in memoriam Fredric Jameson (14 April 1934 – 22 September 2024)
Oleh Slavoj Žižek
Fredric Jameson bukan sekadar mahaguru, jenius pamungkas dalam pemikiran kontemporer. Ia adalah penganut sejati Marxisme Barat, yang tidak takut menjangkau kubu lawan yang mendefinisikan ruang ideologis kita – seorang “Eurosentris” yang karyanya bergaung keras di Jepang dan Tiongkok, seorang Komunis yang mencintai Hollywood, terutama Hitchcock, dan novel-novel detektif, terutama Chandler, pecinta musik yang tenggelam dalam Wagner, Bruckner, dan musik pop… Sama sekali tidak ada jejak Cancel Culture dari moralisme palsu dan kolot dalam karya pun hidupnya – orang boleh berargumen bahwa ia adalah tokoh terakhir Renaisans.
Apa yang diperjuangkan Jameson sepanjang hidupnya yang panjang adalah kurangnya apa yang ia sebut “pemetaan kognitif,” ketidak-mampuan untuk menempatkan pengalaman kita ke dalam makna yang menyeluruh. Naluri yang mengarahkannya dalam pertarungan ini selalu benar – misalnya, sebuah tikaman cantik pada penolakan ngetren cultural studies terhadap “logika biner,” Jameson menyerukan “perayaan besar tentang oposisi biner” – baginya, penolakan terhadap biner seksual berjalan seiring dengan penolakan terhadap biner kelas… Masih dalam syok yang mendalam, saya hanya dapat memberikan sebuah pengamatan sepintas yang menggambarkan selera yang pas tentang orientasinya.
Kini, kaum Marxist pada umumnya menolak segala bentuk imediasi sebagai suatu fetish yang mengaburkan mediasi sosialnya. Namun, dalam maha-karyanya tentang Adorno, Jameson menerapkan bagaimana analisis dialektis mencakup titik penangguhannya sendiri: di tengah analisis mediasi yang kompleks, Adorno tiba-tiba membuat gestur vulgar “reduksionisme,” menyela aliran halus dialektis dengan poin sederhana seperti “pada akhirnya ini tentang perjuangan kelas.” Beginilah cara perjuangan kelas berfungsi dalam totalitas sosial: bukan “dasar yang lebih dalam” atau prinsip penataannya yang mendalam yang memediasi semua momennya, namun sesuatu yang sangat lebih superfisial, titik kegagalan analisis kompleks yang tak berujung, sebuah isyarat untuk melompat menuju sebuah kesimpulan, ketika dalam tindakan putus asa, kita mengangkat tangan dan berkata: “Namun bagaimanapun, ini semua tentang perjuangan kelas!” Yang harus diingat di sini adalah bahwa kegagalan analisis ini imanen pada realitas itu sendiri: demikian cara masyarakat sendiri mentotalkan dirinya sendiri melalui antagonisme konstitutifnya. Dengan kata lain, perjuangan kelas ADALAH pseudo-totalisasi gegas ketika totalisasi yang sebenarnya gagal, demikian upaya despret untuk menggunakan antagonisme itu sendiri sebagai prinsip totalisasi.
Yang juga ngetren pada kaum Kiri saat ini untuk menolak teori konspirasi sebagai solusi simpel palsu. Namun, beberapa tahun yang lalu Jameson dengan jelas mencatat bahwa dalam kapitalisme global kini, terjadi hal-hal yang tak dapat dijelaskan dengan merujuk pada sebentuk “logika kapital” anonim – misalnya, kini kita tahu bahwa krisis finansial tahun 2008 adalah hasil dari “konspirasi” yang direncanakan dengan baik oleh sejumlah sirkel keuangan. Tugas sejati analisis sosial adalah menjelaskan bagaimana kapitalisme kontemporer membuka ruang untuk intervensi “konspirasional” seperti itu.
Wawasan Jameson lainnya yang bertentangan dengan tren pascakolonial yang dominan saat ini menyangkut penolakannya terhadap gagasan “modernitas alternatif,” yaitu klaim bahwa modernitas liberal-kapitalis Barat hanyalah salah satu jalan menuju modernisasi, dan bahwa jalan lain mungkin terbuka untuk menghindari kebuntuan dan antagonisme modernitas: begitu kita menyadari bahwa “modernitas” pada akhirnya adalah kata sandi untuk kapitalisme, mudah untuk dilihat bahwa relativisasi historisist terhadap modernitas tersebut disokong oleh mimpi ideologis tentang kapitalisme yang akan menghindari antagonisme konstitutifnya:
“Lalu, bagaimana para ideolog ‘modernitas’ dalam pengertiannya kini dapat membedakan produk mereka—revolusi informasi, dan modernitas pasar bebas global—dari jenis lama yang menjijikkan, tanpa melibatkan diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan politik, ekonomi, dan sistemik yang serius yang oleh konsep posmodernitas tak terhindarkan? Jawabannya sederhana: kamu berbicara tentang modernitas “bergilir(alternate)” atau modernitas “alternatif.” Semua orang kini sudah tahu formulanya: artinya bisa jadi ada modernitas untuk semua orang, yang berbeda dari model Anglo-Saxon yang standar atau hegemonik. Apa pun yang tidak kamu sukai dari yang terakhir, termasuk posisi subaltern yang kamu alami, dapat dihapuskan oleh gagasan yang meyakinkan dan gagasan “kultural” bahwa kamu dapat membentuk modernitasmu sendiri secara berbeda, sehingga bisa ada jenis Amerika Latin, atau jenis Afrika atau jenis Indonesia, dan seterusnya… Namun ini mengabaikan makna mendasar lain dari modernitas yaitu kapitalisme sedunia itu sendiri.”
Signifikansi kritik ini jauh melampaui kasus modernitas—kritik ini terkait keterbatasan fundamental historisisasi nominalis. Jalan lain menuju multitud (“tak ada satupun modernitas dengan esensi ajeg, ada banyak modernitas, yang masing-masing tidak dapat direduksi menjadi modernitas lain”) adalah salah bukan karena kritik ini tidak mengakui “esensi” modernitas yang unik dan tetap, tetapi karena multiplikasi berfungsi sebagai penyangkalan terhadap antagonisme yang inheren dalam gagasan modernitas itu sendiri: falsitas multiplikasi terletak pada fakta bahwa kritik ini membebaskan gagasan universal modernitas dari antagonismenya, dari cara ia tertanam dalam sistem kapitalis, dengan mendelegasikan aspek ini hanya kepada salah satu subspesies historisnya. Kita tidak boleh lupa bahwa paruh pertama abad kedua puluh telah ditandai oleh dua proyek besar yang sangat sesuai dengan gagasan “modernitas alternatif” ini: Fasisme dan Komunisme. Bukankah ide dasar Fasisme adalah tentang modernitas yang menyediakan alternatif bagi liberal-kapitalis Anglo-Saxon standar, menyelamatkan inti modernitas kapitalis dengan membuang distorsi “kontingen” Yahudi-individualis-pencatut? Dan bukankah industrialisasi pesat Uni Soviet pada akhir tahun 1920-an dan 1930-an juga bukan merupakan upaya modernisasi yang berbeda dari modernisasi kapitalis-Barat?
Apa yang dihindari Jameson seperti vampir menghindari bawang putih adalah gagasan tentang kesatuan yang lebih dalam yang dipaksakan dari berbagai bentuk protes. Pada awal 1980-an, ia memberikan penjelasan halus tentang kebuntuan dialog antara Kaum Kiri Baru Barat dan para disiden Eropa Timur, tentang tidak adanya bahasa yang sama di antara mereka: “Singkatnya, Timur ingin berbicara dalam konteks kekuasaan dan penindasan; Barat dalam konteks kultur dan komodifikasi. Sebenarnya tidak ada persamaan dalam perjuangan awal ini untuk aturan-aturan diskursif, dan yang kita dapatkan adalah komedi yang tak terelakkan dari masing-masing pihak yang menggumamkan jawaban yang tidak relevan dalam bahasa favoritnya sendiri.”
Lewat cara yang serupa, penulis detektif Swedia Henning Mankell adalah seniman unik dari sudut pandang paralaks. Artinya, kedua perspektif – perspektif Ystad yang makmur di Swedia dan perspektif Maputo di Mozambik – tidak dapat disangkal lagi »tidak sinkron,« sehingga tidak ada bahasa netral yang memungkinkan kita menerjemahkan yang satu ke yang lain, apalagi untuk menempatkan yang satu sebagai »kebenaran« dari yang lain. Yang dapat dilakukan seseorang dalam kondisi saat ini adalah tetap setia pada keterpisahan ini, untuk merekam itu. Setiap fokus eksklusif pada topik Dunia Pertama tentang alienasi dan komodifikasi kapitalis (mut)akhir, krisis ekologi, rasisme dan intoleransi baru, dll., mutlak tampak sinis berhadapan wajah kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan di Dunia Ketiga; di sisi lain, upaya untuk mengabaikan masalah Dunia Pertama sebagai hal sepele dibandingkan dengan bencana permanen Dunia Ketiga yang »nyata« juga palsu – berfokus pada »masalah nyata« Dunia Ketiga adalah bentuk pelarian utama, menghindari konfrontasi dengan antagonisme masyarakat sendiri. Kesenjangan yang memisahkan kedua perspektif ADALAH kebenaran tentang situasi ini.
Seperti setiap Marxist yang baik, Jameson dalam analisisnya tentang seni adalah seorang formalis yang keras – ia pernah menulis tentang Hemingway bahwa gayanya yang ringkas (kalimat pendek, hampir tidak ada kata keterangan, dll.) tidak di sini untuk mewakili jenis subyektivitas (naratif) tertentu (individu sinis yang keras kepala); Sebaliknya, konten naratif Hemingway (cerita tentang pribadi-pribadi yang keras getir) diciptakan agar Hemingway mampu menulis jenis kalimat tertentu (yang merupakan tujuan utamanya). Dalam baris yang sama, dalam esainya yang seminal »On Raymond Chandler,« Jameson menggambarkan prosedur Chandler yang khas: penulis menggunakan formula cerita detektif (investigasi detektif yang membawanya ke dalam kontak dengan semua lapisan kehidupan) sebagai bingkai yang memungkinkannya untuk mengisi tekstur konkret dengan kilasan sosial dan psikologis, potret-karakter plastis dan wawasan kepada tragedi kehidupan. Paradoks dialektis yang tepat yang tidak boleh diabaikan di sini adalah bahwa akan salah untuk mengatakan: »Jadi mengapa penulis tidak melepaskan bentuk ini dan memberi kita seni murni?« Komplen ini menjadi korban dari semacam ilusi perspektif: ia mengabaikan bahwa, jika kita melepaskan bingkai formulaik, kita akan kehilangan konten »artistik« yang tampaknya terdistorsi oleh bingkai ini.
Capaian unik Jameson selanjutnya adalah pembacaannya tentang Marx melalui Lacan: antagonisme sosial tampak baginya sebagai yang Real dari sebuah masyarakat. Saya masih ingat syok, saat di sebuah konferensi tentang Lenin yang saya selenggarakan di Essen pada tahun 2001, Jameson mengejutkan kita semua dengan menghadirkan Lacan sebagai pembaca mimpi Trotsky. Pada malam tanggal 25 Juni 1935, Trotsky di pengasingan bermimpi tentang Lenin yang sudah meninggal dengan kekuatiran bertanya tentang penyakitnya: “Saya menjawab bahwa saya sudah banyak berkonsultasi dan mulai bercerita kepadanya tentang perjalanan saya ke Berlin; tetapi melihat Lenin saya ingat bahwa dia sudah meninggal. Saya segera mencoba mengusir pikiran ini, untuk menyelesaikan percakapan. Ketika saya selesai bercerita kepadanya tentang perjalanan terapi saya ke Berlin pada tahun 1926, saya ingin menambahkan, ‘Ini setelah kematianmu’; tetapi saya menahan diri dan berkata, ‘Setelah kamu jatuh sakit…’”
Dalam penafsirannya terhadap mimpi ini, Lacan berfokus pada hubungan yang jelas dengan mimpi Freud di mana ayahnya muncul di hadapannya, seorang ayah yang tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Jadi apa artinya Lenin tidak tahu bahwa dia sudah meninggal? Menurut Jameson, secara radikal ada dua cara yang berlawanan untuk membaca mimpi Trotsky. Menurut pembacaan pertama, sosok Lenin yang tidak mati yang sangat menggelikan “tidak tahu bahwa eksperimen sosial besar yang dia hantarkan sendiri (dan yang kita sebut komunisme soviet) telah berakhir. Ia tetap penuh energi, meskipun telah meninggal, dan cercaan yang dilontarkan kepadanya oleh mereka yang masih hidup – bahwa ia adalah pencetus teror Stalinis, bahwa ia adalah pribadi yang agresif dan penuh kebencian, seorang otoriter yang mencintai kekuasaan dan totalitarianisme, bahkan (yang terburuk dari semuanya) penemu kembali pasar dalam NEP(Kebijakan Ekonomi Baru)-nya – tidak satu pun dari hinaan tersebut berhasil kasih sekali mati atau bahkan kematian kedua, kepadanya. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin, ia masih berpikir bahwa ia masih hidup? Dan apa posisi kita di sini – yang pasti akan menjadi posisi Trotsky dalam mimpi itu – apa non-pengetahuan kita, kematian dari apa yang Lenin halangi dari kita?” Namun ada pengertian lain di mana Lenin masih hidup: ia hidup sejauh ia mewujudkan apa yang Badiou sebut sebagai “Ide abadi” tentang emansipasi universal, perjuangan abadi untuk keadilan yang tidak dapat dibunuh oleh hinaan dan katastrofi apa pun.
Seperti saya, Jameson adalah seorang Komunis yang teguh – namun, ia juga setuju dengan Lacan yang mengklaim bahwa keadilan dan kesetaraan didasarkan pada rasa iri: rasa iri terhadap orang lain yang memiliki apa yang tidak kita miliki, dan yang menikmatinya. Mengikuti Lacan, Jameson sepenuhnya menolak pandangan optimis yang dominan yang menyatakan bahwa dalam Komunisme rasa iri akan ditinggalkan sebagai sisa kompetisi kapitalis, yang akan digantikan oleh kolaborasi solidaritas dan kenikmatan dari kenikmatan orang lain; menepis mitos ini, ia menekankan bahwa dalam Komunisme, justru sejauh masyarakatnya akan lebih adil, rasa iri dan kebencian akan meledak. Solusi Jameson di sini radikal hingga ke titik kegilaan: satu-satunya cara agar Komunisme dapat bertahan hidup adalah suatu bentuk layanan sosial psikoanalitik universal yang memungkinkan individu untuk menghindari perangkap rasa iri yang merusak diri sendiri.
Indikasi lain tentang bagaimana Jameson memahami Komunisme adalah bahwa ia membaca cerita Kafka tentang Josefin si tikus bernyanyi sebagai utopia sosial-politik, sebagai visi Kafka tentang masyarakat Komunis yang sangat egaliter – dengan satu-satunya pengecualian bahwa Kafka, yang bagi manusia selalu ditandai oleh rasa bersalah superego, mampu membayangkan masyarakat utopis hanya di antara hewan. Seseorang harus menahan godaan untuk memproyeksikan segala jenis tragedi pada akhir menghilangnya dan kematian Josefin: teks tersebut memperjelas bahwa setelah kematiannya Josefin “dengan senang hati akan kehilangan dirinya di antara kerumunan pahlawan rakyat kita yang tak terhitung jumlahnya” (penekanan saya tambahkan).
Dalam esainya yang panjang “American Utopia,” Jameson bahkan mengejutkan sebagian besar pengikutnya ketika ia mengusulkan sebagai model masyarakat pos-kapitalis masa depan tentara – bukan tentara revolusioner tetapi tentara dalam fungsi birokrasinya yang lembam di masa damai. Jameson mengambil sebagai titik tolaknya lelucon dari periode Dwight Eisenhower bahwa setiap warga negara Amerika yang menginginkan layanan kesehatan hanya perlu bergabung dengan tentara untuk mendapatkannya. Maksud Jameson adalah bahwa militer dapat memainkan peran ini justru karena militer diorganisasikan dengan cara yang tidak demokratis dan tidak transparan (para jenderal tidak dipilih, dsb.).
Dengan teologi, sama halnya dengan Komunisme. Meskipun Jameson seorang materialis yang taat, ia sering menggunakan gagasan teologis untuk memberikan pandangan baru pada beberapa gagasan Marxist – misalnya, ia menyatakan predestinasi sebagai konsep teologis yang paling menarik bagi Marxisme: predestinasi menunjukkan kausalitas retroaktif yang menjadi ciri proses historis dialektis yang pas. Kaitan tak terduga lainnya dengan teologi adalah pernyataan Jameson bahwa, dalam proses revolusioner, kekerasan memainkan peran yang homolog dengan kekayaan dalam legitimasi Protestan terhadap kapitalisme: meskipun tidak memiliki nilai intrinsik (dan, akibatnya, tidak boleh difetiskan dan dirayakan untuk dirinya sendiri, seperti dalam faskinasi Fasis terhadapnya), kekerasan berfungsi sebagai tanda otentisitas upaya revolusioner kita. Ketika musuh melawan dan melibatkan kita dalam konflik yang keras, artinya kita telah menyentuh sarafnya yang sensitif…
Penafsiran Jameson yang mungkin paling jelas tentang teologi muncul dalam teksnya yang kurang dikenal, “Saint Augustine as a Social Democrat”, di mana ia berpendapat bagaimana pencapaian Santo Agustinus yang paling terkenal, penemuannya tentang kedalaman psikologis kepribadian orang beriman, dengan semua kompleksitas keraguan dan keputusasaan batinnya, secara ketat berkorelasi dengan (atau sisi lain dari) legitimisasinya terhadap Kekristenan sebagai agama negara, yang sepenuhnya sesuai dengan pemusnahan puing-puing terakhir politik radikal dari bangunan Kristen. Hal yang sama berlaku, antara lain, untuk para pemberontak anti-Komunis dari era Perang Dingin: sebagai aturan, perubahan mereka terhadap Komunisme berjalan seiring dengan perubahan menuju Freudianisme tertentu, penemuan kompleksitas psikologis kehidupan individu.
Kategori lain yang diperkenalkan oleh Jameson adalah “mediator yang lenyap” antara yang lama dan yang baru. “Mediator yang lenyap” menunjukkan ciri khusus dalam proses peralihan dari orde lama ke orde baru: ketika orde lama hancur, hal-hal yang tidak terduga terjadi, bukan hanya kengerian yang disebutkan Gramsci, tetapi juga proyek dan praktik utopis yang cemerlang. Begitu orde baru terbentuk, narasi baru muncul dan, dalam ruang ideologis baru ini, mediator lenyap dari pandangan. Cukuplah untuk melihat peralihan dari Sosialisme ke Kapitalisme di Eropa Timur. Ketika pada tahun 1980-an, orang-orang memprotes rezim Komunis, yang ada dalam pikiran mayoritas besar bukanlah kapitalisme. Mereka menginginkan jaminan sosial, solidaritas, semacam keadilan yang kasar; mereka menginginkan kebebasan untuk menjalani hidup mereka di luar kendali negara, untuk berkumpul dan berbicara sesuka hati; mereka menginginkan kehidupan dengan kejujuran dan ketulusan yang sederhana, terbebas dari indoktrinasi ideologis primitif dan kemunafikan sinis yang berlangsung… singkatnya, cita-cita samar yang memimpin para pengunjuk rasa, sebagian besar, diambil dari ideologi Sosialis itu sendiri. Dan, seperti yang kita pelajari dari Freud, apa yang direpresi kembali dalam bentuk yang terdistorsi. Di Eropa, sosialisme yang direpresi dalam imajinasi disiden kembali dalam kedok populisme Kanan.
Banyak formulasi Jameson menjadi meme, seperti karakterisasinya tentang postmodernisme sebagai logika kultural kapitalisme (mut)akhir. Meme lain seperti itu adalah sindiran lamanya (terkadang salah dilekatkan kepada saya) yang terlebih-lebih berlaku saat ini: lebih mudah bagi kita untuk membayangkan katastrofi total di bumi yang akan mengakhiri semua kehidupan di atasnya daripada perubahan nyata dalam hubungan kapitalis – seolah-olah, bahkan setelah kataklismik global, kapitalisme entah bagaimana akan terus berlanjut… Jadi bagaimana jika kita menerapkan logika yang sama pada Jameson sendiri? Lebih mudah membayangkan akhir kapitalisme daripada kematian Jameson.
***