“Nothing is Fundamental: Tentang Arsitektur dan Kota”
Menampilkan:
Salis Fitria & GuysPro, Kampung Warna Jodipan.
Andrea Fitrianto, ASF-ID, Rumah Contoh untuk Ciliwung.
Haris El-Mahdi, Sosiolog, Universitas Brawijaya
In high density residential area like Central Jakarta, kampungs are often considered as slums. We might have heard the idea of “formalizing informal settlements.” Some said that the fact is, through informality, kampungs may have been independently and organically growing.
What do “formalizing informal settlements” means? The term “formal-informal” is being questioned in this sense. How do we consider formal-[in]formal?
This symposium is part of JKTWS2016. Together with experts, speakers and moderators from USA, Japan, and Indonesia, we will rethink and redefine again formal-[in]formal from different point of views and approaches.
Thursday | 18-8-2016 | 14:00-17:00 | Dia.Lo.Gue | Jl. Kemang Selatan Raya 99A | Jakarta Selatan
Speakers:
Hajime Ishikawa – Keio University
Sergio Palleroni, BASIC
Akiko Okabe, University of Tokyo
Kenya Endo, Ramboll Studio Dreiseitl
Brahmastyo Puji, ASF-ID
Discussant:
Ahmad Djuhara, IAI
Moderator:
Tomohiko Amemiya, UNITYDESIGN
Opening Remarks:
Evawani Ellisa & Rini Suryantini, Universitas Indonesia
Registration: 0852-1702-3606 (Inesa) or 0815-8550-5614 (Annisa). Organized by: The University of Tokyo, Universitas Indonesia, Chiba University, and Keio University. Supported by: Nippon Paint and Dia.Lo.Gue.
Wacana penggusuran dan konflik lahan di ranah informal kembali mengemuka, kembali menghiasi headline-headline di berbagai media massa, baik online maupun offline. Keberadaanya hadir dan menguat ditengah isu politik dan juga pemilihan kepala daerah. ‘Informal’ dalam pengertian sederhana KBBI berarti sesuatu yang tidak resmi. Di Indonesia informalitas bisa menyentuh banyak hal dari mulai pekerjaan, status, hunian, dan bahkan kependudukan. Sayangnya, analogi informal acapkali disandingkan dengan kondisi yang tidak layak, kumuh, dan kemiskinan.
Informalitas di Indonesia hari ini, apalagi berkenaan dengan kependudukan masih dianggap sebagai ‘sampah’, entitas yang harus disingkirkan jauh dari pusat kota. Kota yang katanya didesain untuk selalu bertransformasi kearah yang lebih baik. Kota yang mungkin akan jadi lebih menyenangkan jika akhirnya banyak bangunan tinggi berdiri, area taman hijau dimana-mana, dan keberadaan shopping center mewah yang bisa jadi arena kekinian bagi anak muda. Untuk kepentingan itulah terkadang proses penggusuran, yang kembali booming saat ini, kembali menuai kontroversi.
Namun, terkadang kita lupa informal juga punya hak untuk kota. Mereka hadir mengisi pos-pos yang tidak mengenakkan dalam hidup keseharian kita sebagai warga kota. Banyak dari mereka berprofesi sebagai tukang sampah, pemulung, tukang cuci, pengamen, pekerja serabutan, pedagang asongan, buruh, dan lain sebagainya.
Kita juga lupa bahwa profesi ini adalah profesi yang selalu tidak diinginkan oleh masyarakat terdidik di kota megapolitan seperti Jakarta. Diakui atau tidak profesi inilah yang lantas menjadi jawaban atas segala ketakutan kita akan hal-hal yang menjijikkan dan tidak kita inginkan. Dan secara tidak langsung kehidupan formal kita akan selalu berkaitan dengan keberadaan orang-orang yang ‘tidak resmi’ ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa lantas kita acuh saja ketika hak hidup orang-orang yang berpengaruh ini dikebiri?
Belajar dari Y.B. Mangunwijaya, Arsitek dan Pastur yang pernah berdiri di garis terdepan penolakan penggusuran permukiman di Kali Code, Yogyakarta di tahun 1984 beliau mengatakan bahwa penggusuran untuk alasan jalur hijau sangat tidak masuk akal. Jalur hijau di sepanjang sungai di Indonesia itu berbeda dengan apa yang ada, misalnya di Berlin, New York, atau Amsterdam. Ketika dibiarkan melompong dan tak berpenghuni area-area ini justru akan dekat dengan hal-hal kriminal, prostitusi, dan juga masalah sampah. Permukiman warga informal yang selama ini hidup di area ini sangat membantu untuk mengurangi masalah ini.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya Jakarta jika tidak ada pemulung dan warga bantaran kali yang rutin mengail sampah di tepian sungai? Mungkin banjir akan jauh lebih parah, padahal kebiasaan membuang sampah sembarangan jika ditelisik lebih jauh juga berasal dari umumnya warga kota yang dengan mudahnya membuang sampah seenaknya.
Atas dasar itulah Romo Mangun menolak relokasi dan mengusulkan ide kampung hijau sebagai jawaban atas problematika hunian informal di tepi sungai pada saat itu. Hasilnya? Kampung Code juga sempat meraih penghargaan Internasional Aga Khan Award di tahun 1992, sampai saat ini pun kawasan ini terus berkembang menjadi area kreatif dan selalu saja mengundang banyak pihak untuk kembali belajar mengenai makna dari kaum informal.
Hunian bagi warga informal bukan lagi hanya sebuah tempat, tetapi ada keterikatan kuat yang menyebabkan mereka enggan meninggalkan tempat tinggal mereka yang sering dianggap kumuh itu. Keterikatan itu dimulai dari sejarah, ekonomi, kedekatan, serta adanya saling toleransi dengan tetangga, dan juga adanya modal sosial yang terbentuk.
Keterikatan ini selanjutnya memperluas arti rumah menjadi lebih dari sekedar tempat tinggal. John Turner, seorang arsitek Inggris menjelaskan fenomena ini dengan menyebutnya “housing as a verb”. Karenanya, jangan heran di banyak kasus penggusuran, banyak warga yang kembali menempati lahan bekas gusuran.
Ya, mungkin penggusuran bisa jadi bukanlah jalan yang bijak untuk menyelesaikan masalah permukiman informal di Indonesia. Alih-alih hal itu bisa menjadi pemicu masalah-masalah baru yang sangat mungkin akan muncul di kemudian hari. Solusi relokasi pun mungkin bisa juga diperdebatkan, mungkin dari kacamata kita yang melihat dari kejauhan kehidupan orang-orang ‘tidak resmi’ ini menjadi jauh lebih baik dan lebih layak. Namun tidak serta merta bisa diartikan demikian.
Rumah sebagai kata kerja berarti sangat luas. Sebagai tempat tinggal ia tidak berhenti pada ketersediaan tempat tidur semata. Ingatlah, orang-orang ini sebagian besar bekerja di lahan yang tidak formal, artinya berpindahnya hunian mereka berarti beralih juga fungsi ruang spasial dan sosial yang selama ini mereka tinggali.
Rumah adalah hak asasi manusia. Manusia yang berada di dalamnya berada dalam konteks waktu dan memori yang beraneka ragam. Suatu hal yang dipandang baik oleh orang awam, belum tentu baik bagi mereka, si pengguna ruang tersebut. Begitu juga menanggapi masalah permukiman informal di Indonesia tidak mungkin sesederhana menggusur dan memindahkannya.
Karenanya, alasan targetan waktu dan deadline saja tidak menjamin solusi terbaik, tetapi pendekatan kemanusiaan dimana potensi mereka bisa ditemani dan kembali me-rumah di rumahnya sendiri. Masalah di permukiman informal bukanlah masalah bentuk dan spasial saja, tetapi juga perasaan orang-orang yang selama ini diabaikan dan ditelantarkan. Menghargai masyarakat miskin bukan berarti kita harus ikut-ikutan menjadi miskin namun memberikannya pengakuan dan hak untuk memperjuangkan hidupnya sebagaimana yang diamalkan oleh Romo Mangun lebih dari dua puluh lima tahun lalu. Pertanyaanya, (masih) adakah inisiatif pemerintah untuk memfasilitasi dan mengembangkan kegotong-royongan dalam mengangani masalah permukiman informal di Indonesia hari ini?/////////////
Kekuasaan politik di Jakarta sekarang nampak tak lebih dari alat taipan pemodal yang menafikkan kehadiran rakyat miskin kota. Wajah ini nampak dari penggusuran permukiman informal yang semakin masif dilakukan Pemerintah Provinsi DKI sejak 2015 sampai sekarang. Sedangkan di sisi lain para pemodal besar difasilitasi untuk melakukan kegiatan bisnisnya, walau secara sosial, hukum dan lingkungan tidak layak seperti reklamasi teluk Jakarta untuk dijadikan kawasan bisnis.
Walaupun kondisi rakyat miskin kota demikian buruk dan ancaman penggusuran terus mengintai tak membuat warga berhenti berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup. Mereka terus mengorganisasikan diri dan melahirkan kesadaran akan kekuatan komunitas.
***
Komunitas warga di Kampung Lodan Jakarta Utara adalah salah satu contoh kampung yang selama ini dicap ilegal oleh pemerintah provinsi yang masih bertahan dan terus melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas hidup. Kampung yang terletak di bantaran kali ini sejak akhir tahun 2015 lalu, telah melancarkan aksi bersih kampung secara rutin, yang dilaksanakan bersama dengan kampung-kampung lain di sekitar bantaran kali yang juga terancam penggusuran, misalnya kampung Tongkol dan kampung Krapu.
Mereka melakukan bersih kampung bukan untuk mencari simpati dari pemerintah atau mengharap belas kasih. “Kami sadar bahwa kami punya kekuatan untuk menjaga kampung kami,” kata salah seorang penggerak warga di daerah Tongkol.
Memang, keswadayaan warga di daerah bantaran kali ini cukup tinggi, bahkan tercatat beberapa kampung pernah di daulat sebagai pemenang bersih kampung tingkat provinsi DKI Jakarta. Sayangnya kampung Pinangsia yang merupakan contoh kampung yang dimaksud di atas, sudah habis digusur. Penggusuran tersebut tentu menghancurkan tatatan hidup komunitas kampung yang kini tentu kian sulit ditemui di kota besar seperti Jakarta.
Aksi bersih lingkungan yang diadakan di kampung Lodan diadakan setiap minggu dengan keswadayaan penuh dari warga. Selain bersih kampung, untuk meningkatkan kohesi sosial, mereka juga memanfaatkan setiap kegiatan, seperti hajatan, untuk berbagi informasi dan saling menguatkan kalau ada yang ditimpa masalah.
Menggagas Urban Farming
Kamis (14/4) lalu, puluhan warga kampung Lodan mengikuti kegiatan workshop pertanian kota. Workshop ini lahir sebagai buah pikir yang warga yang tergabung dalam Komunitas Anak Kali Ciliwung. Meski sifatnya merespon tudingan kelas tengah, akan kekumuhan kampung mereka sehingga layak digusur, namun kegiatan tersebut diharapkan banyak memberi manfaat bagi kampung. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sayuran, tapi juga diharapkan menjadi media bagi warga untuk terus menerus menata kampung.
Urban farming atau pertanian kota merupakan model pertanian alternatif untuk lahan sempit, dan biasanya juga memanfaatkan barang-barang bekas sebagai wadah atau pot. Herman Joseph, seorang pengampu bidang ini secara sukarela menyempatkan waktu untuk berbagi keahlian di bidang pertanian ini dengan puluhan warga kampung. Meski dengan memanfaatkan media tanam seadanya, tapi model pertanian seperti ini dapat menanam berbagai jenis sayuran (cabe, tomat, kangkung, sawi, bayam, seledri dan lain-lain).
Yantri, relawan dari Urban Poor Consortium, yang turut serta dalam workshop pertanian kota ini menilai bahwa kegiatan seperti ini membuat warga kampung nampak bersemangat. “Kami baru uji coba, jika ini dapat berjalan tentu akan sangat berguna bagi warga kampung. Tidak hanya dapat mengurangi sampah tapi juga warga kampung dapat memenuhi kebutuhan gizi akan sayuran,” terang Yantri. Bu Dede misalnya, mengaku dulunya tidak tertarik untuk menanam berbagai sayuran di halaman sempit karena tidak ada tanah, yang ada hanya beton semua. Tapi setelah mendapatkan pengetahuan ini, ia sangat bersemangat dan akan mengembangkannya bersama puluhan ibu-ibu warga kampung Lodan lainnya.
Model pertanian ini tidaklah sulit kalau memang mau melakukannya. Warga cukup menyiapkan barang bekas sebagai wadah, lalu memanfaatkan tanah sungai sebagai media tanam. Untuk pupuk dapat menggunakan limbah organik yang formulanya juga bisa diracik sendiri oleh ibu-ibu. Praktis, murah, dan sehat.
Pengembangan model pertanian kota oleh warga Lodan, sekali lagi menjadi bukti kekuatan dari kampung-kampung informal yang ada di Kota Jakarta. Warga kesehariannya beraktifitas sebagai pedagang keliling, pengemudi angkutan umum, buruh pabrik, dan semua pekerjaan yang dilakoninya untuk melayani kebutuhan kelas menengah. Kelas yang sebagian besar dari mereka tidak punya rasa terima kasih atas peran dan sumbangan orang-orang miskin terhadap hidup mereka. Bahkan mereka mendukung pemerintah untuk menghabisi permukiman informal dan komunitas warga yang selama ini telah memberikan sumbangan besar bagi kota.//////////
Pengabdian Masyarakat (Pengmas) adalah salah satu program dari Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur (HMPSARS) di Universitas Parahyangan yang diselenggarakan sekali setiap tahun. Untuk tahun 2016, Dennis, Brian, Galih, dkk. menyelenggarakan dengan cara yang sedikit berbeda dengan sebelumnya; Pengmas tidak membawa gambar rancangan ke kampung tujuan melainkan hanya membawa selembar kertas kosong dan pikiran yang sudah dikosongkan; tabula rasa.
Sikap tabula rasa perlu. Supaya bisa menyerap sebanyak mungkin informasi yang didapat melalui observasi, wawancara, maupun pertemuan focus group discussion (FGD) bersama warga. Pertemuan FGD memberi kesempatan kepada setiap peserta untuk bersama-sama mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah-masalah di kampung. FGD juga membaurkan bias persepsi antara mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, maupun kelompok muda warga, menjadi jembatan bagi kelompok-kelompok tersebut. Metode riset bersama ini disebut participatory action research (PAR), di mana dihasilkan dokumen riset kampung yang inklusif dan berorientasi pada solusi strategis baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Dokumentasi riset kampung ini menjadi langkah awal dari proses intervensi Pengmas bersama ASF-ID di Nangkasuni, sebuah kampung tepi sungai Cikapundung di dalam wilayah administrasi Kelurahan Tamansari, Bandung.