Brown Bag Session #2: Cities. Kampungs. Gecekondus
host: Dian Tri Irawaty (RUJAK)
Sunday, July 31st, 2016 // 10.30 AM – 13:00 PM // @ASF-ID Secretariate, Jl. Kotabaru 32A, Bandung // info: 0819-0826-6898 (Dette)
#1 Yantri Dewi – Socio-spatial mapping as a form of advocacy.
Jakarta government has several poverty alleviation programs that rely on demographic data at the Kelurahan (sub-district) level. However, the lack of genuine participation in data collection has caused mis-targets in the field. UPC (Urban Poor Consortium), with supports from UN Pulse Lab, runs a test for socio-spatial data collecting method, in three kampungs in North Jakarta within two months period. The data result is laid for community upgrading and kampung planning purposes.
Yantri is a trained architect from Parahyangan Catholic University (UNPAR) Bandung and finished her Master Degree in Human Settlements in KU Leuven, Belgium. Later experiences including ecological certification for buildings and volunteership for UPC. Currently, Yantri teaches at Matana University, Tangerang.
#2 Margaux Caboche – Istanbul and the architectural ingenuity of its settlement, Gecekondu.
The gecekondu is a habitat with qualities and spatial ingenuity which deserves recognition. The urban fabric of gecekondu forms ramifications and capillary networks where rights of passage and rights of use overlap. Boundaries between public and private are blurred. Gecekondu are also an infinite source of project elements and tools, more than a typology, it is mainly a phenomenon with singular adaptability.
In 2012 Margaux lived a year in Turkey and observed and studied gecekondular, Turkey’s informal human settlements. She graduated from the Architecture Faculty La Cambre-Horta, ULB, Brussels, Belgium (Master-2015) and did her Master 1 in Mimar Sinan Fine Arts University, Istanbul. Margaux lived in England, France and Belgium; she moved to Bandung to work with Architecture Sans Frontières Indonesia.
1st General Assembly (GA) merupakan musyawarah pertama ASF-ID yang digelar untuk mendiskusikan bersama setahun kerja dan kinerja ASF-ID sejak pendirian di Bandung pada 15 Mei 2015. GA juga akan merencana arah gerak bersama ke depan dalam sisa masa kepengurusan pertama (2015-2017). GA akan dihadiri oleh pengurus harian, pendiri, serta para pegiat ASF-ID.
hari : Sabtu, 30 Juli 2016
tempat : Rumah KAIL (Kuncup Padang Ilalang), Kampung Cigarukgak, Cilengkrang, Bandung.
Panitia akan mengkoordinasi transportasi dari Sekretariat bilamana dibutuhkan. Untuk keterangan lebih lanjut hubungi via email: home@asf.or.id
Pada pertengahan tahun 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pembersihan kawasan pinggir Sungai Ciliwung dalam rangka normalisasi. Kampung-kampung yang berjajar di pinggiran Kali Ciliwung pun tak terhindar dari penggusuran. Sekitar 300 rumah di Kampung Pinangsia dan lainnya dihancurkan, sisanya kehilangan muka rumah yang menghadap ke kali. Penggusuran pinggir kali menjadi momok bagi warga kampung lainnya. Mengantisipasi penggusuran, warga kampung Tongkol, Krapu, dan Lodan tidak putus harapan. Terletak diantara Sungai Anak Kali Ciliwung dan sisa-sisa benteng kolonial Belanda di utara Jakarta, tiga kampung tersebut percaya bahwa penggusuran bukanlah satu-satunya cara dalam pembangunan kota. Mereka mengorganisasi diri dan menunjukan alternatif lain yaitu perbaikan kampung (kampung upgrading).
Difasilitasi oleh Urban Poor Consortium (UPC), warga menerima pinjaman sebesar 160 juta Rupiah pada bulan November 2015. Pinjaman tersebut merupakan dana bergulir untuk kepentingan peningkatan kualitas lingkungan di pinggir kali, termasuk pembangunan lima unit Rumah Contoh. Warga yang tergabung sebagai Komunitas Anak Kali Ciliwung memulai perbaikan dengan memotong struktur bangunan di sepanjang Anak Kali Ciliwung selebar lima meter dari bibir sungai. Ruang lima meter tersebut akan digunakan sebagai jalan inspeksi sungai.
Rumah Contoh pertama di Kampung Tongkol dirancang tiga lantai untuk mentransformasi hunian horizontal milik tujuh keluarga menjadi hunian multi-keluarga vertical (co-housing). Tujuh keluarga ini saling berbagi ruang semi-privat, fasilitas air bersih, dan sanitasi di bawah satu atap. Keterbatasan ruang menjadi tantangan bagi mereka. Keterlibatan warga dalam proses perancangan sangat diperlukan. Warga ikut bernegosiasi terutama dalam pembagian luas dan perletakan ruang.
Pemilihan material Rumah Contoh jatuh kepada bahan bangunan lokal yang sangat mudah didapat, yaitu bata ringan berpori, kayu daur-ulang, dan bambu. Struktur utama menggunakan beton bertulang dengan bata ringan sebagai material dinding. Struktur rangka atap dan kanopi menggunakan bambu yang sudah diawetkan. Selain kemudahan dalam mendapatkannya, bambu merupakan material yang ringan dan kuat. Rangka atap tersebut tidak memberikan beban yang berat kepada dua lantai di bawahnya. Pengunaannya sebagai rangka atap masih terbilang baru di kalangan warga. Oleh karena itu, Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) memfasilitasi warga dalam pelatihan pengawetan bambu dan konstruksi bambu dengan sambungan mur-baut. Kegiatan pelatihan konstruksi merupakan salah satu media yang efektif dalam proses pertukaran pengetahuan diantara warga serta arsitek selaku fasilitator.
Pada Januari 2016, proses konstruksi selesai. Warga mengecat dinding rumah bersama-sama dan anak-anak turut menggambar lukisan dinding. Beberapa modifikasi pada railing bambu dan penopang kanopi dilakukan oleh warga, membuat bangunan menjadi sedikit berbeda dari rancangan awal. Hal tersebutlah yang membuat proses pembangunan partisipatif ini menjadi semakin menarik.
Proses pembenahan kampung hingga pembangunan Rumah Contoh merupakan bukti bahwa warga kampung informal bantaran dapat hidup serasi dengan sungai. Dan di Kampung Tongkol, mereka tetap menjaga reruntuhan tembok warisan kolonial. Sebuah solusi saling menguntungkan tercapai melalui proses perencanaan desain dan perbaikan kampung yang partisipatif. Tentunya, ini menjadi sebuah alternatif terhadap praktek penggusuran dan pemindahan ke rusunawa.
Tidak berhenti pada pembangunan rumah contoh, bersama relawan arsitektur Universitas Indonesia dan ASF-ID, warga meneruskan kegiatan melalui pelatihan merancang fasad, utilitas, dan pertanian kota (urban farming), pengelolaan sampah, pembuatan kompos, hingga pada hari Minggu, 26 Juni 2016 lalu menyelenggarakan tur wisata sejarah kota tua sebagai bagian dari rangkaian acara Kotatua Ruang Kita yang diselenggarakan bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur dan UNESCO.
Pembangunan Rumah Contoh sebagai permulaan proses perbaikan di Kampung Tongkol, Lodan, dan Krapu berikut rangkaian kegiatan-kegiatan positif setelah itu memberi bukti; bahwa keswadayaan masyarakat kampung kota dalam mengorganisasi diri dan mengubah kampung dan memperbaiki lingkungannya adalah sebuah potensi yang selama ini hanya dipandang sebelah mata.
Abad ke-21 adalah abad yang penuh krisis, begitu kata teman ngobrol malam mingguan gw kemarin. Karena kondisi krisis, justru konteks berarsitektur harusnya juga lebih lentur dan tanggap dengan keadaan dan kebutuhan. Ini yang membuat participatory design atau arsitektur komunitas terdengar relevan kembali. Kita harus berhenti bergantung pada kelompok 1% untuk mengelola sumber daya bagi kelompok 99%. Arsitektur harus mulai bisa beradaptasi dengan bahasa-bahasa awam dan terbuka dengan masukan.
Temen gw ini emang suka berat mikirnya, makanya udah mulai ubanan, walau umurnya masih dikit. Tapi dari sudut manapun, bagi gw pendapatnya terdengar berdasar. Keterhubungan, antara sumber daya, pelaku, dan permintaan, adalah kunci dimana sebuah sinergi baru yang lebih mandiri bisa terjadi. Ini yang mendorong Architecture in Development (AiD) sangat antusias dalam mendorong terbentuknya sebuah platform baru yang memungkinkan pertemuan ketiga elemen ini agar bisa terjadi secara asik.
Beberapa tahun terakhir, AiD telah membantu pertumbuhan gerakan-gerakan arsitektur komunitas di banyak negara dengan melibatkan lebih dari 40.000 profesional muda yang memang berdedikasi dalam bidang arsitektur komunitas.
Juni lalu, AiD meluncurkan kompetisi #Buildify yaitu sebuah platform global yang memungkinkan pendistribusian sumber daya dalam berbagai bentuk dan mengusahakan pertemuan dan kolaborasi antar elemen. Harapannya, arsitektur tidak hanya bergerak dari atas ke bawah, tapi juga bisa terbangun dari bawah keatas, dan benar-benar didorong oleh kebutuhan dan aspirasi oleh komunitas.
#Buildify(baca: bildifai) tidak semata sebuah kompetisi, namun juga kesempatan untuk terhubung dengan para profesional, sumber daya, juga para innovator yang memungkinkan hadirnya karya yang tadinya terlihat mustahil menjadi mungkin. Insiatif komunitas yang tadinya hanya berdampak mikro, bisa jadi menjangkau komunitas-komunitas dan bahkan kelompok lain di belahan dunia yang lain. Ayo bantu inisiatif baik ini dengan mengajukan proyek yang menurut kalian memenuhi kriteria berikut:
Merupakan kolaborasi tim yang terdiri dari lintas ilmu dan mengikut-sertakan wakil dari komunitas sebagai pihak yang berhak dan bertanggung jawab atas hak cipta proyek.
Merupakan bentuk respon dari sebuah kebutuhan yang mendesak dalam komunitas tersebut.
Mempunyai nilai arsitektur, kususnya dalam hal mewakili nilai dan identitas dari komunitas tersebut.
Proyek mempunyai perspektif jangka panjang untuk pengembangan komunitas.
Proyek mewakili sebuah model pengembangan yang sangat spesifik dengan konteks yang ada.
Terdapat keterlibatan komunitas yang kuat di dalam tim.
Ini adalah upaya untuk mengubah wajah praktek arsitektur kita menjadi lebih terbuka, lebih partisipatif, juga tepat sasaran karena dilandasi oleh kebutuhan serta aspirasi dari komunitas. Sampai dengan 10 Agustus 2016*, #Buildify akan menjaring inisiatif-inisiatif dari arsitek komunitas yang memenuhi kriteria di atas. Lalu proyek-proyek yang masuk akan mendapat ulasan di AiD sebagai bentuk promosi dan penyebaran informasi mengenai proyek.
Pada bulan September, akan diadakan penjaringan untuk proyek-proyek yang menjadi finalis. Lalu, selama bulan Oktober hingga November, finalis akan melakukan kampanye untuk mengundang pihak-pihak yang dibutuhkan agar ikut terlibat lebih lanjut. Lalu, 9 bulan setelahnya, tim #Buildify berkomitmen untuk membantu proyek-proyek ini untuk bisa mendapatkan semua bantuan yang dibutuhkan untuk bisa diwujudkan.
Ayo, kapan lagi neh!!!
*) tenggat pemasukan #Buildify diperpanjang menjadi 20 Agustus 2016
Pruitt Igoe yang malang. Lahir dalam selimut impian dan kebanggaan. Imaji kesuksesannya menjangkau jauh melampaui bingkai kemiskinan, rumah yang layak, dan kemajuan kota. Namun waktu berbicara lain. Ia mati meninggalkan puing-puing harapan, debu mitos, dan bayang-bayang mimpi buruk.
Tapi apa makna sebuah kegagalan dalam perumahan? Rumah tak pernah bermakna tunggal. Ia memiliki banyak dimensi yang berkelindan, seringkali bersinggungan dengan ‘ruang di luar’ rumah. Pruitt-Igoe, perumahan vertikal dengan total 2.700 unit di area 22 hektar, merangkum dimensi yang jamak itu.
Bermula dari Grand Design
St. Louis tahun 1940 dilanda kekeringan ekonomi paska perang. Krisis menuntut negara untuk berdiet dalam pengeluaran proyek, menghemat material, dan mendorong pertumbuhan investasi. Housing Act 1949 mengemuka pada masa ini dalam bentuk kebijakan perumahan yang mengulurkan akses perumahan layak bagi seluruh lapisan masyarakat. Ia menyasar kota-kota yang membutuhkan, berpotensi berkembang dengan perencanaan dan perancangan skala besar. St Louis menjadi salah satu pion pengeraknya. Saat kota mulai lesu, hal pertama yang dilakukan adalah membuka keran investasi untuk mempercantik rupanya. Dana pemerintah pusat mengalir untuk megentaskan pemukiman kumuh di utara kota dan membangun perumahan massal yang menjadi tren kebijakan masa itu.
Maka Pruitt Igoe pun lahir di tahun 1954. Perumahan vertikal sebelas lantai dengan fasilitas taman dan area olahraga itu menggantikan rumah usang, lembab, dan gang kotor pemukiman kumuh di utara kota. Dengan lokasi strategis di St. Louis, Pruitt Igoe didamba menjadi simbol perumahan massal nomor satu. Kemampuannya mengakomodasi 657 jiwa per hektar diharapkan bisa menggeliatkan pertumbuhan di pusat kota. Namun, perencanaan itu melupakan dimensi lain di luar logika estetika pembangunan kota. Pruitt Igoe yang dihuni oleh warga migran kulit hitam korban penggusuran di menjadi momok bagi warga kulit putih untuk berbagi tempat tinggal. Di saat bersamaan, kota-kota satelit di sekitar St. Louis bertumbuh, disokong oleh kebijakan perumahan yang memberi kemudahan akses kredit perumahan milik. Berbondong-bondong warga kulit putih memiliki rumah impian dengan taman belakang yang luas, kebun, parkir mobil pribadi, dan dikelilingi oleh warga dengan ras yang sama. Tahun 1958, dinamika politik antar kota membuat populasi St Louis berkurang hampir separuh.
Ketika ‘Pasar’ Bekerja
Eksodus kelas menengah dan menegah atas yang didominasi warga kulit putih membuat perekonomian St. Louis diujung tanduk. Harga pasar rumah milik turun drastis karena ditinggalkan oleh penghuni ke kota lain. Ditengah kepanikan itu, kemiskinan warga kulit hitam diperburuk dengan diskriminasi dalam mengakses pekerjaan. Pruitt Igoe hanya ditempati oleh warga miskin yang tak mampu mengakses kebijakan perumahan milik dan membutuhkan tunjangan sosial.
Meski lahir dari inisiasi pemerintah pusat, pengelolaan sehari-hari Pruitt Igoe dilepaskan pada pemerintah kota St Louis. Di bawah tangan Housing Estate, manajemen Pruitt Igoe dikelola dan didanai oleh subsidi pemerintah kota dan biaya sewa penghuni. Tahun 1960, penghuni Pruitt Igoe semakin berkurang sementara beban pengelolaan perumahan 22 hektar itu semakit berat. Kerusakan mekanis dan vandalisme mulai bermunculan. Hal ini diperburuk dengan meningkatnya kriminalitas dan pengelola yang mulai lepas tangan.
Gejala kejatuhan Pruitt Igoe kian bertambah dengan wacana stigma negatif dan kerusakan fisik yang kian parah. Dengan kondisi tersebut, para penyewa perumahan massal di St. Louis unjuk rasa, bersama-sama menuntut pengelola untuk bertanggung jawab atas ketidakmampuan mereka menjamin kenyamanan pemukiman. Advokasi dilakukan terus menerus, negosiasi diperjuangkan, namun hanya sedikit upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kompleks perumahan masif itu.
Puncak dari gejolak perumahan massal itu adalah keputusan untuk menutup Pruitt Igoe di akhir tahun 1960. Setelah memindahkan penghuni yang tersisa, ledakan penghancuran Pruitt Igoe dilakukan di tahun 1973, disaksikan oleh berjuta mata yang menyimpan memori dan harapan tentangnya di masa silam. Media dan kritik arsitektur merekamnya sebagai ‘kegagalan arsitektur modern’, namun Pruitt Igoe tak bisa melupakan bayang-bayang dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang menghantuinya.
Dari St. Louis ke Jakarta: Bercermin pada Pruitt Igoe
Berkaca pada St. Louis dan Pruitt Igoe, apa sesungguhnya yang bisa dipejari untuk melihat Jakarta dan penggusuran yang kian marak?
St. Louis memaparkan logika pertumbuhan kota dengan transformasi ruang yang berorientasi profit, melalui perbaikan ‘wajah’ arsitektur kota. Ini berkelindan dengan transformasi pemukiman melalui konsep housing as driver for urban growth. Seringkali logika ini melupakan dimensi tak kasat mata; kemiskinan, segregasi sosial, dan subjektivitas individu, berujung pada dominasi wacana yang memenuhi media maupun obrolan keseharian.
Slum, atau area yang diidentifikasi dengan kualitas pemukiman yang rendah, muncul dari kebutuhan bertempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena tertutupnya akses perumahan. Ia adalah pilihan yang bisa diakses oleh migran dengan modal minim. Keberadaan slum tak lepas dari pasar tenaga kerja di kota dimana para migran ini menggantungkan hidup mereka. Upaya memperbaiki slum dengan memindahkan populasi migran ke perumahan massal seperti Pruitt Igoe akan sia-sia tanpa dibarengi dengan peningkatan ekonomi individu dan kelompok.
Karena itu, kebijakan perumahan rakyat menuntut kerangka kritis akan posisi rumah yang multidimensi. Dalam konteks Indonesia, kebijakan perumahan rakyat tak lepas dari komitmen internasional pengentasan pemukiman kumuh. Sustainable Development Goals yang diterjemahkan sebatas perbaikan pemukiman kumuh dengan membuka akses pasar perumahan formal seluas-luasnya, seakan ahistoris dengan realita Pruitt Igoe di tahun 1960an. Penggusuran pemukiman kumuh yang terjadi di Jakarta hanyalah gejala permukaan dari logika pembangunan kota yang pragmatis dan strategi peningkatan nilai tanah di kota. Rumah, baik individual maupun massal, menjadi apa yang Foucault sebut sebagai ‘instalasi ekonomi politik’, dan tata kelola kota menciptakan konstruksi sistem relasi tersebut.
Jika kita ingin mengulik lebih jauh, Jakarta memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kasus St. Louis. Kehadiran kaum migran di kota tidak serta merta bergantung pada jatuh bangunnya lapangan pekerjaan atau ekslusi dalam aksesnya. Sebagian warga kota ini justru mengisi ruang-ruang ekonomi informal yang juga bersimbiosis mutualisme dengan ekonomi formal. Segregasi sosial pemukiman kumuh, yang sering identik dengan perkampungan, dalam kesehariannya lebih pada akumulasi ruang politik yang dibatas dan ditekan.
Kenyataannya, berjalan di perkampungan di Jakarta yang ramai dan vibrant, akan terasa lebih aman dibanding melintasi neighborhood ‘rapi’ tapi muram di kota Amerika. Ditambah lagi dengan aktivitas PKL, baik yang temporer menetap maupun yang mobile, menghidupkan ruang-ruang publik kota hingga larut malam. Bukankah keberadaan mereka yang luput dari perencanaan formal ini begitu positif pada keseharian kota?
Sesungguhnya keberadaan kampung di Jakarta adalah bentuk partisipasi warga kota untuk bertempat tinggal dengan aset yang mereka miliki. Jika Pruitt Igoe hanya bertahan dua puluh tahun, kehadiran kampung-kampung yang bahkan berusia lebih dari lima puluh tahun menegaskan bagaimana jaringan sosial dan ekonomi telah berhasil terbangun, terjaga, dan dikelola oleh warga sendiri.
Tentu saja ada keterbatasan infrastruktur fisik dalam kampung karena pertumbuhannya yang organik, namun ini dapat diselesaikan dengan penataan in situ. Rumah bagi warga kampung adalah sebuah proses bermukim yang mampu mereka bangun, disaat pemerintah tak sanggup menyediakan pemukiman terjangkau. Sementara kota sangat membutuhkan populasi untuk bisa menjaga stabilitas sosial ekonomi dan berkembang bersama kota-kota lain.
Karena itu partisipasi warga dari berbagai kalangan perlu dihargai dan diakomodir dalam proses pembangunan. Setiap warga kota memiliki peran di dalam membangun kota, dan ini adalah sebuah karya yang tak pernah selesai. Bukankah potensi kreativitas kota ini terlalu besar untuk diserahkan pada keputusan monolit segelintir orang?
Lantas, ketika warga kota ini berkata ‘tidak’ pada instalasi ekonomi politik yang meruntuhkan relasi sosial ekonomi, bukankah itu hal yang sangat logis? Bukankah negara menjamin keberadaan mereka bertempat tinggal yang layak dan kebebasan untuk berekspresi mengemukakan pendapat? Siapa yang paling mengerti dan memahami nilai sebuah pemukiman/kampung kalau bukan warganya sendiri? Apakah rusunawa adalah solusi imbang dan sepadan dengan nilai kolektivitas sebagai komunitas dan nilai rumah sebagai tempat berlindung serta mencari penghidupan di kota selama bertahun-tahun? Bagaimana kreativitas dan aspirasi warga yang bermukim dapat diakomodasi dalam proses perencanaan dan perancangan kebijakan perumahan?
Diskusi pemutaran film Pruitt Igoe tanggal 19 Juni 2016 menyiratkan refleksi kritis tentang makna rumah dan dimensi sosial, ekonomi, serta politik yang menyelimuti. Seperti lapis bata demi bata yang membuatnya terbangun, rumah menyimpan narasi dan memori yang tak ternilai. Dibelakang sebuah potret penghancuran rumah susun di Amerika, ada wajah-wajah sendu yang dibayangi oleh pertanyaan untuk ke sekian kali; kemana kami harus pergi setelah ini? Di depan potret itu kita perlu belajar dan berusaha mencari ruang-ruang baru untuk mengembangkan gagasan kebijakan perumahan dan kota di masa sekarang.
Pemutaran film dan diskusi The Pruitt-Igoe Myth diselenggarakan atas kerjasama Ciliwung Merdeka, LBH Jakarta dan ASF Indonesia.