Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana

Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana
Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana

Metro Manila menyambut partisipan nasional dan internasional dalam acara bertajuk 3rd Community Architects Network Regional Meeting and Workshop: Together We CAN …People Planning for Future Inclusive Cities pada 16 Juni 2015. Sebelum mengakhiri hari pertama dengan tur di distrik bersejarah Intramuros, rangkaian pembukaan dan sesi berbagi antar peserta dilaksanakan di Hotel White Knight. Sesi tersebut menjadi kesempatan bagi partisipan internasional dari Afrika Selatan, Bangladesh, Cina, Indonesia, Italia, Kamboja, Kanada, Korea Utara, Taiwan, Thailand, Chile, serta Amerika Serikat untuk menceritakan karya mereka. Kegiatan yang berpusat pada partisipasi warga, baik yang akan pun sedang dilaksanakan dielaborasi bersama. Organisasi yang sudah mapan membagikan sejarah dan kemajuan sebagai inspirasi. Kelompok-kelompok yang sedang berkembang menyatakan tujuan dan aspirasi masa depan mereka.

Partisipan dari berbagai kewarganegaraan mewakili Slum Dwellers International, Informal Settlement Network, Community Organisation Resource Centre, Federation of the Urban and Rural Poor, BRAC University, J.A. Architects Ltd, Bangladesh University of Engineering and Technology, Community Development Foundation, Arkomjogja, ASF Indonesia, University of Tokyo, University of California Los Angeles, CAN Korea, Toad Housing, Architecture Group [tam], Openspace, Ta-Saeng, Development Planning Unit of University College London, Sasaki Associates, dan Massachusetts Institute of Technology.

Satu minggu berikut lalu dihabiskan oleh para partisipan dengan bekerja bersama dalam isu aktual dan nyata bersama komunitas-komunitas di Intramuros dan Muntinlupa City.

Workshop tahun ini masih menekankan isu pentingnya mengambil paradigma skala kota (citywide) dalam membawa perubahan skala besar, akan tetapi menempatkan warga dan solusi warga sebagai bahan kunci. Community Development Approach (CDA) pun menjadi bagian dari dialog.

Community Architects Network (CAN) adalah program di bawah Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) yang bermula di tahun 2009. Dalam lima tahun, CAN telah menjadi serambi aktif yang mempersatukan suara para arsitek, insinyur, perencana, universitas dan para pengrajin komunitas di Asia. Ide inti dari CAN adalah untuk bekerja bersama komunitas mencari solusi membangun ruang mukim yang lebih baik, serta kota yang lebih inklusif.

CAN Workshop sebelumnya diadakan pada 2013, dengan tema “People CAN make change”, juga diselenggarakan di Filipina, bertempat di Valenzuela City. Filipina sebagai tuan rumah memiliki kelompok-kelompok yang telah bekerja bersama untuk isu pembangunan yang didorong warga (people-driven development). Di antara mereka, bertugas sebagai koordinator di Philippine Alliance; Homeless Peoples Federation Philippine (HPFPI), Technical Assistance Movement for People and Environment (TAMPEI), LinkBuild, Core-Acs, serta PACSII.

 

“…the demonstration that people can truly make change”
– CAN 3rd Workshop Handbook

Selama workshop, 99 partisipan nasional dan internasional dikelompokkan menjadi 6 tim. Dua dari tim ditempatkan untuk bekerja bersama isu permukiman informal dalam area pusaka distrik dalam benteng, Intramuros, Manila. Empat kelompok lain ditempatkan di Muntinlupa City dalam berbagai barangays (pembagian daerah administratif setara distrik di Filipina).

 

Intramuros

Workshop dalam Intramuros Workshopisu permukiman informal dan pusaka yang diselenggarakan di Intramuros merupakan hal yang unik. Dalam arti bahwa kerja yang dilaksanakan diperuntukan untuk menantang gagasan mainstream mengenai konservasi pusaka. Dalam kasus ini, isu pusaka terkait erat dengan fakta bahwa keluarga-keluarga pemukim informal di dalam kota benteng (Intramuros) tersebut (ISF, Informal Settler Families) mulai bertempat tinggal sejak sedini 1950 (Nanay Bising, Komunitas Solana, Intramuros).

Dalam enam dekade terakhir, berbagai peristiwa besar terjadi di komunitas ISF Intramuros di mana para partisipan CAN Workshop bekerja. Komunitas Solana mengalami ancaman demolisi di tahun 1997, klaim kepemilikan lahan dan demolisi pada tahun 1998, serta kebakaran pada tahun 2000 dan 2003. Rangkaian peristiwa tersebut dikumpulkan pada workshop sejarah komunitas di Solana pada hari Minggu, 21 Juni 2015. Cerita-cerita individu yang dibagikan dalam workshop menguatkan memori kolektif Komunitas Solana, memori yang fundamental dalam membangun identitas komunitas, dan di tahap lanjut untuk menentukan aspirasi masa depan dalam community planning and upgrading.

Selasa, 23 Juni 2015, para komunitas ISF mempresentasikan perspektif dan visi konservasi mereka pada audiens yang terdiri dari Intramuros Administration, World Bank, perwakilan pemilik laham arsitek, perencana, dan professional-profesional lain yang memiliki keprihatinan khusus. Komunitas ISF yang turut didampingi para partisipan CAN Workshop selama tiga hari, telah membuktikan kapasitas dan kesiapan mereka untuk menjadi bagian dari rencana konservasi khusus maupun agenda pembangunan kota pada umumnya.

Muntinlupa City

Participatory MappingMuntinlupa diklasifikasikan sebagai highly-urbanized city[1] terletak di area paling selatan Metro Manila. Berbagai konteks yang berbeda di CAN Workshop ini terbukti mewarnai kegiatan dengan berbagai ide dan pertanyaan tentang bagaimana people centered development dapat bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan dan terutama pemerintah lokal (Local Government Units). Keterlibatan langsung nan intensif selama tiga hari bersama komunitas lalu dipresentasikan dalam Forum Publik Muntinlupa City pada tanggal 22 Juni 2015.

Dalam dunia pembangunan yang terkait erat dengan birokrasi, informasi dan akses terhadap informasi adalah hal yang sangat krusial. Komunitas terdampak oleh pembangunan di masa mendatang seringkali tidak memiliki pemahaman yang jelas terkait sumber daya mereka dan perencanaan pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Komunitas mitra diharapkan dapat mengetahui dan memahami bagaimana program-program pembangunan yang digulirkan dapat mempengaruhi hajat hidup, dalam seketika maupun bertahap.

Situasi tersebut dapat dicapai jika informasi yang relevant berada dalam jangkauan. Di sisi lain, informasi-informasi tersebut harus diartikulasi secara jelas oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Serambi diskusi di antara para pihak lalu harus menghargai kemungkinan-kemungkinan yang adil secara sosial dan ekonomi.

Muntinlupa City dengan sembilan Barangay adalah pilot project dari Bank Dunia dan CDA Social Housing Finance Corporation Filipina. Beberapa komunitas telah menempuh proses awal dan beberapa menunggu untuk memulai. Empat tim CAN Workshop ditempatkan di Barangay-Barangay berikut: Brgy. Sucat untuk Planning and Re-blocking Processes, Brgy. Buli untuk Housing Program with the Barangay Officials, dan Brgy. Alabang untuk Initial Community Mapping. Tim yang bekerja kemudian dipaparkan kepada proposal yang telah disetujui di tahun 2014 untuk Jalan Tol Danau bertajuk Laguna Lakeshore Expressway Dike yang akan membutuhkan Reklamasi Laguna Lake di sisi Barat. Proyek expressway tersebut akan menghubungkan kota Taguig ke Selatan menuju Calamba dan Los Baños.

Tim pertama di Sucat mendampingi komunitas rawan banjir Lakeshore dalam menghubungkan antara kondisi dan status lahan mereka dengan rencana yang disediakan pemerintah. Bermukim di lahan privat, sebagian besar komunitas bersedia untuk membeli lahan dengan Community Mortgage Program (CMP) dari pemerintah. Komunitas-komunitas tersebut memiliki hubungan ekonomi dengan danau Laguna Lake, sehingga mereka pun mempertanyakan informasi yang lebih jelas terkait reklamasi untuk expressway. Mereka terbuka untuk solusi on-site development ataupun near-site relocation.

Tim kedua di Sucat, bekerja sama dengan Sitio Pagkakais, sebuah kampung sebagian besar merupakan pemukim informal di lahan privat. Rencana reblocking dari komunitas tersebut telah disetujui oleh pemerintah kota, sebagai bagian dari persyaratan program CMP. Tantangan muncul dari ketidaksesuaian rencana tersebut dengan kondisi aktual, plot lahan yang sudah ada milik 368 keluarga dan struktur-struktur permanen lain. Tantangan lain yang muncul adalah perletakan jalan utama masuk ke area dan bagaimana menangani penghuni yang menolak bekerja sama dengan prakarsa tersebut.

Tim Brgy. Buli bekerja sama dengan komunitas 162 kepala keluarga di sebuah program perumahan dengan pejabat Barangay. Para pemukim informal dengan pendampingan dari tim melaksanakan perencanaan partisipatif untuk lahan yang tersedia seluas 4.7 ha. Tantangan yang dialami adalah mengkonsolidasi visi dan strategi komunitas dan mengkomunikasikannya kepada pihak Barangay.

Alabang Team and the CommunityPerwakilan ASF Indonesia diberi kesempatan untuk bekerja sebagai fasilitator bersama dengan partisipan dari kelompok senior Filipina; HPFPI and TAMPEI, partisipan dari Openspace Thailand, 1:1 Agency of Change Afrika Selatan, Slum Dweller Internasional Afrika Selatan, dan relawan mahasiswa. Bersama dengan berbagai community leaders dari Brgy. Alabang, tim bekerja selama empat hari secara intensif dengan empat komunitas di sepanjang bantaran Sungai Alabang dan jalur kereta Philippine National Railway (PNR).

Empat komunitas terdiri dari sekitar 800 kepala keluarga. Tim pun memperkenalkan tujuan dan metode settlement profiling, participatory mapping serta pelatihan langsung dengan anggota komunitas. Pemetaan actual dan survey dilaksanakan oleh warga lokal dengan pendampingan tim. Tim CAN Workshop lalu memberikan dukungan teknis dalam menyandikan dan mengesahkan data. Fase tersebut merupakan langkah awal untuk program pemetaan komunitas selama lima bulan dari Juni. Langkah awal tersebut akan dipergunakan untuk mendorong pengajuan proses upgrading kepada pemerintah lokal.

Langkah awal memetakan komunitas merupakan langkah yang tidak kalah vital dengan langkah-langkah lanjutan. Media yang digunakan komunitas untuk mencapai pemahaman dalam tradisi CAN Workshop adalah pemetaan langsung. Pemetaan, baik sejarah, spasial, ekonomi, maupun sosial yang dilaksanakan oleh warga sendiri merupakan sebuah metode di mana warga dapat mengambil alih pengetahuan sosial dan spasial mereka, dan lalu menggunakannya sebagai alat untuk menegosiasikan situasi. Tim teknis membantu lebih lanjut dalam tahap penyediaan validasi data.

Kepunyaan siapakah kota itu? Kehadiran komunitas yang secara aktif hidup dan bekerja untuk mendukung keberlangsungan kota tidak serta merta menandakan kepemilikan aktif mereka terhadap pembangunan kota. Perencanaan kota perlu menjadi inklusif; dekat serta aksesibel.

The 3rd CAN Workshop menggaris bawahi kebutuhan mendesak untuk bekerja bersama pemukim kota yang berada di sisi yang tidak diuntungkan serta berbagai pemangku kepentingan. Salah satu kunci dari inklusivitas adalah pengenalan bahasa kepada komunitas untuk memahami kondisi ruang hidup mereka, dengan tujuan meraih hak untuk hidup yang bermartabat; secured tenure, akses sumber daya dasar, kemungkinan untuk berpartisipasi dan sumber hidup yang layak. Bahasa tidak perlu rumit, tetapi bisa sesederhana pemetaan langsung bersama warga, perencanaan partisipatif dan kemampuan untuk beraspirasi yang mencukupi.

[1] Philippine Republic Act No. 7926

Inclusive Cities: People and the Power of Planning Knowledge

IMG_20150619_140741Metro Manila welcomed the national and international participants of 3rd Community Architects Network Regional Meeting and Workshop: Together We CAN …People Planning for Future Inclusive Cities on 16th of June 2015. The site visit around the historic walled city of Intramuros was preceded with a series of opening remarks and sharing session from all involved. The sharing session was a chance for international participants from South Africa, Bangladesh, Cambodia, Indonesia, Canada, China, South Korea, Italy, Thailand, Taiwan, USA, and Chile to share their endeavors.

 

Ongoing and planned people-centered collectives’ projects were elaborated. Established groups shared their history and developments. Growing organizations stated their intention and future aspiration.

The various nationalities participants were representing Slum Dwellers International, Informal Settlement Network, Community Organisation Resource Centre, Federation of the Urban and Rural Poor, BRAC University, J.A. Architects Ltd, Bangladesh University of Engineering and Technology, Community Development Foundation, Arkomjogja, ASF Indonesia, University of Tokyo, University of California Los Angeles, CAN Korea, Toad Housing, Architecture Group [tam], Openspace, Ta-Saeng, Development Planning Unit of University College London, Sasaki Associates, and Massachusetts Institute of Technology.

The following week was then spent by the participants via working together on the ground with actual issues and communities; in Intramuros and Muntinlupa City.

Community Architects Network (CAN) is a program under Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) which started in 2009. For five years, CAN has been acting as an active platform linking architects, engineers, planners, universities and community artisans throughout Asia. The core idea of CAN is to work with communities in finding solutions to build better settlements and more inclusive cities.

The previous CAN Workshop in 2013, themed “People CAN make change”, was also organized in Philippine, specifically in Valenzuela City. Philippine is the home to groups and actors that have been working together for people-driven development. Among them, acting as coordinators is the Philippine Alliance; Homeless Peoples Federation Philippine (HPFPI), Technical Assistance Movement for People and Environment (TAMPEI), LinkBuild, Core-Acs, and PACSII.

 

The workshop is still emphasizing on the importance of taking on a citywide perspective to bring about change at a larger scale, but where communities and community solutions are key ingredients. Community Development Approach (CDA) then became a part of the dialogues.

“…the demonstration that people can truly make change

CAN 3rd Workshop Handbook

 

During the workshop, 99 national and international participants were grouped to 6 teams. Two of the teams were stationed to work with informal settlements issue inside the heritage area of Intramuros. The others were stationed in multiple barangays (administrative divisions) of Muntinlupa City.

 

Intramuros

20150621_421The workshop on heritage conducted at Intramuros is unique in the sense that it meant to challenge the mainstream notion of heritage conservation. In this case, heritage issues were also include facts relate with the residents within the walled city, that is the recent history of the so-called Informal Settler Families (ISF) who begun to dwell since as early as 1950 (Nanay Bising, Solana community).

Within the last six decades big things happens to the ISF communities, for Solana this is including threat of demolition in 1997, land ownership claim filed and house demolition at the same year of 1998, fire in 2000 and 2003, as discussed during the community history workshop at Solana on Sunday, June 21st 2015. Individual stories gathered and shared during the workshop strengthen collective memory of Solana that is fundamental in building Solana identity and at the end to determine its future aspirations for community planning and upgrading.

Tuesday, June 23rd 2015 saw the ISF communities presenting their perspective and vision of conservation to a larger audience including Intramuros Administration, World Bank, representatives of land owners, architects, planner and other professionals concerned with Intramuros. The ISF communities in Intramuros have proven their capacity and ready to be part of conservation plan as well as city development agenda in general.

Muntinlupa City

IMG_20150618_100506Muntinlupa is classified as a highly-urbanized city[1] located in the southernmost of Metro Manila. The different contexts given were proven to color the workshop with further questions and ideas of how people centered development could work with Local Government Units and multiple stakeholders. Three days of intensive direct involvement with communities were presented in Public Forums, held in Muntinlupa City on 22nd of June and Intramuros on the 23rd.

Due to the bureaucracy of the development, information issues become crucial. Communities affected by future development often have no clear grasp on their resources and government planning. The partnering communities are expected to know and understand how such programs may affect their living situations, immediately and gradually. The state of affairs can be achieved if relevant information is within reach. On the other hand, information as such must be clearly articulated by the government units. The platform for discussion among every parties involved should then respect possibilities that are socially and economically just.

Muntinlupa City with its nine Barangays is the pilot project of World Bank and Social Housing Finance Corporation’s CDA. Some communities had already gone through initial processes and some are in the line to start. The four workshop teams were located in the following Barangays: Sucat for Planning and Re-blocking Processes, Buli for Housing Program with the Barangay Officials, and Alabang for Initial Community Mapping. The teams were made known to a 2014-approved proposal of 47 km long Laguna Lakeshore Expressway Dike that would entail Laguna Lake west shoreline reclamation. The Expressway project would connect Taguig southward to Calamba and Los Baños.

One team in Sucat had assisted flood-prone Lakeshore Community in connecting between their land condition and status to available government plans. Residing on privately owned land, most of the communities are willing to purchase the land with Community Mortgage Program (CMP) from the government. The communities connect to the lake economically, therefore they also inquire for clearer information regarding Expressway Reclamation. They are open to on-site development or near-site relocation.

The other Sucat team had worked with Sitio Pagkakais, a village of mostly informal settlers on private land. The communities re-blocking plans had been approved by the city, as part of CMP requirements. The challenges arose from the plans that were incompatible with the actual conditions; various existing plots belong to the 368 families and permanent structures. Another challenges faced were plotting the main access ways into the area and addressing occupants that refuse to cooperate with the initiative.

The team located in Buli had worked together with the communities of approximately 162 households in a housing program with local Barangay Officials. The informal settlers’ with the assistance of the team had done participatory planning for the available 4.7 hectare land. The challenges faced were consolidating the communities’ vision and strategies and communicating them to the Barangay Officials.

IMG_20150619_142100ASF Indonesia delegate was given the chance to work as facilitator along with HPFPI and TAMPEI participants with Alabang team. Comprised of local communities’ members and participants, the team had worked four intensive days with four compounds along the Alabang River Creek and Philippine National Railway. The four compounds consist of approximately 800 households. The team had introduced the objective and method of settlement profiling, participatory mapping and hands on training with communities’ members. Actual mapping and surveys had been done by the locals with the team assistance.

 

The team then provided technical support in encoding and validating the data. The phase would start five months project of community mapping as initial step to promote upgrading process to the Local Government.

The initial step of community mapping is as vital as the progressing steps. The media used by communities in order to gain understanding are mostly in the form of applied maps. Mapping is a method with which a community can easily take charge of their social and spatial knowledge, and then use it as a tool to negotiate their situation. The technical team aids further in terms of providing data validation.

To whom the city belongs? The presence of communities who actively live in and work to support the city does not necessarily signify their active ownership of the city development. The city planning needs to be inclusive; up close and accessible.

CAN 3rd Workshop have underlined the urgent need to work with disadvantaged city dwellers and multiple stakeholders. One of the keys to inclusivity is to introduce a language for the communities to recognize their living space, with the purpose of claiming their rights to dignified living; secured tenure, access to basic resources, chances to participate and decent sources of living. The language needs not to be complicated, but as humble as hands-on mapping, planning and resourceful aspiration proficiency.

[1] Philippine Republic Act No. 7926