Gempa bumi di Nepal, 25 April lalu, tercatat sebagai salah satu yang terburuk sepanjang sejarah. Tercatat, bencana ini menelan hampir 9 ribu korban tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka. Yang lebih memukul adalah lumpuhnya infrastruktur seketika dan terputusnya jalur bantuan kepada korban di pusat gempa yang membuat upaya pertolongan tidak bisa segera dilakukan.
Indah Widiastuti dari Institut Teknologi Bandung berbagi tentang arsitektur vernakuler dan ketahanan gempa.
Mencoba menyambung rasa dengan para korban yang berada ribuan kilometer jauhnya, ASF Indonesia menggandeng Pecha Kucha Night (PKN) dan beberapa LSM yang berjejaring bersama dalam menghelat sebuah malam khusus untuk Nepal. Sabtu 23 Mei 2015, bertempat di Labo the Mori, ASF Indonesia menjadi salah satu pemateri utama dalam Pecha Kucha Night (PKN) yang ke-19 yang mengangkat tema Bandung for Nepal.
Seperti temanya, PKN kali ini banyak bercerita tentang komunitas dan bagaimana gerakan-gerakan komunitas memberi kontribusi positif dalam perubahan di dalam masyarakat masa kini. Tetap dengan format 20×20, dimana setiap pemapar diberi kesempatan untuk mempresentasikan ide dan karyanya dalam 20 slide selama 20 detik, PKN ke-19 ini hadir lebih hangat dan beragam, dengan jangkar Nepal sebagai isu utama.
Diantara pemateri, ada Annye Meilani yang mewakili UPC (Urban Poor Consortium) dengan cerita tentang akar rumput, Ivana Lee yang bercerita tentang ASF (Architecture Sans Frontières) Indonesia, dan tentunya Andrea Fitrianto dari CAN (Community Architects Network) yang menjadi co-host PKN kali ini. Walau masih dalam keadaan duka, namun PKN menyajikan cerita-cerita tentang Nepal dengan suasana yang hangat dan penuh kekeluargaan. Mereka yang berbagi cerita tentang Nepal antara lain; Tarlen Handayani yang menuturkan pengalaman pribadinya menjadi sukarelawan di Nepal, juga Frans Ari Prasetyo dengan cerita tentang respon komunitas punk setelah bencana tsunami di Aceh.
Khusus PKNdi Bandung ke-19 ini, Labo, sebagai pemegang lisensi Pecha Kucha Bandung, menyambut proposal dari CAN untuk mengadakan penggalangan dana dengan menerapkan tiket masuk sebesar 20 ribu Rupiah kepada setiap pengunjung PKN. ASF, yang kala itu masih baru terbentuk menjadikan acara ini sebagai kesempatan baik untuk berkontribusi walau hanya sebatas penggalangan dana.
Penggalangan dana ini dilakukan serentak di tiga kota melalui PKN. Setelah Bandung, PKN Yogyakarta juga ikut menyelenggarakan penggalangan dana serupa. Kotak-kota amal sukarela juga turut disebar di kampus-kampus jurusan Arsitektur, di Universitas Gadjah Mada, Universitas Katolik Parahyangan, dan Universitas Indonesia. Begitupun dengan penggalangan dana di Jakarta Montessori School. Total dana yang terkumpul mencapai 25 juta Rupiah yang disalurkan melalui Lumanti Support Group for Shelter. Dana ini turut mendukung proyek pembangunan hunian bagi para korban bencana di titik-titik pusat bencana yang belum terjangkau bantuan kala itu.
Kegiatan-kegiatan seperti ini, walau terlihat remeh, namun sesungguhnya menjadi penyambung rasa yang efektif. Ada sebuah kedekatan yang mungkin tak kasat mata, ketika kita bisa bersama-sama merasaka penderitaan saudara kita yang jauh, melalui sharing ide dan cerita-cerita personal mengenai Nepal. Dan yang paling harus digarisbawahi adalah, kegiatan berjejaring harus terus menjadi nafas antar komunitas dan insan-insan kreatif. Dengan berjejaring, kegiatan berbasis komunitas tidak saja menjadi semakin kaya namun juga kian berdaya untuk menghasilkan karya-karya yang bisa berdampak bagi masyarkat secara luas.