Yang pernah mengurus pembangunan rumah tentu masih ingat persyaratan gambar untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain dokumen kepemilikan lahan, persyaratan mengajukan IMB adalah gambar denah tampak potongan (DTP) dalam skala satu banding seratus plus gambar situasi. Yang terakhir mesti terlihat posisi tangki septik, saluran pipa kota, dan sumur resapan. Prakteknya, persiapan berkas IMB tidak mutlak membutuhkan peran arsitek. Pemilik, kepala tukang, atau pemborong perorangan pun bisa menyiapkan gambar syarat IMB, dibantu juru gambar.
Meski relatif mudah dan sederhana, berpuluh tahun penerapan IMB tidak dapat disebut berhasil. Sebabnya, bukan hanya keterbatasan sumberdaya pemilik melainkan juga akuntabilitas staf birokrasi itu sendiri. Akhirnya, standar kualitas bangunan tidak tercapai dan wajah birokrasi bangunan dan tata ruang kita kadung tercoreng oleh praktek pungli yang melibatkan calo dan ordal.
Terhitung sejak 2021 rejim IMB dihapus digantikan oleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Standar, norma, dan undang-undang terkait konstruksi dan bangunan, setifikasi tenaga ahli dan profesional di sekitarnya sudah sedemikian berkembang; notabene adalah turunan dari Omnibus Law 2020; Undang-undang Arsitek dan Undang-undang Jasa Konstruksi, keduanya lebih dulu terbit di 2017.
Teknologi dan apps memudahkan proses pelayanan publik. Pemohon PBG bisa unggah berkas dari manapun sehingga tidak perlu bolak-balik ke konter layanan. Terkait PBG, yang perlu disebut adalah Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), dan Rencana Teknis Pembongkaran (RTB). Praktis menghadirkan negara pada keseluruhan daur hidup sebuah bangunan di kota; mulai dari perencanaan, pembangunan, pengawasan penggunaan dan perawatan, hingga suatu saat perlu dilakukan pembongkaran. Apakah itu rumah tinggal, tempat usaha, sekolah, gudang, pabrik, kost, villa dan hotel, bangunan bersejarah, rusun hingga apartemen, gedung pencakar langit semua harus melalui alur administrasi perijinan serupa.
Tiga, empat, lima puluh tahun berlalu, posisi sosio-kultural arsitek di Indonesia tidak banyak berubah. Arsitektur adalah wujud sekaligus kategori jasa profesional bagi kalangan elit. Kaum arsitek Indonesia paling banyak tergabung dalam asosiasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dengan 26.500-an anggota, yang aktif maupun tidak. Diantara anggota aktif ada sekitar 4.000 anggota IAI sudah memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA). STRA adalah syarat mutlak bagi sarjana arsitektur untuk mendapat lisensi dari pemerintah daerah dan secara sah menjadi subyek hukum dalam berpraktek profesi.
Jumlah arsitek, atau pemegang STRA, masih sangat kecil jika melihat 277 juta angka penduduk. Asumsinya 57% penduduk negeri yang tinggal di kota berkepentingan dengan bangunan berizin, bangunan gedung, maka hanya satu arsitek tersedia berbanding 40.000-an penduduk negeri. Demi menjaga kualitas, anggota IAI harus mengikuti sekian penataran dan tes kecakapan sampai layak diberi STRA. Tentunya dengan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Demikian menjadi wajar jika pemegang lisensi sangat terbatas dan terkonsentrasi di ibu kota propinsi.
Di sisi lain, praktik mendirikan rumah dan membangun merupakan praktik budaya yang lumrah. Karena menyangkut kebutuhan keluarga maupun usaha orang banyak. Bisa ditebak, PBG yang digadang-gadang mutakhir dan komprehensif itu tidak akan lebih ‘sukses’ atau populer dibanding IMB. Tidak juga ada jaminan bahwa rejim baru ini akan membawa administrasi dan pengawasan bangunan menjadi lebih valid dan akuntabel, menghadirkan bangunan berkualitas yang tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga kokoh, sehat, rendah biaya operasional dan perawatan.
Sejenak kita lihat syarat kelengkapan gambar perencanaan persyaratan PBG. Tidak cukup gambar situasi dan DTP tetapi juga perlu gambar potongan prinsip, gambar KM/WC, tangga dan railing, hingga desain perkerasan halaman dan rekomendasi peil banjir, atau apa yang disebut dengan Detailed-Engineered Drawing (DED). Yang demikian hanya bisa dihasilkan oleh penyedia jasa profesional, biro arsitek, atau arsitek berlisensi. Tidak bisa lagi dipenuhi oleh kepala tukang dan kontraktor perorangan seperti halnya IMB. Minggu lalu diberitakan 6.000-an permohonan PBG di kota Malang mandek. Jika postur leher botol ini dibiarkan alih-alih memberantas, pungli, calo, dan ordal akan semakin marak lewat PBG.
Persayaratan kelengkapan gambar teknis menjadi biangnya sumbat botol PBG di Malang. Pada akhirnya hambatan tidak hanya dialami oleh pemohon, tetapi juga kapasitas administrasi pemrosesan PBG. Dinas terkait harus melakukan koordinasi lintas sektor melibatkan multi pihak, misalnya dalam menjalankan penilaian atau sidang PBG dinas mengundang Tim Profesi Ahli (TPA) dan Tim Penilai Teknis (TPT).
Selayaknya, tingkat persyaratan PBG disesuaikan dengan tingkat resiko bangunan. Misalnya, PBG rumah tinggal sampai dua lantai (RTL2) tentunya tidak memerlukan syarat teknis serumit bangunan publik atau komersial. Apa yang pernah menjadi persyaratan gambar IMB sudah cukup memadai untuk RTL2, cukup ditambah dengan perhitungan dan komitmen Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang secara kolektif memang penting dan genting dalam rangka memperbaiki kualitas udara kota kita.
Pada akhirnya kualitas bangunan juga ditentukan oleh komitmen pemilik. Sekomplit atau secanggih apapun regulasi dan administrasi bangunan pada penerapannya akan bergantung pada ekosistem, yakni realita sosio-kultural masyarakat kita. Apalagi negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Persepsi korupsi dan transparansi merosot dalam lima tahun terakhir. Perlu keberanian dalam menerima realita ini serta sikap lapang dada untuk kemudian melakukan perbaikan yang terukur dan layak.
*) artikel ini telah direvisi pada19 Juni 2024; “…sekitar 4.000 anggota IAI sudah memiliki …”