Kampung-scale Waste Management Platform (KASEP)

KASEP: Sistem Pengelolaan Sampah untuk Warga Kampung Kota
Indonesia’s Top 12 Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016

 

Masyarakat selaku penghasil sampah harus ikut berperan dalam pengelolaan sampah sebagai amanat UU No. 18 Tahun 2008 dan Perda No. 09 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah Kota Bandung. Kampung kota, seringkali dikaitkan dengan informalitas, adalah penyusun terbesar struktur terbangun kota dan penyumbang sampah utama. Kampung kumuh, maka kota kumuh. Namun di sisi lain, berdayanya kampung akan menjadi kontribusi yang amat sangat besar terhadap kebersihan kota.

Menilik kesenjangan dan potensi antara tata kelola formal dan informal seperti kampung, tiga lulusan muda arsitektur dengan dukungan ASF-ID, Kristo, Usie, dan Siska, mengolah konsep aplikasi pengelolaan sampah berbasis peta. Konsep tersebut diajukan dalam ajang Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016, pada bulan Maret lalu. KASEP: Kampung-scale Waste Management Platform menjadi bagian Top 12 yang terpilih dari 100 lebih partisipan di Indonesia.

Simak saduran kisah kegiatan-kegiatan nyata yang mendasari konsep KASEP dalam format komik.

 

INDONESIA DARURAT SAMPAH

Indonesia mengalami darurat sampah[1]. Tata kelola persampahan seringkali tidak dapat mewadahi dinamika dan realita. Aktivitas manusia makin banyak menyisihkan material terbuang terlebih lagi di perkotaan. Timbulan sampah terjadi di area berkepadatan penduduk tinggi di mana sarana kelola dan lahan penampungan terbatas.

Kota Bandung pun tidak luput dari permasalahan itu. Setiap hari, kota Bandung menghasilkan 1500-1600 ton sampah.[2] Lebih dari separuh sampah tersebut adalah sampah organik.[3]  Namun nyatanya, 30% dari total sampah per hari tidak dapat ditransportasikan karena berbagai kendala[4].

Tata kelola sampah Indonesia sudah mengenal Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) maupun usaha-usaha pengolahan lain. Akan tetapi, tata kelola masih cenderung mengutamakan konsep pemindahan sampah dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Pengumpulan Akhir (TPA). Di kota Bandung, terdapat 160 TPS, 10 di antaranya adalah TPST.

Sebanyak 1000-1100 ton sampah Bandung dipindahkan setiap hari ke TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung. Pemindahan sampah ini mengandalkan sarana-sarana perusahaan daerah maupun swasta. Semakin banyak sampah yang harus dipindah, semakin besar pula upaya transportasi sampah.

Sebelum proses pengolahan dan pemindahan sampah oleh Perusahaan Daerah Kebersihan (PD Kebersihan), terjadi proses manajemen sampah di masing-masing tempat timbulan sampah. Sumber sampah terbesar kota Bandung adalah permukiman yang mencapai 65% dari total sampah.

Tabel 1. Sumber sampah kota Bandung (PD Kebersihan Action Plan 2014)

No. Sumber Sampah Ton %
1 Permukiman 983.40 65.56
2 Pasar 281.55 18.77
3 Jalan 82.80 5.52
4 Daerah Komersil 89.85 5.99
5 Institusi 42.15 2.81
6 Industri 20.25 1.35
  TOTAL 1.500 100

Manajemen sampah berbeda satu sumber ke sumber yang lain. Pada permukiman swadaya seperti kampung kota, warga mengelola secara swadaya dengan perangkat RT dan RW. Beberapa permukiman formal/privat memiliki sistem kelola masing-masing. Pun industri, institusi dan komersial memiliki pengelola setempat. Berikut skema operasional manajemen dan transportasi sampah yang disiarkan oleh PD Kebersihan Bandung:

5

Gambar 1. Operasional komersil dan nonkomersil
(diolah dari Peraturan Daerah Kota Bandung No 09 Th. 2011 Tentang Pengelolaan Sampah)

 

4
Gambar 2. Operasional rumah tinggal
(diolah dari Peraturan Daerah Kota Bandung No. 09 Th. 2011 Tentang Pengelolaan Sampah)

Permukiman menghasilkan sampah terbesar (65%). Selain karena kepadatan penduduk yang tinggi, permukiman bertipologi kampung memang menyusun 46.12% lahan terbangun di kota Bandung. Prosentase ini jauh lebih besar dibandingkan permukiman formal, industri, dan jasa.

 

Gambar 3. Diagram lahan terbangun kota Bandung (diolah dari Widjaja, 2003)

 

Kesimpulan dapat kita tarik dari data-data yang terkumpul. Terdapat kesenjangan struktur antara informalitas dan formalitas. Di luar retribusi, institusi komersial maupun nonkomersial memiliki kelebihan tersendiri karena dapat mengelola sampah dengan sumber daya profesional (berbayar). Sedangkan persampahan di ruang-ruang informal tidak memiliki keistimewaan tersebut. Pengelolaan swadaya sering mengalami kendala baik dari segi teknis, pengetahuan, dan kesadaran masyarakat.

Kesenjangan tersebut menjadi masalah. Dilihat dari data sumber sampah, lahan terbangun, hingga skema operasional; permukiman terutama kampung menduduki posisi yang pelik. Apabila kampung kumuh, maka kota pun menjadi kumuh. Namun di sisi lain jika kampung berdaya menata diri, upaya-swadaya kampung akan menjad kontribusi yang sangat besar terhadap kota.

 

PLATFORM MANAJEMEN PERSAMPAHAN SKALA KAMPUNG

KASEP, Kampung-scale Waste Management Platform, dikonsepkan sebagai sebuah tools persampahan yang dapat digunakan warga per skala kampung kota. Platform ini bisa digunakan untuk membantu perencanaan dan pengelolaan persampahan komunitas yang dirintis oleh swadaya maupun mitra warga.

Konsep platform ini adalah berbagai fitur manajemen persampahan yang terintegrasi dengan peta dasar terolah. Peta dasar seperti Google Map dan Open Street Map diolah dengan peta kampung yang telah dipetakan secara partisipatif bersama warga.

 

Gambar 4. Rancangan UI dan fitur-fitur KASEP

Empat kelompok fitur yang dirancang adalah:

1. Mobilitas
– Rute pengelolaan resmi
– Input rute pengelolaan swadaya

2. Kuantitas
– Input data berbagai jenis dan kuantitas sampah seperti (1) organik, (2) daur-ulang, dan (3) berbahaya

3. Kualitas
– Lokasi terkait persampahan di skala komunitas dengan input informasi antara lain (1) deskripsi, (2) rating, dan (3) foto.
– Lokasi yang dapat dipetakan dalam skala kampung antara lain: (1) TPS, (2) TPST, (3) tempat pembuangan informal, (4) bank sampah, (5) biodigester, (6) komposter, (7) pengumpul barang bekas, dll.

4. Layanan masyarakat
– Kalender kegiatan persampahan (contoh: satu hari pengumpulan sampah plastik dalam seminggu, event penyuluhan bank sampah, dll)
– Layanan pendataan retribusi sampah

THEORY OF CHANGE

Gambar 5. Theory of change

Platform KASEP dirancang untuk dibentuk oleh aksi dan partisipasi nyata warga kampung kota. Visibilitas dan visualisasi adalah kata kunci yang penting di era digital dewasa ini. Basis peta dipilih karena peta dapat digambarkan tidak hanya secara digital, tetapi juga secara analog dan sederhana oleh siapapun—lintas umur, gender, bahkan level pendidikan. Pemetaan partisipatif menjadi pelengkap peta dasar yang disediakan oleh layanan publik.

Hasil peta partisipatif penting, terutama karena peta struktur ruang kampung/permukiman informal tidak semua terdata di peta layanan publik. Kenyataaan tersebut mengungkap bahwa pada dasarnya, ruang kampung belum dianggap sepenuhnya sebagai data penting. Proses dan hasil visualisasi akan mempermudah pemahaman sistem dan ruang baik bagi warga maupun petugas.

platform

Gambar 6. Tatanan platform KASEP di sisi teknologi maupun implementasi

 

Dengan konsep tersebut, petugas dan pengguna platform akan mendapatkan sebuah metode baru yang dapat membantu pendekatan konvensional seperti sosialisasi dan penyuluhan.

 

MELIHAT KE DEPAN

Titik mula konsep KASEP berawal dari kesenjangan tata kelola maupun ketersediaan data antara formalitas dan informalitas. KASEP dirancang untuk menjadi jembatan tidak hanya dari segi tata kelola tetapi juga keberlanjutan. Pilot project KASEP ditujukan bagi komunitas kampung kota. Namun dalam roadmap pertumbuhannya, platform KASEP yang sudah dikembangkan dapat digunakan lebih lanjut oleh permukiman formal maupun sektor privat. Monetisasi yang didapatkan dari proses tersebut dapat digunakan untuk menjaga keberlanjutan platform agar tetap tersedia bagi warga kampung kota.

roadmap

Gambar 7. Peta pertumbuhan KASEP

Urgensi kampung kota untuk berjejaring juga tidak kalah penting. Partisipasi berjejaring tidak hanya akan menghasilkan data komprehensif, tetapi juga upaya yang sistematis. Selain sebagai ruang hunian terjangkau, kampung juga merupakan ruang ekonomi, sosial dan budaya. Segala aktivitas warga yang terangkum telah membentuk jejaring kota. Kini saat yang tepat untuk mengarahkan langkah agar potensi tersebut tidak hilang, akan tetapi diberdayakan dan dihargai. Untuk menuju kota yang inklusif, aman, tahan, dan berlanjut seperti diamanatkan di SDG 11, partisipasi warga tanpa kecuali adalah syarat yang terutama [5].

 

 

Referensi:
[1] Indonesia Darurat Sampah. http://properti.kompas.com/read/2016/01/27/121624921/Indonesia.Darurat.Sampah. diakses Oktober 2016
[2] PD Kebersihan Kota Bandung, Action Plan 2014
[3] Ibid
[4] Profil PD Kebersihan Kota Bandung, 2016
[5] Sustainable Development Goals: SDG 11. Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable. https://sustainabledevelopment.un.org/sdg11. diakses Oktober 2016

 

Mitos Pruitt-Igoe: Sejarah dan Latar Belakang

Artikel ini ditayangkan terkait dengan pemutaran berseri film dokumenter The Pruitt-Igoe Myth di Bandung, Yogyakarta, Solo, Makassar, Semarang, Depok, Jakarta, dan kota-kota lain sepanjang bulan Juni. Pemutaran film merupakan kerjasama antar komunitas akademik, lintas profesi, maupun masyarakat sipil bersama ASF-ID. Proses penerjemahan subtitle ke dalam Bahasa Indonesia dilaksanakan oleh para relawan. Apabila tertarik untuk menyelenggarakan pemutaran, sila hubungi kami.

 

Pruitt Igoe Collapse Series
Gambar 1 Penghancuran Rusun Pruitt-Igoe April 1972, penghancuran kedua juga disiarkan dalam siaran televisi nasional Amerika. (Wikimedia)

Pruitt-Igoe adalah kompleks rumah susun sewa di kota Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Awalnya, ia dipuji-puji sebagai “oasis di tengah gurun” atau “penthouse si miskin”. Terletak di lahan seluas 23 hektar, Pruitt-Igoe memiliki 33 gedung masing-masing dengan 11 lantai. Selesai dibangun tahun 1956, mega-block ini memiliki 2,870 unit hunian.

Kompleks Pruitt-Igoe diperuntukkan bagi kelas-menengah dari ras kulit putih dan kulit hitam. Kedua ras disegregasi ke gedung-gedung berbeda. Dalam satu dekade pertama, Pruitt-Igoe menjadi rusun bobrok yang dihuni minoritas kulit hitam miskin. Sebelum dekade kedua terlampaui, Pruitt-Igoe mulai dihancurkan dan dibongkar. Kondisi fisik dan sosial begitu hancur sehingga pemerintah merasa tidak memiliki pilihan lain.

Pruitt-Igoe terkadang dihadirkan di ruang kelas Arsitektur sebagai simbol matinya arsitektur modernis.[1] Sungguh perlu menilik krisis perencanaan dan desain dalam konteks ini. Namun dibalik citra-citra ikonik Pruitt-Igoe, sebaiknya kita juga mencoba mempelajari konteks sosial, rasial dan ekonomi kota serta Perumahan Rakyat di Amerika.

Peraturan Perumahan Nasional Tahun 1949

Pada 15 Juli 1949, Presiden Truman menandatangani The 1949 Housing Act. Peraturan tersebut adalah Peraturan Perumahan pertama yang lengkap dan komprehensif di Amerika, mengatur perihal penyediaan rumah yang layak untuk setiap warga negara Amerika Serikat.[2] Klausul Kesejahteraan Umum Konstitusi Negara pun diusung:

bahwa pemerintah harus berperan dalam mengembangkan kesejahteraan umum, dengan mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya edukasi warga negara dan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.

Tujuan Peraturan 1949 adalah menyediakan “rumah dan lingkungan hunian yang layak dan pantas bagi setiap keluarga Amerika.” Salah satu dari enam bagian, khusus berjudul: “Title III – Low-Rent Public Housing” (Perumahan Rakyat dengan Sewa Rendah).  Dalam jangka waktu 6 tahun akan dibangun 810.000 unit hunian untuk keluarga berpenghasilan rendah.

Setelah tahun 1945, Amerika Serikat mengalami masa pasca Perang Dunia II. Sekitar 15 juta veteran perang kembali ke dalam negeri, membutuhkan hunian. Terdapat potensi pertumbuhan jumlah penduduk dan keluarga baru. Sedangkan 50% hunian di Amerika ditengarai oleh Sensus dalam kondisi tidak layak.[3] Salah satu kebijakan masa perang memang adalah pelarangan pembangunan rumah-rumah baru demi penghematan material nasional.

Pembangunan Perumahan Rakyat diharapkan akan menyediakan hunian bagi 3.5 juta warga Amerika dengan budget nasional sejumlah $308 juta/tahun. Peraturan 1949 juga memperluas peran lembaga pemerintah terkait kredit perumahan sektor privat yang sebelumnya hanya melayani kelas menengah ke atas.

Peraturan 1949 tidak serta merta mulus disahkan. Setahun sebelumnya, tudingan-tudingan politis tentang “peraturan sosialis” atau “paham sosialisme yang menyusup” dilemparkan berbagai pihak. Beberapa pihak opisisi antara lain anggota koalisi Partai Republikan yang berafiliasi dengan Banking Comittee (Komite Bank) serta U.S. Chamber of Commerce (Kamar Dagang Amerika).[4]

Perumahan Rakyat versus Urban Renewal

Pelaksanaan peraturan 1949 terus-menerus mengalami pembaharuan selama satu dekade. Dimulai dari periode presiden Eisenhower yang menyunat jumlah unit hunian terbangun. Tidak hanya itu, Eisenhower dengan Housing Act 1954 menekankan program urban renewal dibandingkan program lain.[5] Salah satu tujuan urban renewal adalah pengembangan ulang pusat-pusat kota menjadi menarik. Pusat kota yang menarik mendatangkan profit dan pajak yang cukup tinggi.

Lingkaran-lingkaran slum atau kawasan kumuh yang tumbuh mengelilingi pusat kota semakin dilihat sebagai lawan dari urban renewal. Bahkan di tahun 1956, dalam debat Undang-Undang diusulkan bahwa kota harus memiliki program kongkret pembersihan kawasan kumuh (slum clearance) sebelum bisa mengakses dana subsidi perumahan rakyat yang tidak seberapa.[6] Amandemen tersebut tidak diterima.

Di sisi lain, Peraturan 1949 memang menyediakan pendanaan dari pusat untuk pelaksanaan akuisisi kawasan kumuh. Pemerintah negara bagian melengkapi dana pemerintah pusat yang menanggung dua pertiga dari anggaran akuisisi lahan. Proses tersebut disebut proses eminent domain.

Urban Sprawl di Rio Rancho, New Mexico, Amerika Serikat (Bradly Salazar)

Urban renewal terkait erat dengan urban sprawl. Sprawl di Amerika disebut juga the flight-from-blight atau eksodus kelas menengah yang mampu membeli rumah di area suburban – meninggalkan pusat kota yang mulai menua, kumuh, dan penuh kriminalitas. Meningkatnya kekayaan menyebabkan gaya hidup berkendaraan pribadi turut meningkat.[7] Membeli rumah di pinggir kota menjadi pilihan terjangkau bagi kelas menengah dibandingkan tetap menyewa hunian di dalam kota. Kota-kota satelit yang dibangun sektor privat pada waktu itu dirancang untuk keluarga kelas menengah kulit putih.

Suburbanisasi eksesif tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut:

…pola penggunaan lahan di wilayah perkotaan yang menunjukkan rendahnya tingkat: kepadatan, kontinuitas, konsentrasi, clustering, keterpusatan, nuclearity, mixed-use, dan proximity.[8]

Di pusat kota, urban renewal mencoba merevitalisasi apa yang ditinggalkan oleh penghuninya. Dengan eminent domain, pemerintah dapat merelokasi warga yang dianggap kumuh dan mengakuisisi lahan dengan membelinya. Salah satu eksekusi eminent domain, yaitu pembelian lahan, bahkan tidak selalu memerlukan persetujuan dari sang pemilik atau penghuni lahan.

Namun, urban renewal hampir tidak memberi tempat untuk pembangunan kembali in-situ perumahan terjangkau bagi warga yang digusur. Lahan yang dibersihkan diberikan kepada pengembang yang akan membangun perumahan mewah untuk warga kelas atas, zona ruang terbuka, atau bentuk-bentuk commercial-enterprise yang meningkatkan nilai real-estate.

Presiden Johnson di tahun 1965 dan 1966, menggulirkan dana yang besar di masa itu yaitu $2.9 milyar untuk pelaksanaan urban renewal dan relokasi ras minoritas dari kawasan kumuh.[9]

Mitos Pruitt-Igoe

Berbagai badan simpan-pinjam yang didukung Peraturan 1949, turut membantu tumbuh suburnya perumahan – termasuk perumahan-perumahan sprawl di area suburban-rural. Perumahan Rakyat, ironisnya digadang oleh Peraturan yang sama, kandas di tengah jalan setelah mengalami dinamika yang melelahkan. Terutama berturut-turut di pemerintahan Presiden Reagan dan Bush (1981-1993), Perumahan Rakyat tidak menemui nasib yang baik.

Warga minoritas yang terkena dampak urban renewal sering menyebut dalih itu sebagai ‘Negro removal’. Sebuah mekanisme yang didukung pemerintah untuk merelokasi warga minoritas miskin dan memberikan lahan untuk pengembangan yang memperbesar jurang segregasi ras dan kelas. Relokasi membuat warga minoritas kulit hitam, untuk pertama kali, tinggal jauh dari pusat pekerjaan di kota. Di sisi lain kondisi ekonomi kota pun tidak mengalami peningkatan karena kepergian kelas menengah.

Hancurnya Pruitt-Igoe (The Pruitt-Igoe Myth, 2011)

Pruitt-Igoe dianggap oleh penghuni-penghuni perdananya sebagai penthouse untuk si miskin. Hunian modern dengan fasilitas listrik dan air ledeng itu sangat berbeda dari rumah petak yang dahulu mereka huni. Beberapa bekas penghuni membagikan kesan dan cerita mereka dalam film dokumenter The Pruitt-Igoe Myth (2011). Hingga di akhir tahun 1960-an, Pruitt-Igoe mendapat reputasi buruk sampai ke dunia internasional untuk kemiskinan, kriminalitas, dan segregasinya.[10]

Salah satu permasalahan yang disorot dalam dokumenter The Pruitt-Igoe Myth adalah kerusakan bangunan. Rusun yang diharapkan penuh ternyata kosong di dekade 60-an. Terpeliharanya bangunan modern yang masif dan rumit oleh petugas amat bergantung pada pembayaran sewa. Sistem yang sangat bergantung pada uang sewa itu menjadi satu faktor memberatkan bagi penghuni minoritas miskin. Sebelum kehancurannya, organisasi penyewa berkali-kali melakukan protes dan demo untuk masalah pengelolaan, perbaikan dan pengurangan biaya sewa.

Penghuni sempat mendapatkan penurunan biaya sewa. Namun akhirnya, pembiaran yang menahun membuat bangunan-bangunan itu hancur. Jalur pipa, jendela, dan sistem persampahan rusak parah. Kehancuran fisik bangunan seakan menandai pungkasnya kehancuran Pruitt-Igoe. Pruitt-Igoe, bagi beberapa orang, sudah menghancurkan diri dari dalam sebelum akhirnya diledakkan dengan dinamit.

Pada 16 Maret 1972, penghancuran pertama bangunan di Pruitt-Igoe disiarkan di televisi nasional. Satu bulan kemudian, penghancuran kedua juga disiarkan. Foto ikonik penghancuran sangat berpengaruh di berbagai bidang – dari perencanaan kebijakan hingga arsitektur. Sejarah panjang Perumahan Rakyat dan berubahnya kota Amerika turut tergambar di situ.

1956, St. Louis, Missouri, USA — 1956 aerial view of the massive Pruitt-Igoe housing project in St. Louis. Minoru Yamasaki, architect. — © Bettmann/CORBIS

Dalam ikatan keprofesian arsitek Amerika pun muncul kritik terhadap Pruitt-Igoe.[11] Di masa kini, mudah bagi beberapa praktisi dan akademisi untuk melihat bahwa Pruitt-Igoe tidak mengindahkan faktor skala dan keberagaman fungsi (mixed-use). Penyeragaman bentuk dari rancangan awal telah dilakukan demi mengurangi anggaran. Skala pembangunan dianggap tidak sesuai dengan bentuk kota (lihat Gambar 4). Kolaborasi multidispliner antara pembuat kebijakan dengan semua profesi terkait pembangunan sangat mendesak dibutuhkan.

Banyak kritik lain tersirat maupun terucap dalam film The Pruitt-Igoe Myth. Bangunan modern dan high-maintenance tersebut ternyata tidak bisa bertahan. Terdapat masalah pengunaan, pembiaran dan kurangnya dana dari biaya sewa maupun anggaran pemerintah. Program rusun tidak responsif maupun partisipatif terhadap kebutuhan dan kondisi sosial-ekonomi penghuni. Lingkungan penuh teror dan ketakutan, terbentuk dalam waktu satu dekade saja, menciptakan kondisi yang tidak berkelanjutan.

Pola perubahan kota terkait dengan banyak faktor. Dalam konteks Peraturan 1949 dan kasus Pruitt-Igoe di Amerika, terlihat jelas bahwa penyediaan fisik perumahan saja tidak cukup mengatasi permasalahan perkotaan. Walau penyediaan diawali dengan niat baik, banyak dinamika politik dan ekonomi terjadi.

Kesejahteraan umum dan keadilan sosial nisbi di hadapan kebutuhan industri. Minoritas yang miskin ekonomi maupun hak partisipasi terus tersingkir dalam perubahan kota; perubahan sosial, ekonomi, maupun bentuk fisiknya. Setengah abad kemudian, asap dan debu Pruitt-Igoe seakan masih menghantui Amerika.

Kota akan terus berubah. Dalam perubahan kota-kota di masa global ini, menilik sejarah dan pola yang pernah terjadi adalah kebutuhan imperatif. Kota akan berubah, tetapi dalam cara yang berbeda dari sebelumnya. Ketika kelak kota berubah, ingatlah lagi Pruitt-Igoe (The Pruitt-Igoe Myth, 2011).

[1] Moore, Rowan. Pruitt-Igoe: death of American urban dream. 26 Feb, 2012. http://www.theguardian.com/artanddesign/2012/feb/26/pruitt-igoe-myth-film-review diakses 20 Mei 2016

[2] Freeman, Richard. (1996) The 1949 Housing Act versus ‘urban renewal’ dalam EIR Vol. 23, N0. 50, 13 Desember 1996, hlm 27-29.

[3] Ibid, hlm 27

[4] Ibid, hlm 28

[5] Ibid, hlm 28

[6] Ibid, hlm 28

[7] Miller, Mark. What Causes Sprawl? 2 Oktober 2003. http://www.ncpa.org/pub/ba459 diakses 20 Mei 2016

[8] Galster et al (2001). “Wrestling Sprawl to the Ground: Defining and Measuring an Elusive Concept.” dari Wassmer (2005) Causes of Urban Sprawl (Decentralization) in the United States.

[9] Freeman, Richard (1996), hlm 29.

[10] Wikipedia. Pruitt-Igoe. https://en.wikipedia.org/wiki/Pruitt–Igoe. Diakses 20 Mei 2016.

[11] Cendón, Sara Fernández. Pruitt-Igoe 40 Years Later dalam American Institute of Architects Newsletter, 3 Februari 2012. http://www.aia.org/practicing/AIAB092656. Diakses 20 Mei 2016.

Lampiran 1: The 1949 Housing Act (diterjemahkan dari https://en.wikipedia.org)

The American Housing Act of 1949 penting dalam tonggak sejarah perumahan Amerika; mengatur kewenangan pemerintah pusat dalam penjaminan dan penerbitan kredit rumah serta pembangunan Perumahan Rakyat yang terjangkau.

Bagian-bagian utama Peraturan Perumahan 1949:

  • Title I: pembiayaan pusat program pembersihan wilayah kumuh terkait program pembaharuan perkotaan (urban renewal),
  • Title II: meningkatkan kewenangan penjaminan kredit perumahan oleh Federal Housing Administration (FHA),
  • Title III: anggaran pusat untuk membangun lebih dari 800,000 unit Perumahan Rakyat (Low-Rent Public Housing),
  • Membiayai riset terkait perumahan dan teknik-tekniknya,
  • Memberi ijin pada FHA untuk menyelenggarakan pembiayaan (financing) untuk hunian area rural.

Pembuatan Peraturan

Presiden Truman menyatakan bahwa, “Lima juta keluarga tinggal di kawasan kumuh rentan bencana kebakaran. Tiga juta keluarga masih berbagi rumah tinggal dengan yang lain.” Berikut statemen kebijakan Truman:

Kebutuhan perumahan semakin kritis. Kongres harus segera melaksanakan peraturan mencakup Perumahan Rakyat bersewa rendah, slum clearance, perumahan di area rural, dan riset perumahan yang sudah saya rekomendasikan. Jumlah unit Perumahan Rakyat tersebut harus melampaui angka 1 juta unit dalam waktu 7 tahun. Bahkan angka tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan yang sebenarnya.

Kebanyakan kebutuhan hunian harus dibangun oleh pihak swasta tanpa subsidi negara. Namun jika jumlah unit sewa terlalu sedikit dibanding hunian milik dengan harga tinggi, industri perumahan pun menjadi tidak terjangkau oleh pasar. Maka biaya pembangunan harus rendah.

Pemerintah sedang mempengaruhi segala segmen industri pembangunan untuk fokus pada produksi hunian yang terjangkau. Peraturan yang diperlukan untuk hunian terjangkau akan segera dibuat.

Material yang kurang tersedia di pasaran harus dialokasikan dan diberi batasan harga, agar hunian keluarga dapat dijangkau dengan harga para kelas pekerja (wage earners).

Warisan Peraturan 1949

Peraturan ’49 penting dalam mengalokasikan sumber daya anggaran pusat yang sangat besar dalam membentuk kota-kota Amerika pasca-perang. Jumlah warga pemilik rumah semakin banyak karena akomodasi peraturan tersebut. Perumahan rakyat berbentuk rumah susun yang disebut public housing projects menjadi satu ciri khas kota-kota Amerika.

Hasilnya beragam, terutama terkait program Perumahan Rakyat dan Urban Renewal. Target awal 800,000 unit tidak tercapai di periode-periode Presiden selanjutnya. Bahkan di New York, tercatat untuk program urban redevelopment Lincoln Center, lebih banyak unit hunian yang dihancurkan daripada yang dibangun ulang di lahan yang sama.

Permasalahan lain selain korupsi adalah perencanaan yang buruk terkait keadilan dan kesetaraan sosial. Program urban renewal mendiskriminasi warga minoritas. Banyak kawasan kumuh yang dibongkar lalu diganti menjadi hunian yang tidak terjangkau atau bangunan non-hunian yang tidak mengakomodasi warga asli. Para kritik menyinonimkan “urban renewal” dengan frase “Negro removal.”

Pada tahun 1953-1986, pemerintah pusat menghabiskan dana sebanyak $13.5 milyar untuk program urban redevelopment dan slum clearance.

Lampiran 2: Trailer

[youtube]https://www.youtube.com/watch?v=g7RwwkNzF68&&w=320[/youtube]

 

 

Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana

Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana
Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana

Metro Manila menyambut partisipan nasional dan internasional dalam acara bertajuk 3rd Community Architects Network Regional Meeting and Workshop: Together We CAN …People Planning for Future Inclusive Cities pada 16 Juni 2015. Sebelum mengakhiri hari pertama dengan tur di distrik bersejarah Intramuros, rangkaian pembukaan dan sesi berbagi antar peserta dilaksanakan di Hotel White Knight. Sesi tersebut menjadi kesempatan bagi partisipan internasional dari Afrika Selatan, Bangladesh, Cina, Indonesia, Italia, Kamboja, Kanada, Korea Utara, Taiwan, Thailand, Chile, serta Amerika Serikat untuk menceritakan karya mereka. Kegiatan yang berpusat pada partisipasi warga, baik yang akan pun sedang dilaksanakan dielaborasi bersama. Organisasi yang sudah mapan membagikan sejarah dan kemajuan sebagai inspirasi. Kelompok-kelompok yang sedang berkembang menyatakan tujuan dan aspirasi masa depan mereka.

Partisipan dari berbagai kewarganegaraan mewakili Slum Dwellers International, Informal Settlement Network, Community Organisation Resource Centre, Federation of the Urban and Rural Poor, BRAC University, J.A. Architects Ltd, Bangladesh University of Engineering and Technology, Community Development Foundation, Arkomjogja, ASF Indonesia, University of Tokyo, University of California Los Angeles, CAN Korea, Toad Housing, Architecture Group [tam], Openspace, Ta-Saeng, Development Planning Unit of University College London, Sasaki Associates, dan Massachusetts Institute of Technology.

Satu minggu berikut lalu dihabiskan oleh para partisipan dengan bekerja bersama dalam isu aktual dan nyata bersama komunitas-komunitas di Intramuros dan Muntinlupa City.

Workshop tahun ini masih menekankan isu pentingnya mengambil paradigma skala kota (citywide) dalam membawa perubahan skala besar, akan tetapi menempatkan warga dan solusi warga sebagai bahan kunci. Community Development Approach (CDA) pun menjadi bagian dari dialog.

Community Architects Network (CAN) adalah program di bawah Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) yang bermula di tahun 2009. Dalam lima tahun, CAN telah menjadi serambi aktif yang mempersatukan suara para arsitek, insinyur, perencana, universitas dan para pengrajin komunitas di Asia. Ide inti dari CAN adalah untuk bekerja bersama komunitas mencari solusi membangun ruang mukim yang lebih baik, serta kota yang lebih inklusif.

CAN Workshop sebelumnya diadakan pada 2013, dengan tema “People CAN make change”, juga diselenggarakan di Filipina, bertempat di Valenzuela City. Filipina sebagai tuan rumah memiliki kelompok-kelompok yang telah bekerja bersama untuk isu pembangunan yang didorong warga (people-driven development). Di antara mereka, bertugas sebagai koordinator di Philippine Alliance; Homeless Peoples Federation Philippine (HPFPI), Technical Assistance Movement for People and Environment (TAMPEI), LinkBuild, Core-Acs, serta PACSII.

 

“…the demonstration that people can truly make change”
– CAN 3rd Workshop Handbook

Selama workshop, 99 partisipan nasional dan internasional dikelompokkan menjadi 6 tim. Dua dari tim ditempatkan untuk bekerja bersama isu permukiman informal dalam area pusaka distrik dalam benteng, Intramuros, Manila. Empat kelompok lain ditempatkan di Muntinlupa City dalam berbagai barangays (pembagian daerah administratif setara distrik di Filipina).

 

Intramuros

Workshop dalam Intramuros Workshopisu permukiman informal dan pusaka yang diselenggarakan di Intramuros merupakan hal yang unik. Dalam arti bahwa kerja yang dilaksanakan diperuntukan untuk menantang gagasan mainstream mengenai konservasi pusaka. Dalam kasus ini, isu pusaka terkait erat dengan fakta bahwa keluarga-keluarga pemukim informal di dalam kota benteng (Intramuros) tersebut (ISF, Informal Settler Families) mulai bertempat tinggal sejak sedini 1950 (Nanay Bising, Komunitas Solana, Intramuros).

Dalam enam dekade terakhir, berbagai peristiwa besar terjadi di komunitas ISF Intramuros di mana para partisipan CAN Workshop bekerja. Komunitas Solana mengalami ancaman demolisi di tahun 1997, klaim kepemilikan lahan dan demolisi pada tahun 1998, serta kebakaran pada tahun 2000 dan 2003. Rangkaian peristiwa tersebut dikumpulkan pada workshop sejarah komunitas di Solana pada hari Minggu, 21 Juni 2015. Cerita-cerita individu yang dibagikan dalam workshop menguatkan memori kolektif Komunitas Solana, memori yang fundamental dalam membangun identitas komunitas, dan di tahap lanjut untuk menentukan aspirasi masa depan dalam community planning and upgrading.

Selasa, 23 Juni 2015, para komunitas ISF mempresentasikan perspektif dan visi konservasi mereka pada audiens yang terdiri dari Intramuros Administration, World Bank, perwakilan pemilik laham arsitek, perencana, dan professional-profesional lain yang memiliki keprihatinan khusus. Komunitas ISF yang turut didampingi para partisipan CAN Workshop selama tiga hari, telah membuktikan kapasitas dan kesiapan mereka untuk menjadi bagian dari rencana konservasi khusus maupun agenda pembangunan kota pada umumnya.

Muntinlupa City

Participatory MappingMuntinlupa diklasifikasikan sebagai highly-urbanized city[1] terletak di area paling selatan Metro Manila. Berbagai konteks yang berbeda di CAN Workshop ini terbukti mewarnai kegiatan dengan berbagai ide dan pertanyaan tentang bagaimana people centered development dapat bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan dan terutama pemerintah lokal (Local Government Units). Keterlibatan langsung nan intensif selama tiga hari bersama komunitas lalu dipresentasikan dalam Forum Publik Muntinlupa City pada tanggal 22 Juni 2015.

Dalam dunia pembangunan yang terkait erat dengan birokrasi, informasi dan akses terhadap informasi adalah hal yang sangat krusial. Komunitas terdampak oleh pembangunan di masa mendatang seringkali tidak memiliki pemahaman yang jelas terkait sumber daya mereka dan perencanaan pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Komunitas mitra diharapkan dapat mengetahui dan memahami bagaimana program-program pembangunan yang digulirkan dapat mempengaruhi hajat hidup, dalam seketika maupun bertahap.

Situasi tersebut dapat dicapai jika informasi yang relevant berada dalam jangkauan. Di sisi lain, informasi-informasi tersebut harus diartikulasi secara jelas oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Serambi diskusi di antara para pihak lalu harus menghargai kemungkinan-kemungkinan yang adil secara sosial dan ekonomi.

Muntinlupa City dengan sembilan Barangay adalah pilot project dari Bank Dunia dan CDA Social Housing Finance Corporation Filipina. Beberapa komunitas telah menempuh proses awal dan beberapa menunggu untuk memulai. Empat tim CAN Workshop ditempatkan di Barangay-Barangay berikut: Brgy. Sucat untuk Planning and Re-blocking Processes, Brgy. Buli untuk Housing Program with the Barangay Officials, dan Brgy. Alabang untuk Initial Community Mapping. Tim yang bekerja kemudian dipaparkan kepada proposal yang telah disetujui di tahun 2014 untuk Jalan Tol Danau bertajuk Laguna Lakeshore Expressway Dike yang akan membutuhkan Reklamasi Laguna Lake di sisi Barat. Proyek expressway tersebut akan menghubungkan kota Taguig ke Selatan menuju Calamba dan Los Baños.

Tim pertama di Sucat mendampingi komunitas rawan banjir Lakeshore dalam menghubungkan antara kondisi dan status lahan mereka dengan rencana yang disediakan pemerintah. Bermukim di lahan privat, sebagian besar komunitas bersedia untuk membeli lahan dengan Community Mortgage Program (CMP) dari pemerintah. Komunitas-komunitas tersebut memiliki hubungan ekonomi dengan danau Laguna Lake, sehingga mereka pun mempertanyakan informasi yang lebih jelas terkait reklamasi untuk expressway. Mereka terbuka untuk solusi on-site development ataupun near-site relocation.

Tim kedua di Sucat, bekerja sama dengan Sitio Pagkakais, sebuah kampung sebagian besar merupakan pemukim informal di lahan privat. Rencana reblocking dari komunitas tersebut telah disetujui oleh pemerintah kota, sebagai bagian dari persyaratan program CMP. Tantangan muncul dari ketidaksesuaian rencana tersebut dengan kondisi aktual, plot lahan yang sudah ada milik 368 keluarga dan struktur-struktur permanen lain. Tantangan lain yang muncul adalah perletakan jalan utama masuk ke area dan bagaimana menangani penghuni yang menolak bekerja sama dengan prakarsa tersebut.

Tim Brgy. Buli bekerja sama dengan komunitas 162 kepala keluarga di sebuah program perumahan dengan pejabat Barangay. Para pemukim informal dengan pendampingan dari tim melaksanakan perencanaan partisipatif untuk lahan yang tersedia seluas 4.7 ha. Tantangan yang dialami adalah mengkonsolidasi visi dan strategi komunitas dan mengkomunikasikannya kepada pihak Barangay.

Alabang Team and the CommunityPerwakilan ASF Indonesia diberi kesempatan untuk bekerja sebagai fasilitator bersama dengan partisipan dari kelompok senior Filipina; HPFPI and TAMPEI, partisipan dari Openspace Thailand, 1:1 Agency of Change Afrika Selatan, Slum Dweller Internasional Afrika Selatan, dan relawan mahasiswa. Bersama dengan berbagai community leaders dari Brgy. Alabang, tim bekerja selama empat hari secara intensif dengan empat komunitas di sepanjang bantaran Sungai Alabang dan jalur kereta Philippine National Railway (PNR).

Empat komunitas terdiri dari sekitar 800 kepala keluarga. Tim pun memperkenalkan tujuan dan metode settlement profiling, participatory mapping serta pelatihan langsung dengan anggota komunitas. Pemetaan actual dan survey dilaksanakan oleh warga lokal dengan pendampingan tim. Tim CAN Workshop lalu memberikan dukungan teknis dalam menyandikan dan mengesahkan data. Fase tersebut merupakan langkah awal untuk program pemetaan komunitas selama lima bulan dari Juni. Langkah awal tersebut akan dipergunakan untuk mendorong pengajuan proses upgrading kepada pemerintah lokal.

Langkah awal memetakan komunitas merupakan langkah yang tidak kalah vital dengan langkah-langkah lanjutan. Media yang digunakan komunitas untuk mencapai pemahaman dalam tradisi CAN Workshop adalah pemetaan langsung. Pemetaan, baik sejarah, spasial, ekonomi, maupun sosial yang dilaksanakan oleh warga sendiri merupakan sebuah metode di mana warga dapat mengambil alih pengetahuan sosial dan spasial mereka, dan lalu menggunakannya sebagai alat untuk menegosiasikan situasi. Tim teknis membantu lebih lanjut dalam tahap penyediaan validasi data.

Kepunyaan siapakah kota itu? Kehadiran komunitas yang secara aktif hidup dan bekerja untuk mendukung keberlangsungan kota tidak serta merta menandakan kepemilikan aktif mereka terhadap pembangunan kota. Perencanaan kota perlu menjadi inklusif; dekat serta aksesibel.

The 3rd CAN Workshop menggaris bawahi kebutuhan mendesak untuk bekerja bersama pemukim kota yang berada di sisi yang tidak diuntungkan serta berbagai pemangku kepentingan. Salah satu kunci dari inklusivitas adalah pengenalan bahasa kepada komunitas untuk memahami kondisi ruang hidup mereka, dengan tujuan meraih hak untuk hidup yang bermartabat; secured tenure, akses sumber daya dasar, kemungkinan untuk berpartisipasi dan sumber hidup yang layak. Bahasa tidak perlu rumit, tetapi bisa sesederhana pemetaan langsung bersama warga, perencanaan partisipatif dan kemampuan untuk beraspirasi yang mencukupi.

[1] Philippine Republic Act No. 7926

Inclusive Cities: People and the Power of Planning Knowledge

IMG_20150619_140741Metro Manila welcomed the national and international participants of 3rd Community Architects Network Regional Meeting and Workshop: Together We CAN …People Planning for Future Inclusive Cities on 16th of June 2015. The site visit around the historic walled city of Intramuros was preceded with a series of opening remarks and sharing session from all involved. The sharing session was a chance for international participants from South Africa, Bangladesh, Cambodia, Indonesia, Canada, China, South Korea, Italy, Thailand, Taiwan, USA, and Chile to share their endeavors.

 

Ongoing and planned people-centered collectives’ projects were elaborated. Established groups shared their history and developments. Growing organizations stated their intention and future aspiration.

The various nationalities participants were representing Slum Dwellers International, Informal Settlement Network, Community Organisation Resource Centre, Federation of the Urban and Rural Poor, BRAC University, J.A. Architects Ltd, Bangladesh University of Engineering and Technology, Community Development Foundation, Arkomjogja, ASF Indonesia, University of Tokyo, University of California Los Angeles, CAN Korea, Toad Housing, Architecture Group [tam], Openspace, Ta-Saeng, Development Planning Unit of University College London, Sasaki Associates, and Massachusetts Institute of Technology.

The following week was then spent by the participants via working together on the ground with actual issues and communities; in Intramuros and Muntinlupa City.

Community Architects Network (CAN) is a program under Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) which started in 2009. For five years, CAN has been acting as an active platform linking architects, engineers, planners, universities and community artisans throughout Asia. The core idea of CAN is to work with communities in finding solutions to build better settlements and more inclusive cities.

The previous CAN Workshop in 2013, themed “People CAN make change”, was also organized in Philippine, specifically in Valenzuela City. Philippine is the home to groups and actors that have been working together for people-driven development. Among them, acting as coordinators is the Philippine Alliance; Homeless Peoples Federation Philippine (HPFPI), Technical Assistance Movement for People and Environment (TAMPEI), LinkBuild, Core-Acs, and PACSII.

 

The workshop is still emphasizing on the importance of taking on a citywide perspective to bring about change at a larger scale, but where communities and community solutions are key ingredients. Community Development Approach (CDA) then became a part of the dialogues.

“…the demonstration that people can truly make change

CAN 3rd Workshop Handbook

 

During the workshop, 99 national and international participants were grouped to 6 teams. Two of the teams were stationed to work with informal settlements issue inside the heritage area of Intramuros. The others were stationed in multiple barangays (administrative divisions) of Muntinlupa City.

 

Intramuros

20150621_421The workshop on heritage conducted at Intramuros is unique in the sense that it meant to challenge the mainstream notion of heritage conservation. In this case, heritage issues were also include facts relate with the residents within the walled city, that is the recent history of the so-called Informal Settler Families (ISF) who begun to dwell since as early as 1950 (Nanay Bising, Solana community).

Within the last six decades big things happens to the ISF communities, for Solana this is including threat of demolition in 1997, land ownership claim filed and house demolition at the same year of 1998, fire in 2000 and 2003, as discussed during the community history workshop at Solana on Sunday, June 21st 2015. Individual stories gathered and shared during the workshop strengthen collective memory of Solana that is fundamental in building Solana identity and at the end to determine its future aspirations for community planning and upgrading.

Tuesday, June 23rd 2015 saw the ISF communities presenting their perspective and vision of conservation to a larger audience including Intramuros Administration, World Bank, representatives of land owners, architects, planner and other professionals concerned with Intramuros. The ISF communities in Intramuros have proven their capacity and ready to be part of conservation plan as well as city development agenda in general.

Muntinlupa City

IMG_20150618_100506Muntinlupa is classified as a highly-urbanized city[1] located in the southernmost of Metro Manila. The different contexts given were proven to color the workshop with further questions and ideas of how people centered development could work with Local Government Units and multiple stakeholders. Three days of intensive direct involvement with communities were presented in Public Forums, held in Muntinlupa City on 22nd of June and Intramuros on the 23rd.

Due to the bureaucracy of the development, information issues become crucial. Communities affected by future development often have no clear grasp on their resources and government planning. The partnering communities are expected to know and understand how such programs may affect their living situations, immediately and gradually. The state of affairs can be achieved if relevant information is within reach. On the other hand, information as such must be clearly articulated by the government units. The platform for discussion among every parties involved should then respect possibilities that are socially and economically just.

Muntinlupa City with its nine Barangays is the pilot project of World Bank and Social Housing Finance Corporation’s CDA. Some communities had already gone through initial processes and some are in the line to start. The four workshop teams were located in the following Barangays: Sucat for Planning and Re-blocking Processes, Buli for Housing Program with the Barangay Officials, and Alabang for Initial Community Mapping. The teams were made known to a 2014-approved proposal of 47 km long Laguna Lakeshore Expressway Dike that would entail Laguna Lake west shoreline reclamation. The Expressway project would connect Taguig southward to Calamba and Los Baños.

One team in Sucat had assisted flood-prone Lakeshore Community in connecting between their land condition and status to available government plans. Residing on privately owned land, most of the communities are willing to purchase the land with Community Mortgage Program (CMP) from the government. The communities connect to the lake economically, therefore they also inquire for clearer information regarding Expressway Reclamation. They are open to on-site development or near-site relocation.

The other Sucat team had worked with Sitio Pagkakais, a village of mostly informal settlers on private land. The communities re-blocking plans had been approved by the city, as part of CMP requirements. The challenges arose from the plans that were incompatible with the actual conditions; various existing plots belong to the 368 families and permanent structures. Another challenges faced were plotting the main access ways into the area and addressing occupants that refuse to cooperate with the initiative.

The team located in Buli had worked together with the communities of approximately 162 households in a housing program with local Barangay Officials. The informal settlers’ with the assistance of the team had done participatory planning for the available 4.7 hectare land. The challenges faced were consolidating the communities’ vision and strategies and communicating them to the Barangay Officials.

IMG_20150619_142100ASF Indonesia delegate was given the chance to work as facilitator along with HPFPI and TAMPEI participants with Alabang team. Comprised of local communities’ members and participants, the team had worked four intensive days with four compounds along the Alabang River Creek and Philippine National Railway. The four compounds consist of approximately 800 households. The team had introduced the objective and method of settlement profiling, participatory mapping and hands on training with communities’ members. Actual mapping and surveys had been done by the locals with the team assistance.

 

The team then provided technical support in encoding and validating the data. The phase would start five months project of community mapping as initial step to promote upgrading process to the Local Government.

The initial step of community mapping is as vital as the progressing steps. The media used by communities in order to gain understanding are mostly in the form of applied maps. Mapping is a method with which a community can easily take charge of their social and spatial knowledge, and then use it as a tool to negotiate their situation. The technical team aids further in terms of providing data validation.

To whom the city belongs? The presence of communities who actively live in and work to support the city does not necessarily signify their active ownership of the city development. The city planning needs to be inclusive; up close and accessible.

CAN 3rd Workshop have underlined the urgent need to work with disadvantaged city dwellers and multiple stakeholders. One of the keys to inclusivity is to introduce a language for the communities to recognize their living space, with the purpose of claiming their rights to dignified living; secured tenure, access to basic resources, chances to participate and decent sources of living. The language needs not to be complicated, but as humble as hands-on mapping, planning and resourceful aspiration proficiency.

[1] Philippine Republic Act No. 7926