Hantu Pruitt-Igoe

13442585_1101202443272463_2399605059224162015_o

Artikel berikut merupakan catatan pasca pemutaran dan diskusi publik film dokumenter “The Pruitt-Igoe Myth” (2012) di Kafe Pustaka – Universitas Negeri Malang (13/6) bersama Prof. Djoko Saryono M.Pd, Dr. Mundi Rahayu M.Hum, dengan moderator Robbani Amal Romis. Pemutaran diselenggarakan atas kerjasama Rumah Inspirasi Malang, Save Hutan Kota Malabar, Kreativa, IUPS, Kafe Pustaka – UM, Selamat Pagi Creative, dan ASF-ID.

 

Terus terang, ketika persoalan relokasi warga kembali marak dibicarakan orang, saya termasuk orang yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mengacu pada ingatan masa kuliah tentang Pruitt-Igoe di Amerika, saya merasa bahwa relokasi kaum miskin kota ke apartemen adalah solusi instan — bahkan bukan solusi sama sekali — untuk permasalahan perumahan di kota-kota besar. Herannya, jarang sekali saya menemukan teman-teman arsitek saya — di media sosial — yang saya tahu juga menentang hal itu, yang membangun argumennya berdasarkan kasus Pruitt-Igoe atau Kali Code-Romo Mangun sebagai lawannya.

Buat arsitek seperti saya, apa yang terjadi di Pruitt-Igoe menyedihkan sekaligus membingungkan. Dia menyedihkan karena, menurut saya, itu adalah tragedi arsitektur terburuk kedua setelah runtuhnya Menara Babel. Keduanya sama-sama mewakili ambisi besar manusia, satu ingin jadi pencakar langit pertama, satu lagi ingin jadi kompleks apartemen terbesar — dan dua-duanya gagal. Dan dia membingungkan karena Pruitt-Igoe di masanya dipuji-puji setinggi langit. Setelah menonton film ini, saya baru menyadari kalau kasus ini begitu kompleks.

Dia bisa dibingkai dalam tiga pertanyaan yang sama pentingnya. Satu, apakah dia adalah contoh dari kegagalan arsitek dan arsitektur? Dua, apakah dia adalah kesalahan pemerintah kota dalam mengambil kebijakan publik? Dan tiga, apakah dia justru menunjukkan bahwa ada yang salah dalam masyarakat kita, bagaimana ketika orang dikumpulkan dalam jumlah yang begitu besar — 2870 unit apartemen — efeknya ternyata bisa begitu merusak?

Namun karena saya arsitek, maka saya cuma akan membicarakan yang pertama saja.

Yang sering dibicarakan orang ketika mencari sumber kegagalan Pruitt-Igoe dari sudut pandang arsitektur — yang sayangnya tidak diperlihatkan di film — adalah sistem sirkulasinya. Pruitt-Igoe menggunakan sistem transportasi vertikal yang disebut skip stop elevator, artinya lift di unit bangunan itu tidak berhenti di setiap lantai. Dari 11 lantai di setiap unit superblok itu, lift-nya hanya akan berhenti di lantai 1, 4, 7, dan 10. Ini seperti halte-halte dalam sistem transportasi biasa saja sebenarnya, hanya saja dia vertikal. Tujuannya sederhana: supaya orang tetap punya waktu untuk bertemu dengan orang lain, untuk menjadi manusia yang tidak individualis, saling berbagi, minimal berbagi ruang di tangga dan di lantai-lantai jangkar itu. Dan sebagaimana dimaksudkan, lantai-lantai jangkar tempat pintu lift itu akan membuka adalah lantai yang difungsikan sebagai ruang komunal, laundry, dan shaft sampah.

Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, justru di lantai-lantai bersama inilah sering terjadi kejahatan; mulai dari perampokan, pemerkosaan, sampai peredaran narkoba. Di film tadi ditunjukkan bagaimana lampu-lampu dirusak, sampah — karena juga tidak cepat ditangani pengelola gedung — dibakar di sana, alih-alih dibuang lewat shaft­-nya, membuat lantai itu dipenuhi asap, membuat pandangan semakin buruk, dan, “Bum!” Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan.

Lalu semua menjadi semakin buruk, terutama di masalah pemeliharaan –seperti ditunjukkan di film — pipa-pipa bocor, pemanas ruangan tidak berfungsi di musim dingin, dan lain-lain termasuk tingginya angka kriminalitas. Kita bisa lihat bagaimana polisi pun enggan masuk ke kawasan itu karena dilempari bahkan ditembaki dari atas. Bayangkan saja 33 bangunan 11 lantai dalam satu lokasi, cuma Maddog atau Robocop saja yang berani masuk ke sana. Dan akhirnya, seperti yang sudah dikutip Robbani, Charles Jencks berkata, “Arsitektur modern sudah mati di St. Louis pada tanggal 15 Juli 1972 sekitar jam 3.30.” Mengacu pada tanggal mulai diledakkannya kompleks superblok Pruitt-Igoe.

 

Catatan-catatan diskusi

Tahun 1947 usulan lain yang berbasis partisipasi warga pernah diusulkan namun ditolak oleh pemerintah kota, namanya Carr Village. Di dalam usulan itu termasuk memperbaiki rumah warga, membangun beberapa blok 2-3 lantai, dan sebuah ruang terbuka publik. Sayang usulan ini tidak pernah diwujudkan (ini sekaligus mengoreksi kekeliruan saya yang menyebut bahwa ketika Pruitt-Igoe mulai ditinggalkan, kawasan ini tetap dihuni, dan penuh).

Pruitt-Igoe bukan satu-satunya superblok yang dibangun untuk menyelesaikan masalah ketersediaan perumahan, tapi — sepanjang yang saya tahu— dia adalah satu-satunya komplek apartemen yang gagal secara fungsional. Namun karena skala kegagalannya yang begitu mengerikan, bahkan arsiteknya, Minoru Yamasaki, pernah menyebut bahwa “Saya tidak pernah mengira kalau manusia bisa begitu merusak.”— kompleks hunian lain seolah-olah menanggung dosa yang sama. Superblok ini sempat menjadi tren solusi untuk masalah perumahan di kota-kota besar. Di Berlin dibangun Horseshoes Estate 1925, Unite d’Habitation di Marseille 1952, bahkan di Fujian, Cina, ada bangunan yang disebut Fujian Tulou yang sudah dibangun dan dihuni sejak tahun 1300-an. Bahkan arsitek yang sama, di kota yang sama, juga membangun apartemen Cochran Garden –walaupun tidak semasif Pruitt-Igoe—yang bertahan sampai tahun 2006. Dirubuhkan juga pada tahun 2008, tapi itu pun karena masalah finansial (tax mismanagement).

Apakah sistem sirkulasi vertikal skip stop elevator tadi adalah satu-satunya penyebab terjadinya kegagalan fungsi apartemen ini? Menariknya, Jane Jacob, salah satu kritikus arsitektur modern menyebut bahwa di Pruitt-Igoe orang-orang di sana di-dehumanisasi karena mereka dipaksa untuk mengingkari individualismenya. Selama ini kita merasa bahwa menjadi individualis adalah buruk, tapi ketika orang dipaksa untuk menjadi komunal, hasilnya bisa jadi di luar dugaan. Namun sistem ruang komunal yang memakan satu lantai ini juga bukan hal baru. Le Corbusier menerapkannya di apartemen rancangannya, Unite d’Habitation. Lantai-lantai yang secara ekonomis bernilai tinggi justru dijadikan ruang publik, dan seperti sudah saya sebut tadi, tetap baik-baik saja.

Kritik yang lain menyerang Arsitektur Modern yang cenderung simplisistis, sederhana. Di bawah jargon-jargon seperti form follows function, less is more, dan ornament is a crime, menjadikan tampilan arsitektur modern memang terlihat sederhana dan membosankan. Bayangkan Anda berada di sebuah lokasi yang luasnya kurang lebih 23 hektar dengan 33 bangunan setinggi 11 lantai, dan semuanya nyaris serupa. Tidak bisa tidak Anda akan merasa seperti butiran debu; Anda akan terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, tenggelam, tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Dan ini dicurigai memicu timbulnya perasaan tidak nyaman yang berujung pada terjadinya kejahatan, walaupun tuduhan ini masih harus diperiksa lebih lanjut. Lha wong rok mini dituduh sebagai pemicu pemerkosaan saja diprotes banyak orang, apalagi kalau desain arsitektur yang dibegitukan.

 

Tanggapan atas Tanggapan-tanggapan

Pertama kita harus mendudukan persoalan dengan benar dulu. Pruitt-Igoe ini dibangun, pertama sekali, bukan untuk menyelesaikan permasalahan pemukiman kumuh dan menolong kaum miskin kota untuk tinggal di tempat yang lebih layak. Saya tidak ingat pernah mendengar ada pemerintah yang begitu baik pada warganya, terutama warga miskin. Tahun 1940-an St. Louis memang padat dan menumbuhkan kawasan kumuh di sisi utara dan selatannya. Namun hal lain adalah, ada eksodus kelompok kelas menengah ke atas dari kota itu. Di film tadi ada angkanya, 24%. Catatan saya sampai 30%. Jadi pertama sekali, yang pemerintah kota pikirkan adalah cara untuk menyelamatkan kotanya, cara supaya orang tidak beramai-ramai pindah ke kota lain. Ada dua alternatif yang dipikirkan waktu itu. Satu, membangun pusat kota, membuatnya sedemikian menarik sehingga orang betah tinggal di dalamnya, atau, dua, menyerang langsung sumber penyakitnya: kawasan kumuh.

(Untuk menanggapi peserta yang berharap ketika pemerintah membuat kebijakan relokasi warga miskin (asumsi saya kebijakan sebagai hadiah dari pemerintah kepada warga miskin) kultur atau kebiasaan masyarakatnya juga ikut dipertimbangkan; sembari memberi contoh bagaimana korban Lapindo di lokasi yang baru tetap mempertahankan kebiasaannya di tempat lama.)

Profesi arsitek sendiri mengalami evolusi. Sejak masa revolusi humanis di masa renaisans, arsitek yang dulunya adalah tukang-tukang anonim berubah menjadi profesi yang profesional dan mandiri. Dan evolusi ini menemukan bentuknya dan mulai mantap sejak Revolusi Prancis. Di sisi lain, tumbangnya raja-raja dan bangkrutnya para tuan tanah juga mengubah klien yang dilayani oleh para arsitek ini. Sekarang mereka melayani orang-orang kaya baru. Repotnya, orang-orang kaya baru ini tidak punya kepedulian yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan dan seni. Berbeda dengan raja-raja atau tuan tanah yang dikelilingi ilmuwan, penyair, seniman, juga arsitek. Di titik ini, arsitek kemudian perlu pembenaran moral, butuh argumentasi atas desain-desainnya, maka di sinilah arsitek mulai berteori. Hal yang tidak pernah dilakukan ketika mereka masih tukang-tukang anonim. Dan di antara orang-orang kaya baru ini, pemerintah termasuk di dalamnya.

(Untuk menanggapi peserta yang menyebut bahwa pada akhirnya keputusan terakhir ada di tangan pemerintah kota, tapi sayangnya pemerintah kota terkesan asal-asalan ketika mengambil keputusan yang menyangkut pembangunan dan penataan kota.)

Apa pentingnya arsitek berteori? Itu artinya, mereka punya waktu senggang untuk berpikir. Dan mereka mulai memikirkan banyak hal, bahkan hal-hal yang berada di luar dirinya sendiri, salah satunya adalah masalah-masalah sosial. Perlu diketahui juga bahwa di masa itu, antara tahun 1920-1960-an, arsitektur diisi oleh arsitek-arsitek yang bisa dianggap sebagai nabinya dunia arsitektur. Le Corbusier sebagai salah satu tokoh penting Arsitektur Modern bahkan pernah berkata, “Arsitektur atau revolusi.” Maksudnya, dia percaya bahwa arsitektur bisa mencegah terjadinya revolusi yang berbasis pertarungan kelas. Sebegitu pede-nya arsitek di jaman itu. CIAM, organisasi arsitek modern dunia, ketika orang masih meributkan apakah arsitektur itu termasuk seni atau termasuk bidang teknik, apakah arsitek itu seniman atau insinyur, justru menyebut bahwa “arsitektur adalah seni sosial.” Ini mengingatkan saya pada Romo Mangun –karena tadi sudah disebut—yang di tahun 1980-an pernah berkata bahwa arsitektur seharusnya dimasukkan ke dalam ilmu sosial. Jadi maksud saya, ketika tadi disebut ada rekayasa sosial yang diuji-cobakan di Pruitt-Igoe, bisa jadi bukan orang lain yang melakukannya, bisa jadi malah arsiteknya yang sedang bereksperimen.

(Untuk menanggapi pembicara lain (Ibu Mundi) yang menyebut bahwa ada social engineering atau rekayasa sosial yang sedang diujicobakan di sana demi mengetahui bahwa laki-laki kepala keluarga tidak boleh tinggal bersama anak-istrinya di Pruitt-Igoe dan (Prof. Djoko) yang menyebut bahwa psikolog juga—sepertinya—ikut jadi arsitek.)

Saya akan berhati-hati untuk menyebut metode ini gagal. Pruitt Igoe-nya mungkin gagal, tapi metodenya, nanti dulu. Apalagi membandingkannya dengan metode lain, dalam hal ini Kampung Code-nya Romo Mangun. Saya percaya bahwa setiap karya arsitektur membawa semangat jamannya. Di jaman itu, seperti tadi sudah saya katakan, blok-blok masif apartemen sedang menjadi tren. Ini adalah buah dari revolusi industri, penemuan baja dan lembaran kaca yang lebih besar. Arsitek seperti anak kecil yang diberi mainan baru. Mereka nyaris bisa membuat apa saja, dengan besar dan tinggi seberapa saja, dan sebanyak apa saja. Cepat, tepat, massal. Atau dalam satu kata: mesin. Saya kira yang terjadi di Indonesia adalah efek dari developmentalisme di masa lalu. Jangankan tata kota, bahkan makanan pun, orang se-Indonesia Raya dipaksa untuk makan nasi semua. Ketika menghadapi masalah, pemerintah seringkali tidak bertindak seperti dokter, lebih seperti dukun. Dokter, sekolahnya mahal, lama. Ketika kita datang, mereka selalu bertanya sakitnya apa, penyebabnya apa, lalu memeriksa dan bikin resep. Dukun tidak. Mereka menyebarkan selebaran di lampu merah, menyebut sudah menemukan satu obat untuk semua penyakit, dari kadas sampai kencing manis, dari korengan sampai jantung koroner. Masalah yang kita lihat di kota-kota di seluruh Indonesia, walaupun sekilas sama, tapi yang kita lihat cuma simptomnya. Penyebabnya bisa lain, cara mengobatinya pasti berbeda. Bahkan saya tidak percaya bahwa metode Romo Mangun adalah obat ajaib untuk semua permasalahan kota yang kita punya hari ini. Kampung Code juga membawa semangat jamannya. Saya tidak tahu siapa terpengaruh siapa, tapi ketika Romo Mangun membangun perkampungannya, di tempat lain, arsitek yang teorinya lebih dikenal daripada karya arsitekturnya, Christopher Alexander, juga berpendapat bahwa yang mengetahui dengan pasti soal arsitektur adalah penggunanya, bukan arsiteknya. Beliau seingat saya sempat dituduh anti-modernisme dan anti-masterplanning. Saya kira Romo Mangun dan Christopher Alexander pernah minum dari sumur yang sama. Yang perlu kita lakukan, saya rasa, adalah menjadi dokter, bukan dukun.

(Untuk menanggapi peserta yang menceritakan tentang satu kota lama di Kalimantan, di tepi sungai (tidak disebut di mana), yang akan digusur karena dianggap menghadapi masalah yang sama: kumuh; dan berharap daerah tersebut bisa diselesaikan seperti Kampung Code).

Saya punya pendapat yang sedikit berbeda dengan moderator. Menurut saya, masa depan kota justru ada di tangan anak-anak alay. Kita ini selalu serius, menganggap kota yang kita tinggali dingin, jumud, beku, membosankan. Namun kita sendiri tidak pernah mencoba berinteraksi dengan kota. Yang kita lakukan sehari-hari adalah berangkat dari rumah ke tempat kerja, dari tempat kerja ke rumah. Bandingkan dengan anak-anak alay yang selalu bisa menemukan alasan untuk merayakan apa saja. Mereka merayakan pertemuan antara mereka, mereka merayakan pertemuan mereka dengan benda-benda. Kota menjadi hidup ketika populasi anak alaynya besar. Teorinya begini –kalau saya boleh mengarang teori—kota ini adalah ruang yang sangat besar, dan karena terlalu besar itu dia menjadi tidak mudah dipahami. Ketika orang membuat, katakanlah seperti di Malang setahun belakangan ini, bangku-bangku taman di mana-mana, ruang yang tadinya sangat besar ini terpecah menjadi ruang-ruang yang lebih kecil. Ketika dia menjadi lebih kecil, orang jadi lebih bisa menjelaskan posisinya terhadap kotanya. Ruang publik yang sangat besar ini bukan serta-merta menjadi ruang privat, tapi terpecah menjadi ruang-ruang publik yang lebih kecil. Salah juga kalau kemudian, seperti berita di koran­, ada orang ambung-ambungan (ciuman, -red) di satu pojok kota Malang di tengah hari bolong. Toh, orang lalu tersinggung. Orang lain mungkin akan menyebut soal moral, tapi arsitek tidak pernah bicara soal moral. Arsitek lebih tersinggung karena ruang publiknya direbut oleh segelintir orang untuk dijadikan ruang yang privat. Dan ya, kita membutuhkan aksesori-aksesori perkotaan yang menggoda kita untuk berinteraksi dengannya.

(Untuk menanggapi moderator yang menggelisahkan perkembangan kota Malang yang menurut istilahnya menuju Jatimparkisasi, mengacu pada dibangunnya fitur-fitur permainan mirip wahana di Jatim Park di ruang-ruang terbuka publik di kota Malang.) ////////////////