KASEP: Sistem Pengelolaan Sampah untuk Warga Kampung Kota Indonesia’s Top 12 Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016
Masyarakat selaku penghasil sampah harus ikut berperan dalam pengelolaan sampah sebagai amanat UU No. 18 Tahun 2008 dan Perda No. 09 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah Kota Bandung. Kampung kota, seringkali dikaitkan dengan informalitas, adalah penyusun terbesar struktur terbangun kota dan penyumbang sampah utama. Kampung kumuh, maka kota kumuh. Namun di sisi lain, berdayanya kampung akan menjadi kontribusi yang amat sangat besar terhadap kebersihan kota.
Menilik kesenjangan dan potensi antara tata kelola formal dan informal seperti kampung, tiga lulusan muda arsitektur dengan dukungan ASF-ID, Kristo, Usie, dan Siska, mengolah konsep aplikasi pengelolaan sampah berbasis peta. Konsep tersebut diajukan dalam ajang Big Ideas Competition for Sustainable Cities 2016, pada bulan Maret lalu. KASEP: Kampung-scale Waste Management Platform menjadi bagian Top 12 yang terpilih dari 100 lebih partisipan di Indonesia.
Simak saduran kisah kegiatan-kegiatan nyata yang mendasari konsep KASEP dalam format komik.
INDONESIA DARURAT SAMPAH
Indonesia mengalami darurat sampah[1]. Tata kelola persampahan seringkali tidak dapat mewadahi dinamika dan realita. Aktivitas manusia makin banyak menyisihkan material terbuang terlebih lagi di perkotaan. Timbulan sampah terjadi di area berkepadatan penduduk tinggi di mana sarana kelola dan lahan penampungan terbatas.
Kota Bandung pun tidak luput dari permasalahan itu. Setiap hari, kota Bandung menghasilkan 1500-1600 ton sampah.[2] Lebih dari separuh sampah tersebut adalah sampah organik.[3] Namun nyatanya, 30% dari total sampah per hari tidak dapat ditransportasikan karena berbagai kendala[4].
Tata kelola sampah Indonesia sudah mengenal Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) maupun usaha-usaha pengolahan lain. Akan tetapi, tata kelola masih cenderung mengutamakan konsep pemindahan sampah dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Pengumpulan Akhir (TPA). Di kota Bandung, terdapat 160 TPS, 10 di antaranya adalah TPST.
Sebanyak 1000-1100 ton sampah Bandung dipindahkan setiap hari ke TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung. Pemindahan sampah ini mengandalkan sarana-sarana perusahaan daerah maupun swasta. Semakin banyak sampah yang harus dipindah, semakin besar pula upaya transportasi sampah.
Sebelum proses pengolahan dan pemindahan sampah oleh Perusahaan Daerah Kebersihan (PD Kebersihan), terjadi proses manajemen sampah di masing-masing tempat timbulan sampah. Sumber sampah terbesar kota Bandung adalah permukiman yang mencapai 65% dari total sampah.
Tabel 1. Sumber sampah kota Bandung (PD Kebersihan Action Plan 2014)
No.
Sumber Sampah
Ton
%
1
Permukiman
983.40
65.56
2
Pasar
281.55
18.77
3
Jalan
82.80
5.52
4
Daerah Komersil
89.85
5.99
5
Institusi
42.15
2.81
6
Industri
20.25
1.35
TOTAL
1.500
100
Manajemen sampah berbeda satu sumber ke sumber yang lain. Pada permukiman swadaya seperti kampung kota, warga mengelola secara swadaya dengan perangkat RT dan RW. Beberapa permukiman formal/privat memiliki sistem kelola masing-masing. Pun industri, institusi dan komersial memiliki pengelola setempat. Berikut skema operasional manajemen dan transportasi sampah yang disiarkan oleh PD Kebersihan Bandung:
Gambar 1. Operasional komersil dan nonkomersil (diolah dari Peraturan Daerah Kota Bandung No 09 Th. 2011 Tentang Pengelolaan Sampah)
Gambar 2. Operasional rumah tinggal (diolah dari Peraturan Daerah Kota Bandung No. 09 Th. 2011 Tentang Pengelolaan Sampah)
Permukiman menghasilkan sampah terbesar (65%). Selain karena kepadatan penduduk yang tinggi, permukiman bertipologi kampung memang menyusun 46.12% lahan terbangun di kota Bandung. Prosentase ini jauh lebih besar dibandingkan permukiman formal, industri, dan jasa.
Gambar 3. Diagram lahan terbangun kota Bandung (diolah dari Widjaja, 2003)
Kesimpulan dapat kita tarik dari data-data yang terkumpul. Terdapat kesenjangan struktur antara informalitas dan formalitas. Di luar retribusi, institusi komersial maupun nonkomersial memiliki kelebihan tersendiri karena dapat mengelola sampah dengan sumber daya profesional (berbayar). Sedangkan persampahan di ruang-ruang informal tidak memiliki keistimewaan tersebut. Pengelolaan swadaya sering mengalami kendala baik dari segi teknis, pengetahuan, dan kesadaran masyarakat.
Kesenjangan tersebut menjadi masalah. Dilihat dari data sumber sampah, lahan terbangun, hingga skema operasional; permukiman terutama kampung menduduki posisi yang pelik. Apabila kampung kumuh, maka kota pun menjadi kumuh. Namun di sisi lain jika kampung berdaya menata diri, upaya-swadaya kampung akan menjad kontribusi yang sangat besar terhadap kota.
PLATFORM MANAJEMEN PERSAMPAHAN SKALA KAMPUNG
KASEP, Kampung-scale Waste Management Platform, dikonsepkan sebagai sebuah tools persampahan yang dapat digunakan warga per skala kampung kota. Platform ini bisa digunakan untuk membantu perencanaan dan pengelolaan persampahan komunitas yang dirintis oleh swadaya maupun mitra warga.
Konsep platform ini adalah berbagai fitur manajemen persampahan yang terintegrasi dengan peta dasar terolah. Peta dasar seperti Google Map dan Open Street Map diolah dengan peta kampung yang telah dipetakan secara partisipatif bersama warga.
2. Kuantitas
– Input data berbagai jenis dan kuantitas sampah seperti (1) organik, (2) daur-ulang, dan (3) berbahaya
3. Kualitas
– Lokasi terkait persampahan di skala komunitas dengan input informasi antara lain (1) deskripsi, (2) rating, dan (3) foto.
– Lokasi yang dapat dipetakan dalam skala kampung antara lain: (1) TPS, (2) TPST, (3) tempat pembuangan informal, (4) bank sampah, (5) biodigester, (6) komposter, (7) pengumpul barang bekas, dll.
4. Layanan masyarakat
– Kalender kegiatan persampahan (contoh: satu hari pengumpulan sampah plastik dalam seminggu, event penyuluhan bank sampah, dll)
– Layanan pendataan retribusi sampah
THEORY OF CHANGE
Gambar 5. Theory of change
Platform KASEP dirancang untuk dibentuk oleh aksi dan partisipasi nyata warga kampung kota. Visibilitas dan visualisasi adalah kata kunci yang penting di era digital dewasa ini. Basis peta dipilih karena peta dapat digambarkan tidak hanya secara digital, tetapi juga secara analog dan sederhana oleh siapapun—lintas umur, gender, bahkan level pendidikan. Pemetaan partisipatif menjadi pelengkap peta dasar yang disediakan oleh layanan publik.
Hasil peta partisipatif penting, terutama karena peta struktur ruang kampung/permukiman informal tidak semua terdata di peta layanan publik. Kenyataaan tersebut mengungkap bahwa pada dasarnya, ruang kampung belum dianggap sepenuhnya sebagai data penting. Proses dan hasil visualisasi akan mempermudah pemahaman sistem dan ruang baik bagi warga maupun petugas.
Gambar 6. Tatanan platform KASEP di sisi teknologi maupun implementasi
Dengan konsep tersebut, petugas dan pengguna platform akan mendapatkan sebuah metode baru yang dapat membantu pendekatan konvensional seperti sosialisasi dan penyuluhan.
MELIHAT KE DEPAN
Titik mula konsep KASEP berawal dari kesenjangan tata kelola maupun ketersediaan data antara formalitas dan informalitas. KASEP dirancang untuk menjadi jembatan tidak hanya dari segi tata kelola tetapi juga keberlanjutan. Pilot projectKASEP ditujukan bagi komunitas kampung kota. Namun dalam roadmap pertumbuhannya, platform KASEP yang sudah dikembangkan dapat digunakan lebih lanjut oleh permukiman formal maupun sektor privat. Monetisasi yang didapatkan dari proses tersebut dapat digunakan untuk menjaga keberlanjutan platform agar tetap tersedia bagi warga kampung kota.
Gambar 7. Peta pertumbuhan KASEP
Urgensi kampung kota untuk berjejaring juga tidak kalah penting. Partisipasi berjejaring tidak hanya akan menghasilkan data komprehensif, tetapi juga upaya yang sistematis. Selain sebagai ruang hunian terjangkau, kampung juga merupakan ruang ekonomi, sosial dan budaya. Segala aktivitas warga yang terangkum telah membentuk jejaring kota. Kini saat yang tepat untuk mengarahkan langkah agar potensi tersebut tidak hilang, akan tetapi diberdayakan dan dihargai. Untuk menuju kota yang inklusif, aman, tahan, dan berlanjut seperti diamanatkan di SDG 11, partisipasi warga tanpa kecuali adalah syarat yang terutama [5].
Referensi: [1] Indonesia Darurat Sampah. http://properti.kompas.com/read/2016/01/27/121624921/Indonesia.Darurat.Sampah. diakses Oktober 2016 [2] PD Kebersihan Kota Bandung, Action Plan 2014 [3]Ibid [4] Profil PD Kebersihan Kota Bandung, 2016 [5] Sustainable Development Goals: SDG 11. Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable. https://sustainabledevelopment.un.org/sdg11. diakses Oktober 2016
Divisi Pengabdian Masyarakat HMPSArs Universitas Parahyangan Bandung melaksanakan workshop “Get Involved” bersama ASF-ID. Pada tanggal 25 Oktober 2016, kegiatan dilaksanakan di Gedung PPAG Unpar. ASF-ID duduk bersama dengan 40 mahasiswa Arsitektur dan Teknik Sipil dalam sesi berbagi tentang partisipasi dan keswadayaan. Para mahasiswa mulai mengenali isu tersebut terutama dalam konteks pembangunan dan pengabdian masyarakat.
Kerangka pikir keswadayaan dan partisipatif dapat dibawa dalam berbagai proses. Salah satunya adalah proses pemetaan masalah dan potensi. Mahasiswa yang dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing mencoba memetakan: sejarah kolektif, dinamika ruang, kelembagaan, dan jejaring ekonomi yang mereka temui di keseharian perkuliahan. Tim relawan ASF-ID mendampingi kelompok mahasiswa sebagai fasilitator.
Kelompok sejarah kolektif mengumpulkan kekayaan pengalaman yang dialami sebagai warga akademik. Kelompok ruang memetakan perubahan fisik dan spasial kampus. Lantas permasalahan serta solusi dipikirkan bersama menjadi daftar skala prioritas. Di kelompok lain, para mahasiswa memetakan hubungan kelembagaan kampus. Terjadi hal menarik ketika seorang mahasiswa baru mengetahui adanya sebuah unit kegiatan setelah pemetaan bersama. Kelompok lain memetakan jaringan ekonomi formal dan informal di seputar kampus. Dari peta ekonomi, terlihat bahwa jaringan seputar kampus turut menggerakkan banyak roda ekonomi bahkan sampai skala kota.
Setelah melaksanakan dan memahami proses, berbagai pendapat pun diberikan. Salah satunya, adalah pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan. Metode partisipatif menjembatani berbagai kesenjangan seperti bahasa, hierarki dan identitas. Semua peserta dalam proses partisipatif berkelompok dapat memberikan masukan, walau apapun kesenjangan yang mereka hadapi. Kesenjangan masyarakat di realita dapat terjadi karena perbedaan gender, usia, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi.
Dalam perkembangan pembangunan, tata kelola formal tak luput dari kendala dan ketimpangan. Informalitas yang merupakan jejaring penting terkadang mengalami dampak yang besar dan buruk dari hal tersebut. Salah satu sebab adalah adanya kerentanan masyarakat akibat masalah kesenjangan.
Partisipasi menjadi penting sebagai alat yang dapat melintasi masalah tersebut. Selain itu, proses rembuk bersama adalah proses yang menimbulkan kesadaran kritis. Kesadaran kritis, seperti diteorikan oleh Paulo Freire (1970), muncul ketika percakapan membangun membuka kenyataan baru. Kemampuan mengenal hal-hal baru membuat peserta turut memaknai dunianya.
Salah satu isu yang dibincangkan adalah kampung kota sebagai jejaring mixed-use dan pusaka kota (heritage). Kampung membentuk hampir 70% lanskap perkotaan Indonesia (Darsono, 2003). Di kota Bandung sendiri, mayoritas guna lahan terbangun adalah perkampungan (46.12%) dengan perumahan formal hanya menempati urutan ketiga yaitu 10.61% (Widjaja, 2013). Dengan melihat persentase dapat disimpulkan apabila kampung semakin berdaya, dampak baik bagi kota akan berlipat ganda. Terutama karena kampung bukan hanya mewadahi hunian yang terjangkau, akan tetapi juga unit kesehatan, unit sosial, budaya, keagamaan, ekonomi formal dan informal, edukasi bahkan manajemen persampahan swadaya.
Dinamika dan potensi kampung kota patut kita pikirkan ketika urbanisasi terjadi dalam laju yang sangat cepat. Warga kampung kota terkadang mendapat stigma yang buruk. Akan tetapi warga kampung kota menyimpan potensi sangat besar sebagai aktor penjaga keberlanjutan kota. Warga adalah solusi kota itu sendiri.
Workshop ditutup dengan harapan bersama bahwa pengetahuan ini akan menjadi salah satu landasan dalam bergiat ke depan. Praktisi dan akademisi dipahami bersama sebagai salah satu penggiat pembangunan, selain masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya, dan swasta, yang dapat membawa wacana ini.
Referensi:
Freire, Paulo. 1970. Pedagogy of the Opressed.
Darsono, P.H. 2013. Indonesia Urbanism: The Traditional Settlement in Urban Planning, Analysis of Thomas Karsten’s Plan of Bandung City West Java. The University of Tokyo.
Widjaja, Pele. 2013. Kampung-kota Bandung. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Matahari masih teduh saat rombongan lima-belas mahasiswa arsitektur angkatan 2014 dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo tiba di seknas ASF-ID di bilangan Kota Baru, Regol, Bandung. Kunjungan Hasnah dan teman-teman di Sabtu (15/10/16) pagi itu adalah sebuah inisiatif untuk menjajaki beragam peran arsitek di masyarakat, peran melalui biro maupun perkumpulan independen. Setelah “tour” di dalam sekretariat sesi dimulai dengan perkenalan singkat dan pengenalan perkumpulan Architecture Sans Frontières Indonesia oleh Siska dan Usie.
Sesi berlanjut dengan presentasi Uji dan Ayon dari Universitas Katolik Parahyangan terkait kegiatan perencanaan partisipatif di kampung Nangkasuni serta rencana jangka waktu dekat untuk kerjasama dengan unit-unit pengmas yang ada di Bandung. Sesi ketiga giliran Alfan dan Kusdian dari Universitas Pendidikan Indonesia melaporkan rangkaian kegiatan partisipatif terkini termasuk proses pemetaan dengan teknologi drone dan GPS di Pasirluyu. Kegiatan ini merupakan bagian dari persiapan grup untuk menyelenggarakan seminar dan workshop nasional “Kampung Kota, Kampung Kita, Kampung Bersama” pada pertengahan November.
Kedua bentuk kuliah kerja lapangan dari dua kampus mendapat masukan pada aspek metodologi dan aspek budaya kampung dari Frans. Andrea menutup sesi presentasi dengan studi kasus Rumah Contoh di Kampung Tongkol, Jakarta Utara. Acara berlanjut dengan sesi tanya-jawab dalam suasana cair namun mendalam, sebelum ditutup dengan perpisahan, tukar-menukar cindera mata, dan foto bersama.
Sebuah Kontemplasi atas Penggusuran Bukit Duri, Pameran Indonesialand, dan Rusun Pruitt-Igoe.
Bukit Duri menjadi salah satu contoh eskalasi ruang (kehidupan) urban yang mengalami konstruksi dan dekonstruksi kuasa pembangunan dan ilmu pengetahuan. Melalui langkah penyerapan akumulasi sosial-kapital dan pengetahuan, Bukit Duri menjadi lansekap serap-menyerap akumulasi tersebut dan saling berkelindan dalam bentuk dan sosok yang beragam rupa melalui skema-skema tertentu. Salah satunya adalah dorongan kearah fisik/infrastruktur melalui skema kerja penggusuran. Di sisi lain dorongan terkait fisik/infrastruktur ini memang menjadi naskah pembangunan, dengan atau tanpa penggusuran tersebut, karena yang penting adalah terdapat area atau wilayah terbangun dalam sebuah ruang kota. Dalam konteks ini, peran ilmu pengetahuan tidak bisa dikesampingkan dari narasi naskah pembangunan. Tentu saja penggusuran terjadi dengan tujuan untuk ‘menata ulang’ atau melakukan revitalisasi demi tujuan tertentu yang dikerjakan oleh kekuasaan kapital lewat tangan-tangan korporasi-developer. Di sisi lain, warga juga berdaya untuk melakukan kerja menata-ulang untuk (ruang) hidup dan kehidupannya yang lebih baik walaupun dengan kemampuan yang terbatas. Maka, soal disiplin perencanaan dan arsitektur secara langsung maupun tidak langsung bekerja atas ruang kehidupan tersebut, hanya saja berada di pijakan atau keberpihakan kemana disiplin ini dirujuk atau digunakan.
Penggusuran pemukiman warga kampung Bukit Duri pada 28 September 2016 adalah contoh bagaimana penataan paksa kota terjadi yang tidak hanya merusak bangunan permukiman, tapi juga menghancurkan harapan warga, inisiatif dari bawah (bottom-up) dan keberdayaan warga otonom dan kewargaan yang telah terbangun secara organik dalam kurun waktu yang cukup lama. Di sisi lain, skema keberdayaan warga juga menjadi eskalasi ruang urban lainnya yang tampak tidak nyata tapi memberikan narasi yang sebenarnya tentang sebuah ruang, sebuah kampung kota, dan sebuah kehidupan kewargaaan.
Ketika penggusuran paksa terjadi tidak hanya dimensi ekonomi yang tercerabut, tetapi juga hilangnya jalinan sosial kewargaan. Maka ketika ‘relokasi’ ke rusun, sebagai sebuah inisiasi top-down dari penguasa, dianggap sebagai jalan keluar yang terbaik untuk warga miskin kota yang mengalami penggusuran, siapakah yang bisa menjamin warga korban gusuran akan hidup lebih baik ketika pindah di rusun? Ini seperti mitos pembangunan yang terus menerus direproduksi oleh rezim kekuasaan. Lantas siapa yang paling mengerti kehidupan dan permasalahan yang dihadapi oleh warga di Bukit Duri? Apakah arsitek, perencana kota, aktivis, relawan, ataukah warga kelas menengah ngehek? Bukan! Yang paling mengerti adalah para penghuni, yaitu warga Bukit Duri.
Penataan kota yang melibatkan warga belum menjadi arena kerja populer di kalangan birokrat yang belum beranjak jauh dari mental patron-client Orde Baru hingga sekarang ini. Lama setelah reformasi, semua seolah berjalan di tempat di dalam kerangkeng developmentaris kacamata kuda. Seharusnya ketika ada konsep atau solusi yang melindungi warga yang marjinal secara ekonomi-politik dan mengayomi warga yang bermukim turun-temurun puluhan tahun dan ikut membentuk wajah dan sejarah (kampung) kota hal ini menjadi alternatif inisiasi bottom-up yang patut untuk didukung. Secara de facto, sebagian besar warga Bukit Duri mendukung usulan rencana alternatif, misalnya “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” dari Studio Akanoma, serta proses perencanaan oleh Ciliwung Merdeka yang nyatanya dilakukan bersama sama warga dibantu oleh para ahli dan dijalankan dalam kurun waktu yang tidak sebentar, ada proses, ada dialog, dan ada konsensus bersama, tanpa hierarki. Pada momen tersebut sesungguhnya “kemauan” menata itu bekerja dalam proses kerja partisipatoris. Warga yang dibantu oleh para ahli, arsitek, perencana, pengacara, dll. mengajukan alternatif solusi pemukiman yang ramah lingkungan dan dapat dipertanggung-jawabkan legitimasinya. Secara desain, misalnya melalui studi tipologi pemukiman atas air di berbagai tempat yang layak dikerjakan di Bukit Duri. Selain solusi pemukiman, warga juga melakukan kerja berdaya bersama para ahli untuk melakukan kerja untuk lingkungan, kerja budaya, dan kerja arsitektural.
Seyogyanya, setelah kontrak politik Joko Widodo dan Basuki Purnama (Ahok) yang ditanda-tangani pada 15 September 2012 lalu sebagai calon Gubernur an wakil gubernur DKI Jakarta, yang pada point dua menyatakan bahwa pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota yang meliputi legalisasi kampung ilegal, pemukiman kumuh tidak digusur, tapi ditata. Jika dalam kacamata rezim kawasan Bukit Duri masih dianggap ilegal dan kumuh, kontrak politik sesungguhnya merupakan suatu traktat moral; bahwa ketika terpilih penanda-tangan akan melakukan hal seperti tertulis; legalisasi kampung dan penataan. Nyatanya pada 28 September 2016, Ahok yang menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang sudah menjadi presiden mengingkari kontrak politik tersebut dan sang mantan gubernur Joko Widodo pun mendiamkannya.
Sebelumnya, ada pernyataan dan kesepakatan warga Bukit Duri saat mereka mengusulkan pembangunan “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” yang dinyatakan pada 12 Agustus 2016 untuk merespon kebijakan rusunawa. Warga mengusulkan Kampung Susun sebagai solusi alternatif dan konsep desainnya disetujui oleh Joko Widodo, sehari setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, saat kunjungan ke di Bukit Duri pada tanggal 16 Oktober 2012. Masih dalam pernyataan kesepakatan yang sama, warga memberikan usulan ini demi terwujudnya pembangunan Jakarta yang manusiawi, adil dan beradab. Kampung Susun adalah wahana lingkungan yang secara inkremental memungkinkan komunitas warganya membangun unit-unit secara fleksibel pada struktur dasar yang telah terpasang. Disini komunitas warga dapat lebih berperan aktif untuk menggali alternatif yang paling applicable dan acceptable, guna memperoleh suasana dan lingkungan kampung yang sesungguhnya. Kampung susun diusulkan dengan mengadopsi pola kehidupan kampung tradisional, dibangun secara partisipatif, ekologis dengan wakah kebhinekaaan yang khas dengan dukungan pranata sosial-ekonomi kewargaan yang demokratis yang memberikan porsi kebudayaan, keadaban, dan religiositas warga.
Dalam penyataan tersebut, Kampung Susun diusulkan oleh warga Bukit Duri dan komunitas Ciliwung Merdeka dengan perbandingan pembiayaan 50% dari Pemprov DKI, 30% dari warga Bukit Duri RW 10,11,12, dan 20% dari beberapa investor yang dikontrol Pemprov DKI. Ia disebut Kampung Susun, karena ia merupakan alternatif dari proyek rusunawa yang selama ini lebih sering gagal, karena hanya menyediakan tempat tinggal/tidur semata, tidak menyediakan ruang untuk usaha/mencari nafkah, tidak juga ruang sosial, ruang ekonomi, ruang budaya, keagamaan, dst. Pada Kampung Susun setiap lantai terdiri dari deretan unit rumah dan beragam kegiatan serupa dengan pola kampung tapak, dan tidak linier, tidak kaku seperti pada blok di hunian rumah susun. Kampung Susun warga Bukit Duri akan menunjukan keberdayaan warga secara keruangan dan secara sosial kewargaan.
Pameran Arsitektur Indonesialand
Bidang penciptaan ilmu pengetahuan seyogyanya di produksi dan dikonsumsi dalam skenario tata ruang dengan tidak melakukan keberpihakan kelas masyarakat tertentu. Ketika arsitektur dan perencanaan sudah menjadi bagian rantai pasok pada sistem produksi kapitalisme, maka yang dihitung sebagai patokannya hanya jam kerja dan produk kerja. Faktor manusia akan menjadi urutan terbawah dalam segitiga kerja kapitalisme. Kelatahan tampak dalam membangun sesuatu yang gigantis dan mewah melalui representasi gedung-gedung pencakar langit, hunian berbasis gated community atau manifestasi imaji modernitas lainnya. Tapi nyatanya pembangunan seperti itu hanya memberikan narasi miris pada ilmu pengetahuan arsitektur dan ilmu perencanaan kota serta mencerabut keadaban komunal dan memori kolektif kewargaan. Semua hanya dihitung pada sejumlah deret angka yang dilengkapi premis-premis developmentaris, tidak peduli itu sesuai atau tidak, secara etika benar atau tidak, atau bahkan diperlukan oleh warga atau tidak. Maka soal ini terkait berada dimana individu yang mengimplementasikan arsitektur dan penataan kota, berada di batas garis atau pijakan yang mana. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana implementasi arsitektural yang dikerjakannya dan berkelindan dengan pihak mana saja atau bahkan dengan rezim hegemonik; apakah arsitek dan perencana kota bekerja dengan plat merah, plat hitam, atau plat kuning. Pada posisi tersebut dapat terlihat keberadaan pijakannya serta ideologinya.
Pameran Arsitektur Indonesialand yang berlangsung di Selasar Sunaryo Art Space di Bandung yang berlangsung dari 2 September sampai 2 Oktober 2016 merupakan sebuah upaya untuk merayakan ketakjuban arsitektur Indonesia sekaligus menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan arsitektur dan perencanaan diproduksi-dikonsumsi hingga pijakan keberpihakan kelas dan ideologi yang membungkusnya. Dari 30 karya pameran arsitektur yang dipamerkan, mayoritas diikuti oleh studio-studio atau arsitek-arsitek terkenal di Indonesia. Namun terdapat dua karya yang menunjukan kerja partisipatoris nyata dan bersifat pro bono di kampung-kampung kota yang dituduhkan sebagai tempat produksi kekumuhan kota dan tempat melanggengkan kemiskinan warganya. Kedua karya ini bekerja secara langsung bekerja di kampung Bukit Duri, Jakarta Selatan bersama warga yang kemudian mengalami penggusuran paksa oleh rezim kota. Di satu sisi sedang terjadi euforia pameran arsitektur Indonesialand untuk merayakan arsitektur, tapi disisi lainnya yang lebih kongkrit sedang mengalami kemunduran arsitektur dengan adanya penggusuran, yang sekaligus menaifkan kerja arsitektural di tempat tergusur tersebut, yang sedang dipamerkan hasil produksi kewargaannya.
Perayaan arsitektural dalam pameran ini tentunya juga merupakan perayaan kelas. Disini dapat ditelususi rekam jejak dimana dan berpihak kepada siapa sebuah arsitektur itu bekerja, dengan ideologi apa mereka bekerja, dan siapa aktor yang mengerjakannya melalui produk-produk arsitektural yang dipamerkan. Dalam catatan kuratorialnya, pameran IndonesiaLand ingin menarik sebuah garis pada sebuah sistem arsitektural yang secara tersurat mengintegrasikan struktur dan konstruksi, secara tersirat mengintegrasikan variasi fungsi dengan kandungan subjetivitas estetika, yang objektivitasnya adalah nilai kapital. Alih-alih menghadirkan miniatur bangunan atau gambar kerja yang umum merepresentasikan gagasan arsitektural, keutamaan gagasan menjadi gerbang analisis kuratorial dari pameran ini, yang diterjemahkan bahwa aritektur adalah budaya dengan sebuah ikhtiar; mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur.
Kampung Susun dan Tenda Belalang merupakan dua narasi kecil arsitektural bagaimana keadaban, kemanusiaan, dan (peta) administrasi warga Bukit Duri dalam hidup dan penghidupannya coba dipertahankan, dipelihara, dan diproduksi oleh warga sendiri sebagai warga tempatan maupun oleh warga lainnya dengan latar belakang etnis, agama, disiplin keilmuan, dan kelas masyarakat yang beragam untuk menunjukan bahwa keadaban dan kemanusiaan itu bukan hanya sekedar bangunan dan ukuran administratif. Disinilah penerjemahan arsitektur sebagai budaya yang mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur tengah berlangsung secara kongkrit.
Pada gambar, menunjukan suasana gang di kampung Bukit Duri yang telah mengalami penggusuran paksa. Pada gambar memperlihatkan gang Bukit Duri dan seorang anak warga Bukit Duri yang sedang menatap rumah, tempat bermain, hidup dan penghidupannya selama ini. Namun tatapan yang sama dalam kondisi nyata, di waktu yang sama ketika pameran ini tengah berlangsung juga ditunjukan oleh anak-anak Bukit Duri ketika rumah, tempat bermain, hidup dan penghidupannya selama ini sedang dirampas oleh rezim lewat skema kerja penggusuran. Pada gambar juga terdapat tiang-tiang bambu membentuk konstruksi arsitektural Tenda Belalang yang digunakan ketika berlangsung Pasar Rakyat di Bukit Duri pada tanggal 2 April 2016 lalu. Pada moment tersebut keadaban dan kerja kultural dalam mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur sedang berlangsung dan diproduksi di keseharian warga, sebagai bagian dari memori kolektif warga Bukit Duri, melalui kerja arsitektural dan perencanaan partisipatif.
Tenda Belalang Pasar Rakyat Bukit Duri di instal pada pameran menjadi memento bagi kewargaan Bukit Duri. Khusus untuk Tenda Belalang, kerja lapangan di Bukit Duri ketika berlangsungnya Pasar Rakyat dibawa ke ruang pamer pada skala satu-banding-satu sesuai peruntukan aslinya yang telah dan masih digunakan sampai penggusuran kampung Bukit Duri berlangsung. Ketika artefak ini dibawa oleh ASF-ID keranah pameran untuk menunjukan kepada warga umum lainnya dan khususnya kalangan arsitektur Indonesia bahwa warga dan kewargaan itu dibentuk melalui keadaban dan kemanusiaan itu sedang dihilangkan oleh fasisme rezim kekuasaan. ASF-ID menunjukan bahwa arsitektural tidak hanya bekerja dalam kontek ‘desain’ tapi juga sistem pengintegral para pihak dari berbagai disiplin ilmu dalam membangun struktur masyarakat. Merujuk hal tersebut dalam pameran ini, ASF-ID menyampaikan sebuah Laporan dari Garis Depan sebagai representasi arsitektur yang bekerja partisipatif dalam masyarakat sipil dengan memberi solusi atas kompleksitas permasalahan sosial dalam ruang-ruang marjinal. Arsitektur bekerja tidak hanya sebagai desain, tapi turut mengintegralkan para pihak dengan berbagai disiplin ilmu dengan cara memfasilitasi warga secara bottom-up. Karya ini merupakan studi kasus proyek ASF-ID di Kampung Tongkol dan Pasar Rakyat Bukit Duri,
Hal yang sama berlaku yang di tampilkan oleh Studio Akanoma yang dipimpin oleh arsitek Yu Sing. Realitas urban yang berupa kumpulan kampung-kampung kota terutama pemukiman warga menengah kebawah yang kerap luput dari pembanguan yang adil dan merata bahkan di singkirkan melalui skema-skema developmentaris melalui kerja penggusuran. Warga Bukit Duri telah mengajukan konsep penataan kampung dengan konsep Kampung Susun, sebelum rezim penguasa Jakarta memenangkan pesta elektoralnya. Meminjam pernyataan warga Bukit Duri, bahwa “Kampung Susun” merupakan alternatif dari proyek rusunawa yang selama ini di Indonesia dianggap gagal, karena hanya menyediakan tempat tinggal/tidur semata, tidak ada ruang untuk usaha/mencari nafkah, tak ada ruang sosial, ruang ekonomi, ruang budaya dan religius.
Pada pameran Indonesialand, Akanoma menunjukan bagaimana proses kerja partisipasi dan kesejarahan kawasan dan warga Bukit Duri dalam membentuk sejarah dan narasi warganya sebagai suatu kesatuan memori kolektif dalam melakukan kerja bottom-up untuk skenario/konsep kampung susun. Instalasi dalam pameran ini menunjukan bentuk atau ornamen kampung susun sebagai display informasi terkait kondisi kampung susun melalui contoh sudut visualisasi kampung susun yang di sempurnakan secara keseluruhan melalui sebuah maket kerja. Namun nyatanya konsep kampung susun yang sempat disetujui dalam kontrak politik calon gubernur dan wakil gubernur ini ditolak melalui penggusuran paksa yang dilakukan oleh gubernur yang sebelumnya jadi (calon) wakil gubernur Jakarta yang menandatangani kontrak politik tersebut. Maka soal, ketika warga telah berdaya untuk mengajukan alternatif solusi pemukiman yang ramah lingkungan dan dapat dipertanggungjawabkan secara desain melalui studi tipologi pemukiman atas air di berbagai tempat dibelahan dunia untuk dikerjakan sesuai dengan kontrak politik tersebut malah dilupakan bahkan dinistakan rezim dengan penggusuran.
Dalam catatan pamerannya, Akanoma mengutarakan bahwa perspektif pembangunan sering dipersepsikan sebatas gedung-gedung vertikal pada kenyataannya tak fleksibel menyikapi cara hidup khas masyarakat kita; cenderung mempertahankan tradisi ngariung layaknya di kampung. Realitas urban perkotaan kita adalah kumpulan kampung warga menengah ke bawah yang kerap luput dari pembangunan adil dan merata. Tak heran, isu sosial kontemporer urban pun identik dengan perebutan hak bermukim. Penggusuran pun menjadi cara aparatur membangun. Kampung Susun (Kota) hendak memproposisikan ulang kampung, menskalakan nilai atau tradisi kekeluargaan dan perikehidupan khas masyarakat kita pada tatanan arsitektural yang vertikal.
Desain yang mencoba mencari alternatif penataan kampung kota yang menghabiskan segenap energi kewargaan dan kebersamaan dan pemikiran warga secara bersama-sama dengan para ahli khususnya arsitek, kemudian hanya disindir-sindir rezim penggusur dan pendukungnya sebagai sesuatu yang utopis dan instalasi. Desain ini memang instalasi, memang benar adanya jika memang dipajang diruang pameran seperti yang terjadi dalam pameran Indonesialand ini, tapi jika desain ini berada di area pemukiman warga merupakan sebuah manuskrip artefak politis warga sebagai nilai tawar terhadap rezim untuk melaksanakan kontrak politiknya.
Berdasarkan kerangka kuratorial pameran diatas dan konteks kerja lapangan bagaimana arsitektur bekerja bersama warga terlebih warga yang termarjinalkan oleh rezim. Apa yang telah dilakukan oleh ASF-ID dan Akanoma telah menunjukan struktur dan konstruksi yang mengintegrasikan fungsi dan estetika yang bernilai sosial-kapital versi warga yang komunal dalam kerangka kerja bottom-up. Gagasan arsitektural yang ditampilkan telah terealisasikan dalam wujud kongkrit baik dalam wujud nyata dengan skala satu-banding-satu seperti yang ditunjukan oleh Tenda Belalang-nya ASF-ID atau pun yang masih dalam konsep kampung (susun) kota yang di usung oleh Akanoma yang terpatri dalam memori kolektif warganya sebagai bagian dari kerja partisipatoris dengan waktu yang cukup lama yang menghasilkan sebuah rancangan arsitektural yang siap dan layak untuk direalisasikan, hanya saja terkait kemauan politik dari kekuasaan kota-nya untuk melaksanakan kontrak politik yang sebelumnya pernah dijanjikan dan ditandatangani.
Belajar dariPruitt-Igoe
Penggusuran yang marak terjadi di beberapa kota di Indonesia yang warga terdampaknya kemudian di tempatkan di rusun-rusun sewa yang telah disediakan oleh rezim walaupun jaraknya jauh dari tempat semula, dari akses kehidupannya. Perihal tema pendisiplinan dengan menggunakan rusun sebagai tipologi pembenaran rezim, ada baiknya kita melihat pengalaman lampau, merujuk kepada kasus yang pernah terjadi Amerika Serikat di awal tahun 1950-an dengan kemunculan proyek Pruitt-Igoe.
Pruitt-Igoe merupakan kompleks apartemen/rusun yang dibangun untuk menyelesaikan masalah pemukiman kumuh di St. Louis-Amerika. Proyek ini terdiri dari 2870 unit apartemen yang berada dalam 33 bangunan yang masing-masing terdiri dari 11 lantai. Lalu pertanyaanya, apakah masalah pemukiman kumuh di St. Louis selesai? Tanggal 15 Juli 1972, komplek apartemen itu dirubuhkan karena ditengarai menjadi sumber kriminaitas. Melihat konsep desain arsitekturalnya, yang sangat khas pada Pruitt-Igoe adalah sistem ‘skip stop elevator.’ Sistem ini bekerja pada setiap bangunan yang terdiri dari 11 lantai, dimana elevatornya hanya berhenti di lantai-lantai tertentu saja, yaitu lantai 1, 4, 7, dan 10.
Rencana idealnya, lantai-lantai yang menjadi tempat pemberhentian elevator menjadi lantai-lantai ruang komunal, jadi ruang bersama warga. Tetapi kenyataaannya Disinilah sering terjadi kejahatan, mulai dari perampokan, pemerkosaan, hingga peredaran narkoba, belum lagi permasalahan mengenai segregasi rasial. Kompleks Pruitt-Igoe ini kemudian menimbulkan masalah yang kompleks terkait sebuah pemukiman, lalu berdasarkan hal tersebut pada tahun 1972, kompleks Pruitt-Igoe dirubuhkan. Jika dikaitkan dengan sejarah arsitektur, maka dirubuhkannya komplek apartemen Pruitt-Igoe disebut orang sebagai “lonceng kematian arsitektur modern”.
Menengok kasus Pruitt-Igoe, hampir mirip dengan bagaimana rezim menggusur/merelokasi hunian warga miskin kota yang dianggap kumuh dengan menggunakan sudut pandang arsitektur modern berupa rusun. Pada titik ini, rezim tidak belajar bagaimana sudut pandang modernitas terkait hunian di rusun sudah pernah gagal terjadi dan skenario rezim terkait relokasi ke rumah susun secara paksa sedang mengarah kesana, kegagalan keadaban yang sebelumnya telah dipunyai warga di kampung-kampung kota yang telah digusur paksa.
Hidup di rusun tentu saja ada pihak yang senang dan mengalami kebetahan dengan akses kehidupannya yang baru dan menjadi sukses, tetapi hal ini tidak berlaku bagi semua warga dan sebanding dengan kesusahannya. Logika kesuksesannya pun pasti akan berbeda dengan logika kesuksesan ketika masih berada di kampung-kampung kota yang memiliki nilai komunalitas dan memori kolektif kewargaan yang kuat karena telah terjalin lama dan terikat secara ekologis dengan ekosistem kampung tersebut. Begitupun logika kemanusiaan dan ikatan sosialnya, pasti berubah dan berbeda. Terjadi reduksi keadaban dan kultural di rumah susun jika dibandingkan dengan di kampung-kampung kota. Maka soal kampung-kampung kota yang dianggap rezim sebagai sesuatu yang kumuh itu mestinya ditata bukan digusur paksa dan di relokasi ke rusun dengan entengnya.
Relokasi rusun itu hanya menyediakan hunian, perihal yang lainnya silahkan cari masing-masing termasuk nafkah dan pendidikan anak-anak. Terkait relokasi ke rusun, destruksinya dapat terlihat dalam waktu tertentu atau beberapa tahun yang jika terjadi salah urus; rusun yang dianggap sebagai kesuksesan modernitas dan solusi kekumuhan sebenarnya bisa menciptakan kekumuhan baru, bahkan nasib kehidupan di rusun bisa seperti apa yang terjadi di Pruitt-Igoe, dimana kualitas hidup tidak menjadi penting lagi. Skema rusun ini menunjukan bahwa modernitas pemikiran rezim sedang berkelindan dengan modernitas arsitektur dan tata ruang. Apa yang terjadi pada Pruitt-Igoe dan proses penghancurannya merupakan kemunduran bahkan kejatuhan arsitektur modern, namun apa yang terjadi di Bukit Duri sedang dirujuk ke arah skema yang pernah terjadi melalui Pruitt-Igoe yaitu rusunisasi. Apa yang terjadi pada Pruitt-Igoe mungkin akan berbeda dengan yang akan terjadi di Indonesia, tetapi tidak ada salahnya jika kita melihat contoh dari yang pernah terjadi, belajar dari sejarah. Akhirnya, berada di batas garis atau pijakan kelas yang mana posisi arsitektur dan perencana kota sekarang ini?
Brown Bag Session #2: Cities. Kampungs. Gecekondus
host: Dian Tri Irawaty (RUJAK)
Sunday, July 31st, 2016 // 10.30 AM – 13:00 PM // @ASF-ID Secretariate, Jl. Kotabaru 32A, Bandung // info: 0819-0826-6898 (Dette)
#1 Yantri Dewi – Socio-spatial mapping as a form of advocacy.
Jakarta government has several poverty alleviation programs that rely on demographic data at the Kelurahan (sub-district) level. However, the lack of genuine participation in data collection has caused mis-targets in the field. UPC (Urban Poor Consortium), with supports from UN Pulse Lab, runs a test for socio-spatial data collecting method, in three kampungs in North Jakarta within two months period. The data result is laid for community upgrading and kampung planning purposes.
Yantri is a trained architect from Parahyangan Catholic University (UNPAR) Bandung and finished her Master Degree in Human Settlements in KU Leuven, Belgium. Later experiences including ecological certification for buildings and volunteership for UPC. Currently, Yantri teaches at Matana University, Tangerang.
#2 Margaux Caboche – Istanbul and the architectural ingenuity of its settlement, Gecekondu.
The gecekondu is a habitat with qualities and spatial ingenuity which deserves recognition. The urban fabric of gecekondu forms ramifications and capillary networks where rights of passage and rights of use overlap. Boundaries between public and private are blurred. Gecekondu are also an infinite source of project elements and tools, more than a typology, it is mainly a phenomenon with singular adaptability.
In 2012 Margaux lived a year in Turkey and observed and studied gecekondular, Turkey’s informal human settlements. She graduated from the Architecture Faculty La Cambre-Horta, ULB, Brussels, Belgium (Master-2015) and did her Master 1 in Mimar Sinan Fine Arts University, Istanbul. Margaux lived in England, France and Belgium; she moved to Bandung to work with Architecture Sans Frontières Indonesia.