Wacana penggusuran dan konflik lahan di ranah informal kembali mengemuka, kembali menghiasi headline-headline di berbagai media massa, baik online maupun offline. Keberadaanya hadir dan menguat ditengah isu politik dan juga pemilihan kepala daerah. ‘Informal’ dalam pengertian sederhana KBBI berarti sesuatu yang tidak resmi. Di Indonesia informalitas bisa menyentuh banyak hal dari mulai pekerjaan, status, hunian, dan bahkan kependudukan. Sayangnya, analogi informal acapkali disandingkan dengan kondisi yang tidak layak, kumuh, dan kemiskinan.
Informalitas di Indonesia hari ini, apalagi berkenaan dengan kependudukan masih dianggap sebagai ‘sampah’, entitas yang harus disingkirkan jauh dari pusat kota. Kota yang katanya didesain untuk selalu bertransformasi kearah yang lebih baik. Kota yang mungkin akan jadi lebih menyenangkan jika akhirnya banyak bangunan tinggi berdiri, area taman hijau dimana-mana, dan keberadaan shopping center mewah yang bisa jadi arena kekinian bagi anak muda. Untuk kepentingan itulah terkadang proses penggusuran, yang kembali booming saat ini, kembali menuai kontroversi.
Namun, terkadang kita lupa informal juga punya hak untuk kota. Mereka hadir mengisi pos-pos yang tidak mengenakkan dalam hidup keseharian kita sebagai warga kota. Banyak dari mereka berprofesi sebagai tukang sampah, pemulung, tukang cuci, pengamen, pekerja serabutan, pedagang asongan, buruh, dan lain sebagainya.
Kita juga lupa bahwa profesi ini adalah profesi yang selalu tidak diinginkan oleh masyarakat terdidik di kota megapolitan seperti Jakarta. Diakui atau tidak profesi inilah yang lantas menjadi jawaban atas segala ketakutan kita akan hal-hal yang menjijikkan dan tidak kita inginkan. Dan secara tidak langsung kehidupan formal kita akan selalu berkaitan dengan keberadaan orang-orang yang ‘tidak resmi’ ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa lantas kita acuh saja ketika hak hidup orang-orang yang berpengaruh ini dikebiri?
Belajar dari Y.B. Mangunwijaya, Arsitek dan Pastur yang pernah berdiri di garis terdepan penolakan penggusuran permukiman di Kali Code, Yogyakarta di tahun 1984 beliau mengatakan bahwa penggusuran untuk alasan jalur hijau sangat tidak masuk akal. Jalur hijau di sepanjang sungai di Indonesia itu berbeda dengan apa yang ada, misalnya di Berlin, New York, atau Amsterdam. Ketika dibiarkan melompong dan tak berpenghuni area-area ini justru akan dekat dengan hal-hal kriminal, prostitusi, dan juga masalah sampah. Permukiman warga informal yang selama ini hidup di area ini sangat membantu untuk mengurangi masalah ini.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya Jakarta jika tidak ada pemulung dan warga bantaran kali yang rutin mengail sampah di tepian sungai? Mungkin banjir akan jauh lebih parah, padahal kebiasaan membuang sampah sembarangan jika ditelisik lebih jauh juga berasal dari umumnya warga kota yang dengan mudahnya membuang sampah seenaknya.
Atas dasar itulah Romo Mangun menolak relokasi dan mengusulkan ide kampung hijau sebagai jawaban atas problematika hunian informal di tepi sungai pada saat itu. Hasilnya? Kampung Code juga sempat meraih penghargaan Internasional Aga Khan Award di tahun 1992, sampai saat ini pun kawasan ini terus berkembang menjadi area kreatif dan selalu saja mengundang banyak pihak untuk kembali belajar mengenai makna dari kaum informal.
Hunian bagi warga informal bukan lagi hanya sebuah tempat, tetapi ada keterikatan kuat yang menyebabkan mereka enggan meninggalkan tempat tinggal mereka yang sering dianggap kumuh itu. Keterikatan itu dimulai dari sejarah, ekonomi, kedekatan, serta adanya saling toleransi dengan tetangga, dan juga adanya modal sosial yang terbentuk.
Keterikatan ini selanjutnya memperluas arti rumah menjadi lebih dari sekedar tempat tinggal. John Turner, seorang arsitek Inggris menjelaskan fenomena ini dengan menyebutnya “housing as a verb”. Karenanya, jangan heran di banyak kasus penggusuran, banyak warga yang kembali menempati lahan bekas gusuran.
Ya, mungkin penggusuran bisa jadi bukanlah jalan yang bijak untuk menyelesaikan masalah permukiman informal di Indonesia. Alih-alih hal itu bisa menjadi pemicu masalah-masalah baru yang sangat mungkin akan muncul di kemudian hari. Solusi relokasi pun mungkin bisa juga diperdebatkan, mungkin dari kacamata kita yang melihat dari kejauhan kehidupan orang-orang ‘tidak resmi’ ini menjadi jauh lebih baik dan lebih layak. Namun tidak serta merta bisa diartikan demikian.
Rumah sebagai kata kerja berarti sangat luas. Sebagai tempat tinggal ia tidak berhenti pada ketersediaan tempat tidur semata. Ingatlah, orang-orang ini sebagian besar bekerja di lahan yang tidak formal, artinya berpindahnya hunian mereka berarti beralih juga fungsi ruang spasial dan sosial yang selama ini mereka tinggali.
Rumah adalah hak asasi manusia. Manusia yang berada di dalamnya berada dalam konteks waktu dan memori yang beraneka ragam. Suatu hal yang dipandang baik oleh orang awam, belum tentu baik bagi mereka, si pengguna ruang tersebut. Begitu juga menanggapi masalah permukiman informal di Indonesia tidak mungkin sesederhana menggusur dan memindahkannya.
Karenanya, alasan targetan waktu dan deadline saja tidak menjamin solusi terbaik, tetapi pendekatan kemanusiaan dimana potensi mereka bisa ditemani dan kembali me-rumah di rumahnya sendiri. Masalah di permukiman informal bukanlah masalah bentuk dan spasial saja, tetapi juga perasaan orang-orang yang selama ini diabaikan dan ditelantarkan. Menghargai masyarakat miskin bukan berarti kita harus ikut-ikutan menjadi miskin namun memberikannya pengakuan dan hak untuk memperjuangkan hidupnya sebagaimana yang diamalkan oleh Romo Mangun lebih dari dua puluh lima tahun lalu. Pertanyaanya, (masih) adakah inisiatif pemerintah untuk memfasilitasi dan mengembangkan kegotong-royongan dalam mengangani masalah permukiman informal di Indonesia hari ini?/////////////