Sekurangnya duapuluh ribu kilometer ditempuh Maria Cecilia Hurtado sebelum bertemu dengan ibu-ibu penyintas dari kampung-kampung pesisir barat Banda Aceh. Saat itu bulan Januari tahun 2006. Ibu-ibu berkumpul di balai warga gampong Meuraxa. Mereka duduk melingkar dalam berkelompok. Kemudian Cecilia memberi instruksi dalam bahasa Spanyol. Dengan bantuan penerjemahan simultan dari Javier, ia membuka sesi pelatihan membuat lukisan kain dengan menggunakan perca. Sebelum lukisan kain dibuat, masing-masing peserta menceritakan kisahnya, saat tsunami 26 Desember 2004 menerjang kampung dan rumah, merenggut nyawa anggota keluarga, kerabat, tetangga, jiwa orang-orang paling terkasih.
Ada yang menangis saat bercerita. Lainnya tabah dalam menerima kenyataan. Perihal emosi dan perasaan yang timbul saat bercerita, kolega psikolog-sosial Luisa Cabrera juga hadir di tempat, memberi bimbingan dalam sesi. Setelah seluruh peserta mendapat giliran bercerita, mereka mulai membuat sketsa pada kain latar yang sudah tersedia, ada yang berwarna hijau, hitam, putih, dan biru. Selanjutnya motif dan warna kain perca dipilih, digunting, dan dijelujur pada kain latar. Satu-per-satu langkah dikerjakan hingga utuh menjadi lukisan arpilleras tentang rumah dan suasana kampung saat kejadian tsunami.
Cecilia yang berasal dari Chile juga seorang penyintas. Ia pernah mengalami kekejaman rezim fasis Augusto Pinochet 1973-1990, rezim yang merenggut nyawa suaminya. Banyak perempuan mengalami nasib serupa sehingga terdorong untuk berkumpul, untuk saling menguatkan dan mengupayakan penyembuhan trauma lewat arpilleras. Pegiat arpillera Cecilia dan psikolog-sosial Luisa diutus ke Banda Aceh oleh Habitat International Coalition, sebuah jaringan LSM internasional yang memperjuangkan pemenuhan hak atas permukiman yang layak dan bermartabat. Mereka bergabung dalam program rekonstruksi yang dijalankan oleh Urban Poor Linkage (UPLINK) di 26 kampung di pesisir Barat sekitar batas kota Banda Aceh.
Di Aceh trauma psikologis timbul terkait peristiwa kehilangan akibat bencana tsunami. Trauma lainnya muncul sebagai rasa takut terhadap laut dan ombak. Bagi penyintas tsunami kerja fisik, misalnya kalangan bapak-bapak yang membersikan kampung dari puing-puing dan membangun naungan darurat, adalah obat penawar yang manjur bagi trauma. Banyak yang secara alamiah dan secara sosial saja sadar dan mawas untuk tidak membiarkan salah satu dari mereka termenung sendiri sehingga terpapar pada resiko jatuh ke jurang trauma yang semakin mendalam. Bagi para penyintas, momen krisis yang timbul setelah bencana alam hanya memberi dua pilihan; membiarkan diri larut dalam kesedihan atau bangkit meraih kembali sendi-sendi kehidupan yang tercerabut secara tiba-tiba.
Minggu ketiga setelah kejadian tsunami, UPLINK mengajak para penyintas yang tinggal di barak-barak pengungsian untuk bersama-sama kembali ke kampung. Gotong royong diadakan setiap hari untuk membersihkan kampung yang rata tertimbun oleh puing-puing. Kemudian balai warga didirikan sehingga dapat langsung digunakan untuk beristirahat dan berdiskusi setiap saat terasa perlu, siang dan malam hari. Lalu dapur umum didirikan di bawah tenda-tenda dan diselenggarakan untuk mengisi perut-perut yang kosong setelah lelah bekerja. Maka, waktu para penyintas di kampung menjadi efektif, sehingga semakin banyak yang bergabung dan bekerja di kampung; woe u gampong.
Kehadiran secara fisik di kampung asal telah menjadi semacam katarsis, membangkitkan semangat para penyintas untuk membangun kembali kampung mereka, membangkitkan harapan akan hari esok serta masa depan kampung. Ini kontras dengan suasana umum di barak-barak pengungsian yang terletak jauh hingga lebih dari sepuluh kilometer. Di barak penampungan bantuan makanan instan dan bahan makanan didrop secara reguler. Almarhum Pak Dirman, yang saat itu merupakan salah seorang penyintas, berucap, “tinggal di barak membuat kami serasa menjadi ayam potong.” Pak Dirman bergabung dengan UPLINK.
Demikian cuplikan berdasar kisah nyata di Aceh sekitar sepuluh tahun lalu. Sekiranya perlu juga dicermati oleh para arsitek, perencana, serta pekerja yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi pasca bencana. Arsitek dan pekerja pasca bencana juga berperan sebagai teman yang mendampingi. Maka, keterlibatan penyintas dalam proses pengambilan keputusan tentang arsitektur hunian dan ruang hidup secara sosial serta segala fasilitas pendukungnya menjadi penting. Metode desain partisipatif menjadi syarat mutlak dalam proses rekonstruksi rumah maupun tata kelola rehabilitasi kampung. Metode desain partisipatif menjadi jembatan untuk mencapai tujuan arsitektur hunian, psikologis, dan sosial sekaligus.
Dalam masa dua tahun perencanaan, perancangan, dan pembangunan pasca tsunami 2005-2006 oleh UPLINK di Propinsi Aceh tak terhitung berapa kali sesi pelatihan dan bekerja partisipatif dijalankan. Ini mencakup kegiatan pendataan warga yang selamat, pemetaan kampung, pengukuran lahan, perancangan desain rumah yang meliputi kategori rumah bawah dan rumah panggung, perencanaan fasum dan fasos di kampung termsuk meunasah dan masjid, pelatihan manajemen pembangunan rumah, hingga pelatihan produksi bata pres stabilized soil-cement blocks (SSB) dalam rangka menyiasati kelangkaan bata bakar tradisional, sebuah upaya menyediakan sendiri bahan bangunan yang ramah lingkungan.
Mengingat kembali kunjungan pribadi ke kampung-kampung ini di akhir 2014 lalu, anak-anak bermain dan bercengkrama di lingkungan jalan dan halaman kampung. Generasi pasca tsunami telah lahir dan tumbuh kembang. Kelak mereka mewarisi rumah-rumah dan kampung. Ada kesan, jumlah populasi kampung-kampung ini tidak banyak berubah. Memang tsunami telah menyapu rata-rata 90% penduduk wilayah ini. Tentunya perlu beberapa generasi untuk menjadikan kampung ramai seperti sebelum tsunami.
Tampak adanya perubahan pada rumah-rumah pasca tsunami. Banyak diantaranya ditujukan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan ruang. Rumah bawah tumbuh secara horisontal sampai semua ruang kosong pada lahan penuh terbangun. Rumah panggung tumbuh secara lebih spesifik dan terkendali, sehingga lahan masih memiliki pekarangan. Adakalanya ruang kosong bawah panggung berubah menjadi garasi mobil. Maka ruang bawah yang dimaksudkan sebagai ruang sosial, kini telah berubah menjadi ruang privat untuk menyimpan barang milik pribadi. Suatu fenomena yang semakin lazim, semakin dekat rumah dengan kota.
Selain itu ada pula rumah-rumah yang terbengkalai karena ditinggal penghuninya. Menurut para tetangga, sebagian penyintas memilih untuk pergi selamanya dan bergabung dengan keluarga mereka yang tinggal di luar kota Banda Aceh. Memang suasana di kampung pesisir di saat hujan, saat badai di musim angin Barat, terkadang menghadirkan rasa ngeri. Terlebih mengingat gempa bumi yang bisa saja hadir di bumi Aceh setiap saat, seperti halnya yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember lalu. Maka, jika trauma tak kunjung pergi, pilihan tempat bermukim adalah pilihan untuk memperoleh rasa betah, kerasan. Sudah barang tentu di bawah naungan rumah yang tetap aman di saat terjadi gempa.