Rumah Contoh di Kampung Tongkol, Jakarta Utara

Pada pertengahan tahun 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pembersihan kawasan pinggir Sungai Ciliwung dalam rangka normalisasi. Kampung-kampung yang berjajar di pinggiran Kali Ciliwung pun tak terhindar dari penggusuran. Sekitar 300 rumah di Kampung Pinangsia dan lainnya dihancurkan, sisanya kehilangan muka rumah yang menghadap ke kali. Penggusuran pinggir kali menjadi momok bagi warga kampung lainnya. Mengantisipasi penggusuran, warga kampung Tongkol, Krapu, dan Lodan tidak putus harapan. Terletak diantara Sungai Anak Kali Ciliwung dan sisa-sisa benteng kolonial Belanda di utara Jakarta, tiga kampung tersebut percaya bahwa penggusuran bukanlah satu-satunya cara dalam pembangunan kota. Mereka mengorganisasi diri dan menunjukan alternatif lain yaitu perbaikan kampung (kampung upgrading).

Gambar 1. Rumah contoh yang telah selesai dibangun

Difasilitasi oleh Urban Poor Consortium (UPC), warga menerima pinjaman sebesar 160 juta Rupiah pada bulan November 2015. Pinjaman tersebut merupakan dana bergulir untuk kepentingan peningkatan kualitas lingkungan di pinggir kali, termasuk pembangunan lima unit Rumah Contoh. Warga yang tergabung sebagai Komunitas Anak Kali Ciliwung memulai perbaikan dengan memotong struktur bangunan di sepanjang Anak Kali Ciliwung selebar lima meter dari bibir sungai. Ruang lima meter tersebut akan digunakan sebagai jalan inspeksi sungai.

Rumah Contoh pertama di Kampung Tongkol dirancang tiga lantai untuk mentransformasi hunian horizontal milik tujuh keluarga menjadi hunian multi-keluarga vertical (co-housing). Tujuh keluarga ini saling berbagi ruang semi-privat, fasilitas air bersih, dan sanitasi di bawah satu atap. Keterbatasan ruang menjadi tantangan bagi mereka. Keterlibatan warga dalam proses perancangan sangat diperlukan. Warga ikut bernegosiasi terutama dalam pembagian luas dan perletakan ruang.

Pemilihan material Rumah Contoh jatuh kepada bahan bangunan lokal yang sangat mudah didapat, yaitu bata ringan berpori, kayu daur-ulang, dan bambu. Struktur utama menggunakan beton bertulang dengan bata ringan sebagai material dinding. Struktur rangka atap dan kanopi menggunakan bambu yang sudah diawetkan. Selain kemudahan dalam mendapatkannya, bambu merupakan material yang ringan dan kuat. Rangka atap tersebut tidak memberikan beban yang berat kepada dua lantai di bawahnya. Pengunaannya sebagai rangka atap masih terbilang baru di kalangan warga. Oleh karena itu, Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) memfasilitasi warga dalam pelatihan pengawetan bambu dan konstruksi bambu dengan sambungan mur-baut. Kegiatan pelatihan konstruksi merupakan salah satu media yang efektif dalam proses pertukaran pengetahuan diantara warga serta arsitek selaku fasilitator.

Gambar 2. Proses kostruksi selama workshop

Gambar 3. Warga mengecat rumah contoh

Pada Januari 2016, proses konstruksi selesai. Warga mengecat dinding rumah bersama-sama dan anak-anak turut menggambar lukisan dinding. Beberapa modifikasi pada railing bambu dan penopang kanopi dilakukan oleh warga, membuat bangunan menjadi sedikit berbeda dari rancangan awal. Hal tersebutlah yang membuat proses pembangunan partisipatif ini menjadi semakin menarik.

Proses pembenahan kampung hingga pembangunan Rumah Contoh merupakan bukti bahwa warga kampung informal bantaran dapat hidup serasi dengan sungai. Dan di Kampung Tongkol, mereka tetap menjaga reruntuhan tembok warisan kolonial. Sebuah solusi saling menguntungkan tercapai melalui proses perencanaan desain dan perbaikan kampung yang partisipatif. Tentunya, ini menjadi sebuah alternatif terhadap praktek penggusuran dan pemindahan ke rusunawa.

Tidak berhenti pada pembangunan rumah contoh, bersama relawan arsitektur Universitas Indonesia dan ASF-ID, warga meneruskan kegiatan melalui pelatihan merancang fasad, utilitas, dan pertanian kota (urban farming), pengelolaan sampah, pembuatan kompos, hingga pada hari Minggu, 26 Juni 2016 lalu menyelenggarakan tur wisata sejarah kota tua sebagai bagian dari rangkaian acara Kotatua Ruang Kita yang diselenggarakan bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur dan UNESCO.

Pembangunan Rumah Contoh sebagai permulaan proses perbaikan di Kampung Tongkol, Lodan, dan Krapu berikut rangkaian kegiatan-kegiatan positif setelah itu memberi bukti; bahwa keswadayaan masyarakat kampung kota dalam mengorganisasi diri dan mengubah kampung dan memperbaiki lingkungannya adalah sebuah potensi yang selama ini hanya dipandang sebelah mata.

 

***

Liputan media:

Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana

Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana
Kota Inklusif: Warga dan Daya Merencana

Metro Manila menyambut partisipan nasional dan internasional dalam acara bertajuk 3rd Community Architects Network Regional Meeting and Workshop: Together We CAN …People Planning for Future Inclusive Cities pada 16 Juni 2015. Sebelum mengakhiri hari pertama dengan tur di distrik bersejarah Intramuros, rangkaian pembukaan dan sesi berbagi antar peserta dilaksanakan di Hotel White Knight. Sesi tersebut menjadi kesempatan bagi partisipan internasional dari Afrika Selatan, Bangladesh, Cina, Indonesia, Italia, Kamboja, Kanada, Korea Utara, Taiwan, Thailand, Chile, serta Amerika Serikat untuk menceritakan karya mereka. Kegiatan yang berpusat pada partisipasi warga, baik yang akan pun sedang dilaksanakan dielaborasi bersama. Organisasi yang sudah mapan membagikan sejarah dan kemajuan sebagai inspirasi. Kelompok-kelompok yang sedang berkembang menyatakan tujuan dan aspirasi masa depan mereka.

Partisipan dari berbagai kewarganegaraan mewakili Slum Dwellers International, Informal Settlement Network, Community Organisation Resource Centre, Federation of the Urban and Rural Poor, BRAC University, J.A. Architects Ltd, Bangladesh University of Engineering and Technology, Community Development Foundation, Arkomjogja, ASF Indonesia, University of Tokyo, University of California Los Angeles, CAN Korea, Toad Housing, Architecture Group [tam], Openspace, Ta-Saeng, Development Planning Unit of University College London, Sasaki Associates, dan Massachusetts Institute of Technology.

Satu minggu berikut lalu dihabiskan oleh para partisipan dengan bekerja bersama dalam isu aktual dan nyata bersama komunitas-komunitas di Intramuros dan Muntinlupa City.

Workshop tahun ini masih menekankan isu pentingnya mengambil paradigma skala kota (citywide) dalam membawa perubahan skala besar, akan tetapi menempatkan warga dan solusi warga sebagai bahan kunci. Community Development Approach (CDA) pun menjadi bagian dari dialog.

Community Architects Network (CAN) adalah program di bawah Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) yang bermula di tahun 2009. Dalam lima tahun, CAN telah menjadi serambi aktif yang mempersatukan suara para arsitek, insinyur, perencana, universitas dan para pengrajin komunitas di Asia. Ide inti dari CAN adalah untuk bekerja bersama komunitas mencari solusi membangun ruang mukim yang lebih baik, serta kota yang lebih inklusif.

CAN Workshop sebelumnya diadakan pada 2013, dengan tema “People CAN make change”, juga diselenggarakan di Filipina, bertempat di Valenzuela City. Filipina sebagai tuan rumah memiliki kelompok-kelompok yang telah bekerja bersama untuk isu pembangunan yang didorong warga (people-driven development). Di antara mereka, bertugas sebagai koordinator di Philippine Alliance; Homeless Peoples Federation Philippine (HPFPI), Technical Assistance Movement for People and Environment (TAMPEI), LinkBuild, Core-Acs, serta PACSII.

 

“…the demonstration that people can truly make change”
– CAN 3rd Workshop Handbook

Selama workshop, 99 partisipan nasional dan internasional dikelompokkan menjadi 6 tim. Dua dari tim ditempatkan untuk bekerja bersama isu permukiman informal dalam area pusaka distrik dalam benteng, Intramuros, Manila. Empat kelompok lain ditempatkan di Muntinlupa City dalam berbagai barangays (pembagian daerah administratif setara distrik di Filipina).

 

Intramuros

Workshop dalam Intramuros Workshopisu permukiman informal dan pusaka yang diselenggarakan di Intramuros merupakan hal yang unik. Dalam arti bahwa kerja yang dilaksanakan diperuntukan untuk menantang gagasan mainstream mengenai konservasi pusaka. Dalam kasus ini, isu pusaka terkait erat dengan fakta bahwa keluarga-keluarga pemukim informal di dalam kota benteng (Intramuros) tersebut (ISF, Informal Settler Families) mulai bertempat tinggal sejak sedini 1950 (Nanay Bising, Komunitas Solana, Intramuros).

Dalam enam dekade terakhir, berbagai peristiwa besar terjadi di komunitas ISF Intramuros di mana para partisipan CAN Workshop bekerja. Komunitas Solana mengalami ancaman demolisi di tahun 1997, klaim kepemilikan lahan dan demolisi pada tahun 1998, serta kebakaran pada tahun 2000 dan 2003. Rangkaian peristiwa tersebut dikumpulkan pada workshop sejarah komunitas di Solana pada hari Minggu, 21 Juni 2015. Cerita-cerita individu yang dibagikan dalam workshop menguatkan memori kolektif Komunitas Solana, memori yang fundamental dalam membangun identitas komunitas, dan di tahap lanjut untuk menentukan aspirasi masa depan dalam community planning and upgrading.

Selasa, 23 Juni 2015, para komunitas ISF mempresentasikan perspektif dan visi konservasi mereka pada audiens yang terdiri dari Intramuros Administration, World Bank, perwakilan pemilik laham arsitek, perencana, dan professional-profesional lain yang memiliki keprihatinan khusus. Komunitas ISF yang turut didampingi para partisipan CAN Workshop selama tiga hari, telah membuktikan kapasitas dan kesiapan mereka untuk menjadi bagian dari rencana konservasi khusus maupun agenda pembangunan kota pada umumnya.

Muntinlupa City

Participatory MappingMuntinlupa diklasifikasikan sebagai highly-urbanized city[1] terletak di area paling selatan Metro Manila. Berbagai konteks yang berbeda di CAN Workshop ini terbukti mewarnai kegiatan dengan berbagai ide dan pertanyaan tentang bagaimana people centered development dapat bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan dan terutama pemerintah lokal (Local Government Units). Keterlibatan langsung nan intensif selama tiga hari bersama komunitas lalu dipresentasikan dalam Forum Publik Muntinlupa City pada tanggal 22 Juni 2015.

Dalam dunia pembangunan yang terkait erat dengan birokrasi, informasi dan akses terhadap informasi adalah hal yang sangat krusial. Komunitas terdampak oleh pembangunan di masa mendatang seringkali tidak memiliki pemahaman yang jelas terkait sumber daya mereka dan perencanaan pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Komunitas mitra diharapkan dapat mengetahui dan memahami bagaimana program-program pembangunan yang digulirkan dapat mempengaruhi hajat hidup, dalam seketika maupun bertahap.

Situasi tersebut dapat dicapai jika informasi yang relevant berada dalam jangkauan. Di sisi lain, informasi-informasi tersebut harus diartikulasi secara jelas oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Serambi diskusi di antara para pihak lalu harus menghargai kemungkinan-kemungkinan yang adil secara sosial dan ekonomi.

Muntinlupa City dengan sembilan Barangay adalah pilot project dari Bank Dunia dan CDA Social Housing Finance Corporation Filipina. Beberapa komunitas telah menempuh proses awal dan beberapa menunggu untuk memulai. Empat tim CAN Workshop ditempatkan di Barangay-Barangay berikut: Brgy. Sucat untuk Planning and Re-blocking Processes, Brgy. Buli untuk Housing Program with the Barangay Officials, dan Brgy. Alabang untuk Initial Community Mapping. Tim yang bekerja kemudian dipaparkan kepada proposal yang telah disetujui di tahun 2014 untuk Jalan Tol Danau bertajuk Laguna Lakeshore Expressway Dike yang akan membutuhkan Reklamasi Laguna Lake di sisi Barat. Proyek expressway tersebut akan menghubungkan kota Taguig ke Selatan menuju Calamba dan Los Baños.

Tim pertama di Sucat mendampingi komunitas rawan banjir Lakeshore dalam menghubungkan antara kondisi dan status lahan mereka dengan rencana yang disediakan pemerintah. Bermukim di lahan privat, sebagian besar komunitas bersedia untuk membeli lahan dengan Community Mortgage Program (CMP) dari pemerintah. Komunitas-komunitas tersebut memiliki hubungan ekonomi dengan danau Laguna Lake, sehingga mereka pun mempertanyakan informasi yang lebih jelas terkait reklamasi untuk expressway. Mereka terbuka untuk solusi on-site development ataupun near-site relocation.

Tim kedua di Sucat, bekerja sama dengan Sitio Pagkakais, sebuah kampung sebagian besar merupakan pemukim informal di lahan privat. Rencana reblocking dari komunitas tersebut telah disetujui oleh pemerintah kota, sebagai bagian dari persyaratan program CMP. Tantangan muncul dari ketidaksesuaian rencana tersebut dengan kondisi aktual, plot lahan yang sudah ada milik 368 keluarga dan struktur-struktur permanen lain. Tantangan lain yang muncul adalah perletakan jalan utama masuk ke area dan bagaimana menangani penghuni yang menolak bekerja sama dengan prakarsa tersebut.

Tim Brgy. Buli bekerja sama dengan komunitas 162 kepala keluarga di sebuah program perumahan dengan pejabat Barangay. Para pemukim informal dengan pendampingan dari tim melaksanakan perencanaan partisipatif untuk lahan yang tersedia seluas 4.7 ha. Tantangan yang dialami adalah mengkonsolidasi visi dan strategi komunitas dan mengkomunikasikannya kepada pihak Barangay.

Alabang Team and the CommunityPerwakilan ASF Indonesia diberi kesempatan untuk bekerja sebagai fasilitator bersama dengan partisipan dari kelompok senior Filipina; HPFPI and TAMPEI, partisipan dari Openspace Thailand, 1:1 Agency of Change Afrika Selatan, Slum Dweller Internasional Afrika Selatan, dan relawan mahasiswa. Bersama dengan berbagai community leaders dari Brgy. Alabang, tim bekerja selama empat hari secara intensif dengan empat komunitas di sepanjang bantaran Sungai Alabang dan jalur kereta Philippine National Railway (PNR).

Empat komunitas terdiri dari sekitar 800 kepala keluarga. Tim pun memperkenalkan tujuan dan metode settlement profiling, participatory mapping serta pelatihan langsung dengan anggota komunitas. Pemetaan actual dan survey dilaksanakan oleh warga lokal dengan pendampingan tim. Tim CAN Workshop lalu memberikan dukungan teknis dalam menyandikan dan mengesahkan data. Fase tersebut merupakan langkah awal untuk program pemetaan komunitas selama lima bulan dari Juni. Langkah awal tersebut akan dipergunakan untuk mendorong pengajuan proses upgrading kepada pemerintah lokal.

Langkah awal memetakan komunitas merupakan langkah yang tidak kalah vital dengan langkah-langkah lanjutan. Media yang digunakan komunitas untuk mencapai pemahaman dalam tradisi CAN Workshop adalah pemetaan langsung. Pemetaan, baik sejarah, spasial, ekonomi, maupun sosial yang dilaksanakan oleh warga sendiri merupakan sebuah metode di mana warga dapat mengambil alih pengetahuan sosial dan spasial mereka, dan lalu menggunakannya sebagai alat untuk menegosiasikan situasi. Tim teknis membantu lebih lanjut dalam tahap penyediaan validasi data.

Kepunyaan siapakah kota itu? Kehadiran komunitas yang secara aktif hidup dan bekerja untuk mendukung keberlangsungan kota tidak serta merta menandakan kepemilikan aktif mereka terhadap pembangunan kota. Perencanaan kota perlu menjadi inklusif; dekat serta aksesibel.

The 3rd CAN Workshop menggaris bawahi kebutuhan mendesak untuk bekerja bersama pemukim kota yang berada di sisi yang tidak diuntungkan serta berbagai pemangku kepentingan. Salah satu kunci dari inklusivitas adalah pengenalan bahasa kepada komunitas untuk memahami kondisi ruang hidup mereka, dengan tujuan meraih hak untuk hidup yang bermartabat; secured tenure, akses sumber daya dasar, kemungkinan untuk berpartisipasi dan sumber hidup yang layak. Bahasa tidak perlu rumit, tetapi bisa sesederhana pemetaan langsung bersama warga, perencanaan partisipatif dan kemampuan untuk beraspirasi yang mencukupi.

[1] Philippine Republic Act No. 7926