Arsitektur sering kali dipahami sebagai sebuah keluaran karya yang dihasilkan lewat kerja arsitek, sebagai seorang pencipta, pemilik kuasa, serta standar selera, yang mengendalikan seluruh rangkaian proses yang ada. Arsitektur dengan segala kelengkapan struktur, guna, serta keindahannya,menjadi otoritas dan otonomi sang arsitek. Arsitek adalah sang seniman. Dalam konteks ini, memahami karya arsitektur adalah dengan memahami arsiteknya, vice versa.
Namun begitu, beberapa dekade terakhir, pendekatan praktik profesi arsitek yang otonom dengan kuasa terpusat pada arsiteknya mulai dianggap tidak lagi cukup untuk menghadapi tantangan jaman, bahkan dianggap sebagai sumber persoalan. Manfredo Tafuri (1973) menyebut model praktik seperti ini telah mencabut arsitek dan arsitekturnya dari tanah realita, hal yang kemudian disebutnya sebagai matinya arsitektur. C. Greig Crysler (2013) juga turut mengkritik model profesi yang otonom karena model ini mengakar hingga ke model pendidikan arsitektur, yang turut melahirkan profesional-profesional arsitek yang pasif dan lepas dari tantangan sosial politik yang melingkupi konteks praktiknya.
Kesadaran ‘baru’ inilah yang kemudian mendorong lahirnya praktik arsitektur yang lain, yakni model yang mengedepankan prinsip partisipasi, yang mensyaratkan terjadinya distribusi kuasa dalam proses kerjanya. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah; arsitek bukan lagi pemegang otoritas tunggal atas nilai suatu karya. Hal ini juga berbuntut panjang, sejalan dengan terjadinya distribusi kuasa (multi author), proses kerja perancangan tidak lagi berjalan linier dan dapat ‘(sepenuhnya) dikontrol’, seringkali membesar dan melebar ketimbang mengerucut atau (dipaksa untuk) fokus, karenanya keluaran karya pun menjadi sangat-sangat berbeda dengan keluaran karya arsitektur umumnya.
Inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti, ”Lalu di manakah arsitekturnya? Siapa sebenarnya arsiteknya? Apa itu keindahan?”
Untuk menjawab pertanyaan ‘ringan’ tersebut Rembuk dan ASF Indonesia mengajakmu mengupas bersama karya-karya dari Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID), yang bernapaskan partisipasi dalam banyak praktik kerjanya, lewat kaca mata filsafat estetika. Filsafat estetika dipakai sebagai perangkat kritis untuk menjawab pertanyaan di atas secara luas dan mendalam karena melalui cabang filsafat ini, kita akan dibantu untuk melihat keindahan sebagai bukan satu-satunya nilai estetis (masih ada nilai estetis lain dalam estetika), serta memahami estetika yang bukan hanya membahas tentang nilai estetis tetapi juga pengalaman estetis: seperti hubungan antara karya dengan masyarakat (Martin Suryajaya, 2016).
Oktober 2016,
Rembuk! dan ASF Indonesia
“Arsitektur Partisipatoris:
(di mana) Arsitektur,
(siapa) Arsitek, dan
(apa) Keindahan?”
Jumat, 11 November 2016
Pukul 17:30-21:00
Ruang Gerilya,
Jl. Raden Patah 12, Bandung
Tempat terbatas
Pendaftaran di (tidak dipungut biaya)
Leave a comment