Architecture Sans Frontières International, Architecture Sans Frontières Indonesia, Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Tengah, and Soegijapranata Catholic University Semarang present:
Seminar & Workshop on BAMBOO
24-25 July 2019
Semarang, Central Java
with Indonesian bamboo architects: Andry Widyowijatnoko Effan Adhiwira
Seminar Nasional. Rabu, 24 Juli 2019 di B 1.3 Henricus Constant, SCU (KUM IAI: 3)
International Workshop.Thursday, 25 July 2019 at Pendopo, SCU
Wilayah Indonesia yang rawan terhadap bencana perlu melakukan mitigasi sebagai upaya untuk mengurangi resiko pada kawasan rawan bencana. Mitigasi dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana maupun pembangunan fisik. Shelter sebagai bentuk fasilitas evakuasi bencana menjadi aspek fisik yang penting bagi para penyintas bencana. Namun terkadang terdapat kendala dimana terjadinya keterlambatan tenda evakuasi, sulitnya pembangunan di lapangan, atau datang dengan keadaan rusak sehingga tidak dapat digunakan korban bencana.
Pada hari Sabtu 17 November 2018, pukul 10:10 – selesai di Studio Arsitektur Undip Lt.1 Andrea Fitrianto akan berbagi pengalamannya dalam evakuasi pasca bencana. Kunjungan terakhirnya pada bencana Palu dan keterlibatannya dalam paska bencana Aceh akan ia bagi dalam workshop kali ini.
CP: 085727589273 (Hani)
Playground – Semarang
Playground adalah kelas desain berbasis eksperimen dan komputasi, persis seperti bocah yang mencoba segala permainan baru dengan segara rasa ingin tahunya. Bagaimana mewujudkan desain, tantangan terkait bahan dan teknologi serta gap antara desain dengan realitas akan dibahas pada kelas ini.
Get experience and knowledge about designing techniques using bamboo materials! And get 50 SKPI points
*quota applies #ASFID#ASFSMG#Semarang#bamboo#workshop
Divisi Pengabdian Masyarakat HMPSArs Universitas Parahyangan Bandung melaksanakan workshop “Get Involved” bersama ASF-ID. Pada tanggal 25 Oktober 2016, kegiatan dilaksanakan di Gedung PPAG Unpar. ASF-ID duduk bersama dengan 40 mahasiswa Arsitektur dan Teknik Sipil dalam sesi berbagi tentang partisipasi dan keswadayaan. Para mahasiswa mulai mengenali isu tersebut terutama dalam konteks pembangunan dan pengabdian masyarakat.
Kerangka pikir keswadayaan dan partisipatif dapat dibawa dalam berbagai proses. Salah satunya adalah proses pemetaan masalah dan potensi. Mahasiswa yang dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing mencoba memetakan: sejarah kolektif, dinamika ruang, kelembagaan, dan jejaring ekonomi yang mereka temui di keseharian perkuliahan. Tim relawan ASF-ID mendampingi kelompok mahasiswa sebagai fasilitator.
Kelompok sejarah kolektif mengumpulkan kekayaan pengalaman yang dialami sebagai warga akademik. Kelompok ruang memetakan perubahan fisik dan spasial kampus. Lantas permasalahan serta solusi dipikirkan bersama menjadi daftar skala prioritas. Di kelompok lain, para mahasiswa memetakan hubungan kelembagaan kampus. Terjadi hal menarik ketika seorang mahasiswa baru mengetahui adanya sebuah unit kegiatan setelah pemetaan bersama. Kelompok lain memetakan jaringan ekonomi formal dan informal di seputar kampus. Dari peta ekonomi, terlihat bahwa jaringan seputar kampus turut menggerakkan banyak roda ekonomi bahkan sampai skala kota.
Setelah melaksanakan dan memahami proses, berbagai pendapat pun diberikan. Salah satunya, adalah pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan. Metode partisipatif menjembatani berbagai kesenjangan seperti bahasa, hierarki dan identitas. Semua peserta dalam proses partisipatif berkelompok dapat memberikan masukan, walau apapun kesenjangan yang mereka hadapi. Kesenjangan masyarakat di realita dapat terjadi karena perbedaan gender, usia, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi.
Dalam perkembangan pembangunan, tata kelola formal tak luput dari kendala dan ketimpangan. Informalitas yang merupakan jejaring penting terkadang mengalami dampak yang besar dan buruk dari hal tersebut. Salah satu sebab adalah adanya kerentanan masyarakat akibat masalah kesenjangan.
Partisipasi menjadi penting sebagai alat yang dapat melintasi masalah tersebut. Selain itu, proses rembuk bersama adalah proses yang menimbulkan kesadaran kritis. Kesadaran kritis, seperti diteorikan oleh Paulo Freire (1970), muncul ketika percakapan membangun membuka kenyataan baru. Kemampuan mengenal hal-hal baru membuat peserta turut memaknai dunianya.
Salah satu isu yang dibincangkan adalah kampung kota sebagai jejaring mixed-use dan pusaka kota (heritage). Kampung membentuk hampir 70% lanskap perkotaan Indonesia (Darsono, 2003). Di kota Bandung sendiri, mayoritas guna lahan terbangun adalah perkampungan (46.12%) dengan perumahan formal hanya menempati urutan ketiga yaitu 10.61% (Widjaja, 2013). Dengan melihat persentase dapat disimpulkan apabila kampung semakin berdaya, dampak baik bagi kota akan berlipat ganda. Terutama karena kampung bukan hanya mewadahi hunian yang terjangkau, akan tetapi juga unit kesehatan, unit sosial, budaya, keagamaan, ekonomi formal dan informal, edukasi bahkan manajemen persampahan swadaya.
Dinamika dan potensi kampung kota patut kita pikirkan ketika urbanisasi terjadi dalam laju yang sangat cepat. Warga kampung kota terkadang mendapat stigma yang buruk. Akan tetapi warga kampung kota menyimpan potensi sangat besar sebagai aktor penjaga keberlanjutan kota. Warga adalah solusi kota itu sendiri.
Workshop ditutup dengan harapan bersama bahwa pengetahuan ini akan menjadi salah satu landasan dalam bergiat ke depan. Praktisi dan akademisi dipahami bersama sebagai salah satu penggiat pembangunan, selain masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya, dan swasta, yang dapat membawa wacana ini.
Referensi:
Freire, Paulo. 1970. Pedagogy of the Opressed.
Darsono, P.H. 2013. Indonesia Urbanism: The Traditional Settlement in Urban Planning, Analysis of Thomas Karsten’s Plan of Bandung City West Java. The University of Tokyo.
Widjaja, Pele. 2013. Kampung-kota Bandung. Yogyakarta: Graha Ilmu.