bwob_banner

Bambu Tanpa Batas

Artikel diperbarui pada 26 Mei 2020

Bambu Tanpa Batas
Bambu Tanpa Batas, bersama Jörg Stamm et al di Institut Teknologi Bandung tanggal 22 Juli 2017.

Banyak yang dapat dipelajari lewat acara “Bambu Tanpa Batas” yang diselenggarakan di kampus arsitektur Institut Teknologi Bandung di Sabtu pagi tanggal 22 Juli 2017 lalu. Tiga presentasi menjadi pemantik diskusi singkat dan padat tentang material bambu, material yang masih jarang digunakan di bidang arsitektur dan konstruksi. Dihadiri oleh empatpuluh peserta yang terdiri dari pegiat, praktisi, mahasiswa, dosen, serta pengurus Ikatan Arsitek Indonesia daerah Jawa Barat, tiga pembicara membawakan sudut pandang yang cukup berbeda berdasar pengalaman mereka masing-masing.

Pembicara utama acara ini adalah Jörg Stamm, seorang praktisi struktur bambu kelahiran Jerman dan terlatih sebagai tukang kayu. Dengan pengalaman selama hampir duapuluh tahun, Jörg menjelaskan proyek-proyek bambunya yang tersebar di seluruh dunia, terutama jembatan pedestrian yang dibangun di Cúcuta, Kolombia dan di Bali. Menurutnya, bambu adalah material lokal yang paling cocok untuk digunakan di negara-negara tropis. Sambil menjelaskan sisi teknis dari penggunaan bambu sebagai struktur, ia mengajak peserta untuk mulai melihat bambu sebagai material kelas atas yang membutuhkan investasi dan pengetahuan teknis memadai demi menggerakkan pasar konstruksi bambu.

Pernyataan Jörg didukung dengan presentasi dari  Andry Widyowijatnoko, sebagai dosen arsitektur ITB sekaligus salah satu arsitek yang konsisten menggunakan bambu pada karya-karyanya. Pada suatu titik di perjalanan karirnya, beliau memutuskan untuk tidak lagi menganggap bambu sebagai “kayunya orang miskin.” Melalui riset dan studi yang panjang, Andry mulai memamerkan sambungan-sambungan bambu menjadi elemen desain yang kuat dan indah.

Konstruksi jembatan bambu di Orangutan Haven, kredit klip: Sumatran Orangutan Conservation Programme

Bambu tanpa Batas presentasi Andrea dan Ihot, acara kolateral di Orangutan Haven, 12 Agustus 2017

 

Pandangan yang sedikit berbeda datang dari Andrea Fitrianto dari ASF Indonesia melalui pengalamanya mendesain dan mendampingi pembangunan jembatan bambu di Davao, Filipina, dan di Solo. Menurutnya, bambu adalah “bahasa yang universal” yang dapat menyatukan warga setempat dengan pegiat lintas profesi dan membentuk relasi sosial yang baru. Andrea juga mengajak para praktisi untuk tidak hanya berbagi tentang kisah sukses namun juga sikap terbuka dalam membahas kegagalan desain maupun hambatan dan resiko yang dihadapi dalam masa konstruksi.

Pada akhirnya, perbincangan ini mengajak para peserta untuk memulai ikut serta dan memilih peran masing-masing dalam perkembangan konstruksi dan arsitektur bambu.

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *