Artikel ini dibuat sebagai catatan dari pemutaran dan diskusi film dokumenter The Pruitt-Igoe Myth yang disutradarai oleh Chad Freidrichs yang diselenggarakan oleh HIMA STHAPATI Arsitektur ITS berkolaborasi dengan ASF-ID pada tanggal 23 Maret 2017 lalu. Sebagai pemantik diskusi turut hadir Bapak Wahyu Setiawan dan Bapak Angger Sukma Mahendra selaku dosen arsitektur ITS.
Pruitt-Igoe dalam Kacamata Mahasiswa
Sebagai seseorang yang belum genap dua tahun mempelajari arsitektur, menonton film dokumenter Pruitt-Igoe sebenarnya justru membuat saya menjadi bingung tentang arsitektur, “sebenarnya opo seh arsitektur iku?” Bagaimana tidak, sebagai mahasiswa, saya lebih senang berselancar di situs-situs semacam Archdaily, Dezeen, dan membuka majalah-majalah semacam ‘20 Rumah Bergaya Minimalis’. Tak pernah pernah terbersit bagi saya bahwa pada tahun 1960-an, kasus Pruitt-Igoe menjadi kasus yang sangat menggemparkan dan mengubah arah pergerakan arsitektur, terutama dalam hal kebijakan terkait perumahan publik.
Pruitt-Igoe merupakan sebuah superblok yang terletak di kota St.Louis, Missouri, Amerika Serikat. Karya arsitek Minoru Yamasaki ini menjadi bahasan wajib di sekolah-sekolah arsitektur di mana pun. Kasus Pruitt-Igoe merupakan kulminasi dari kegagalan arsitektur modern, sebagaimana yang dikatakan oleh Charles Jencks, dan merupakan kajian yang menarik untuk dibahas dari sudut pandang pemukiman dan penataan perumahan. Kata-kata seperti kriminalitas, kemiskinan, rasialisme, disfungsi, selalu menjadi kata kunci dan label dari Pruitt-Igoe.
Kilas Sejarah Pruitt-Igoe
Wacana mengenai perumahan rakyat telah mulai disinggung saat Housing Act 1949 disahkan di Amerika Serikat. Salah satu penekanannya adalah mengenai pengadaan program rumah rakyat sewa rendah. Kemudian dalam perkembangannya, muncul pula kebijakan urban renewal yang bertujuan menggenjot income kota dengan ‘merayu’ pendatang untuk mau tinggal di di area-area baru yang dibuka oleh pemerintah. Dalam memenuhi upaya tersebut, beberapa kota mengusulkan program perbaikan slum dengan membangun superblok, di mana nantinya penghuni slum dan masyarakat pendatang dapat hidup berdampingan. Ibarat sekali kayuh dua pulau terlampaui, beberapa pemerintah kota berpikir bahwa dengan cara demikian mereka dapat membersihkan slum dan secara bersamaan dapat menaikkan pendapatan kota melalui pajak dari masyarakat pendatang. Salah manifestasi dari gagasan tersebut adalah superblok Pruitt-Igoe di St.Louis.
Secara desain, Pruitt-Igoe mempunyai kualitas yang baik yang seharusnya mempunyai impak langsung terhadap indeks kebahagiaan orang-orang yang tinggal di sana. Bagaimana tidak, Pruitt-Igoe menawarkan kemewahan bagi penghuninya yang rata-rata merupakan bekas squatter. Tiap unit dirancang sedemikian rupa sehingga cahaya matahari masuk sepanjang hari, begitupun ruang-ruang dalamnya mempunyai view yang baik. Belum lagi sistem elevatornya yang dirancang tidak berhenti di semua lantai agar sesama penghuni bisa saling berinteraksi. Tak heran, dalam beberapa cuplikan pada dokumenter ini ada bekas penghuni yang bersikukuh bahwa pengalaman tinggal di Pruitt-Igoe merupakan pengalaman yang menyenangkan dan tak tergantikan. A Poor Man’s Penthouse.
Namun, kemewahan tidak berhasil menjawab banyak tantangan yang sebenarnya. Dinamika politik dan ekonomi yang terjadi nyatanya membuat pemerintah tidak sanggup menopang biaya perawatan bangunan, sehingga kemudian dibebankan kepada penyewa rusun, yang mana sebagian besar adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini tentu berakibat pada tersendatnya perawatan, yang efeknya tentu saja menyebabkan banyak utilitas bangunan menjadi tidak berfungsi ; atap bocor, saluran air bocor, elevator tidak berfungsi, dan lain-lain. Sebuah kondisi yang akhirnya membuat kualitas ruang-ruang di dalam Pruitt-Igoe menjadi sangat buruk dan menyeramkan.
Kegagalan Pruitt-Igoe tidak hanya itu. Tujuan perbauran kulturalpun gagal terjadi karena warga kulit putih masih “jijik” untuk tinggal bersama warga kulit hitam dan kulit berwarna. Ya, penghuni di Pruitt-Igoe sebenarnya dirancang dengan proporsi seimbang antara pendatang kulit putih dengan pendatang kulit hitam, walau ternyata rasisme di Amerika Serikat masih sangat kental. Ironi lain yang terjadi adalah, bersamaan dengan dibangunnya Pruitt-Igoe banyak suburbs baru yang dibuka untuk mewadahi perumahan bagi kelas menengah, yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh warga kulit putih sebagai tempat tinggal dan hanya menjadikan area urban sebagai tempat bekerja. Alhasil komposisi warga kulit hitam di Pruitt-Igoe menjadi terlalu besar. Dan karena jumlah penyewa rusun semakin sedikit, biaya perawatan yang seluruhnya dibebankan ke penghuni yang tersisa menjadi kian tak tertanggungkan.
Lingkungan yang tidak terawat dan tingkat kemampuan ekonomi penghuni rusun yang semakin rendah menjadikan Pruitt-Igoe yang awalnya bertujuan untuk membersihkan slum malah justru menjadi sebuah vertical slum. Vandalisme, transaksi narkotika, pembunuhan, premanisme dan tindakan kriminal lainnya tumbuh subur di tempat ini. Seolah memang sudah beyond repair, polisi pun bahkan lepas tangan dan enggan menyentuh kawasan Pruitt-Igoe. Segala upaya mungkin sudah dipikirkan oleh pemerintah sehingga akhirnya mereka menyepakati satu solusi untuk masalah yang kompleks ini; yaitu dengan meratakan Pruitt-Igoe. Demikianlah, pada sore hari, tanggal 15 Juli 1972, superblok ini resmi diruntuhkan, menutup sejarah kelam salah satu pengembangan public housing yang gagal.
Dari ulasan singkat dokumenter di atas, akhirnya muncul beberapa hal yang mengusik saya akan arsitektur yang saya pahami selama ini.
- Arsitektur itu politis
Saya masih tetap pada pendirian bahwa apabila dilihat dari segi desain, Pruitt-Igoe memiliki konsep dan tujuan yang baik. Masalah kemudian muncul ketika pemerintah menyerah dalam pembiayaan perawatan gedungnya, alasan yang membuat banyak fungsi dalam gedung Pruitt-Igoe terganggu. Gangguan fungsi tersebut akhirnya memicu konsekuensi-konsekuensi negatif lainnya.
Menurut saya, jika pemerintah memang ingin membuat rusun untuk masyarakat menengah ke bawah, seharusnya sudah disertai dengan skema pembiayaan dan maintenance yang matang, entah itu dengan membiayai penuh atau melalui subsidi. Saat ini Pruitt-Igoe memang dikenal dari kegagalannya, dan meskipun sumbangsih arsitektur dalam kegagalan ini merupakan impak yang tidak langsung, saya yakin, sebagai arsitek, rasa bersalah itu hadir di dalam hati Minoru Yamasaki. Mungkin memang, pada konteks ini, peran arsitek hanya sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan pemerintah. Mungkin memang, profesi terbaik yang menjalankan arsitektur adalah politisi.
- Arsitektur hanyalah alat
Melanjutkan poin di atas, saya tertarik untuk mengamati bagaimana rancangan elevator di Pruitt-Igoe, yang hanya berhenti di lantai-lantai tertentu saja, ternyata gagal memicu penghuninya untuk berinteraksi secara positif karena pada titik-titik inilah justru sering terjadi kriminalitas. Mengapa bisa begitu? Besar kemungkinan karena pada titik-titik dimana orang mudah bertemu dan berinteraksi, malah membuka peluang untuk melancarkan tindakan kriminal. Tentu ini punya kaitannya dengan fungsi utilitas bangunan yang buruk, pengawasan yang tidak ada sama sekali, dan sense of belonging yang kurang dari penghuninya. Dalam kasus ini, peran arsitektur terbukti tidak mampu membentuk pola perilaku dari penghuninya. Sebagai arsitek, kita bisa melihat intensi Yamasaki, yang dengan sadar menggunakan pendekatan arsitektural sebagai alat untuk memicu orang-orang untuk berinteraksi, entah interaksinya positif atau negatif. Apa yang mempengaruhi pola perilaku penghuni ternyata datang dari berbagai faktor yang kelihatannya jauh di luar kapasitas arsitektural.
- Arsitektur selalu kontekstual
Pertanyaan mengenai mengapa dahulu superblok seperti Pruitt-Igoe muncul tentu tak lepas dari berbagai tuntutan pada masanya. Pasca Perang Dunia ke-2, Amerika Serikat mempunyai beban untuk menyediakan tempat tinggal bagi veteran-veteran perang yang kembali ke AS. Dengan kembalinya sekian ratus ribu tentara ke tanah asal dan prakiraan akan ledakan populasi yang terjadi di area urban, pilihan untuk menciptakan hunian secara massal dan segera tentu menjadi konsekwensi logis pada masa itu. Hal ini tak lepas dari mindset arsitektur modern yang serba praktis dan berorientasi pada solusi. Akhirnya muncullah style-style bangunan vertikal yang berbentuk blok masif, kaca, dan bermaterial beton di mana-mana. Pengaruh itu pun diadaptasi pada Pruitt-Igoe.
Dalam konteks penyediaan hunian massal untuk masyarakat St.Louis, Pruitt-Igoe dapat dikatakan berhasil. Perihal kita melihatnya dari konteks lainnya tentu menuntut jawaban yang lain pula. Bagaimanapun dimasa itu banyak bangunan hunian vertikal serupa yang berhasil, yang bahkan bertahan hingga sekarang. Penekanannya adalah, semua objek arsitektur tidak pernah berada pada ranah hitam-putih. Terminologi ‘arsitektur yang berhasil’ selalu bisa diperdebatkan berdasarkan konteksnya. Dan menurut saya, baiknya arsitektur memang harus selalu terbuka untuk dibongkar dan dipertanyakan kembali.
***
Pada akhirnya, menonton Pruitt-Igoe dan belajar mengenai kegagalan sebuah gagasan (saya tidak mengatakan kegagalan arsitektur, karena sekali lagi arsitektur itu kontekstual dan multidimensi), secara bersamaan membuka mata saya sekaligus membongkar semua pemahaman saya terhadap arsitektur selama ini. Mungkin saya harus memulai kembali dari titik yang lebih realistis mengenai sejauh mana arsitektur mampu mempengaruhi manusia dan semua yang ada di sekitarnya. Namun satu hal yang saya yakini, arsitektur lebih dari sebuah “20 Rumah Bergaya Minimalis.” (aiw)