Angan-angan Bangunan Gedung: Dari IMB ke PBG

The good ‘ol denah-tampak-potongan

Yang pernah mengurus pembangunan rumah tentu masih ingat persyaratan gambar untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain dokumen kepemilikan lahan, persyaratan mengajukan IMB adalah gambar denah tampak potongan (DTP) dalam skala satu banding seratus plus gambar situasi. Yang terakhir mesti terlihat posisi tangki septik, saluran pipa kota, dan sumur resapan. Prakteknya, persiapan berkas IMB tidak mutlak membutuhkan peran arsitek. Pemilik, kepala tukang, atau pemborong perorangan pun bisa menyiapkan gambar syarat IMB, dibantu juru gambar.

Meski relatif mudah dan sederhana, berpuluh tahun penerapan IMB tidak dapat disebut berhasil. Sebabnya, bukan hanya keterbatasan sumberdaya pemilik melainkan juga akuntabilitas staf birokrasi itu sendiri. Akhirnya, standar kualitas bangunan tidak tercapai dan wajah birokrasi bangunan dan tata ruang kita kadung tercoreng oleh praktek pungli yang melibatkan calo dan ordal.

Terhitung sejak 2021 rejim IMB dihapus digantikan oleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Standar, norma, dan undang-undang terkait konstruksi dan bangunan, setifikasi tenaga ahli dan profesional di sekitarnya sudah sedemikian berkembang; notabene adalah turunan dari Omnibus Law 2020; Undang-undang Arsitek dan Undang-undang Jasa Konstruksi, keduanya lebih dulu terbit di 2017.

Teknologi dan apps memudahkan proses pelayanan publik. Pemohon PBG bisa unggah berkas dari manapun sehingga tidak perlu bolak-balik ke konter layanan. Terkait PBG, yang perlu disebut adalah Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), dan Rencana Teknis Pembongkaran (RTB). Praktis menghadirkan negara pada keseluruhan daur hidup sebuah bangunan di kota; mulai dari perencanaan, pembangunan, pengawasan penggunaan dan perawatan, hingga suatu saat perlu dilakukan pembongkaran. Apakah itu rumah tinggal, tempat usaha, sekolah, gudang, pabrik, kost, villa dan hotel, bangunan bersejarah, rusun hingga apartemen, gedung pencakar langit semua harus melalui alur administrasi perijinan serupa.

Tiga, empat, lima puluh tahun berlalu, posisi sosio-kultural arsitek di Indonesia tidak banyak berubah. Arsitektur adalah wujud sekaligus kategori jasa profesional bagi kalangan elit. Kaum arsitek Indonesia paling banyak tergabung dalam asosiasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dengan 26.500-an anggota, yang aktif maupun tidak. Diantara anggota aktif ada sekitar 4.000 anggota IAI sudah memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA). STRA adalah syarat mutlak bagi sarjana arsitektur untuk mendapat lisensi dari pemerintah daerah dan secara sah menjadi subyek hukum dalam berpraktek profesi.

Jumlah arsitek, atau pemegang STRA, masih sangat kecil jika melihat 277 juta angka penduduk. Asumsinya 57% penduduk negeri yang tinggal di kota berkepentingan dengan bangunan berizin, bangunan gedung, maka hanya satu arsitek tersedia berbanding 40.000-an penduduk negeri. Demi menjaga kualitas, anggota IAI harus mengikuti sekian penataran dan tes kecakapan sampai layak diberi STRA. Tentunya dengan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Demikian menjadi wajar jika pemegang lisensi sangat terbatas dan terkonsentrasi di ibu kota propinsi.

Di sisi lain, praktik mendirikan rumah dan membangun merupakan praktik budaya yang lumrah. Karena menyangkut kebutuhan keluarga maupun usaha orang banyak. Bisa ditebak, PBG yang digadang-gadang mutakhir dan komprehensif itu tidak akan lebih ‘sukses’ atau populer dibanding IMB. Tidak juga ada jaminan bahwa rejim baru ini akan membawa administrasi dan pengawasan bangunan menjadi lebih valid dan akuntabel, menghadirkan bangunan berkualitas yang tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga kokoh, sehat, rendah biaya operasional dan perawatan.

Sejenak kita lihat syarat kelengkapan gambar perencanaan persyaratan PBG. Tidak cukup gambar situasi dan DTP tetapi juga perlu gambar potongan prinsip, gambar KM/WC, tangga dan railing, hingga desain perkerasan halaman dan rekomendasi peil banjir, atau apa yang disebut dengan Detailed-Engineered Drawing (DED). Yang demikian hanya bisa dihasilkan oleh penyedia jasa profesional, biro arsitek, atau arsitek berlisensi. Tidak bisa lagi dipenuhi oleh kepala tukang dan kontraktor perorangan seperti halnya IMB. Minggu lalu diberitakan 6.000-an permohonan PBG di kota Malang mandek. Jika postur leher botol ini dibiarkan alih-alih memberantas, pungli, calo, dan ordal akan semakin marak lewat PBG.

Persayaratan kelengkapan gambar teknis menjadi biangnya sumbat botol PBG di Malang. Pada akhirnya hambatan tidak hanya dialami oleh pemohon, tetapi juga kapasitas administrasi pemrosesan PBG. Dinas terkait harus melakukan koordinasi lintas sektor melibatkan multi pihak, misalnya dalam menjalankan penilaian atau sidang PBG dinas mengundang Tim Profesi Ahli (TPA) dan Tim Penilai Teknis (TPT).

Selayaknya, tingkat persyaratan PBG disesuaikan dengan tingkat resiko bangunan. Misalnya, PBG rumah tinggal sampai dua lantai (RTL2) tentunya tidak memerlukan syarat teknis serumit bangunan publik atau komersial. Apa yang pernah menjadi persyaratan gambar IMB sudah cukup memadai untuk RTL2, cukup ditambah dengan perhitungan dan komitmen Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang secara kolektif memang penting dan genting dalam rangka memperbaiki kualitas udara kota kita.

Pada akhirnya kualitas bangunan juga ditentukan oleh komitmen pemilik. Sekomplit atau secanggih apapun regulasi dan administrasi bangunan pada penerapannya akan bergantung pada ekosistem, yakni realita sosio-kultural masyarakat kita. Apalagi negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Persepsi korupsi dan transparansi merosot dalam lima tahun terakhir. Perlu keberanian dalam menerima realita ini serta sikap lapang dada untuk kemudian melakukan perbaikan yang terukur dan layak.

*) artikel ini telah direvisi pada19 Juni 2024; “…sekitar 4.000 anggota IAI sudah memiliki …”

Melampaui Krisis via Arsitektur Kebencanaan

Rumah Bambu
Pengembangan arsitektur bambu pada rekonstruksi pasca gempa 28 September.

Arsitektur kebencanaan menjadi salah satu pengetahuan yang sangat dibutuhkan dalam mitigasi bencana, khususnya pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengalaman Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) di Sulawesi Tengah selama hampir sebelas bulan pasca gempa 28 September, menawarkan sebuah refleksi. Sebuah gambaran bagaimana arsitek dituntut mampu membaca konteks dan menformulasikan skema kerja di tengah berbagai keterbatasan.

Rumah Tumbuh Bambu
Desember 2018 setelah berakhir masa tanggap darurat, Robbani bersama rekan-rekan dari Kemitraan dan Karsa Institute melakukan assessment di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Setelah meninjau banyaknya rumah dengan kondisi yang rusak sebagian maupun rusak total, diputuskan untuk membangun rumah tumbuh. Merujuk pada assessment yang dilakukan oleh Karsa, diputuskan untuk membangun rumah tumbuh bagi sepuluh keluarga di Bolapapu dan Namo. Termasuk dalam wilayah dengan kondisi paling parah, Bolapapu adalah pusat Kecamatan Kulawi sedangkan Namo terletak sekitar 2,6 km menjelang Bolapapu.

Kedua desa tersebut terletak berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Kegiatan rekonstruksi dikhawatirkan menambah marak penebangan pohon kayu keras untuk keperluan pembangunan rumah. Demikian bambu ditawarkan menjadi alternatif mempertimbangkan asumsi tersebut. Meskipun bambu sebagai bangunan masih perkara awam bagi masyarakat setempat. Pada pertengahan Februari 2019, penulis dan rekan Andrea bergabung dan memulai proses pengadaan dan pengawetan bambu dengan larutan borate dalam konsentrasi ca. 6%. Kemudian ditemukan banyak rumpun, seperti awo toraja (Dendrocalamus asper), walo (Gigantochloa apus), dan awo (Gigantochloa atter). Fleksibilitas dan ketahanan bambu dalam menyalurkan gaya menjadikannya sebagai salah satu material aman gempa. Bambu relatif lebih ringan dari bahan lain sehingga lebih aman saat terjadi goncangan gempa.

Rumah Bambu
Rumah bambu di desa Bolapapu, Kulawi

Selain unsur teknis diatas, tim arsitek juga menggali unsur arsitektur lokal dalam proses desain. Eksplorasi desain oleh Robbani mengadopsi bentuk geometris bangunan adat lobo sebagai bagian dari arsitektur khas Kulawi. Lewat sebuah maket berskala 1:30 desain awal dipresentasikan pertama kali kepada peserta program saat focus group discussion pada 22 Februari. Juga disepakati jadwal pembangunan rumah tumbuh dalam waktu dua bulan. Kemudian masing-masing kelompok desa menunjuk bendahara untuk bersama-sama mengelola dana pembangunan.

Pembangunan rumah tumbuh pertama di Bolapapu dimulai pada 25 Februari. Rencana pembangunan satu rumah yang sebelumnya diperkirakan memakan waktu satu minggu, pada kenyataannya berlangsung sampai dua bulan. Ada beberapa kendala yang memengaruhi kerangka rencana manajemen proyek. Misalnya, sebagian besar peserta program adalah petani serabutan dan harus memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga sering absen dalam kegiatan pembangunan. Di Bolapapu, seorang peserta yang memiliki enam anak yang masih dalam asuhan harus mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di kebun. Seorang peserta di Namo memerlukan waktu satu bulan penuh untuk persiapan pernikahan anaknya. Demikian pula berbagai kegiatan tradisi maupun seremonial di desa menginterupsi jadwal yang telah disepakati.

Bantuan dirancang dalam bentuk transfer dan pengembangan teknologi dan pengetahuan bambu. Sehingga mutlak memerlukan intensitas keterlibatan peserta. Memasuki bulan ketiga enam unit rumah telah dimulai namun belum satupun ada yang selesai. Sampai tiba waktu tim arsitek untuk rehat lebaran di Jawa. Hingga saat ini, masih ada tiga rumah tumbuh dalam proses finishing secara mandiri. 

Pelatihan Konstruksi
Lokakarya konstruksi bambu bagi penyintas dari desa Namo dan Bolapapu.

Posyandu Desa Boladangko
Sekitar satu setengah kilometer dari Bolapapu terletak Desa Boladangko dimana posyandu akan dibangun, dan masih menggunakan bambu sebagai material utama. Bambu awet yang diproduksi oleh  Bolapapu kemudian disiapkan untuk posyandu tersebut; cikal bakal koperasi usaha bambu mendapat pelanggan pertama.

Bersama rekan Robbani, penulis mengawal proses ini, melibatkan warga desa pada pekerjaan non-bambu seperti: pembuatan pondasi, umpak, pemasangan atap metal, dan peletakan jaringan pemipaan. Dua perajin bambu dari Sleman, Yogyakarta didatangkan untuk mengeksekusi pekerjaan bambu sekaligus melatih kader perajin bambu setempat. Skema ini bertujuan untuk transfer pengetahuan dan memberikan keahlian baru supaya kemudian terbuka lapangan pekerjaan baru di masa mendatang.

Bobot pekerjaan dicacah sehingga memungkinkan penerapan sistem kerja borongan. Dengan demikian mampu mengejar jadwal proyek. Selama prosesnya, proyek posyandu Boladangko berjalan selama satu bulan tanpa kendala berarti, sebagaimana proses pembangunan pada umumnya di kota. Hal tersebut berhasil mengikis pesimisme warga akibat keterlambatan jadwal pada program rumah tumbuh. Selesainya Posyandu Boladangko kemudian meningkatkan semangat kolektivitas warga dalam proses belajar mengolah dan merangkai bambu.

Posyandu Bambu
Posyandu bambu di Boladangko, Kulawi

Sau Singgani di Rogo
Desa Rogo di Kecamatan Dolo Selatan merupakan persinggahan berikut bagi tim. Sebuah desa yang terletak di bibir zona merah likuifaksi. Dalam bahasa Kaili, rogo berarti remuk. Rogo memiliki iklim kering dan berangin sehingga berdebu. Suhu rata-rata siang hari sekitar tigapuluh-empat derajat Celcius. Setelah terjadi likuifaksi, warga merasa lebih sulit mendapatkan air bersih. Kali ini kami bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Skema kerja dari pembangunan posyandu kembali diterapkan pada pembangunan sau singgani, semacam balai warga dalam pengertian setempat. Perajin bambu Akar Bambu Kulawi kini menjadi mentor bagi tiga pemuda Rogo. Sedangkan pekerjaan non-bambu dikerjakan oleh kelompok warga dengan upah yang telah disepakati di antara mereka.

Karena berbagai alasan, community organizer (CO) dari WALHI tidak dapat melanjutkan pekerjaan dan harus meninggalkan lokasi pada bulan kedua. Ini merupakan suatu hal yang tidak dibayangkan oleh warga; para pendamping hadir didukung oleh anggaran terbatas dan tidak dapat selamanya berada diantara mereka. Menanggapi situasi tersebut para arsitek harus beradaptasi dan bersedia mengelola dinamika sosial, yakni menjaga keseimbangan di antara kelompok agama dengan kelompok adat.

Arsitek dan CO suatu hari akan meninggalkan desa, sedangkan peserta dan warga akan tetap tinggal. Demikian relasi antar individu warga harus dijaga. Relasi di antara mereka yang terlibat pekerjaan dengan yang tidak, menjadi hal yang sensitif dan mengundang berbagai potensi konflik. Aspek sosial tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja seperti jika memakai kacamata manajemen proyek. Dinamika sosial menjadi pertimbangan utama dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam proyek.

Dalam mengantisipasi potensi persoalan sosial, waktu assesment selama seminggu ternyata jauh dari memadai. Seperti terbukti lewat program ini, assesment merupakan bagian yang tidak bisa dipandang enteng dari keseluruhan rancangan program. Kepekaan dan ketajaman pembacaan sosial kemasyarakatan saat assesment pertama akan menentukan keberhasilan program.

Refleksi
Ada alat tukar pada setiap kerja partisipasi baik berupa uang maupun waktu. Pada program rumah tumbuh, partisipan bisa terlibat jika kegiatan berlangsung di luar waktu mereka mencari nafkah. Konsekuensinya, pendamping tidak dapat membuat target penyelesaian secara kaku sebagaimana kerangka manajemen proyek yang baku. Patut dicoba, jika kelompok warga diberi kesempatan menjalankan arisan kerja, yaitu bentuk kerja bergantian yang dilakukan di akhir pekan atau ada waktu yang telah ditentukan untuk secara bergiliran membangun rumah setiap anggota arisan.

Pada proyek posyandu dan sau singgani, adanya upah kerja menjadikan proyek dapat dijalankan sesuai jadwal. Skema tersebut mengurangi resiko keterlambatan jadwal pembangunan. Pendamping dapat memilah paket kerja yang kongruen dengan komponen upah yang dibayarkan.

Proses partisipasi dan pengenalan teknologi alternatif kepada warga penyintas di desa pelosok mengandung tantangan tersendiri. Keilmuan arsitektur pada umumnya tidak mencakup pengetahuan ini. Keterlibatan ASF-ID pada kegiatan rekonstruksi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah melampaui pranata space, form, and order atau site analisys yang selama ini menjadi standar di kampus. Ada berbagai hal harus dipenuhi untuk mencapai arsitektur paripurna; aspek-aspek sosial dan kultural yang menyebabkan seorang sarjana arsitektur tidak lagi berfikir tentang “desain yang seperti apa?” namun “bagaimana desain itu memanusiakan?” Demikian, karena semua profesi dituntut untuk meredefinisi bentuk pengabdiannya dalam masyarakat. ////

Otentisitas dalam Kerja Kemanusiaan

Redefinisi Pengabdian 04
Sore hari, Sabtu 14 Maret 2020 telah berlangsung diskusi dengan judul Redefinisi Pengabdian Profesi.  Diskusi ini merupakan kali ketiga pada rangkaian kegiatan reguler dalam kerjasama antara ASF-BDG dengan Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Barat (IAI-JB) yang mengambil tema sosial, lingkungan, perkotaan, dan kebencanaan. Bertempat di sekretariat IAI-JB, tiga pembicara dari latar belakang mahasiswa, arsitek, dan pekerja kemanusiaan berbagi sudut pandang berkaitan dengan kegiatan pengabdian dan kemanusiaan.  Pemapar pertama adalah Josephine Livina mewakili kelompok Bhakti Ganva. Kemudian Rakha Puteri Shonigiya dari Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) dan ditutup oleh Zulkifli dari KUN Humanity System+ sebuah organisasi kemanusiaan yang multidisiplin.

Redefinisi Pengabdian 01

Josephine menjelaskan pengalamannya tentang sebuah program kerja yang berfokus pada pembangunan fasilitas umum dan sosial di lingkungan pedesaan dengan melibatkan masyarakat setempat. Program kerja Bhakti Ganva telah berlangsung di berbagai desa sepanjang tahun 2013-2019.  Metode partisipatif dilakukan oleh Bhakti Ganva sebagai upaya mengungkapkan masalah-masalah secara otentik. Musyawarah warga menjadi sumber informasi secara langsung. Lebih lanjut, kegiatan pengabdian mahasiswa harus disertai dengan rasa kepemilikan dari masyarakat kampung maupun dari mahasiswa. Josephine menekankan bahwa esensi pengabdian profesi bukan “apa” namun “mengapa.”

Presentasi kedua, Rakha Puteri Shonigiya menceritakan pengalaman pengabdian profesi dari sudut pandang arsitek.  Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ASF-ID bekerja sama dengan Kemitraan (Jakarta) dan Karsa Institut (Palu) untuk membangun sepuluh rumah percontohan, posyandu, dan balai warga, keseluruhannya berbahan bambu setempat. Terdapat perbedaan dalam proses dan tantangan antara menjalankan program rumah dengan pengembangan fasum, terutama terkait jadwal pembangunan dan bentuk partisipasi para penyintas.  Program ASF-ID untuk rekonstruksi Sulteng berlangsung dari bulan Februari sampai November 2019.

Redefinisi Pengabdian 02

Zulkifli selaku pegiat organisasi KUN Humanity System+ membahas tentang arsitektur operasi kemanusiaan yang menjadi acuan dan diadopsi secara universal. Dipaparkan suatu tinjauan singkat tentang aspek-aspek kunci yang mempengaruhi inovasi dalam konteks operasi kemanusiaan.  Beliau menjelaskan bahwa “Perkerjaan yang dilakukan tampak rumit dan sulit dinavigasi jika baru terlibat dalam aksi kemanusiaansangat penting untuk memiliki pemahaman yang baik tentang pekerjaan ini supaya efektif dalam tujuan kemanusiaan. 

Sesi diskusi dipandu oleh Andrea Fitrianto dari Badan Pengabdian Profesi, Ikatan Arsitek Indonesia. Ibu Diana dari latar belakang pendidikan arsitektur menanyakan bagaimana cara membangun kepercayaan dan mengundang partisipasi warga setempat sehingga mau melakukan pembangunan bersama-sama.  Josephine merespon bahwa salah satu langkah awal untuk memenangkan kepercayaan warga adalah dengan memilih kampung yang warganya memang membutuhkan bantuan. Jika hat tersebut diperoleh maka akan berdampak langsung pada keberlanjutan bangunan dimasa depan.

Kemudian ada Bima yang bertanya mengenai cara bekerja sama dan berkomunikasi dengan komunitas setempat. Pertanyaan ini dijawab oleh Rakha dengan menceritakan pengalamannya saat menyelesaikan pembangunan di Sulawesi Tengah.  Masyarakat di Sulawesi Tengah pada umumnya memiliki lembaga-lembaga sosial-kultural yang mereka percayai. Misalnya, di desa Bolapapu lembaga adatnya cukup kuat, sehingga ketua RT dan RW desa tersebut merupakan bagian dari lembaga adat juga.  Sedangkan di Dolo Selatan, yang lebih kuat adalah lembaga agama. Disana pegiat bekerja erat dengan pemuda masjid dan pemuka agama. Dengan mengetahui bentuk kelembagaan yang terdapat di desa, maka pegiat dan masyarakat dapat merumuskan term of reference dan pola kerja sama.

Redefinisi Pengabdian 03

Pertanyaan terakhir datang dari Fiqih seputar ketepatan pilihan metode dan peran pegiat supaya masyarakat tidak tergantung terhadap bantuan yang diberikan.  Zulkifli menjelaskan bahwa setiap non-governmental organization yang memutuskan untuk mendampingi desa selayaknya menyiapkan program yang berkelanjutan. Kemudian, pegiat harus membuat program yang sesuai dengan kemampuan warga, atau istilahnya merancang program yang communitybased. Ketika program dirancang dan dijalankan oleh masyarakat, maka peran pegiat adalah sebagai fasilitator. Hal ini niscaya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan warga dan kesinambungan program kerja. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. ////////

 

Trauma dan Adaptasi

Sekurangnya duapuluh ribu kilometer ditempuh Maria Cecilia Hurtado sebelum  bertemu dengan ibu-ibu penyintas dari kampung-kampung pesisir barat Banda Aceh. Saat itu bulan Januari tahun 2006. Ibu-ibu berkumpul di balai warga gampong Meuraxa. Mereka duduk melingkar dalam berkelompok. Kemudian Cecilia memberi instruksi dalam bahasa Spanyol. Dengan bantuan penerjemahan simultan dari Javier, ia membuka sesi pelatihan membuat lukisan kain dengan menggunakan perca. Sebelum lukisan kain dibuat, masing-masing peserta menceritakan kisahnya, saat tsunami 26 Desember 2004 menerjang kampung dan rumah, merenggut nyawa anggota keluarga, kerabat, tetangga, jiwa orang-orang paling terkasih.

Ada yang menangis saat bercerita. Lainnya tabah dalam menerima kenyataan. Perihal emosi dan perasaan yang timbul saat bercerita, kolega psikolog-sosial Luisa Cabrera juga hadir di tempat, memberi bimbingan dalam sesi. Setelah seluruh peserta mendapat giliran bercerita, mereka mulai membuat sketsa pada kain latar yang sudah tersedia, ada yang berwarna hijau, hitam, putih, dan biru. Selanjutnya motif dan warna kain perca dipilih, digunting, dan dijelujur pada kain latar. Satu-per-satu langkah dikerjakan hingga utuh menjadi lukisan arpilleras tentang rumah dan suasana kampung saat kejadian tsunami.

Arpillera
Sesi Arpillera di Lam Isek

Cecilia yang berasal dari Chile juga seorang penyintas. Ia pernah mengalami kekejaman rezim fasis Augusto Pinochet 1973-1990, rezim yang merenggut nyawa suaminya. Banyak perempuan mengalami nasib serupa sehingga terdorong untuk berkumpul, untuk saling menguatkan dan mengupayakan penyembuhan trauma lewat arpilleras. Pegiat arpillera Cecilia dan psikolog-sosial Luisa diutus ke Banda Aceh oleh Habitat International Coalition, sebuah jaringan LSM internasional yang memperjuangkan pemenuhan hak atas permukiman yang layak dan bermartabat. Mereka bergabung dalam program rekonstruksi yang dijalankan oleh Urban Poor Linkage (UPLINK) di 26 kampung di pesisir Barat sekitar batas kota Banda Aceh.

Di Aceh trauma psikologis timbul terkait peristiwa kehilangan akibat bencana tsunami. Trauma lainnya muncul sebagai rasa takut terhadap laut dan ombak. Bagi penyintas tsunami kerja fisik, misalnya kalangan bapak-bapak yang membersikan kampung dari puing-puing dan membangun naungan darurat, adalah obat penawar yang manjur bagi trauma. Banyak yang secara alamiah dan secara sosial saja sadar dan mawas untuk tidak membiarkan salah satu dari mereka termenung sendiri sehingga terpapar pada resiko jatuh ke jurang trauma yang semakin mendalam. Bagi para penyintas, momen krisis yang timbul setelah bencana alam hanya memberi dua pilihan; membiarkan diri larut dalam kesedihan atau bangkit meraih kembali sendi-sendi kehidupan yang tercerabut secara tiba-tiba.

Asoenanggroe
Balai darurat di Asoenanggroe

Minggu ketiga setelah kejadian tsunami, UPLINK mengajak para penyintas yang tinggal di barak-barak pengungsian untuk bersama-sama kembali ke kampung. Gotong royong diadakan setiap hari untuk membersihkan kampung yang rata tertimbun oleh puing-puing. Kemudian balai warga didirikan sehingga dapat langsung digunakan untuk beristirahat dan berdiskusi setiap saat terasa perlu, siang dan malam hari. Lalu dapur umum didirikan di bawah tenda-tenda dan diselenggarakan untuk mengisi perut-perut yang kosong setelah lelah bekerja. Maka, waktu para penyintas di kampung menjadi efektif, sehingga semakin banyak yang bergabung dan bekerja di kampung; woe u gampong.

Kehadiran secara fisik di kampung asal telah menjadi semacam katarsis, membangkitkan semangat para penyintas untuk membangun kembali kampung mereka, membangkitkan harapan akan hari esok serta masa depan kampung. Ini kontras dengan suasana umum di barak-barak pengungsian yang terletak jauh hingga lebih dari sepuluh kilometer. Di barak penampungan bantuan makanan instan dan bahan makanan didrop secara reguler. Almarhum Pak Dirman, yang saat itu merupakan salah seorang penyintas, berucap, “tinggal di barak membuat kami serasa menjadi ayam potong.” Pak Dirman bergabung dengan UPLINK.

Meunasah
Meunasah di Lam Rukam

 

Demikian cuplikan berdasar kisah nyata di Aceh sekitar sepuluh tahun lalu. Sekiranya perlu juga dicermati oleh para arsitek,  perencana, serta pekerja yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi pasca bencana. Arsitek dan pekerja pasca bencana juga berperan sebagai teman yang mendampingi. Maka, keterlibatan penyintas dalam proses pengambilan keputusan tentang arsitektur hunian dan ruang hidup secara sosial serta segala fasilitas pendukungnya menjadi penting. Metode desain partisipatif menjadi syarat mutlak dalam proses rekonstruksi rumah maupun tata kelola rehabilitasi kampung. Metode desain partisipatif menjadi jembatan untuk mencapai tujuan arsitektur hunian, psikologis, dan sosial sekaligus.

Dalam masa dua tahun perencanaan, perancangan, dan pembangunan pasca tsunami 2005-2006 oleh UPLINK di Propinsi Aceh tak terhitung berapa kali sesi pelatihan dan bekerja partisipatif dijalankan. Ini mencakup kegiatan pendataan warga yang selamat, pemetaan kampung, pengukuran lahan, perancangan desain rumah yang meliputi kategori rumah bawah dan rumah panggung, perencanaan fasum dan fasos di kampung termsuk meunasah dan masjid, pelatihan manajemen pembangunan rumah, hingga pelatihan produksi bata pres stabilized soil-cement blocks (SSB) dalam rangka menyiasati kelangkaan bata bakar tradisional, sebuah upaya menyediakan sendiri bahan bangunan yang ramah lingkungan.

Meuraxa
Rumah panggung di Meuraxa

Mengingat kembali kunjungan pribadi ke kampung-kampung ini di akhir 2014 lalu, anak-anak bermain dan bercengkrama di lingkungan jalan dan halaman kampung. Generasi pasca tsunami telah lahir dan tumbuh kembang. Kelak mereka mewarisi rumah-rumah dan kampung. Ada kesan, jumlah populasi kampung-kampung ini tidak banyak berubah. Memang tsunami telah menyapu rata-rata 90% penduduk wilayah ini. Tentunya perlu beberapa generasi untuk menjadikan kampung  ramai seperti sebelum tsunami.

Tampak adanya perubahan pada rumah-rumah pasca tsunami. Banyak diantaranya ditujukan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan ruang. Rumah bawah tumbuh secara horisontal sampai semua ruang kosong pada lahan penuh terbangun. Rumah panggung tumbuh secara lebih spesifik dan terkendali, sehingga lahan masih memiliki pekarangan. Adakalanya ruang kosong bawah panggung berubah menjadi garasi mobil. Maka ruang bawah yang dimaksudkan sebagai ruang sosial, kini telah berubah menjadi ruang privat untuk menyimpan barang milik pribadi. Suatu fenomena yang semakin lazim, semakin dekat rumah dengan kota.

Lam Manyang
Rumah pembuat perahu, Lam Manyang

Selain itu ada pula rumah-rumah yang terbengkalai karena ditinggal penghuninya. Menurut para tetangga, sebagian penyintas memilih untuk pergi selamanya dan bergabung dengan keluarga mereka yang tinggal di luar kota Banda Aceh. Memang suasana di kampung pesisir di saat hujan, saat badai di musim angin Barat, terkadang menghadirkan rasa ngeri. Terlebih mengingat gempa bumi yang bisa saja hadir di bumi Aceh setiap saat, seperti halnya yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember lalu. Maka, jika trauma tak kunjung pergi, pilihan tempat bermukim adalah pilihan untuk memperoleh rasa betah, kerasan. Sudah barang tentu di bawah naungan rumah yang tetap aman di saat terjadi gempa.

Etika Profesi dan Sikap Politik: Menilik Perencanaan Kota dan Arsitektur

Cukup rumit untuk membahas ‘etika profesi’ dan ‘sikap politik’ secara singkat karena keduanya sarat makna dan kontekstual. Bukan kapasitas saya pada kesempatan ini untuk membedah tradisi berpikir soal etika atau moral. Namun, mungkin beberapa argumen berikut dapat menjawab pertanyaan apakah etika profesi perlu atau bisa dipisahkan dari sikap politik.

Hampir semua profesi modern memiliki landasan prinsip yang menjamin integritas para pelakunya. Prinsip-prinsip ini terdefinisikan dan pada umumnya tak terpisahkan dari keberadaan sebuah organisasi profesi yang paling berpengaruh. Tentu organisasi profesi tidak bebas nilai atau steril dari konstelasi ekonomi politik. Dalam ruang artikel ini, mari kita bicara lebih konkret tentang profesi arsitek dan perencana kota, atau profesi lain yang terkait dengan praktik merancang bangun dan menciptakan ruang.

Arsitek dan perencana kota punya ruang dan kesempatan untuk mengubah lingkungan kesehariannya. Di sisi lain, mereka pun juga terkungkung dalam rutinitas sehari-hari dan struktur sosial masyarakat di mana mereka berada. Kerja para perencana dan perancang memang mencakup tidak hanya kesadaran estetika yang adalah kesadaran material tetapi juga kesadaran sosial dan diskursif. Mereka punya selera dan dapat membentuk selera para klien, tapi mereka juga bagian dari keluarga yang dinafkahi serta lingkar sosial yang dikenal. Mereka pun harus berkeringat di jalan raya, bermacet ria antara rumah, kantor dan lokasi proyek serta berkegiatan di lokasi-lokasi yang mungkin dibencinya, entah itu pusat belanja atau taman publik, sembari berfantasi tentang ‘ruang yang lebih baik’. Kota yang sehat dan humanis, apakah mungkin?

Bagaimana jika setiap rumah dibangun dengan tetap merawat bumi dan air tanah? Bagaimana jika setiap lahan menyisakan lebih banyak ruang hijau? Bagaimana jika setiap material yang dipakai dihasilkan dari kerja orang-orang ‘lokal’ dan bukan didatangkan dari jauh sehingga merusak ekonomi komunitas dan menambah emisi karbon? Daftar pertanyaan ini dapat menjadi semakin panjang dan saya yakin semua arsitek dan perencana kota yang saya kenal setidaknya pernah mendengarnya. Tapi tunggu dulu, bagaimana dengan ruang-ruang di antara lahan-lahan yang didesain oleh mereka? Apakah ruang-ruang ini bagian dari fantasinya atau sekedar ruang yang dihidupi; dihidupi anak dan ibunya tapi berada di luar kesadaran estetika mereka? Bagaimana dengan cerita hidup lahan yang didesain oleh mereka–siapakah yang pernah mendapat manfaat atasnya dan siapa yang pernah hidup darinya?

Etika profesi semestinya bisa menjadi tuntunan untuk meminimkan semua konflik sosial dan ekologis yang mungkin terjadi atas berubahnya sebuah lahan. Apakah ini mudah, seandainya mungkin? Tentu tidak! Ada banyak undang-undang, yang pada dasarnya adalah payung etika profesi, dibuat sejak tata kota modern dikenal di Indonesia. Hal ini dapat menjadi landasan konsensus para pelaku profesi, tetapi sayang sudah ketinggalan zaman alias tidak lagi sesuai dengan konflik dan kebutuhan saat ini. Lalu apa yang bisa dijadikan pegangan apabila peraturan perundangan atau mekanisme pembangunan fisik kita belum mumpuni? Jika payung undang-undang pun sudah ada dan ideal, apakah dapat dipraktikkan secara adil?

Sering terdengar dalih bahwa arsitek dan perencana hanya menerima sekitar 6-12% nilai proyek sehingga tidak punya banyak kuasa menentukan bagaimana lingkungan terbangun dapat tercipta. Dalih tersebut menyedihkan bagi saya; seseorang dapat dengan mudah mengurangi makna hidup dan pekerjaannya menjadi nilai moneter pemilik modal saja (capitalist market’s monetary value) i.e. prosentasi nilai proyek. Tentu arsitek menginginkan desain yang dapat terwujud; dipakai, terawat, bertahan lama, dan berfungsi baik. Keinginan personal profesional ini adalah juga kondisi material, selain kondisi struktural material ‘di luar sana’ berupa pola perekonomian yang menciptakan kebutuhan ruang dan mendorong adanya sebuah karya.

pemetaan
Kegiatan pemetaan kampung di Bandung: mengenali lingkungan terbangun bersama dengan warga. (ASF-ID dan HMPS Arsitektur Unpar 2016)

 

PERANCANGAN DAN PERENCANAAN ADALAH UPAYA POLITIK

Tibalah kita pada praktik politik, setelah membicarakan perihal etika yang ternyata bukanlah ranah pencarian netralitas atau upaya membangun realitas dengan kacamata objektif. Upaya-upaya untuk mencapai bentuk estetika karya adalah upaya politik karena melibatkan kenyataan sosial dan juga diskursif. Sialnya, kenyataan sosial untuk mewujudkan impian ini harus direkayasa. Dan rekayasa itu pun disertai dengan diskursus-diskursus yang melanggengkan nilai-nilai ‘efisiensi’, ‘efektivitas’, ‘profit’, dan ‘benefit’ yang sering beradu dengan ‘keadilan sosial’, ‘kesejahteraan’, dan ‘toleransi’. Uang pelicin proyek, lobi-lobi kiri kanan, termasuk mendekatkan diri pada pejabat adalah bagian dari realitas politik kaum profesional.

Apakah ada bentuk politik profesional yang lain?

Para penulis ‘critical planning’ mencoba mendudukkan permasalahan kota dalam hubungannya dengan institusi negara. Melampaui pendekatan perencanaan dan perancangan ‘participative’, ‘collaborative’ atau ‘communicative’, para penulis seperti Margo Huxley dan Oren Yiftachel melihat ‘planning’ bukan semata persoalan mencari solusi prosedural, metode teknis perancangan atau cara kerja baru antara pekerja yang terlibat di dalamnya (e.g. Yiftachel, 1998, 2009; Yiftachel & Huxley, 2000). Proses perencanaan dan pembangunan ruang yang tidak berkeadilan bukan hanya dikarenakan para perancang dan perencana kurang melibatkan pengguna fasilitas (users) atau bahkan warga yang lebih luas (public, communities, people).  Perencanaan adalah juga arena kontestasi ide keadilan sosial dan bentuk relasi antara warga dan negara. Singkatnya jika kemiskinan terus ada, banyak warga tidak mendapatkan akses rumah dan infrastruktur dasar, dan ketika sebuah karya mengakibatkan penggusuran, maka persoalan mendasar terletak pada institusi negara dan sistem perekonomian yang ada.

 

Perubahan lahan yang difasilitasi perencanaan dan perancangan turut mengubah alam dan manusia. (Kampung Pulo dilihat dari Sanggar Ciliwung Merdeka, Maret 2016)
Perubahan lahan yang difasilitasi oleh perencanaan dan perancangan turut mengubah alam dan manusia. (Kampung Pulo dilihat dari Sanggar Ciliwung Merdeka, Maret 2016. Sisi Bukit Duri dari sungai ini sudah digusur paksa pada bulan September 2016 saat proses peradilan masih berlangsung.)

 

MEKANISME DALAM BATAS NEGARA

Dalam bukunya ’Seeing Like a State’, James Scott (Scott, 1998) bertutur tentang gagalnya institusi negara modern melalui skema-skema besar pembangunannya dalam memperbaiki kesejahteraan manusia. Negara modern dalam konteks Indonesia yang lahir melalui kolonialisme, mencoba menghadirkan structur, pola dan orde baru, baik pada sistem produksi ekonomi maupun reproduksi sosial. Struktur, pola dan orde ini dibuat dengan menihilkan banyak keberagaman corak produksi dan corak relasi sosial. Realitas diasumsikan dan dibentuk melalui kategori-kategori yang ’universal’. Keberagaman pun disederhanakan dan dikelompokkan dalam kategori-kategori ini, melalui kontrol atas tubuh dan ruang.

Persoalan mendasar adalah hubungan institusi negara dan penduduk tidaklah simetris; kerap dengan represi yang berkuasa. Salah satu produk institusi negara tersebut adalah kota modern, yang dibangun dengan standar-standar ukuran ruang tertentu. Selain standar, orde atau keteraturan bentuk pun digunakan seperti jalan yang lurus, sungai-sungai yang lurus dan mengalir cepat, dan pola bangunan yang berulang. Konsepsi kota modern berbeda dengan kota pre-modern yang direncanakan seiring warga membangun. Kota modern direncanakan di luar aktivitas membangun itu sendiri, dengan visi masa depan yang diidealkan.  Tahap selanjutnya, kota ultra-modern, adalah puncak keinginan merekayasa dengan didukung sains yang semakin mumpuni, menuju presisi absolut.

Dalam buku ini Scott juga bercerita tentang ambisi Charles-Édouard Jeanneret, dikenal sebagai Le Corbusier, yang memimpikan kota tanpa akar keberagaman masa lalu. Apapun indah bagi Le Corbusier adalah estetika bentuk dalam skala yang besar dan seragam (h. 104-14). Untuk merealisasikan ide itu, Le Corbusier harus dekat dengan patron politik, contohnya seperti Nehru ketika membangun Chandigarh di India. Bagi Le Corbusier, penguasa ‘tangan besi’ perlu untuk mewujudkan ide kota modern – yang sesungguhnya kontradiktif dengan ide liberal modernisme. Walaupun orientasi politik Le Corbusier adalah ’kanan’, ia pun berambisi merancang kota untuk Uni-Soviet dengan pusat produksi manufaktur dan perumahan pekerja sebagai ikon yang monumental. Ia melobi Stalin tanpa pantang mundur, tetapi para anggota komite Stalin tidak menyukai idenya. Seorang modernis dari Moscow, El Lissitzky, berujar bahwa kota Le Corbusier adalah ’city of nowhere … neither capitalist, nor ploretarian, nor socialist’. Bukan hal yang asing juga bagi Indonesia, bahwa manuver politik arsitek dapat juga menyerupai kepentingan ambisi individual.

Lopes de Souza, yang banyak menulis tentang sistem dan praktik perencanaan ruang di Brazil, dan mencermati bahwa pergerakan sosial (social movement) adalah pelaku sejati ‘critical urban planning’ (e.g. de Souza, 2006). Entah bersama atau di luar insitusi formal perencanaan ruang, warga harus merencanakan ruang hidup secara mandiri dan membentuk kelompok politik untuk mewujudkannya. (lihat juga https://berkota.wordpress.com/2013/12/08/berhimpun-berkarya-dan-berhuni-bersama-pengalaman-rakyat-brazil/). Kerja-kerja parlementer untuk memengaruhi pembentukan kebijakan dan alokasi anggaran tentu perlu dilakukan, tapi institusi pembangunan ruang yang lain juga perlu disiapkan.

Bahkan menurut de Souza, jika partai progresif menang sekalipun, ide-ide keadilan ruang yang digagas warga dapat dikooptasi karena politik elit tak luput dari negosiasi berbagai kekuatan politik yang alergi terhadap perubahan. Ia pun menyerukan, bahwa perencanaan ruang harus menjadi lebih radikal dan juga anarkis; yaitu mencoba menerobos institusi negara modern. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang keterbatasan institusi negara modern, entah itu kapitalistis atau komunis, dalam perencanaan kota.

 

PRAKTIK YANG LAIN

Dalam kondisi negara seperti Indonesia, dengan sistem politik elektoral yang carut-marut, apakah seorang arsitek atau perencana kota dapat berkarya dengan tenang? Susah! Lalu apakah ia harus menjadi apa yang disebut aktivis politik? Tidak perlu kalau tidak mau! Namun, ada persoalan etika keadilan sosial yang akan kerap menghantuinya. Maka mau tidak mau ia harus memiliki sikap politik yang mandiri dan dengan penuh kesadaran memahami posisinya. Ketika seseorang mengharapkan perubahan, ia harus berani mengandalkan diri dan kelompok profesinya, bukan menggantungkan nasib pada penguasa atau yang sedang berkuasa.

 

Warga Kampung Tongkol membangun Rumah Contoh sebagai bagian upaya perbaikan kampung yang turut direncanakan warga dengan fasilitasi praktisi dan akademisi dari berbagai bidang. (November 2015)
Warga Kampung Tongkol, Jakarta Utara di pinggir sungai Anak Kali Ciliwung membangun Rumah Contoh, dengan konsep cohousing, sebagai bagian upaya perbaikan kampung yang turut direncanakan warga dengan fasilitasi praktisi dan akademisi dari berbagai bidang. (November 2015)

Kesadaran politik adalah kesadaran sehari-hari. Dalam bahasa Gramscian, hegemoni kebudayaan terbentuk dari aktivitas berulang-ulang, yang diamini dan diulang kembali tanpa sedikitpun ada upaya melawan ketidakadilan yang menyertainya (lihat Ekers et al., 2009; Loftus, 2009; Loftus & Ekers, 2008). Dengan demikian, adalah penting untuk mengubah budaya berkarya dan mencari cara berkarya yang tidak hanya baru tapi juga terjaga sistem atau institusinya, sehingga dapat terus dipraktikkan, bahkan oleh yang lain. Jika arsitektur yang lain adalah mungkin, maka kota yang lain pun adalah mungkin.

 

Referensi:

  • de Souza, M. L. (2006). Together with the State, despite the State, against the State. Social movements as ‘critical urban planning’ agents. CITY, 10(3), 327-342.
  • Ekers, M., Loftus, A., & Mann, G. (2009). Gramsci Lives! Geoforum, 40, 287-291.
  • Loftus, A. (2009). Intervening in the environment of the everyday. Geoforum, 40, 326-334.
  • Loftus, A., & Ekers, M. (2008). The power of water: developing dialogues between Foucault and Gramsci. Environment and Planning D: Society and Space, 26, 698-718.
  • Scott, J. C. (1998). Seeing Like a State. How Certain Schemes to Improve the Human Condition have Failed. New Haven and London: Yale University Press.
  • Yiftachel, O. (1998). Planning and Social Control: Exploring the Dark Side. Journal of Planning Literature, 12(4), 395-406.
  • Yiftachel, O. (2009). Theoretical Notes on ‘Gray Cities’: the Coming of Urban Apartheid? Planning Theory, 8(1), 88-100.
  • Yiftachel, O., & Huxley, M. (2000). Debating Dominance and Relevance: Notes on the ‘Communicative Turn’ in Planning Theory. International Journal of Urban and Regional Research, 24(4), 907-913.

 

Save

Save