Pada tanggal 27 Juli 2019 lalu berlangsung kegiatan ASF Dialogue di Kota Lama, Semarang. ASF Dialogue merupakan kegiatan tahunan Architecture Sans Frontières International (ASF-Int) yang mengangkat isu-isu publik yang relevan bagi jejaring ASF-Int.
ASF Dialogue merupakan bagian dari rangkaian acara General Assembly 2019 yang dibuka dengan kegiatan Bamboo Workshop pada tanggal 25 Juli mengapit rapat General Assembly. Juga berlangsung pameran hasil kerja jaringan ASF-Int, penganugerahan ASF Award 2019 dan diakhiri acara sightseeing pada Minggu 28 Juli. |
Dengan tema Living Heritage: The Architecture of growth, heritage and modernity kegiatan ini membahas berbagai macam aspek dalam praktik arsitektur pada konteks warisan kota dan berfokus pada kontestasi kepemilikan cagar budaya. Sesi pertama ASF Dialogue diisi dengan isu cagar budaya pada konteks lokal, sedangkan pada sesi selanjutnya fokus pembahasan adalah praktik arsitektur dan ranah kerja ASF-Int. Sesi pertama diisi oleh empat presenter yakni Ryzki Wiryawan (Universitas Ma’soem), Abidzar Al Ghifari (Universitas Brawijaya), Amelia Mega dan Syadza Syarifah (ASF Indonesia) dan Ratri Septina Saraswati (Universitas PGRI Semarang). Selanjutnya pada sesi kedua diisi oleh lima presenter yakni Marcel Ruchon (ASF Prancis), João Palla dan Lígia Nunes (ASF Portugal), Achyut Siddu (ASF Swedia), Pawan Shrestha (ASF Nepal) dan Hendrik Bloem (ASF Belgia).
Pada sesi pertama Ryzki Wiryawan mempresentasikan peran sosial media sebagai instrumen dalam preservasi dan promosi cagar budaya. Dengan studi kasus grup Facebook “Bangunan Kolonial Kota2 Indonesia”, Ryzki menjelaskan bagaimana dampak sosial media terhadap kegiatan konservasi dan preservasi di Kota Bandung.
Teori konservasi ditentukan oleh konsep memori. Di Kota Tua Jakarta, konsep memori diproduksi sebagai upaya kolektif dalam merekonstruksi Kampung Kunir. Amelia dan Syadza dari ASF Indonesia menjelaskan bagaimana masyarakat disekitar Kota Tua mengalami konflik inklusi di kawasan cagar budaya. Keterlibatan ASF Indonesia dalam merekonstruksi Kampung Kunir yakni dengan memfasilitasi pemetaan fisik dan historis, yang selanjutnya digunakan dalam memproyeksikan konsep Kampung Kunir Baru.
Presentasi terakhir pada sesi pertama diisi oleh Ratri yang mejelaskan penelitiannya mengenai Living in The Indonesian Railway Heritage Building. Ia mejelaskan penelitiannya mengenai praktik konservasi dalam PT Kereta Api Indonesia (KAI), sebuah BUMN yang memiliki seluruh aset perkereta-apian, dengan membandingkan antara kondisi bangunan masa lalu dan saat ini.
Sesi pertama diakhiri dengan diskusi yang di moderasi oleh Tjahjono Rahardjo, sejarawan dan dosen arsitektur dari Semarang. Ahmad Djuhara, ketua Ikatan Arsitek Indonesia turut serta dalam diskusi. Ia barkaca pada pengalaman di Kota Tua Jakarta dan berpendapat, ”There was one time when Kota Tua Jakarta was so quiet that I reckon the informal settlement became the short-term mafia. They had the tendency to occupy and destroy the heritage building. But now, after the revitalization, Kota Tua Jakarta become crowded again.” Lain misalnya dengan pendapat Xavier Codina dari ASF Spanyol, ”Gentrification process had happen in Barcelona, as one of the big tourism destination. I believe the most important thing is to use the heritage. There is also regulation regarding the use of heritage building in Barcelona but at the end in can only be used by the big company, again for money and power. It is important to democratize the heritage for popular consumption rather being use only for the elite. The real value of the heritage has to be re-assume by the citizens.” Tjahjono Rahardjo menutup sesi pertama dengan kesimpulannya, “When we talk about heritage, architecture is only one aspect, there are many others that we should consider. We have to talk about economy, social problems, cultural and political issues. Therefore, there are many possibilities for young architects to not only become a designer especially in heritage sector.”
Anggota-anggota ASF-Int mempresentasikan proyek mereka pada sesi kedua ASF Dialogue. Fokus utama dalam sesi ini mengenai krisis, pendidikan, pendekatan arsitektural dan evaluasi, serta isu-isu kritis mengenai arsitektur dari akar rumput.
Marcel dari ASF Prancis membuka sesi kedua dengan proyek Lava’Blah di Merseille yang menunjukkan bagaimana warisan budaya berpotensi untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari-hari dengan biaya rendah namun intensitas sosial yang tinggi. Proyek ini terletak di tanah milik tentara yang telah berkompromi untuk memfungsikan lahan untuk keluarga yang memiliki permasalahan sosial. Proyek peralatan sanitasi yang sederhana ini memiliki potensi yang baik untuk menjadi model warisan budaya bagi komunitas Roms yang tinggal di Aciéries.
João dan Lígia dari ASF Portugal menekankan bagaimana memahami warisan budaya sebagai sistem dan proses yang dimiliki oleh komunitas lokal. Lígia berbagi pengalamannya di Aveiros dan di Costa Da Caparica, kedua komunitas ini rawan penggusuran karena rencana pembangunan baru oleh pemerintah. Sementara itu João menjelaskan kondisi di Makau dengan judul Chronicle of Death Foretold; masyarakat masih tinggal di sana tetapi mereka terpaksa meninggalkan daerah tersebut karena persaingan ketat pembangunan kapal di Cina. Terdapat kesamaan diantara beberapa proyek yang dikemukakan yakni bahwa warisan cagar budaya harus dipahami sebagai sistem yang dimiliki oleh komunitas sehingga lestari.
Achyut Siddu dari ASF Swedia, pemenang penghargaan ASF Awards 2019, berbagi pengalamannya dalam proyek Education Againts All Odds. Sebagai bagian dari program Pasca-sarjananya yang disebut reality studio, proyek ini bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan orang-orang yang bekerja bersama mereka. Proyek ini berada di pemukiman Obunga di Kisumu, Kenya, daerah kumuh dengan kondisi yang sangat buruk. Dengan kondisi sosial, ekonomi, dan kesehatan yang sangat kompleks, masalah ini sangat berdampak pada guru dan siswa. Tujuan dari proyek ini adalah membuat pendidikan yang berkelanjutan dan mengatasi tantangan-tantangan ini. Achyut besama denga timnya mulai memperbaiki sekolah dan membangun rumah bermain bersama dengan anak-anak.
Pawan dari ASF Nepal berbagi pelajaran dari rekonstruksi pasca bencana di Nepal. Terletak di Barpak, Distrik Gorka terdapat permukiman yang dilanda gempa 7,8 skala Richter hingga kehilangan lebih dari 400.000 rumah pada bulan April 2015. Pada awal proyek terdapat dana besar, tetapi sayangnya mereka gagal, total kerugian mencapai 80.000 euro dalam waktu 6 bulan. Belajar dari pengalaman mereka perbaiki metodologi dan tetapkan tujuan baru ASF Nepal kembali. Sebuah strategi baru untuk melestarikan warisan arsitektur vernakuler dengan mempromosikan budaya membangun setempat. ASF Nepal kemudian berfokus pada proses daripada produk, dan menetapkan sasaran baru dengan menggunakan budaya bangunan lokal dan meningkatkan keterampilan lokal.
Sementara itu Hendrik dari ASF-Belgia membahas masalah pemahaman warisan pada sebuah institusi pendidikan arsitektur di Antananarivo, Madagaskar. Sekolah arsitektur tersebut berfokus untuk melatih siswa dalam memahami konstruksi dan teknik. Praktek arsitektur di sekolah selalu berfokus untuk menanggapi preferensi klien. Pertanyaannya adalah bagaimana mengatasi masalah ini dan bagaimana mendefinisikan kembali warisan sebagai bahan yang berharga, bukan sekadar nostalgia romantis.
Sesi kedua dilanjutkan dengan diskusi oleh seluruh panelis bersama dengan Ahmad Djuhara sebagai penanggap dan Andrea Fitrianto dari ASF-Indonesia sebagai moderator. Dengan banyak krisis dan tantangan di seluruh dunia yang telah disajikan selama sesi kedua, ada kesamaan yang mengikat seluruh topik bahwa terdapat kenyataan berbeda yang kita hadapi dengan realita yang ada. Ahmad berpendapat, “What the presenters have done was, in a way, a luxury. When they are able to work with special people in need, unlike an architect usually work normally. In a prone disaster condition and with vulnerable communities, what we expect is sometime unimaginable as for example to what Achyut have said, not only the children learn from us but we also learn from them.” Sementara Lígia beropini, “Even without catastrophe we have to change the way we think. In Pawan’s presentation if we don’t have enough knowledge to work in such circumstances, we would probably make a huge mistake. We teach architecture in all over the world exactly the same way when they are in completely different sites. That’s why we are making a difference that we can be in anywhere in the world but facing the same issue: reality. The reality is what it is outside, that’s how we should train architects.” Andrea menutup sesi dengan kutipan dari Jorge Luis Borges, “Between the traditional and the new or between order and adventure there is no real opposition and that’s what we call tradition today is a knitwork of adventure.”
Leave a comment