: Bagi saya, kutipan ini terdengar seakan arsitek diminta untuk melepaskan kuasanya, namun masyarakat tidak mengambil alih kuasa itu.

JT: Bukan, bukan artinya masyarakat tidak mengambil alih kuasa sang arsitek, tapi masyarakat tidak mendapat keuntungan apapun dari ilmu yang ditawarkan oleh sang arsitek. Ini yang menempatkan mereka semua pada posisi yang lemah dan semua orang akhirnya dirugikan.

BU: Pernahkah Anda berfikir bahwa mungkin sebenarnya masyarakat juga tidak tertarik untuk mengambil alih kuasa atau berpartisipasi? Kondisi ini juga bisa menjadi masalah.

JT: Masalah sebenarnya dari partisipasi adalah aspek sosial dan kenyataan bahwa hanya beberapa persen saja dari masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi. Anda tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan anggota komunitas. Namun tetap, hal ini bukanlah alasan untuk tidak mencobanya.

BU: Orang-orang yang punya waktu lebih cenderung lebih tertarik untuk berpartisipasi.

JT: Ya, tepat. Hal terburuk adalah mencoba melihat partisipasi sebagai bentuk konsensus. Markus Miessen [5] menyatakan dengan lantang dalam bukunya bahwa memandang partisipasi, sebagai bentuk konsensus, justru adalah hal yang keliru. Kita harus bisa menerima bahwa partisipasi juga adalah proses konfrontasi, dan hal terbaik yang bisa dihasilkan dari proses ini juga ditemukan dalam karakter antagonisnya.

BU: Pernahkan Anda terlibat dalam proses partisipatif, dimana Anda menjadi entah sang ahli atau warga kota? Jika iya, bagaimana pendapat Anda? Apa yang menurut Anda aneh dalam prosesnya yang membuat Anda ingin mentertawakannya atau bahkan sedih karenanya?

JT: Saat ini saya sedang terlibat dalam sebuah proyek seperti ini di University of the Arts di London, dimana kami sedang merencanakan pembangunan gedung bagi dua jurusan baru. Saya disini menjadi klien, bukan sang arsitek, dan sangat menarik untuk melihat bagaimana semua kontrol dan kuasa terdistribusi.

BU: Melibatkan lebih banyak orang dalam proses jelas akan membuat semuanya semakin rumit. Bahkan sebelum adanya partisipasi sebenarnya telah banyak orang juga yang terlibat. Banyak hal yang bisa menjadi rumit bahkan sulit untuk ditangani.

JT: Ya! Dan karena banyak bangunan saat ini yang sebenarnya hanya manifestasi dari ekonomi, sangat sedikit niat dari pengembang atau bahkan klien untuk melibatkan lebih banyak orang untuk berproses bersama, karena hal ini akan mempengaruhi efisiensi secara ekonomi. Akhirnya proses produksi ruang-ruang di dalam kota akan dikendalikan oleh pengembang dan menejer proyek, bukan pengguna.

BU: Bagaimana kemudian Anda melihat kelanjutannya? Karena, jelas, tak semua proyek partisipatori, baik yang arsitektural maupun perencanaan kota, mampu menghasilkan demokrasi yang sebenar-benarnya, mendorong kesadaran awam, dan transparansi, akuntabilitas, juga efektifitas. Menurut Anda apakah situasi ini akan menjadi lebih buruk atau keadaan bisa berubah jika praktek partisipatori lebih banyak dilakukan?

JT: Yah, sebenarnya ada beberapa orang, contohnya Paul Mason, yang berpendapat bahwa struktur kapitalisme saat ini sedang digugat oleh bentuk-bentuk komunikasi baru. [6] Kita harus mempersiapkan diri untuk struktur dan formasi baru ini. Contohnya, saat ini sudah banyak kantor-kantor baru, seperti Architecture 00, yang melakukan hal luar biasa melalui cara-cara kolaboratif dan partisipatif dalam menciptakan ruang.

BU: Dan apakah usaha ini berhasil? Apakah Anda bisa mengatakan bahwa ini sebuah kesuksesan?

JT: Oh iya, bahkan mengagumkan. Mereka baru saja menyelesaikan sebuah gedung di London yang dikerjakan melalui proses partisipatif. Mereka juga telah merancang ‘Wiki House’, sebuah sistem desain yang terbuka dengan menggunakan perangkat CNC untuk memungkinkan proyek-proyek kecil bisa dilakukan secara partisipatif karena memungkinkan akses yang terbuka dan kolaborasi dalam prosesnya.

BU: Seperti yang terjadi pada slogan ‘desain lestari’, partisipasi dalam arsitektur dan perancangan kota berada pada tahap yang kritis karena banyak firma-firma baru yang terlibat yang menyalahartikannya sebagai strategi pencitraan dan akhirnya berkompromi, diatur dan didikte oleh kepentingan komunitas, pemerintah, organisasi, partai, dll. Menurut Anda apakah ini juga terjadi pada proyek-proyek Architecture 00 dan di Inggris secara umum?

JT: Itu hanya omong kosong. Para ekonom adalah corong suara neo-liberalisme, dan dengan begitu mereka tidak mendukung apapun yang bisa menghambat pekerjaan kontraktor dan pengembang atas nama efisiensi ekonomi. Jika Anda melihat contoh-contoh partisipatori yang terjadi di Belanda atau di Jerman, maka Anda akan melihat proses partisipatori yang melibatkan warga secara terintegrasi. Secara khusus, Anda bisa menemukan gedung-gedung di Belanda hasil gerakan partisipatori, juga karya tokoh seperti N. John Habraken. ‘Open building’ di Belanda, yang dibangun berdasarkan tulisan Habraken, tidak serta merta melibatkan warga secara konvensional, namun melibatkan ruang-ruang produksi baru yang mensyaratkan teknik-teknik kolaborasi.

BU: Jika Anda bisa memberikan gambaran masa depan tentang urbanisme partisipatori, apa yang akan Anda katakan? Dimanakah partisipatori akan terjadi di masa depan, maksudnya di titik mana dia akan terjadi secara lebih intensif, tepat guna, dan benar-benar memberi pengaruh?

JT: Kalau suasana hati Saya sedang baik, optimis, dan tidak sedang intens berfikir tentang neo-liberalisme, maka Saya akan mengajukan kontrak sosial dan sistem ekonomi yang berbeda. Lalu Saya bisa membayangkan bentuk baru dari masyarakat juga bentuk baru dari kolaborasi dan partisipasi. Setelah itu Saya baru bisa membayangkan sebuah kolektifitas dan bentuk sosial yang baru di masa depan.

BU: Saya melihat, internet jelas akan memainkan peran penting dalam proses partisipatori di masa depan, terutama ketika berbicara tentang bangunan-bangunan publik di dalam kota

JT: Ya, maksudnya, semuanya sudah berada dalam sebuah kontrol. Internet sudah menjadi sebuah kekuatan yang besar dan bentuk-bentuk komunikasi baru akhirnya akan lahir untuk melawan sistem kontrol yang dibangun oleh kapitalisme ini. Entah itu artinya kapitalisme akan meredefinisi dirinya, seperti yang sering dikatakan oleh Marx, atau kita bisa merebut momen ini dan memberi arah baru bagi sistem yang ada sekarang agar lebih peka terhadap isu sosial dan lingkungan.

Jeremy Till adalah arsitek, penulis, dan pengajar. Beliau adalah ketua dari Central Saint Martins dan wakil rektor di University of Arts, London. Sebelumnya beliau menjabat Dekan Arsitektur dan Lingkungan Terbangun di University of Westminster, dan Profesor Arsitektur sekaligus Ketua Jurusan Arsitektur di University of Sheffield. Karya tulis beliau diantaranya Flexible Housing (dikerjakan bersama Tatjana Schneider, 2007), Architecture Depends (2009), dan Spatial Agency (dikerjakan bersama Nishat Awan dan Tatjana Schneider, 2011). Ketiganya mendapat penghargaan RIBA President Award untuk Outstanding Research. Sebagai arsitek beliau bekerja di Sarah Wigglesworth Architects, juga bekerja secara mandiri di kantor yang juga rumahnya di Jl. 9 Stock Orchard. Beliau juga adalah salah satu anggota dewan kehormatan di New Economics Foundation.

Bernd Upmeyer adalah ketua redaksi sekaligus pendiri MONU Magazine. Beliau juga adalah pendiri Rotterdam-based Bereau of Architecture, Reasearch, and Design (BOARD). Beliau belajar arsitektur dan tata kota di Universitas Kassel (Jerman) dan Technical University of Delft (Belanda). Sejak Juni 2012, beliau dan BOARD menjadi bagian dari grup yang menjadi salah satu dari enam grup yang ditunjuk Atelier International Grand Paris (AIGP) untuk menjadi komite riset dalam program “Grand Paris: pour une metropole durable.” Bernd Upmeyer bergelar PhD (Dr.-Ing) dalam bidang Studi Urban dari Universitas Kassel (Jerman). Beliau juga menjadi penulis dalam buku “Binational Urbanism – On the Road to Paradise”, dimana beliau melahirkan istilah binational urbanism.

Referensi

  1. Giancarlo De Carlo adalah arsitek Italia. Beliau menganut paham Libertarian socialism dalam semua karya perancangannya.
  2. John Habraken adalah seorang arsitek Belanda, pengajar, dan teoris. Kontribusinya dalam teori arsitektur banyak ditemukan dalam bidang perumahan rakyat dan perancangan partisipatif dalam proses perancangan perumahan.
  3. Porto Alegre adalah ibu kota sekaligus kota terbesar dari Rio Grande do Sul, di Brazil. Kota ini menjadi terkenal karena menjadi kota pertama yang mampu mengimplementasikan anggaran kota secara partisipatif.
  4. Gillian Rose, “Athens and Jerusalem: A Tale of Two Cities,” Social and Legal Studies 3 (1994): 337. Untuk pengembangan argumen, silahkan buka Jeremy Till, “Architecture of the Impure Community,” in Occupying Architecture: Between the Architect and the User, ed. Jonathan Hill (London: Routledge, 1998), 61–75.
  5. Markus Miessen adalah arsitek dan penulis. Beliau merupakan inisiator dari publikasi tetralogi partisipasi. Karya-karyanya banyak lahir dari pertanyaan-pertanyaan kritis tentang praktek-praktek keruangan, institusi bangunan, dan politik ruang. Dia adalah penulis dari The Nightmare of Participation – Crossbench Praxis as a Mode of Criticality.
  6. Paul Mason, Post Capitalism: a guide to our future (London, Allen Lane: 2015)

[Diskusi] Arsitektur Partisipatoris: (di mana) Arsitektur, (siapa) Arsitek, dan (apa) Keindahan?

Arsitektur sering kali dipahami sebagai sebuah keluaran karya yang dihasilkan lewat kerja arsitek, sebagai seorang pencipta, pemilik kuasa, serta standar selera, yang mengendalikan seluruh rangkaian proses yang ada. Arsitektur dengan segala kelengkapan struktur, guna, serta keindahannya,menjadi otoritas dan otonomi sang arsitek. Arsitek adalah sang seniman. Dalam konteks ini, memahami karya arsitektur adalah dengan memahami arsiteknya, vice versa.

Namun begitu, beberapa dekade terakhir, pendekatan praktik profesi arsitek yang otonom dengan kuasa terpusat pada arsiteknya mulai dianggap tidak lagi cukup untuk menghadapi tantangan jaman, bahkan dianggap sebagai sumber persoalan. Manfredo Tafuri (1973) menyebut model praktik seperti ini telah mencabut arsitek dan arsitekturnya dari tanah realita, hal yang kemudian disebutnya sebagai matinya arsitektur. C. Greig Crysler (2013) juga turut mengkritik model profesi yang otonom karena model ini mengakar hingga ke model pendidikan arsitektur, yang turut melahirkan profesional-profesional arsitek yang pasif dan lepas dari tantangan sosial politik yang melingkupi konteks praktiknya.

Kesadaran ‘baru’ inilah yang kemudian mendorong lahirnya praktik arsitektur yang lain, yakni model yang mengedepankan prinsip partisipasi, yang mensyaratkan terjadinya distribusi kuasa dalam proses kerjanya. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah; arsitek bukan lagi pemegang otoritas tunggal atas nilai suatu karya. Hal ini juga berbuntut panjang, sejalan dengan terjadinya distribusi kuasa (multi author), proses kerja perancangan tidak lagi berjalan linier dan dapat ‘(sepenuhnya) dikontrol’, seringkali membesar dan melebar ketimbang mengerucut atau (dipaksa untuk) fokus, karenanya keluaran karya pun menjadi sangat-sangat berbeda dengan keluaran karya arsitektur umumnya.

Inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti, ”Lalu di manakah arsitekturnya? Siapa sebenarnya arsiteknya? Apa itu keindahan?”

Untuk menjawab pertanyaan ‘ringan’ tersebut Rembuk dan ASF Indonesia mengajakmu mengupas bersama karya-karya dari Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID), yang bernapaskan partisipasi dalam banyak praktik kerjanya, lewat kaca mata filsafat estetika. Filsafat estetika dipakai sebagai perangkat kritis untuk menjawab pertanyaan di atas secara luas dan mendalam karena melalui cabang filsafat ini, kita akan dibantu untuk melihat keindahan sebagai bukan satu-satunya nilai estetis (masih ada nilai estetis lain dalam estetika), serta memahami estetika yang bukan hanya membahas tentang nilai estetis tetapi juga pengalaman estetis: seperti hubungan antara karya dengan masyarakat (Martin Suryajaya, 2016).

Oktober 2016,
Rembuk! dan ASF Indonesia


***
Hadirilah diskusi santai dan dekat yang akan mengupas dan merefleksikan satu tahun pembangunan Rumah Contoh Kampung Tongkol bersama Kamil Muhammad (ASF-ID) dan Martin Suryajaya, dengan tajuk:

“Arsitektur Partisipatoris:
(di mana) Arsitektur,
(siapa) Arsitek, dan
(apa) Keindahan?”

Jumat, 11 November 2016
Pukul 17:30-21:00
Ruang Gerilya,
Jl. Raden Patah 12, Bandung

Tempat terbatas
Pendaftaran di (tidak dipungut biaya)

poster-rembuk-asf-bw1