Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) akan segera genap berumur dua tahun. Agar momen ini penuh makna, kami mengundang kontribusi 15-20 menit dari waktu Anda dengan mengisi angket. Masukan, ide, maupun kritik yang Anda berikan akan membantu membangun ASF-ID sebagai sebuah organisasi, sekaligus menjadi sebuah gerakan. Kesimpulan umum dari angket ini akan disampaikan saat Hari Kumpul Relawan 6 Mei 2017. Semoga di tahun-tahun mendatang ASF-ID tetap bisa menjadi wadah belajar menata ruang dan arsitektur untuk mencapai keadilan sosial, budaya, dan lingkungan. Kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan kami jamin sepenuhnya. Berikut tautan form Angket;
bagi relawan pemula:
bagi relawan yang sedang/pernah bergiat bersama ASF-ID:
Terima kasih atas kesediaan waktu dan tenaga teman-teman, untuk berkenalan, bergaul, dan bergiat bersama ASF-ID. Akhir kata, sampai jumpa di Hari Kumpul Relawan 2017!
Kamu relawan yang pernah bergiat di ASF-ID? Atau tertarik untuk mengenal lebih dekat dan ikut ambil bagian? Mari bertemu dengan semua teman-teman di Jakarta, Bandung, dan Malang pada hari Sabtu, 6 Mei 2017. Pada tanggal tersebut, setiap kota ASF-ID akan turut memaknai Hari Kumpul Relawan, mengadakan acara dengan tema sesuai konteks wilayah kerja masing-masing. Pada kesempatan ini, kesimpulan umum dari angket Suara Relawan juga akan disampaikan. Tunggu informasi selanjutnya atau hubungi kota-kota terdekat di:
Artikel ini dibuat sebagai catatan dari pemutaran dan diskusi film dokumenter The Pruitt-Igoe Myth yang disutradarai oleh Chad Freidrichs yang diselenggarakan oleh HIMA STHAPATI Arsitektur ITS berkolaborasi dengan ASF-ID pada tanggal 23 Maret 2017 lalu. Sebagai pemantik diskusi turut hadir Bapak Wahyu Setiawan dan Bapak Angger Sukma Mahendra selaku dosen arsitektur ITS.
Pruitt-Igoe dalam Kacamata Mahasiswa
Sebagai seseorang yang belum genap dua tahun mempelajari arsitektur, menonton film dokumenter Pruitt-Igoe sebenarnya justru membuat saya menjadi bingung tentang arsitektur, “sebenarnya opo seh arsitektur iku?” Bagaimana tidak, sebagai mahasiswa, saya lebih senang berselancar di situs-situs semacam Archdaily, Dezeen, dan membuka majalah-majalah semacam ‘20 Rumah Bergaya Minimalis’. Tak pernah pernah terbersit bagi saya bahwa pada tahun 1960-an, kasus Pruitt-Igoe menjadi kasus yang sangat menggemparkan dan mengubah arah pergerakan arsitektur, terutama dalam hal kebijakan terkait perumahan publik.
Pruitt-Igoe merupakan sebuah superblok yang terletak di kota St.Louis, Missouri, Amerika Serikat. Karya arsitek Minoru Yamasaki ini menjadi bahasan wajib di sekolah-sekolah arsitektur di mana pun. Kasus Pruitt-Igoe merupakan kulminasi dari kegagalan arsitektur modern, sebagaimana yang dikatakan oleh Charles Jencks, dan merupakan kajian yang menarik untuk dibahas dari sudut pandang pemukiman dan penataan perumahan. Kata-kata seperti kriminalitas, kemiskinan, rasialisme, disfungsi, selalu menjadi kata kunci dan label dari Pruitt-Igoe.
Kilas Sejarah Pruitt-Igoe
Wacana mengenai perumahan rakyat telah mulai disinggung saat Housing Act 1949 disahkan di Amerika Serikat. Salah satu penekanannya adalah mengenai pengadaan program rumah rakyat sewa rendah. Kemudian dalam perkembangannya, muncul pula kebijakan urban renewal yang bertujuan menggenjot income kota dengan ‘merayu’ pendatang untuk mau tinggal di di area-area baru yang dibuka oleh pemerintah. Dalam memenuhi upaya tersebut, beberapa kota mengusulkan program perbaikan slum dengan membangun superblok, di mana nantinya penghuni slum dan masyarakat pendatang dapat hidup berdampingan. Ibarat sekali kayuh dua pulau terlampaui, beberapa pemerintah kota berpikir bahwa dengan cara demikian mereka dapat membersihkan slum dan secara bersamaan dapat menaikkan pendapatan kota melalui pajak dari masyarakat pendatang. Salah manifestasi dari gagasan tersebut adalah superblok Pruitt-Igoe di St.Louis.
Secara desain, Pruitt-Igoe mempunyai kualitas yang baik yang seharusnya mempunyai impak langsung terhadap indeks kebahagiaan orang-orang yang tinggal di sana. Bagaimana tidak, Pruitt-Igoe menawarkan kemewahan bagi penghuninya yang rata-rata merupakan bekas squatter. Tiap unit dirancang sedemikian rupa sehingga cahaya matahari masuk sepanjang hari, begitupun ruang-ruang dalamnya mempunyai view yang baik. Belum lagi sistem elevatornya yang dirancang tidak berhenti di semua lantai agar sesama penghuni bisa saling berinteraksi. Tak heran, dalam beberapa cuplikan pada dokumenter ini ada bekas penghuni yang bersikukuh bahwa pengalaman tinggal di Pruitt-Igoe merupakan pengalaman yang menyenangkan dan tak tergantikan. A Poor Man’s Penthouse.
Namun, kemewahan tidak berhasil menjawab banyak tantangan yang sebenarnya. Dinamika politik dan ekonomi yang terjadi nyatanya membuat pemerintah tidak sanggup menopang biaya perawatan bangunan, sehingga kemudian dibebankan kepada penyewa rusun, yang mana sebagian besar adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini tentu berakibat pada tersendatnya perawatan, yang efeknya tentu saja menyebabkan banyak utilitas bangunan menjadi tidak berfungsi ; atap bocor, saluran air bocor, elevator tidak berfungsi, dan lain-lain. Sebuah kondisi yang akhirnya membuat kualitas ruang-ruang di dalam Pruitt-Igoe menjadi sangat buruk dan menyeramkan.
Kegagalan Pruitt-Igoe tidak hanya itu. Tujuan perbauran kulturalpun gagal terjadi karena warga kulit putih masih “jijik” untuk tinggal bersama warga kulit hitam dan kulit berwarna. Ya, penghuni di Pruitt-Igoe sebenarnya dirancang dengan proporsi seimbang antara pendatang kulit putih dengan pendatang kulit hitam, walau ternyata rasisme di Amerika Serikat masih sangat kental. Ironi lain yang terjadi adalah, bersamaan dengan dibangunnya Pruitt-Igoe banyak suburbs baru yang dibuka untuk mewadahi perumahan bagi kelas menengah, yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh warga kulit putih sebagai tempat tinggal dan hanya menjadikan area urban sebagai tempat bekerja. Alhasil komposisi warga kulit hitam di Pruitt-Igoe menjadi terlalu besar. Dan karena jumlah penyewa rusun semakin sedikit, biaya perawatan yang seluruhnya dibebankan ke penghuni yang tersisa menjadi kian tak tertanggungkan.
Lingkungan yang tidak terawat dan tingkat kemampuan ekonomi penghuni rusun yang semakin rendah menjadikan Pruitt-Igoe yang awalnya bertujuan untuk membersihkan slum malah justru menjadi sebuah vertical slum. Vandalisme, transaksi narkotika, pembunuhan, premanisme dan tindakan kriminal lainnya tumbuh subur di tempat ini. Seolah memang sudah beyond repair, polisi pun bahkan lepas tangan dan enggan menyentuh kawasan Pruitt-Igoe. Segala upaya mungkin sudah dipikirkan oleh pemerintah sehingga akhirnya mereka menyepakati satu solusi untuk masalah yang kompleks ini; yaitu dengan meratakan Pruitt-Igoe. Demikianlah, pada sore hari, tanggal 15 Juli 1972, superblok ini resmi diruntuhkan, menutup sejarah kelam salah satu pengembangan public housing yang gagal.
Dari ulasan singkat dokumenter di atas, akhirnya muncul beberapa hal yang mengusik saya akan arsitektur yang saya pahami selama ini.
Arsitektur itu politis
Saya masih tetap pada pendirian bahwa apabila dilihat dari segi desain, Pruitt-Igoe memiliki konsep dan tujuan yang baik. Masalah kemudian muncul ketika pemerintah menyerah dalam pembiayaan perawatan gedungnya, alasan yang membuat banyak fungsi dalam gedung Pruitt-Igoe terganggu. Gangguan fungsi tersebut akhirnya memicu konsekuensi-konsekuensi negatif lainnya.
Menurut saya, jika pemerintah memang ingin membuat rusun untuk masyarakat menengah ke bawah, seharusnya sudah disertai dengan skema pembiayaan dan maintenance yang matang, entah itu dengan membiayai penuh atau melalui subsidi. Saat ini Pruitt-Igoe memang dikenal dari kegagalannya, dan meskipun sumbangsih arsitektur dalam kegagalan ini merupakan impak yang tidak langsung, saya yakin, sebagai arsitek, rasa bersalah itu hadir di dalam hati Minoru Yamasaki. Mungkin memang, pada konteks ini, peran arsitek hanya sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan pemerintah. Mungkin memang, profesi terbaik yang menjalankan arsitektur adalah politisi.
Arsitektur hanyalah alat
Melanjutkan poin di atas, saya tertarik untuk mengamati bagaimana rancangan elevator di Pruitt-Igoe, yang hanya berhenti di lantai-lantai tertentu saja, ternyata gagal memicu penghuninya untuk berinteraksi secara positif karena pada titik-titik inilah justru sering terjadi kriminalitas. Mengapa bisa begitu? Besar kemungkinan karena pada titik-titik dimana orang mudah bertemu dan berinteraksi, malah membuka peluang untuk melancarkan tindakan kriminal. Tentu ini punya kaitannya dengan fungsi utilitas bangunan yang buruk, pengawasan yang tidak ada sama sekali, dan sense of belonging yang kurang dari penghuninya. Dalam kasus ini, peran arsitektur terbukti tidak mampu membentuk pola perilaku dari penghuninya. Sebagai arsitek, kita bisa melihat intensi Yamasaki, yang dengan sadar menggunakan pendekatan arsitektural sebagai alat untuk memicu orang-orang untuk berinteraksi, entah interaksinya positif atau negatif. Apa yang mempengaruhi pola perilaku penghuni ternyata datang dari berbagai faktor yang kelihatannya jauh di luar kapasitas arsitektural.
Arsitektur selalu kontekstual
Pertanyaan mengenai mengapa dahulu superblok seperti Pruitt-Igoe muncul tentu tak lepas dari berbagai tuntutan pada masanya. Pasca Perang Dunia ke-2, Amerika Serikat mempunyai beban untuk menyediakan tempat tinggal bagi veteran-veteran perang yang kembali ke AS. Dengan kembalinya sekian ratus ribu tentara ke tanah asal dan prakiraan akan ledakan populasi yang terjadi di area urban, pilihan untuk menciptakan hunian secara massal dan segera tentu menjadi konsekwensi logis pada masa itu. Hal ini tak lepas dari mindset arsitektur modern yang serba praktis dan berorientasi pada solusi. Akhirnya muncullah style-style bangunan vertikal yang berbentuk blok masif, kaca, dan bermaterial beton di mana-mana. Pengaruh itu pun diadaptasi pada Pruitt-Igoe.
Dalam konteks penyediaan hunian massal untuk masyarakat St.Louis, Pruitt-Igoe dapat dikatakan berhasil. Perihal kita melihatnya dari konteks lainnya tentu menuntut jawaban yang lain pula. Bagaimanapun dimasa itu banyak bangunan hunian vertikal serupa yang berhasil, yang bahkan bertahan hingga sekarang. Penekanannya adalah, semua objek arsitektur tidak pernah berada pada ranah hitam-putih. Terminologi ‘arsitektur yang berhasil’ selalu bisa diperdebatkan berdasarkan konteksnya. Dan menurut saya, baiknya arsitektur memang harus selalu terbuka untuk dibongkar dan dipertanyakan kembali.
***
Pada akhirnya, menonton Pruitt-Igoe dan belajar mengenai kegagalan sebuah gagasan (saya tidak mengatakan kegagalan arsitektur, karena sekali lagi arsitektur itu kontekstual dan multidimensi), secara bersamaan membuka mata saya sekaligus membongkar semua pemahaman saya terhadap arsitektur selama ini. Mungkin saya harus memulai kembali dari titik yang lebih realistis mengenai sejauh mana arsitektur mampu mempengaruhi manusia dan semua yang ada di sekitarnya. Namun satu hal yang saya yakini, arsitektur lebih dari sebuah “20 Rumah Bergaya Minimalis.” (aiw)
Istilah arsitektur rakyat adalah istilah yang semakin sering terdengar akhir-akhir ini. Rasa penasaran yang besar membuat saya memilih untuk melakukan kerja praktik di lembaga yang memang dekat dengan isu arsitektur rakyat, dan saya memilih ASF Indonesia (ASF-ID). Setelah mengajukan diri, memenuhi syarat dan ketentuan, saya pun diterima sebagai relawan magang/kerja praktik. Kerja praktik ini saya lakukan selama 2,5 bulan di Bandung, di mana selama masa itu saya belajar untuk melihat lebih dekat bagaimana masyarakat menciptakan dan menggunakan ruang-ruang di sekitar mereka.
Kerja praktik saya dimulai pada awal bulan Desember 2016. Ketika itu salah satu proyek yang sedang dikerjakan ASF-ID adalah PAUD Nur Hikmat di Tasikmalaya. Perancangan PAUD Nur Hikmat ini dilakukan dengan metoda partisipasi, maksudnya proses perancangan juga melibatkan peran serta dari orangtua, guru, serta pengelola PAUD.
PROSES PERANCANGAN PAUD NUR HIKMAT, TASIKMALAYA
Sebagai gambaran awal, selama ini kegiatan belajar mengajar di PAUD dilakukan di dalam garasi salah satu rumah pengelola. Kondisi yang tidak ideal ini membuat operasional PAUD menjadi sedikit terhambat. Beberapa waktu kemudian, PAUD mendapat hibah tanah yang berupa tanah persawahan yang dekat dengan sungai. Konsep baru PAUD kemudian diarahkan untuk menjadi sekolah alam, dimana denah ruang-ruang sekolah dirancang bersama-sama dengan orangtua, guru, serta pengelola. Struktur bangunan diputuskan untuk menggunakan material bambu yang dengan mudah diakomodasi oleh masyarakat. Dan untuk mengurangi biaya pembangunan, konstruksi pondasi diputuskan untuk menggunakan umpak dari buis beton yang diisi kerikil. Model umpak ini (umpak berongga) dikembangkan oleh Eugenius Pradipto, seorang dosen UGM yang memiliki spesialisasi di struktur bambu.
Di awal kerja praktik, saya sempat ditanyai mengenai sejauh mana pengetahuan saya mengenai material bambu. Sayangnya selama dua tahun berkuliah, pengetahuan mengenai material bambu hanya pernah saya rasakan melalui kegiatan himpunan di kampus lewat pembuatan instalasi pada awal masa kuliah dulu. Istilah-istilah seperti ‘pendekatan partisipatoris’ ataupun pengetahuan tentang material bambu baru saya dapatkan setelah bergabung bersama ASF-ID.
Pada awal perancangan, saya juga belajar tentang pembuatan maket dengan bahan tusuk sate, bor, lem, dan jarum yang berfungsi sebagai baut. Menurut salah satu mentor, pada perancangan yang menggunakan material bambu, pembuatan maket menjadi titik kritis karena sangat membantu dalam pengujian kekuatan struktur dan mengevaluasi sambungan-sambungan bambu yang dipakai. Melalui maket, perkiraan mengenai kekuatan dan kestabilan stuktur juga dapat didekati secara lebih real. Pada proyek PAUD ini kestabilan stuktur baru dicapai pada alternatif desain yang ke-2. Pada pembuatan maket pertama didapati bahwa strukturnya kurang stabil karena sifat pondasi yang tidak mengikat stuktur bangunan.
Selain untuk menguji kekuatan stuktur bangunan, saya juga belajar bagaimana pembuatan maket ternyata sangat efektif untuk mengkomunikasikan desain kepada masyarakat dan mempermudah komunikasi dengan tukang pada saat konstruksi. Melalui sarana maket pun dapat dibuat simulasi sederhana mengenai proses kontruksi, sehingga pada pelaksanaannya nanti tahapan-tahapan dan prosesnya tidak melenceng jauh dari tahapan pembuatan maket.
BERGIAT DI KAMPUNG KOTA
Selain proyek PAUD, selama kerja praktik saya juga mengikuti beberapa kegiatan ASF-ID di kampung kota. Antara lain, mengunjungi Kampung Pasirluyu. Kampung Pasirluyu di bantaran Sungai Cikapundung yang membelah Bandung dari Utara ke Selatan. Sebelumnya, ASF-ID pernah melakukan kegiatan pemetaan di Kampung Pasirluyu dengan dukungan Perween Rahman Fellowship 2015. Lalu, rekan-rekan mahasiswa Arsitektur UPI pun bergabung mengadakan workshop dari Agustus-November 2016.
Menanggapi hasil kegiatan pemetaan dan perumusan masalah bersama, Karang Taruna di Kampung Pasirluyu mengusulkan taman terbuka hijau yang akan diutamakan untuk kegiatan anak-anak dan remaja. Permasalahan lapangan yang kemudian ditemui antara lain ketersediaan lahan terbuka yang bisa dimanfaatkan bersama hingga bagaimana secara swadaya mengumpulkan dana, baik dari program pemerintah maupun warga sekitar.
Dari berbagai kendala lapangan yang dihadapi saat bertemu warga kampung, saya berfikir bahwa metoda partisipatoris tidaklah sesederhana kelihatannya. Salah satunya karena sistem di dalam komunitas bukanlah sesuatu yang mapan karena kenyataannya warga memang bukan entitas yang tunggal. Warga sendiri terdiri dari banyak kelompok-kelompok masyarakat.
Warga pun terkadang menemui kendala memahami bahwa pegiat-pegiat yang datang dan mengusahakan kerjasama bisa datang dari berbagai lembaga dan bisa jadi akan sangat cair. Pada saat proses datang kepada warga di Kampung Pasirluyu, kami masih dikenal dengan sebutan ‘teman-teman UPI’. Memang kadang penamaan tersebut kondisional dan cair dengan relasi-relasi yang lentur. Almamater atau institusi pendidikan menjadi label atau pintu masuk yang kemudian paling mudah diingat untuk warga kampung.
PENUTUP
Mungkin memang istilah ‘arsitek swadaya’ atau ‘arsitek komunitas’ masih belum menjadi istilah yang akrab bagi warga sendiri. Namun begitu, sempat muncul keingintahuan dari warga, mengapa ASF-ID banyak bergiat di kampung-kampung kota. Usie, salah satu pembimbing saya selama kerja praktik, berpendapat bahwa kampung kota merupakan bagian penting dari kota. Kampung berkontribusi terhadap citra kota, begitupun dalam menopang ketahanan ekonominya. Saya melihat bahwa mungkin inilah yang dimaksud dalam slogan ASF-ID, “arsitektur tanpa batas” bahwa sejatinya setiap manusia berhak atas ruang hidup yang layak, yang mana sering tidak terjadi pada warga yang termarjinalkan dalam lingkup kampung kota.
Budaya diskusi yang cair dan hangat menjadi kultur yang saya temui di Sekretariat Nasional ASF-ID. Diskusi-diskusi ini juga menjadi sarana belajar yang sayang untuk dilewatkan. Pengalaman selama 2,5 bulan bekerja bersama teman-teman ASF-ID harus saya akui telah memberikan banyak pelajaran, membuka wawasan, dan mengisi saya dengan pengetahuan baru. Terimakasih kepada teman-teman ASF-ID: Cak-cak, Siska, Usie, Kristo, Uji, Frans, Take, Vani, Theo, dan teman-teman ASF-ID lainnya. Semoga apa yang saya dapatkan selama kerja praktik bisa terus tumbuh dan menyuburkan keingintahuan serta kesukarelaan untuk bekerja bersama masyarakat ke depan.