“Dari Sabang sampai Merauke. Berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia.” – Raden Soerarjo, 1961
Burung yang bertengger di jendela berkabar, jurusan arsitektur di Indonesia sedang kekurangan peminat. Satu dekade yang lalu, sebuah perguruan tinggi swasta di kota kembang menerima tidak kurang dari dua ratus mahasiswa. Kini lebih sulit mencapai angka tersebut. Tentu, ada banyak faktor yang memengaruhi penurunan angka penerimaan mahasiswa arsitektur. Sepertinya, profesi arsitek sedang tidak populer di mata masyarakat.
Dalam suatu kuliah di tahun 1975, John Habraken mengatakan di dunia ini hanya 7% dari lingkungan binaan tersangkut-paut peran arsitek.[1] Sisanya, bangunan-bangunan berdiri seperti adanya. Termasuk di dalamnya apa yang disebut arsitektur tanpa arsitek.[2] Tentu persentase tersebut tidak sama lagi saat ini, namun dapat disimpulkan arsitek adalah profesi yang sangat terbatas. Kalangan dosen pendidik pun sudah memahami sejak lama bahwa tidak semua sarjana arsitektur mesti atau kelak menjadi arsitek.
Mari kita bicara ekosistem profesi, misalnya terkait pembaruan regulasi dan undang-undang. Sejak 2017 arsitek adalah profesi yang diatur. Subyek hukum adalah seseorang dengan Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).[3] Pada 2021 pemerintah menetapkan bahwa setiap perencanaan pembangunan mensyaratkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).[4] Dengan kata lain setiap rancangan bangunan harus ditanda-tangani oleh arsitek, yakni pemegang STRA.
Tugas utama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) adalah membangun dan mengelola iklim profesi supaya sehat. Di dalamnya mencakup upaya memahami fakta demografis seperti tersebut di atas. Begitu besar kebutuhan arsitek di negeri kepulauan ini. Nalar awam mengatakan bahwa peluang ekonomi pada rumpun pekerjaan ini melimpah. Baik lewat proyek swasta maupun pemerintah. Sebagai profesional maupun okupasional. Tetapi, kita juga mendapati kesenjangan yang begitu lebar antara kodrat arsitek sebagai profesi terbatas dan produk perundangan yang bermuara kepada arsitektur semesta; pax architectura.
Masih tentang kodrat arsitek. Profesi ini dikenal sebagai profesi bagi late bloomers; arsitek yang paling mumpuni baru akan mendapatkan proyek dengan signifikansi tinggi setelah usia paruh baya. Benar adanya, seiring bertambahnya umur otak manusia semakin fleksibel. Sehingga mampu memproses input dan informasi, misalnya untuk suatu tugas perancangan yang kompleks. Maka istilah arsitek muda dipahami sebagai suatu hal lain. Umumnya, merujuk pada mereka yang mendesain hunian atau proyek komersial berskala kecil, dan tentunya bangunan sederhana, yang mengikuti tren terkini dalam seni bangunan, dan dalam ukuran-ukuran yang bersifat lokal.
Perkembangan pengetahuan dan teknologi telah meluaskan keragaman ruang dan cara kerja arsitek. Namun seringkali kita abai pada kesenjangan yang makin lebar. Apa yang harus dijalankan Ikatan Arsitek Indonesia agar setiap anggota sambung-menyambung menjadi satu yaitu arsitek Indonesia?
***
[1] Habraken, J. (1975). The Limits Of Professionalism. AA School of Architecture: https://youtu.be/RCfxahx9_DY?si=PC0nypHZv0lqxenr.
[2] Rudofsky, B. (1964). Architecture without architects, an introduction to nonpedigreed architecture. New York,, Museum of Modern Art; distributed by Doubleday, Garden City.
[3] Undang Undang No 6 (2017). “Tentang Arsitek.”
[4] Peraturan Pemerintah no.16 (2021). “Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.”