Diskusi daring New Normal: Urbanisme, Kebudayaan, dan Politik
Via Zoom & Live Youtube
Sabtu, 11 Juli 2020, 11.00-13.00 WIB
Indonesia sedang berjuang melawan pandemi COVID-19 sejak bulan Maret 2020. Berbagai usaha penanganan dan pencegahan terus dilakukan untuk menahan laju persebarannya, baik oleh pemerintah maupun dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Namun, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman atau Eijkman Institute sempat menyatakan bahwa COVID-19 tidak akan hilang dalam waktu dekat, sehingga manusia harus hidup berdampingan dengan virus ini. Fase ini dikenal dengan sebutan new normal, yakni kehidupan baru yang mengadaptasi situasi pascapandemi. Konsep new normal ini menuai berbagai kritik. Banyak pihak menilai belum waktunya Indonesia masuk ke dalam fase tersebut, lantaran kasus COVID-19 belum berkurang, atau melandai sekalipun.
Sampai kapan pola kehidupan baru ini dijalankan? Bagaimana respon yang tepat dalam menanggapi keputusan pemerintah terkait kebijakan new normal di Indonesia?
Arina Resyta adalah sarjana arsitektur dari Institut Teknologi Bandung dengan pengalaman lima tahun dalam bidang desain urban dan perencanaan. Arina turut merancang beberapa panduan rancang kota terkait pengembangan berorientasi transit (transit-oriented development, TOD) di Jakarta serta terlibat dalam perencanaan empat TOD dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Saat ini Arina meneliti pada komunitas Rame-Rame Jakarta dalam tema compact neighborhood.
Bosman Batubara adalah alumnus teknik geologi pada Universitas Gadjah Mada (2005) dan Inter-University Programme in Water Resources Engineering, Katholieke Universiteit Leuven dan Vrije Universiteit Brussel, Belgia (2012). Bosman adalah kandidat doktoral dalam penyelesaian disertasi di Water Governance Department, IHE- Delft Institute for Water Education, Delft, dan Human Geography, Planning and International Development Department, University of Amsterdam dengan tajuk “Near-South Urbanization: Flows of people, water, and capital in and beyond (post-) New Order Jakarta.” Bosman juga anggota Serikat Tani Kota Semarang.
Kamil Muhammad adalah arsitek dan periset di pppooolll. Kamil adalah salah seorang pendiri Architecture Sans Frontieres Indonesia. Bertitel Master of Architecture dari University of Melbourne, risetnya terfokus pada persimpangan antara praktik spasial kritikal dan partisipasi masyarakat. Saat ini, Kamil mendampingi Kampung Kunir bersama ASF-Jakarta.
Arsitektur kebencanaan menjadi salah satu pengetahuan yang sangat dibutuhkan dalam mitigasi bencana, khususnya pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengalaman Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) di Sulawesi Tengah selama hampir sebelas bulan pasca gempa 28 September, menawarkan sebuah refleksi. Sebuah gambaran bagaimana arsitek dituntut mampu membaca konteks dan menformulasikan skema kerja di tengah berbagai keterbatasan.
Rumah Tumbuh Bambu
Desember 2018 setelah berakhir masa tanggap darurat, Robbani bersama rekan-rekan dari Kemitraandan Karsa Institute melakukan assessment di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Setelah meninjau banyaknya rumah dengan kondisi yang rusak sebagian maupun rusak total, diputuskan untuk membangun rumah tumbuh. Merujuk pada assessment yang dilakukan oleh Karsa, diputuskan untuk membangun rumah tumbuh bagi sepuluh keluarga di Bolapapu dan Namo. Termasuk dalam wilayah dengan kondisi paling parah, Bolapapu adalah pusat Kecamatan Kulawi sedangkan Namo terletak sekitar 2,6 km menjelang Bolapapu.
Kedua desa tersebut terletak berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Kegiatan rekonstruksi dikhawatirkan menambah marak penebangan pohon kayu keras untuk keperluan pembangunan rumah. Demikian bambu ditawarkan menjadi alternatif mempertimbangkan asumsi tersebut. Meskipun bambu sebagai bangunan masih perkara awam bagi masyarakat setempat. Pada pertengahan Februari 2019, penulis dan rekan Andrea bergabung dan memulai proses pengadaan dan pengawetan bambu dengan larutan borate dalam konsentrasi ca. 6%. Kemudian ditemukan banyak rumpun, seperti awo toraja (Dendrocalamus asper), walo (Gigantochloa apus), dan awo (Gigantochloa atter). Fleksibilitas dan ketahanan bambu dalam menyalurkan gaya menjadikannya sebagai salah satu material aman gempa. Bambu relatif lebih ringan dari bahan lain sehingga lebih aman saat terjadi goncangan gempa.
Selain unsur teknis diatas, tim arsitek juga menggali unsur arsitektur lokal dalam proses desain. Eksplorasi desain oleh Robbani mengadopsi bentuk geometris bangunan adat lobo sebagai bagian dari arsitektur khas Kulawi. Lewat sebuah maket berskala 1:30 desain awal dipresentasikan pertama kali kepada peserta program saat focus group discussion pada 22 Februari. Juga disepakati jadwal pembangunan rumah tumbuh dalam waktu dua bulan. Kemudian masing-masing kelompok desa menunjuk bendahara untuk bersama-sama mengelola dana pembangunan.
Pembangunan rumah tumbuh pertama di Bolapapu dimulai pada 25 Februari. Rencana pembangunan satu rumah yang sebelumnya diperkirakan memakan waktu satu minggu, pada kenyataannya berlangsung sampai dua bulan. Ada beberapa kendala yang memengaruhi kerangka rencana manajemen proyek. Misalnya, sebagian besar peserta program adalah petani serabutan dan harus memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga sering absen dalam kegiatan pembangunan. Di Bolapapu, seorang peserta yang memiliki enam anak yang masih dalam asuhan harus mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di kebun. Seorang peserta di Namo memerlukan waktu satu bulan penuh untuk persiapan pernikahan anaknya. Demikian pula berbagai kegiatan tradisi maupun seremonial di desa menginterupsi jadwal yang telah disepakati.
Bantuan dirancang dalam bentuk transfer dan pengembangan teknologi dan pengetahuan bambu. Sehingga mutlak memerlukan intensitas keterlibatan peserta. Memasuki bulan ketiga enam unit rumah telah dimulai namun belum satupun ada yang selesai. Sampai tiba waktu tim arsitek untuk rehat lebaran di Jawa. Hingga saat ini, masih ada tiga rumah tumbuh dalam proses finishing secara mandiri.
Posyandu Desa Boladangko
Sekitar satu setengah kilometer dari Bolapapu terletak Desa Boladangko dimana posyandu akan dibangun, dan masih menggunakan bambu sebagai material utama. Bambu awet yang diproduksi oleh Bolapapu kemudian disiapkan untuk posyandu tersebut; cikal bakal koperasi usaha bambu mendapat pelanggan pertama.
Bersama rekan Robbani, penulis mengawal proses ini, melibatkan warga desa pada pekerjaan non-bambu seperti: pembuatan pondasi, umpak, pemasangan atap metal, dan peletakan jaringan pemipaan. Dua perajin bambu dari Sleman, Yogyakarta didatangkan untuk mengeksekusi pekerjaan bambu sekaligus melatih kader perajin bambu setempat. Skema ini bertujuan untuk transfer pengetahuan dan memberikan keahlian baru supaya kemudian terbuka lapangan pekerjaan baru di masa mendatang.
Bobot pekerjaan dicacah sehingga memungkinkan penerapan sistem kerja borongan. Dengan demikian mampu mengejar jadwal proyek. Selama prosesnya, proyek posyandu Boladangko berjalan selama satu bulan tanpa kendala berarti, sebagaimana proses pembangunan pada umumnya di kota. Hal tersebut berhasil mengikis pesimisme warga akibat keterlambatan jadwal pada program rumah tumbuh. Selesainya Posyandu Boladangko kemudian meningkatkan semangat kolektivitas warga dalam proses belajar mengolah dan merangkai bambu.
Sau Singgani di Rogo
Desa Rogo di Kecamatan Dolo Selatan merupakan persinggahan berikut bagi tim. Sebuah desa yang terletak di bibir zona merah likuifaksi. Dalam bahasa Kaili, rogo berarti remuk. Rogo memiliki iklim kering dan berangin sehingga berdebu. Suhu rata-rata siang hari sekitar tigapuluh-empat derajat Celcius. Setelah terjadi likuifaksi, warga merasa lebih sulit mendapatkan air bersih. Kali ini kami bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Skema kerja dari pembangunan posyandu kembali diterapkan pada pembangunan sau singgani, semacam balai warga dalam pengertian setempat. Perajin bambu Akar Bambu Kulawi kini menjadi mentor bagi tiga pemuda Rogo. Sedangkan pekerjaan non-bambu dikerjakan oleh kelompok warga dengan upah yang telah disepakati di antara mereka.
Karena berbagai alasan, community organizer (CO) dari WALHI tidak dapat melanjutkan pekerjaan dan harus meninggalkan lokasi pada bulan kedua. Ini merupakan suatu hal yang tidak dibayangkan oleh warga; para pendamping hadir didukung oleh anggaran terbatas dan tidak dapat selamanya berada diantara mereka. Menanggapi situasi tersebut para arsitek harus beradaptasi dan bersedia mengelola dinamika sosial, yakni menjaga keseimbangan di antara kelompok agama dengan kelompok adat.
Arsitek dan CO suatu hari akan meninggalkan desa, sedangkan peserta dan warga akan tetap tinggal. Demikian relasi antar individu warga harus dijaga. Relasi di antara mereka yang terlibat pekerjaan dengan yang tidak, menjadi hal yang sensitif dan mengundang berbagai potensi konflik. Aspek sosial tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja seperti jika memakai kacamata manajemen proyek. Dinamika sosial menjadi pertimbangan utama dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam proyek.
Dalam mengantisipasi potensi persoalan sosial, waktu assesment selama seminggu ternyata jauh dari memadai. Seperti terbukti lewat program ini, assesment merupakan bagian yang tidak bisa dipandang enteng dari keseluruhan rancangan program. Kepekaan dan ketajaman pembacaan sosial kemasyarakatan saat assesment pertama akan menentukan keberhasilan program.
Refleksi
Ada alat tukar pada setiap kerja partisipasi baik berupa uang maupun waktu. Pada program rumah tumbuh, partisipan bisa terlibat jika kegiatan berlangsung di luar waktu mereka mencari nafkah. Konsekuensinya, pendamping tidak dapat membuat target penyelesaian secara kaku sebagaimana kerangka manajemen proyek yang baku. Patut dicoba, jika kelompok warga diberi kesempatan menjalankan arisan kerja, yaitu bentuk kerja bergantian yang dilakukan di akhir pekan atau ada waktu yang telah ditentukan untuk secara bergiliran membangun rumah setiap anggota arisan.
Pada proyek posyandu dan sau singgani, adanya upah kerja menjadikan proyek dapat dijalankan sesuai jadwal. Skema tersebut mengurangi resiko keterlambatan jadwal pembangunan. Pendamping dapat memilah paket kerja yang kongruen dengan komponen upah yang dibayarkan.
Proses partisipasi dan pengenalan teknologi alternatif kepada warga penyintas di desa pelosok mengandung tantangan tersendiri. Keilmuan arsitektur pada umumnya tidak mencakup pengetahuan ini. Keterlibatan ASF-ID pada kegiatan rekonstruksi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah melampaui pranata space, form, and order atau site analisys yang selama ini menjadi standar di kampus. Ada berbagai hal harus dipenuhi untuk mencapai arsitektur paripurna; aspek-aspek sosial dan kultural yang menyebabkan seorang sarjana arsitektur tidak lagi berfikir tentang “desain yang seperti apa?” namun “bagaimana desain itu memanusiakan?” Demikian, karena semua profesi dituntut untuk meredefinisi bentuk pengabdiannya dalam masyarakat. ////
Sore hari, Sabtu 14 Maret 2020 telah berlangsung diskusi dengan judul Redefinisi Pengabdian Profesi. Diskusi ini merupakan kali ketiga pada rangkaian kegiatan reguler dalam kerjasama antara ASF-BDG dengan Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Barat (IAI-JB) yang mengambil tema sosial, lingkungan, perkotaan, dan kebencanaan. Bertempat di sekretariat IAI-JB, tiga pembicara dari latar belakang mahasiswa, arsitek, dan pekerja kemanusiaan berbagi sudut pandang berkaitan dengan kegiatan pengabdian dan kemanusiaan. Pemapar pertama adalah Josephine Livina mewakili kelompok Bhakti Ganva. Kemudian Rakha Puteri Shonigiya dari Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) dan ditutup oleh Zulkifli dari KUN Humanity System+ sebuah organisasi kemanusiaan yang multidisiplin.
Josephine menjelaskan pengalamannya tentang sebuah program kerja yang berfokus pada pembangunan fasilitas umum dan sosial di lingkungan pedesaan dengan melibatkan masyarakat setempat. Program kerja Bhakti Ganva telah berlangsung di berbagai desa sepanjang tahun 2013-2019. Metode partisipatif dilakukan oleh Bhakti Ganva sebagai upaya mengungkapkan masalah-masalah secara otentik. Musyawarah warga menjadi sumber informasi secara langsung. Lebih lanjut, kegiatan pengabdian mahasiswa harus disertai dengan rasa kepemilikan dari masyarakat kampung maupun dari mahasiswa. Josephine menekankan bahwa esensi pengabdian profesi bukan “apa” namun “mengapa.”
Presentasi kedua, Rakha Puteri Shonigiya menceritakan pengalaman pengabdian profesi dari sudut pandang arsitek. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ASF-ID bekerja sama dengan Kemitraan (Jakarta) dan Karsa Institut (Palu) untuk membangun sepuluh rumah percontohan, posyandu, dan balai warga, keseluruhannya berbahan bambu setempat. Terdapat perbedaan dalam proses dan tantangan antara menjalankan program rumah dengan pengembangan fasum, terutama terkait jadwal pembangunan dan bentuk partisipasi para penyintas. Program ASF-ID untuk rekonstruksi Sulteng berlangsung dari bulan Februari sampai November 2019.
Zulkifli selaku pegiat organisasi KUN Humanity System+ membahas tentang arsitektur operasi kemanusiaan yang menjadi acuan dan diadopsi secara universal. Dipaparkan suatu tinjauan singkat tentang aspek-aspek kunci yang mempengaruhi inovasi dalam konteks operasi kemanusiaan. Beliau menjelaskan bahwa “Perkerjaan yang dilakukan tampak rumit dan sulit dinavigasi jika baru terlibat dalam aksi kemanusiaan… sangat penting untuk memiliki pemahaman yang baik tentang pekerjaan ini supaya efektif dalam tujuan kemanusiaan.”
Sesi diskusi dipandu oleh Andrea Fitrianto dari Badan Pengabdian Profesi, Ikatan Arsitek Indonesia. Ibu Diana dari latar belakang pendidikan arsitektur menanyakan bagaimana cara membangun kepercayaan dan mengundang partisipasi warga setempat sehingga mau melakukan pembangunan bersama-sama. Josephine merespon bahwa salah satu langkah awal untuk memenangkan kepercayaan warga adalah dengan memilih kampung yang warganya memang membutuhkan bantuan. Jika hat tersebut diperoleh maka akan berdampak langsung pada keberlanjutan bangunan dimasa depan.
Kemudian ada Bima yang bertanya mengenai cara bekerja sama dan berkomunikasi dengan komunitas setempat. Pertanyaan ini dijawab oleh Rakha dengan menceritakan pengalamannya saat menyelesaikan pembangunan di Sulawesi Tengah. Masyarakat di Sulawesi Tengah pada umumnya memiliki lembaga-lembaga sosial-kultural yang mereka percayai. Misalnya, di desa Bolapapu lembaga adatnya cukup kuat, sehingga ketua RT dan RW desa tersebut merupakan bagian dari lembaga adat juga. Sedangkan di Dolo Selatan, yang lebih kuat adalah lembaga agama. Disana pegiat bekerja erat dengan pemuda masjid dan pemuka agama. Dengan mengetahui bentuk kelembagaan yang terdapat di desa, maka pegiat dan masyarakat dapat merumuskan term of reference dan pola kerja sama.
Pertanyaan terakhir datang dari Fiqih seputar ketepatan pilihan metode dan peran pegiat supaya masyarakat tidak tergantung terhadap bantuan yang diberikan. Zulkifli menjelaskan bahwa setiap non-governmental organization yang memutuskan untuk mendampingi desa selayaknya menyiapkan program yang berkelanjutan. Kemudian, pegiat harus membuat program yang sesuai dengan kemampuan warga, atau istilahnya merancang program yang community–based. Ketika program dirancang dan dijalankan oleh masyarakat, maka peran pegiat adalah sebagai fasilitator. Hal ini niscaya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan warga dan kesinambungan program kerja. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. ////////
Kuliah Tamu: Arsitektur Tanpa Batas
Andrea Fitrianto & Rakha’ P. Shonigiya
Rabu, 20 Pebruari 2019
Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Tadulako, Palu
Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) adalah organisasi non-profit bertujuan memberi wawasan sosial kepada para arsitek maupun mahasiswa, melalui wacana maupun aksi arsitektural.
Wilayah Indonesia yang rawan terhadap bencana perlu melakukan mitigasi sebagai upaya untuk mengurangi resiko pada kawasan rawan bencana. Mitigasi dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana maupun pembangunan fisik. Shelter sebagai bentuk fasilitas evakuasi bencana menjadi aspek fisik yang penting bagi para penyintas bencana. Namun terkadang terdapat kendala dimana terjadinya keterlambatan tenda evakuasi, sulitnya pembangunan di lapangan, atau datang dengan keadaan rusak sehingga tidak dapat digunakan korban bencana.
Pada hari Sabtu 17 November 2018, pukul 10:10 – selesai di Studio Arsitektur Undip Lt.1 Andrea Fitrianto akan berbagi pengalamannya dalam evakuasi pasca bencana. Kunjungan terakhirnya pada bencana Palu dan keterlibatannya dalam paska bencana Aceh akan ia bagi dalam workshop kali ini.
CP: 085727589273 (Hani)
Playground – Semarang
Playground adalah kelas desain berbasis eksperimen dan komputasi, persis seperti bocah yang mencoba segala permainan baru dengan segara rasa ingin tahunya. Bagaimana mewujudkan desain, tantangan terkait bahan dan teknologi serta gap antara desain dengan realitas akan dibahas pada kelas ini.