Pengabdian Masyarakat (Pengmas) adalah salah satu program dari Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur (HMPSARS) di Universitas Parahyangan yang diselenggarakan sekali setiap tahun. Untuk tahun 2016, Dennis, Brian, Galih, dkk. menyelenggarakan dengan cara yang sedikit berbeda dengan sebelumnya; Pengmas tidak membawa gambar rancangan ke kampung tujuan melainkan hanya membawa selembar kertas kosong dan pikiran yang sudah dikosongkan; tabula rasa.
Sikap tabula rasa perlu. Supaya bisa menyerap sebanyak mungkin informasi yang didapat melalui observasi, wawancara, maupun pertemuan focus group discussion (FGD) bersama warga. Pertemuan FGD memberi kesempatan kepada setiap peserta untuk bersama-sama mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah-masalah di kampung. FGD juga membaurkan bias persepsi antara mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, maupun kelompok muda warga, menjadi jembatan bagi kelompok-kelompok tersebut. Metode riset bersama ini disebut participatory action research (PAR), di mana dihasilkan dokumen riset kampung yang inklusif dan berorientasi pada solusi strategis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Dokumentasi riset kampung ini menjadi langkah awal dari proses intervensi Pengmas bersama ASF-ID di Nangkasuni, sebuah kampung tepi sungai Cikapundung di dalam wilayah administrasi Kelurahan Tamansari, Bandung.
Permakultur merupakan cara pandang dan praktek agrikultur yang dekat dengan alam dan memiliki lingkup yang luas. Istilah ini mengakar pada kata “permanen” yang dihubungkan dengan “agrikultur/kultur”. Agrikultur Permanen adalah praktek agrikultur dan manajemen ternak yang memperbaiki kualitas tanah, menghasilkan, serta berkelanjutan. Terkait dengan akar kata ”kultur”, permakultur adalah aksi kerja memelihara, mendukung, bekerja, dan maju selaras dengan budaya lokal bersama alam dan manusia (IDEP, 2006). Salah satu tujuan, terutama yang dapat tercapai dalam praktek bertani, adalah olah jiwa dan raga untuk pengembangan dan penyempurnaan keadaan manusia, karena manusia memiliki keinginan di dalam dirinya untuk dekat dengan alam (Fukuoka, 2012).
Bambu dan Permakultur: Membangun Kandang Ternak merupakan kegiatan yang merangkai bidang permakultur dengan komitmen ASF Indonesia pada bambu sebagai bahan konstruksi yang ramah lingkungan. Kandang ternak yang sedang dibangun merupakan bagian dari Eco-Village inisiatif Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) untuk menjalankan praktek permakultur. Kegiatan ini diharapkan menjadi kesempatan bagi peserta awam untuk belajar bersama menerapkan pemikiran dan prinsip-prinsip tersebut.
Referensi:
-IDEP Foundation (2006). A Resource Book for Permaculture Solutions for Sustainable Lifestyles. Ubud.
-Fukuoka, Masanobu (2012). Revolusi Sebatang Jerami. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sabtu-Minggu, 5-6 Desember 2015
Biaya Partisipasi Rp 200.000,00*
*transportasi, akomodasi, konsumsi, & sertifikat
*slot terbatas
Sampai jumpa 🙂
CP: home@asf.or.id / 081220218585 (Usie)
Dalam berkomitmen kepada bahan-bahan alternatif yang memiliki potensi berkelanjutan, sebuah langkah awal yang lantas dapat dilaksanakan adalah meneliti dan menulis. Sedangkan salah satu material alternatif yang memiliki potensi jika dikembangkan dengan baik dan dapat dikaji dari berbagai aspek adalah bambu.
Rangkaian meneliti dan menulis merupakan suatu aksi aktif dan reflektif. Kesempatan berbagi tulisan penelitian di tahun ini hadir pada perhelatan Parahyangan Bamboo Nation 2. Digagas oleh jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan pertama kali di tahun 2014, acara ini digelar untuk yang kedua kalinya pada akhir Juli 2015. Kalangan mahasiswa menjadi peserta utama dengan kesempatan terbatas dibuka untuk peserta umum, untuk mereka yang tertarik dengan arsitektur bambu. Di antara sekian mahasiswa UNPAR Bandung, PBN-2 diikuti pula oleh para mahasiswa dan arsitek dari Kuala Lumpur, Hanoi, dan Wina. Materi presentasi meliputi sambungan dari Andry Widyowijatnoko, pengawetan bambu dari Purwito Hadiprawiro, filosofi bambu dari Eko Prawoto, hingga preseden arsitektural dari Yenny Gunawan, Markus Roselieb, dan Effan Adhiwira.
Acara utama diadakan di kompleks OBI Jatiluhur, di sekitar balai besar yang dibangun dengan bambu yang dirancang oleh Andry Widyowijatnoko. Acara lanjutan termasuk kunjungan lapangan ke Sekolah Alam Al-Giva Bogor, Kampung Kanekes-Baduy, studio perancangan di UNPAR, dan pembangunan balai warga di Sindangpakuon, Cimanggung-Rancaekek.
Arsitektur Bambu dan Teknologi Tepat Guna: Komunitas dan Keberlanjutan
Bambu sebagai bahan bangunan sudah lama menjadi satu subyek dalam dunia teknologi terapan alternatif, atau teknologi tepat guna. Karena bambu mudah didapat dan terjangkau oleh khalayak. Namun, belakangan ini konstruksi bambu menjadi topik hangat dalam arsitektur. Perkembangan ini tidak lepas dari inovasi pada sambungan dan isu kelestarian lingkungan. Kini publik arsitektur akrab dengan karya internasional Simon Velez, Vo Trong Nghia, dll. Di Indonesia kita saksikan karya Andry Widyowijatnoko dan eksperimen menarik di sekolah swasta Greenschool, Ubud.
Namun demikian, mahasiswa perlu belajar dari hal elementer dalam dunia arsitektur bambu, ini termasuk teori sambungan dan praktek sambungan yang paling sederhana menggunakan baut dan pelat baja. Pengalaman menggunakan sistim sambungan ini diantaranya adalah pembangunan balai warga di Yogyakarta, jembatan pedestrian di Davao, dan sekolah alternatif di Bogor. Lebih mendalam ada di makalah yang ditulis oleh Andrea, Bamboo Architecture for Sustainable Communities.
Bambu di Konteks Suburban-Rural: Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosiokultural
Refleksi mengenai bambu dapat mengundang banyak keingintahuan. Bambu merupakan sebuah tanaman yang membawa isu holistik, tidak hanya dari aspek desain maupun konstruksi, namun juga aspek ekologi, ekonomi, dan sosiokultural. Perjalanan ASF-ID selama satu bulan di Badaraksa Kidul, Jelegong, Kutawaringin, Kab. Bandung, telah menggali penemuan-penemuan awal mengenai keberadaan rumpun-rumpun bambu di konteks suburban-rural kampung tersebut.
Bambu sebagai material berkelanjutan bukanlah ide modern, namun sudah integral dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu. Bagaimanakah dinamika yang terjadi di masyarakat? Tantangan apa saja yang dialami oleh masyarakat yang dahulu erat kehidupannya dengan rumpun bambu? Selengkapnya dapat dibaca di makalah yang disampaikan oleh Usie dan Siska pada seminar; Bamboo as Building Material: Early Findings inBadaraksa Kidul Village.
Gempa bumi di Nepal, 25 April lalu, tercatat sebagai salah satu yang terburuk sepanjang sejarah. Tercatat, bencana ini menelan hampir 9 ribu korban tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka. Yang lebih memukul adalah lumpuhnya infrastruktur seketika dan terputusnya jalur bantuan kepada korban di pusat gempa yang membuat upaya pertolongan tidak bisa segera dilakukan.
Indah Widiastuti dari Institut Teknologi Bandung berbagi tentang arsitektur vernakuler dan ketahanan gempa.
Mencoba menyambung rasa dengan para korban yang berada ribuan kilometer jauhnya, ASF Indonesia menggandeng Pecha Kucha Night (PKN) dan beberapa LSM yang berjejaring bersama dalam menghelat sebuah malam khusus untuk Nepal. Sabtu 23 Mei 2015, bertempat di Labo the Mori, ASF Indonesia menjadi salah satu pemateri utama dalam Pecha Kucha Night (PKN) yang ke-19 yang mengangkat tema Bandung for Nepal.
Seperti temanya, PKN kali ini banyak bercerita tentang komunitas dan bagaimana gerakan-gerakan komunitas memberi kontribusi positif dalam perubahan di dalam masyarakat masa kini. Tetap dengan format 20×20, dimana setiap pemapar diberi kesempatan untuk mempresentasikan ide dan karyanya dalam 20 slide selama 20 detik, PKN ke-19 ini hadir lebih hangat dan beragam, dengan jangkar Nepal sebagai isu utama.
Diantara pemateri, ada Annye Meilani yang mewakili UPC (Urban Poor Consortium) dengan cerita tentang akar rumput, Ivana Lee yang bercerita tentang ASF (Architecture Sans Frontières) Indonesia, dan tentunya Andrea Fitrianto dari CAN (Community Architects Network) yang menjadi co-host PKN kali ini. Walau masih dalam keadaan duka, namun PKN menyajikan cerita-cerita tentang Nepal dengan suasana yang hangat dan penuh kekeluargaan. Mereka yang berbagi cerita tentang Nepal antara lain; Tarlen Handayani yang menuturkan pengalaman pribadinya menjadi sukarelawan di Nepal, juga Frans Ari Prasetyo dengan cerita tentang respon komunitas punk setelah bencana tsunami di Aceh.
Khusus PKNdi Bandung ke-19 ini, Labo, sebagai pemegang lisensi Pecha Kucha Bandung, menyambut proposal dari CAN untuk mengadakan penggalangan dana dengan menerapkan tiket masuk sebesar 20 ribu Rupiah kepada setiap pengunjung PKN. ASF, yang kala itu masih baru terbentuk menjadikan acara ini sebagai kesempatan baik untuk berkontribusi walau hanya sebatas penggalangan dana.
Penggalangan dana ini dilakukan serentak di tiga kota melalui PKN. Setelah Bandung, PKN Yogyakarta juga ikut menyelenggarakan penggalangan dana serupa. Kotak-kota amal sukarela juga turut disebar di kampus-kampus jurusan Arsitektur, di Universitas Gadjah Mada, Universitas Katolik Parahyangan, dan Universitas Indonesia. Begitupun dengan penggalangan dana di Jakarta Montessori School. Total dana yang terkumpul mencapai 25 juta Rupiah yang disalurkan melalui Lumanti Support Group for Shelter. Dana ini turut mendukung proyek pembangunan hunian bagi para korban bencana di titik-titik pusat bencana yang belum terjangkau bantuan kala itu.
Kegiatan-kegiatan seperti ini, walau terlihat remeh, namun sesungguhnya menjadi penyambung rasa yang efektif. Ada sebuah kedekatan yang mungkin tak kasat mata, ketika kita bisa bersama-sama merasaka penderitaan saudara kita yang jauh, melalui sharing ide dan cerita-cerita personal mengenai Nepal. Dan yang paling harus digarisbawahi adalah, kegiatan berjejaring harus terus menjadi nafas antar komunitas dan insan-insan kreatif. Dengan berjejaring, kegiatan berbasis komunitas tidak saja menjadi semakin kaya namun juga kian berdaya untuk menghasilkan karya-karya yang bisa berdampak bagi masyarkat secara luas.