Angan-angan Bangunan Gedung: Dari IMB ke PBG

The good ‘ol denah-tampak-potongan

Yang pernah mengurus pembangunan rumah tentu masih ingat persyaratan gambar untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain dokumen kepemilikan lahan, persyaratan mengajukan IMB adalah gambar denah tampak potongan (DTP) dalam skala satu banding seratus plus gambar situasi. Yang terakhir mesti terlihat posisi tangki septik, saluran pipa kota, dan sumur resapan. Prakteknya, persiapan berkas IMB tidak mutlak membutuhkan peran arsitek. Pemilik, kepala tukang, atau pemborong perorangan pun bisa menyiapkan gambar syarat IMB, dibantu juru gambar.

Meski relatif mudah dan sederhana, berpuluh tahun penerapan IMB tidak dapat disebut berhasil. Sebabnya, bukan hanya keterbatasan sumberdaya pemilik melainkan juga akuntabilitas staf birokrasi itu sendiri. Akhirnya, standar kualitas bangunan tidak tercapai dan wajah birokrasi bangunan dan tata ruang kita kadung tercoreng oleh praktek pungli yang melibatkan calo dan ordal.

Terhitung sejak 2021 rejim IMB dihapus digantikan oleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Standar, norma, dan undang-undang terkait konstruksi dan bangunan, setifikasi tenaga ahli dan profesional di sekitarnya sudah sedemikian berkembang; notabene adalah turunan dari Omnibus Law 2020; Undang-undang Arsitek dan Undang-undang Jasa Konstruksi, keduanya lebih dulu terbit di 2017.

Teknologi dan apps memudahkan proses pelayanan publik. Pemohon PBG bisa unggah berkas dari manapun sehingga tidak perlu bolak-balik ke konter layanan. Terkait PBG, yang perlu disebut adalah Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), dan Rencana Teknis Pembongkaran (RTB). Praktis menghadirkan negara pada keseluruhan daur hidup sebuah bangunan di kota; mulai dari perencanaan, pembangunan, pengawasan penggunaan dan perawatan, hingga suatu saat perlu dilakukan pembongkaran. Apakah itu rumah tinggal, tempat usaha, sekolah, gudang, pabrik, kost, villa dan hotel, bangunan bersejarah, rusun hingga apartemen, gedung pencakar langit semua harus melalui alur administrasi perijinan serupa.

Tiga, empat, lima puluh tahun berlalu, posisi sosio-kultural arsitek di Indonesia tidak banyak berubah. Arsitektur adalah wujud sekaligus kategori jasa profesional bagi kalangan elit. Kaum arsitek Indonesia paling banyak tergabung dalam asosiasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dengan 26.500-an anggota, yang aktif maupun tidak. Diantara anggota aktif ada sekitar 4.000 anggota IAI sudah memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA). STRA adalah syarat mutlak bagi sarjana arsitektur untuk mendapat lisensi dari pemerintah daerah dan secara sah menjadi subyek hukum dalam berpraktek profesi.

Jumlah arsitek, atau pemegang STRA, masih sangat kecil jika melihat 277 juta angka penduduk. Asumsinya 57% penduduk negeri yang tinggal di kota berkepentingan dengan bangunan berizin, bangunan gedung, maka hanya satu arsitek tersedia berbanding 40.000-an penduduk negeri. Demi menjaga kualitas, anggota IAI harus mengikuti sekian penataran dan tes kecakapan sampai layak diberi STRA. Tentunya dengan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Demikian menjadi wajar jika pemegang lisensi sangat terbatas dan terkonsentrasi di ibu kota propinsi.

Di sisi lain, praktik mendirikan rumah dan membangun merupakan praktik budaya yang lumrah. Karena menyangkut kebutuhan keluarga maupun usaha orang banyak. Bisa ditebak, PBG yang digadang-gadang mutakhir dan komprehensif itu tidak akan lebih ‘sukses’ atau populer dibanding IMB. Tidak juga ada jaminan bahwa rejim baru ini akan membawa administrasi dan pengawasan bangunan menjadi lebih valid dan akuntabel, menghadirkan bangunan berkualitas yang tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga kokoh, sehat, rendah biaya operasional dan perawatan.

Sejenak kita lihat syarat kelengkapan gambar perencanaan persyaratan PBG. Tidak cukup gambar situasi dan DTP tetapi juga perlu gambar potongan prinsip, gambar KM/WC, tangga dan railing, hingga desain perkerasan halaman dan rekomendasi peil banjir, atau apa yang disebut dengan Detailed-Engineered Drawing (DED). Yang demikian hanya bisa dihasilkan oleh penyedia jasa profesional, biro arsitek, atau arsitek berlisensi. Tidak bisa lagi dipenuhi oleh kepala tukang dan kontraktor perorangan seperti halnya IMB. Minggu lalu diberitakan 6.000-an permohonan PBG di kota Malang mandek. Jika postur leher botol ini dibiarkan alih-alih memberantas, pungli, calo, dan ordal akan semakin marak lewat PBG.

Persayaratan kelengkapan gambar teknis menjadi biangnya sumbat botol PBG di Malang. Pada akhirnya hambatan tidak hanya dialami oleh pemohon, tetapi juga kapasitas administrasi pemrosesan PBG. Dinas terkait harus melakukan koordinasi lintas sektor melibatkan multi pihak, misalnya dalam menjalankan penilaian atau sidang PBG dinas mengundang Tim Profesi Ahli (TPA) dan Tim Penilai Teknis (TPT).

Selayaknya, tingkat persyaratan PBG disesuaikan dengan tingkat resiko bangunan. Misalnya, PBG rumah tinggal sampai dua lantai (RTL2) tentunya tidak memerlukan syarat teknis serumit bangunan publik atau komersial. Apa yang pernah menjadi persyaratan gambar IMB sudah cukup memadai untuk RTL2, cukup ditambah dengan perhitungan dan komitmen Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang secara kolektif memang penting dan genting dalam rangka memperbaiki kualitas udara kota kita.

Pada akhirnya kualitas bangunan juga ditentukan oleh komitmen pemilik. Sekomplit atau secanggih apapun regulasi dan administrasi bangunan pada penerapannya akan bergantung pada ekosistem, yakni realita sosio-kultural masyarakat kita. Apalagi negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Persepsi korupsi dan transparansi merosot dalam lima tahun terakhir. Perlu keberanian dalam menerima realita ini serta sikap lapang dada untuk kemudian melakukan perbaikan yang terukur dan layak.

*) artikel ini telah direvisi pada19 Juni 2024; “…sekitar 4.000 anggota IAI sudah memiliki …”

Redefinisi Bhakti Ganva

Bhakti Ganva (BG) merupakan program kerja gabungan antara himpunan mahasiswa jurusan Arsitektur dan Teknik Sipil di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. BG sudah berjalan setidaknya dalam delapan tahun terakhir dan menghasilkan tujuh bangunan yang tersebar di kampung-kampung di Kabupaten Bandung dan sekitar.

Berproses secara dialektis, visi, misi, dan arti BG terus bertambah, berkembang, dan ter-redefinisi setiap tahunnya. Adapun semangat awal BG muncul diantara mahasiswa untuk mencari kegiatan yang positif dan dapat dilakukan secara kolaboratif antar dua jurusan. Dari titik itu kemudian muncul harapan dan cita-cita untuk memajukan kampung-kampung tertinggal yang masih dapat dijangkau dari Bandung. BG membantu dengan cara pembangunan infrastruktur fisik dan mengaplikasikan ilmu yang dipelajari di kampus.

Metodologi Pemberdayaan

Setidaknya sejak tahun 2017, metode yang digunakan BG mencakup penentuan parameter pemilihan kampung vis-a-vis kemampuan yang dimiliki oleh panitia BG di tahun itu. Misalnya, jarak ke kampung dan waktu tempuh dari kampus, ketersediaan tanah wakaf, aksesibilitas untuk mengantarkan bahan bangunan, dan yang terpenting, urgensi masalah yang dimiliki oleh kampung terkait.

Metode Participatory Action Research (PAR) merupakan salah satu cara BG dalam mendapatkan data yang valid untuk kemudian diolah menjadi desain kegiatan. Metode pemetaan PAR pertama didapatkan melalui pengajaran dari Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) yang kemudian dipakai dan diadaptasi sesuai dengan kebutuhan BG. Metode PAR mencakup pemetaan kesejarahan, lingkungan, jadwal mingguan dan bulanan, potensi, dan gambar kampung impian.

Membangun sebuah fasilitas umum tidak dapat lepas dari pengguna yaitu penduduk kampung. Dengan meyakini proses pemberdayaan, BG berharap penyelesaian masalah yang ditawarkan dapat berlangsung terus dan berkembang. Pembangunan dilakukan dengan cara kerjasama bersama warga sehingga menciptakan sense of belonging. Peresmian bangunan dilakukan secara simbolis lewat acara serah terima bangunan sebagai bentuk tanggung jawab BG kepada warga maupun kepada kampus Unpar.

Diagram proses
Diagram proses: survey Kampung (1), analisis/pemilihan kampung (2), penggalian masalah melalui pemetaan partisipatoris (3), perumusan solusi (4), rencana kerjasama multi pihak (5), menyama-ratakan persepsi: Rakbar (6), pembangunan (7), peresmian (8).

Antara Idealisme dan Pragmatisme

Sebuah dilema mesti saya hadapi dalam menjalankan BG; antara target pelaksanaan program dan waktu yang dimiliki kawan-kawan mahasiswa. Keseluruhan jadwal BG harus dapat menyesuaikan batasan waktu yang disepakati oleh kedua himpunan mahasiswa dan administrasi Unpar. Hal ini membuat keseluruhan kegiatan harus terfokus pada jadwal waktu, selain kepada target hasil pembangunan. Secara ideal, BG ingin untuk memberikan dampak yang signifikan dan menyeluruh, tetapi masih fit-in dan sustainable bagi kampung. Beberapa studi kasus berikut ini merujuk pengalaman BG 2017, BG 2018, dan BG 2019.

BG 2017 membangun fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD) dan ruang serba guna di Kampung Pasirpari, Ciwidey. Kampung ini dipilih karena kebutuhan PAUD sudah menjadi masalah sejak lama. Pemetaan dilaksanakan selama empat minggu. Pemetaan menghasilkan tidak hanya fungsi bangunan yang akan dibangun, tetapi juga konsep kampung impian Pasirpari mencakup visi satu dekade kedepan. Kemudian hari masalah muncul pada kepanitiaan. Jauhnya lokasi kampung menyebabkan hanya segelintir mahasiswa yang memiliki waktu dan tenaga untuk menjalankan kegiatan. Namun demikian bangunan PAUD dapat diselesaikan. Selang waktu kemudian warga manambahkan taman bermain dan diketahui adanya kepengurusan PAUD.

BG 2018 belajar dari kekurangan tahun sebelumnya, yakni soal jarak ke lokasi kampung. Di tahun tersebut kedekatan lokasi kampung menjadi parameter utama. Kampung Buntis di Cimenyan hanya memakan waktu perjalanan bolak-balik sekitar dua jam. BG 2018 membangun mushola dan ruang serba guna meskipun kampung ini relatif sudah lebih maju. Parameter lain, seperti konsep bangunan, pengelolaan keuangan, dan timeline juga terpenuhi. Bahkan sangat tepat waktu. Pekerjaan selesai sebelum ujian akhir semester. Kemudian peresmian dan serah terima bangunan kepada kampung diselenggarakan.

PAUD Pasirpari
PAUD Pasirpari

Perubahan dan Adaptasi

Namun, beberapa bulan kemudian didapati jika mushola Kampung Buntis tidak digunakan sama sekali, tidak ada yang mengurus sehingga tampak tidak terawat. Ini adalah situasi yang kontras dengan Kampung Pasirpari yang memiliki sense of ownership terhadap PAUD mereka. Padahal, design-wise, BG 2018 lebih eksploratif pada segi arsitektur, pada aspek bentuk bangunan. Dalam BG 2018 yang terlewat adalah kualitas interaksi dan kerjasama dengan warga Kampung Buntis. Sebuah prasyarat agar warga dapat menggunakan dan memelihara bangunannya. Sebagai catatan, pada 2018 terjadi pergantian periode kepengurusan himpunan yang otomatis menyebabkan perubahan kepanitiaan BG.

Langkah perbaikan dimulai dengan saling memperkenalkan diri lagi, sosialisasi lagi, mencari tahu apa masalah yang membuat warga enggan menggunakan bangunannya. Satu diantara pemasalahan bersumber pada pilihan material; sejak awal banyak digunakan material terekspos terhadap cuaca, misalnya lantai aci, dinding bata roster, penutup anyaman bambu, hingga lubang pada ampig yang menyebabkan burung dan ayam masuk. Perkara tersebut secara satu persatu dicoba dicari jalan tengahnya. Dengan pendekatan sosial, warga Kampung Buntis secara perlahan mulai menerima bangunan mushola, sehingga menjadi bagian dari kegiatan keseharian mereka.

BG 2019 dilaksanakan di Kampung Garung di Cibiruwetan. Kampung Garung tidak memiliki saluran irigasi langsung maupun sumur. Warga mengandalkan sebuah saluran dari mata air yang terletak sepuluh kilometer kearah puncak Gunung Manglayang. Sebagian warga lain harus mengumpulkan uang untuk membeli air dari truk tangki. BG 2019 memutuskan untuk membuat sarana mandi cuci kakus (MCK) yang dilengkapi bak penampungan utama. Sehingga warga kampung secara bergiliran dapat menggunakan toilet dan mengambil air. Fasilitas MCK ini juga memiliki tempat ngariung, duduk bersila berkumpul di lantai atas. Akibatnya MCK menjadi salah satu tempat yang paling sering dikunjungi oleh warga kampung.

Sebagai catatan, BG 2019 memiliki suatu anomali karena masa kerja yang singkat; hanya enam bulan. Sehingga pada tahun tersebut kami dituntut untuk ekstra hati-hati dan mesti melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program di tahun-tahun kebelakang. Kami mencoba memaknai kembali apa yang telah dibangun BG, dan mencoba mencari setiap pelajaran dibaliknya. Artinya, berusaha meredefinisi misi dan visi BG, secara seksama mempelajari apa yang diwariskan oleh kakak-kakak kelas yang sudah lulus atau sudah sulit ditemui.

Buntis
Mushala Buntis

Refleksi dan Langkah Kedepan

Mengetahui adanya bangunan BG yang tidak terpakai oleh warga membuat kami bersikap hati-hati dalam mengelola program dan dalam berinteraksi dengan warga. Kejadian itu membuat kami harus berpikir dua kali sebelum memulai kegiatan pembangunan. Juga muncul pertanyaan, adakah bangunan BG lain yang memiliki nasib yang sama? Maka kami memulai program Revisit yang menekankan aspek evaluasi, pengakuan dan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan. Hal tersebut menjadi syarat sebelum membuat desain program baru. Tidak boleh lagi secara sebelah mata melihat kampung sebatas lahan kosong untuk dibangun.

Pada akhirnya, proyek BG menjadi subyek yang dapat didiskusikan dan dipertanyakan. Misalnya, apakah BG sudah mengaplikasikan ilmu arsitektur dan teknik sipil sebagaimana didapat di ruang kuliah? Bagaimana bentuk pertanggung-jawaban jika jalannya kegiatan tereduksi menjadi sekadar memasang glass reinforced concrete, kaca, dan keramik? Meskipun, secara pribadi saya yakin jika desain adalah bahasa universal. Dan ekspresi kebahagiaan warga kampung juga adalah sebentuk bahasa yang universal. ///

Otentisitas dalam Kerja Kemanusiaan

Redefinisi Pengabdian 04
Sore hari, Sabtu 14 Maret 2020 telah berlangsung diskusi dengan judul Redefinisi Pengabdian Profesi.  Diskusi ini merupakan kali ketiga pada rangkaian kegiatan reguler dalam kerjasama antara ASF-BDG dengan Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Barat (IAI-JB) yang mengambil tema sosial, lingkungan, perkotaan, dan kebencanaan. Bertempat di sekretariat IAI-JB, tiga pembicara dari latar belakang mahasiswa, arsitek, dan pekerja kemanusiaan berbagi sudut pandang berkaitan dengan kegiatan pengabdian dan kemanusiaan.  Pemapar pertama adalah Josephine Livina mewakili kelompok Bhakti Ganva. Kemudian Rakha Puteri Shonigiya dari Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) dan ditutup oleh Zulkifli dari KUN Humanity System+ sebuah organisasi kemanusiaan yang multidisiplin.

Redefinisi Pengabdian 01

Josephine menjelaskan pengalamannya tentang sebuah program kerja yang berfokus pada pembangunan fasilitas umum dan sosial di lingkungan pedesaan dengan melibatkan masyarakat setempat. Program kerja Bhakti Ganva telah berlangsung di berbagai desa sepanjang tahun 2013-2019.  Metode partisipatif dilakukan oleh Bhakti Ganva sebagai upaya mengungkapkan masalah-masalah secara otentik. Musyawarah warga menjadi sumber informasi secara langsung. Lebih lanjut, kegiatan pengabdian mahasiswa harus disertai dengan rasa kepemilikan dari masyarakat kampung maupun dari mahasiswa. Josephine menekankan bahwa esensi pengabdian profesi bukan “apa” namun “mengapa.”

Presentasi kedua, Rakha Puteri Shonigiya menceritakan pengalaman pengabdian profesi dari sudut pandang arsitek.  Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ASF-ID bekerja sama dengan Kemitraan (Jakarta) dan Karsa Institut (Palu) untuk membangun sepuluh rumah percontohan, posyandu, dan balai warga, keseluruhannya berbahan bambu setempat. Terdapat perbedaan dalam proses dan tantangan antara menjalankan program rumah dengan pengembangan fasum, terutama terkait jadwal pembangunan dan bentuk partisipasi para penyintas.  Program ASF-ID untuk rekonstruksi Sulteng berlangsung dari bulan Februari sampai November 2019.

Redefinisi Pengabdian 02

Zulkifli selaku pegiat organisasi KUN Humanity System+ membahas tentang arsitektur operasi kemanusiaan yang menjadi acuan dan diadopsi secara universal. Dipaparkan suatu tinjauan singkat tentang aspek-aspek kunci yang mempengaruhi inovasi dalam konteks operasi kemanusiaan.  Beliau menjelaskan bahwa “Perkerjaan yang dilakukan tampak rumit dan sulit dinavigasi jika baru terlibat dalam aksi kemanusiaansangat penting untuk memiliki pemahaman yang baik tentang pekerjaan ini supaya efektif dalam tujuan kemanusiaan. 

Sesi diskusi dipandu oleh Andrea Fitrianto dari Badan Pengabdian Profesi, Ikatan Arsitek Indonesia. Ibu Diana dari latar belakang pendidikan arsitektur menanyakan bagaimana cara membangun kepercayaan dan mengundang partisipasi warga setempat sehingga mau melakukan pembangunan bersama-sama.  Josephine merespon bahwa salah satu langkah awal untuk memenangkan kepercayaan warga adalah dengan memilih kampung yang warganya memang membutuhkan bantuan. Jika hat tersebut diperoleh maka akan berdampak langsung pada keberlanjutan bangunan dimasa depan.

Kemudian ada Bima yang bertanya mengenai cara bekerja sama dan berkomunikasi dengan komunitas setempat. Pertanyaan ini dijawab oleh Rakha dengan menceritakan pengalamannya saat menyelesaikan pembangunan di Sulawesi Tengah.  Masyarakat di Sulawesi Tengah pada umumnya memiliki lembaga-lembaga sosial-kultural yang mereka percayai. Misalnya, di desa Bolapapu lembaga adatnya cukup kuat, sehingga ketua RT dan RW desa tersebut merupakan bagian dari lembaga adat juga.  Sedangkan di Dolo Selatan, yang lebih kuat adalah lembaga agama. Disana pegiat bekerja erat dengan pemuda masjid dan pemuka agama. Dengan mengetahui bentuk kelembagaan yang terdapat di desa, maka pegiat dan masyarakat dapat merumuskan term of reference dan pola kerja sama.

Redefinisi Pengabdian 03

Pertanyaan terakhir datang dari Fiqih seputar ketepatan pilihan metode dan peran pegiat supaya masyarakat tidak tergantung terhadap bantuan yang diberikan.  Zulkifli menjelaskan bahwa setiap non-governmental organization yang memutuskan untuk mendampingi desa selayaknya menyiapkan program yang berkelanjutan. Kemudian, pegiat harus membuat program yang sesuai dengan kemampuan warga, atau istilahnya merancang program yang communitybased. Ketika program dirancang dan dijalankan oleh masyarakat, maka peran pegiat adalah sebagai fasilitator. Hal ini niscaya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan warga dan kesinambungan program kerja. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. ////////

 

Trauma dan Adaptasi

Sekurangnya duapuluh ribu kilometer ditempuh Maria Cecilia Hurtado sebelum  bertemu dengan ibu-ibu penyintas dari kampung-kampung pesisir barat Banda Aceh. Saat itu bulan Januari tahun 2006. Ibu-ibu berkumpul di balai warga gampong Meuraxa. Mereka duduk melingkar dalam berkelompok. Kemudian Cecilia memberi instruksi dalam bahasa Spanyol. Dengan bantuan penerjemahan simultan dari Javier, ia membuka sesi pelatihan membuat lukisan kain dengan menggunakan perca. Sebelum lukisan kain dibuat, masing-masing peserta menceritakan kisahnya, saat tsunami 26 Desember 2004 menerjang kampung dan rumah, merenggut nyawa anggota keluarga, kerabat, tetangga, jiwa orang-orang paling terkasih.

Ada yang menangis saat bercerita. Lainnya tabah dalam menerima kenyataan. Perihal emosi dan perasaan yang timbul saat bercerita, kolega psikolog-sosial Luisa Cabrera juga hadir di tempat, memberi bimbingan dalam sesi. Setelah seluruh peserta mendapat giliran bercerita, mereka mulai membuat sketsa pada kain latar yang sudah tersedia, ada yang berwarna hijau, hitam, putih, dan biru. Selanjutnya motif dan warna kain perca dipilih, digunting, dan dijelujur pada kain latar. Satu-per-satu langkah dikerjakan hingga utuh menjadi lukisan arpilleras tentang rumah dan suasana kampung saat kejadian tsunami.

Arpillera
Sesi Arpillera di Lam Isek

Cecilia yang berasal dari Chile juga seorang penyintas. Ia pernah mengalami kekejaman rezim fasis Augusto Pinochet 1973-1990, rezim yang merenggut nyawa suaminya. Banyak perempuan mengalami nasib serupa sehingga terdorong untuk berkumpul, untuk saling menguatkan dan mengupayakan penyembuhan trauma lewat arpilleras. Pegiat arpillera Cecilia dan psikolog-sosial Luisa diutus ke Banda Aceh oleh Habitat International Coalition, sebuah jaringan LSM internasional yang memperjuangkan pemenuhan hak atas permukiman yang layak dan bermartabat. Mereka bergabung dalam program rekonstruksi yang dijalankan oleh Urban Poor Linkage (UPLINK) di 26 kampung di pesisir Barat sekitar batas kota Banda Aceh.

Di Aceh trauma psikologis timbul terkait peristiwa kehilangan akibat bencana tsunami. Trauma lainnya muncul sebagai rasa takut terhadap laut dan ombak. Bagi penyintas tsunami kerja fisik, misalnya kalangan bapak-bapak yang membersikan kampung dari puing-puing dan membangun naungan darurat, adalah obat penawar yang manjur bagi trauma. Banyak yang secara alamiah dan secara sosial saja sadar dan mawas untuk tidak membiarkan salah satu dari mereka termenung sendiri sehingga terpapar pada resiko jatuh ke jurang trauma yang semakin mendalam. Bagi para penyintas, momen krisis yang timbul setelah bencana alam hanya memberi dua pilihan; membiarkan diri larut dalam kesedihan atau bangkit meraih kembali sendi-sendi kehidupan yang tercerabut secara tiba-tiba.

Asoenanggroe
Balai darurat di Asoenanggroe

Minggu ketiga setelah kejadian tsunami, UPLINK mengajak para penyintas yang tinggal di barak-barak pengungsian untuk bersama-sama kembali ke kampung. Gotong royong diadakan setiap hari untuk membersihkan kampung yang rata tertimbun oleh puing-puing. Kemudian balai warga didirikan sehingga dapat langsung digunakan untuk beristirahat dan berdiskusi setiap saat terasa perlu, siang dan malam hari. Lalu dapur umum didirikan di bawah tenda-tenda dan diselenggarakan untuk mengisi perut-perut yang kosong setelah lelah bekerja. Maka, waktu para penyintas di kampung menjadi efektif, sehingga semakin banyak yang bergabung dan bekerja di kampung; woe u gampong.

Kehadiran secara fisik di kampung asal telah menjadi semacam katarsis, membangkitkan semangat para penyintas untuk membangun kembali kampung mereka, membangkitkan harapan akan hari esok serta masa depan kampung. Ini kontras dengan suasana umum di barak-barak pengungsian yang terletak jauh hingga lebih dari sepuluh kilometer. Di barak penampungan bantuan makanan instan dan bahan makanan didrop secara reguler. Almarhum Pak Dirman, yang saat itu merupakan salah seorang penyintas, berucap, “tinggal di barak membuat kami serasa menjadi ayam potong.” Pak Dirman bergabung dengan UPLINK.

Meunasah
Meunasah di Lam Rukam

 

Demikian cuplikan berdasar kisah nyata di Aceh sekitar sepuluh tahun lalu. Sekiranya perlu juga dicermati oleh para arsitek,  perencana, serta pekerja yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi pasca bencana. Arsitek dan pekerja pasca bencana juga berperan sebagai teman yang mendampingi. Maka, keterlibatan penyintas dalam proses pengambilan keputusan tentang arsitektur hunian dan ruang hidup secara sosial serta segala fasilitas pendukungnya menjadi penting. Metode desain partisipatif menjadi syarat mutlak dalam proses rekonstruksi rumah maupun tata kelola rehabilitasi kampung. Metode desain partisipatif menjadi jembatan untuk mencapai tujuan arsitektur hunian, psikologis, dan sosial sekaligus.

Dalam masa dua tahun perencanaan, perancangan, dan pembangunan pasca tsunami 2005-2006 oleh UPLINK di Propinsi Aceh tak terhitung berapa kali sesi pelatihan dan bekerja partisipatif dijalankan. Ini mencakup kegiatan pendataan warga yang selamat, pemetaan kampung, pengukuran lahan, perancangan desain rumah yang meliputi kategori rumah bawah dan rumah panggung, perencanaan fasum dan fasos di kampung termsuk meunasah dan masjid, pelatihan manajemen pembangunan rumah, hingga pelatihan produksi bata pres stabilized soil-cement blocks (SSB) dalam rangka menyiasati kelangkaan bata bakar tradisional, sebuah upaya menyediakan sendiri bahan bangunan yang ramah lingkungan.

Meuraxa
Rumah panggung di Meuraxa

Mengingat kembali kunjungan pribadi ke kampung-kampung ini di akhir 2014 lalu, anak-anak bermain dan bercengkrama di lingkungan jalan dan halaman kampung. Generasi pasca tsunami telah lahir dan tumbuh kembang. Kelak mereka mewarisi rumah-rumah dan kampung. Ada kesan, jumlah populasi kampung-kampung ini tidak banyak berubah. Memang tsunami telah menyapu rata-rata 90% penduduk wilayah ini. Tentunya perlu beberapa generasi untuk menjadikan kampung  ramai seperti sebelum tsunami.

Tampak adanya perubahan pada rumah-rumah pasca tsunami. Banyak diantaranya ditujukan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan ruang. Rumah bawah tumbuh secara horisontal sampai semua ruang kosong pada lahan penuh terbangun. Rumah panggung tumbuh secara lebih spesifik dan terkendali, sehingga lahan masih memiliki pekarangan. Adakalanya ruang kosong bawah panggung berubah menjadi garasi mobil. Maka ruang bawah yang dimaksudkan sebagai ruang sosial, kini telah berubah menjadi ruang privat untuk menyimpan barang milik pribadi. Suatu fenomena yang semakin lazim, semakin dekat rumah dengan kota.

Lam Manyang
Rumah pembuat perahu, Lam Manyang

Selain itu ada pula rumah-rumah yang terbengkalai karena ditinggal penghuninya. Menurut para tetangga, sebagian penyintas memilih untuk pergi selamanya dan bergabung dengan keluarga mereka yang tinggal di luar kota Banda Aceh. Memang suasana di kampung pesisir di saat hujan, saat badai di musim angin Barat, terkadang menghadirkan rasa ngeri. Terlebih mengingat gempa bumi yang bisa saja hadir di bumi Aceh setiap saat, seperti halnya yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember lalu. Maka, jika trauma tak kunjung pergi, pilihan tempat bermukim adalah pilihan untuk memperoleh rasa betah, kerasan. Sudah barang tentu di bawah naungan rumah yang tetap aman di saat terjadi gempa.