Cukup rumit untuk membahas ‘etika profesi’ dan ‘sikap politik’ secara singkat karena keduanya sarat makna dan kontekstual. Bukan kapasitas saya pada kesempatan ini untuk membedah tradisi berpikir soal etika atau moral. Namun, mungkin beberapa argumen berikut dapat menjawab pertanyaan apakah etika profesi perlu atau bisa dipisahkan dari sikap politik.
Hampir semua profesi modern memiliki landasan prinsip yang menjamin integritas para pelakunya. Prinsip-prinsip ini terdefinisikan dan pada umumnya tak terpisahkan dari keberadaan sebuah organisasi profesi yang paling berpengaruh. Tentu organisasi profesi tidak bebas nilai atau steril dari konstelasi ekonomi politik. Dalam ruang artikel ini, mari kita bicara lebih konkret tentang profesi arsitek dan perencana kota, atau profesi lain yang terkait dengan praktik merancang bangun dan menciptakan ruang.
Arsitek dan perencana kota punya ruang dan kesempatan untuk mengubah lingkungan kesehariannya. Di sisi lain, mereka pun juga terkungkung dalam rutinitas sehari-hari dan struktur sosial masyarakat di mana mereka berada. Kerja para perencana dan perancang memang mencakup tidak hanya kesadaran estetika yang adalah kesadaran material tetapi juga kesadaran sosial dan diskursif. Mereka punya selera dan dapat membentuk selera para klien, tapi mereka juga bagian dari keluarga yang dinafkahi serta lingkar sosial yang dikenal. Mereka pun harus berkeringat di jalan raya, bermacet ria antara rumah, kantor dan lokasi proyek serta berkegiatan di lokasi-lokasi yang mungkin dibencinya, entah itu pusat belanja atau taman publik, sembari berfantasi tentang ‘ruang yang lebih baik’. Kota yang sehat dan humanis, apakah mungkin?
Bagaimana jika setiap rumah dibangun dengan tetap merawat bumi dan air tanah? Bagaimana jika setiap lahan menyisakan lebih banyak ruang hijau? Bagaimana jika setiap material yang dipakai dihasilkan dari kerja orang-orang ‘lokal’ dan bukan didatangkan dari jauh sehingga merusak ekonomi komunitas dan menambah emisi karbon? Daftar pertanyaan ini dapat menjadi semakin panjang dan saya yakin semua arsitek dan perencana kota yang saya kenal setidaknya pernah mendengarnya. Tapi tunggu dulu, bagaimana dengan ruang-ruang di antara lahan-lahan yang didesain oleh mereka? Apakah ruang-ruang ini bagian dari fantasinya atau sekedar ruang yang dihidupi; dihidupi anak dan ibunya tapi berada di luar kesadaran estetika mereka? Bagaimana dengan cerita hidup lahan yang didesain oleh mereka–siapakah yang pernah mendapat manfaat atasnya dan siapa yang pernah hidup darinya?
Etika profesi semestinya bisa menjadi tuntunan untuk meminimkan semua konflik sosial dan ekologis yang mungkin terjadi atas berubahnya sebuah lahan. Apakah ini mudah, seandainya mungkin? Tentu tidak! Ada banyak undang-undang, yang pada dasarnya adalah payung etika profesi, dibuat sejak tata kota modern dikenal di Indonesia. Hal ini dapat menjadi landasan konsensus para pelaku profesi, tetapi sayang sudah ketinggalan zaman alias tidak lagi sesuai dengan konflik dan kebutuhan saat ini. Lalu apa yang bisa dijadikan pegangan apabila peraturan perundangan atau mekanisme pembangunan fisik kita belum mumpuni? Jika payung undang-undang pun sudah ada dan ideal, apakah dapat dipraktikkan secara adil?
Sering terdengar dalih bahwa arsitek dan perencana hanya menerima sekitar 6-12% nilai proyek sehingga tidak punya banyak kuasa menentukan bagaimana lingkungan terbangun dapat tercipta. Dalih tersebut menyedihkan bagi saya; seseorang dapat dengan mudah mengurangi makna hidup dan pekerjaannya menjadi nilai moneter pemilik modal saja (capitalist market’s monetary value) i.e. prosentasi nilai proyek. Tentu arsitek menginginkan desain yang dapat terwujud; dipakai, terawat, bertahan lama, dan berfungsi baik. Keinginan personal profesional ini adalah juga kondisi material, selain kondisi struktural material ‘di luar sana’ berupa pola perekonomian yang menciptakan kebutuhan ruang dan mendorong adanya sebuah karya.
PERANCANGAN DAN PERENCANAAN ADALAH UPAYA POLITIK
Tibalah kita pada praktik politik, setelah membicarakan perihal etika yang ternyata bukanlah ranah pencarian netralitas atau upaya membangun realitas dengan kacamata objektif. Upaya-upaya untuk mencapai bentuk estetika karya adalah upaya politik karena melibatkan kenyataan sosial dan juga diskursif. Sialnya, kenyataan sosial untuk mewujudkan impian ini harus direkayasa. Dan rekayasa itu pun disertai dengan diskursus-diskursus yang melanggengkan nilai-nilai ‘efisiensi’, ‘efektivitas’, ‘profit’, dan ‘benefit’ yang sering beradu dengan ‘keadilan sosial’, ‘kesejahteraan’, dan ‘toleransi’. Uang pelicin proyek, lobi-lobi kiri kanan, termasuk mendekatkan diri pada pejabat adalah bagian dari realitas politik kaum profesional.
Apakah ada bentuk politik profesional yang lain?
Para penulis ‘critical planning’ mencoba mendudukkan permasalahan kota dalam hubungannya dengan institusi negara. Melampaui pendekatan perencanaan dan perancangan ‘participative’, ‘collaborative’ atau ‘communicative’, para penulis seperti Margo Huxley dan Oren Yiftachel melihat ‘planning’ bukan semata persoalan mencari solusi prosedural, metode teknis perancangan atau cara kerja baru antara pekerja yang terlibat di dalamnya (e.g. Yiftachel, 1998, 2009; Yiftachel & Huxley, 2000). Proses perencanaan dan pembangunan ruang yang tidak berkeadilan bukan hanya dikarenakan para perancang dan perencana kurang melibatkan pengguna fasilitas (users) atau bahkan warga yang lebih luas (public, communities, people). Perencanaan adalah juga arena kontestasi ide keadilan sosial dan bentuk relasi antara warga dan negara. Singkatnya jika kemiskinan terus ada, banyak warga tidak mendapatkan akses rumah dan infrastruktur dasar, dan ketika sebuah karya mengakibatkan penggusuran, maka persoalan mendasar terletak pada institusi negara dan sistem perekonomian yang ada.
MEKANISME DALAM BATAS NEGARA
Dalam bukunya ’Seeing Like a State’, James Scott (Scott, 1998) bertutur tentang gagalnya institusi negara modern melalui skema-skema besar pembangunannya dalam memperbaiki kesejahteraan manusia. Negara modern dalam konteks Indonesia yang lahir melalui kolonialisme, mencoba menghadirkan structur, pola dan orde baru, baik pada sistem produksi ekonomi maupun reproduksi sosial. Struktur, pola dan orde ini dibuat dengan menihilkan banyak keberagaman corak produksi dan corak relasi sosial. Realitas diasumsikan dan dibentuk melalui kategori-kategori yang ’universal’. Keberagaman pun disederhanakan dan dikelompokkan dalam kategori-kategori ini, melalui kontrol atas tubuh dan ruang.
Persoalan mendasar adalah hubungan institusi negara dan penduduk tidaklah simetris; kerap dengan represi yang berkuasa. Salah satu produk institusi negara tersebut adalah kota modern, yang dibangun dengan standar-standar ukuran ruang tertentu. Selain standar, orde atau keteraturan bentuk pun digunakan seperti jalan yang lurus, sungai-sungai yang lurus dan mengalir cepat, dan pola bangunan yang berulang. Konsepsi kota modern berbeda dengan kota pre-modern yang direncanakan seiring warga membangun. Kota modern direncanakan di luar aktivitas membangun itu sendiri, dengan visi masa depan yang diidealkan. Tahap selanjutnya, kota ultra-modern, adalah puncak keinginan merekayasa dengan didukung sains yang semakin mumpuni, menuju presisi absolut.
Dalam buku ini Scott juga bercerita tentang ambisi Charles-Édouard Jeanneret, dikenal sebagai Le Corbusier, yang memimpikan kota tanpa akar keberagaman masa lalu. Apapun indah bagi Le Corbusier adalah estetika bentuk dalam skala yang besar dan seragam (h. 104-14). Untuk merealisasikan ide itu, Le Corbusier harus dekat dengan patron politik, contohnya seperti Nehru ketika membangun Chandigarh di India. Bagi Le Corbusier, penguasa ‘tangan besi’ perlu untuk mewujudkan ide kota modern – yang sesungguhnya kontradiktif dengan ide liberal modernisme. Walaupun orientasi politik Le Corbusier adalah ’kanan’, ia pun berambisi merancang kota untuk Uni-Soviet dengan pusat produksi manufaktur dan perumahan pekerja sebagai ikon yang monumental. Ia melobi Stalin tanpa pantang mundur, tetapi para anggota komite Stalin tidak menyukai idenya. Seorang modernis dari Moscow, El Lissitzky, berujar bahwa kota Le Corbusier adalah ’city of nowhere … neither capitalist, nor ploretarian, nor socialist’. Bukan hal yang asing juga bagi Indonesia, bahwa manuver politik arsitek dapat juga menyerupai kepentingan ambisi individual.
Lopes de Souza, yang banyak menulis tentang sistem dan praktik perencanaan ruang di Brazil, dan mencermati bahwa pergerakan sosial (social movement) adalah pelaku sejati ‘critical urban planning’ (e.g. de Souza, 2006). Entah bersama atau di luar insitusi formal perencanaan ruang, warga harus merencanakan ruang hidup secara mandiri dan membentuk kelompok politik untuk mewujudkannya. (lihat juga https://berkota.wordpress.com/2013/12/08/berhimpun-berkarya-dan-berhuni-bersama-pengalaman-rakyat-brazil/). Kerja-kerja parlementer untuk memengaruhi pembentukan kebijakan dan alokasi anggaran tentu perlu dilakukan, tapi institusi pembangunan ruang yang lain juga perlu disiapkan.
Bahkan menurut de Souza, jika partai progresif menang sekalipun, ide-ide keadilan ruang yang digagas warga dapat dikooptasi karena politik elit tak luput dari negosiasi berbagai kekuatan politik yang alergi terhadap perubahan. Ia pun menyerukan, bahwa perencanaan ruang harus menjadi lebih radikal dan juga anarkis; yaitu mencoba menerobos institusi negara modern. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang keterbatasan institusi negara modern, entah itu kapitalistis atau komunis, dalam perencanaan kota.
PRAKTIK YANG LAIN
Dalam kondisi negara seperti Indonesia, dengan sistem politik elektoral yang carut-marut, apakah seorang arsitek atau perencana kota dapat berkarya dengan tenang? Susah! Lalu apakah ia harus menjadi apa yang disebut aktivis politik? Tidak perlu kalau tidak mau! Namun, ada persoalan etika keadilan sosial yang akan kerap menghantuinya. Maka mau tidak mau ia harus memiliki sikap politik yang mandiri dan dengan penuh kesadaran memahami posisinya. Ketika seseorang mengharapkan perubahan, ia harus berani mengandalkan diri dan kelompok profesinya, bukan menggantungkan nasib pada penguasa atau yang sedang berkuasa.
Kesadaran politik adalah kesadaran sehari-hari. Dalam bahasa Gramscian, hegemoni kebudayaan terbentuk dari aktivitas berulang-ulang, yang diamini dan diulang kembali tanpa sedikitpun ada upaya melawan ketidakadilan yang menyertainya (lihat Ekers et al., 2009; Loftus, 2009; Loftus & Ekers, 2008). Dengan demikian, adalah penting untuk mengubah budaya berkarya dan mencari cara berkarya yang tidak hanya baru tapi juga terjaga sistem atau institusinya, sehingga dapat terus dipraktikkan, bahkan oleh yang lain. Jika arsitektur yang lain adalah mungkin, maka kota yang lain pun adalah mungkin.
Referensi:
- de Souza, M. L. (2006). Together with the State, despite the State, against the State. Social movements as ‘critical urban planning’ agents. CITY, 10(3), 327-342.
- Ekers, M., Loftus, A., & Mann, G. (2009). Gramsci Lives! Geoforum, 40, 287-291.
- Loftus, A. (2009). Intervening in the environment of the everyday. Geoforum, 40, 326-334.
- Loftus, A., & Ekers, M. (2008). The power of water: developing dialogues between Foucault and Gramsci. Environment and Planning D: Society and Space, 26, 698-718.
- Scott, J. C. (1998). Seeing Like a State. How Certain Schemes to Improve the Human Condition have Failed. New Haven and London: Yale University Press.
- Yiftachel, O. (1998). Planning and Social Control: Exploring the Dark Side. Journal of Planning Literature, 12(4), 395-406.
- Yiftachel, O. (2009). Theoretical Notes on ‘Gray Cities’: the Coming of Urban Apartheid? Planning Theory, 8(1), 88-100.
- Yiftachel, O., & Huxley, M. (2000). Debating Dominance and Relevance: Notes on the ‘Communicative Turn’ in Planning Theory. International Journal of Urban and Regional Research, 24(4), 907-913.