Memori Kolektif Menjadi Memento Menjadi Mitos

Sebuah Kontemplasi atas Penggusuran Bukit Duri, Pameran Indonesialand, dan Rusun Pruitt-Igoe.

Bukit Duri menjadi salah satu contoh eskalasi ruang (kehidupan) urban yang mengalami konstruksi dan dekonstruksi kuasa pembangunan dan ilmu pengetahuan. Melalui langkah penyerapan akumulasi sosial-kapital dan pengetahuan, Bukit Duri menjadi lansekap serap-menyerap akumulasi tersebut dan saling berkelindan dalam bentuk dan sosok yang beragam rupa melalui skema-skema tertentu. Salah satunya adalah dorongan kearah fisik/infrastruktur melalui skema kerja penggusuran. Di sisi lain dorongan terkait fisik/infrastruktur ini memang menjadi naskah pembangunan, dengan atau tanpa penggusuran tersebut, karena yang penting adalah terdapat area atau wilayah terbangun dalam sebuah ruang kota. Dalam konteks ini, peran ilmu pengetahuan tidak bisa dikesampingkan dari narasi naskah pembangunan. Tentu saja penggusuran terjadi dengan tujuan untuk ‘menata ulang’ atau melakukan revitalisasi demi tujuan tertentu yang dikerjakan oleh kekuasaan kapital lewat tangan-tangan korporasi-developer. Di sisi lain, warga juga berdaya untuk melakukan kerja menata-ulang untuk (ruang) hidup dan kehidupannya yang lebih baik walaupun dengan kemampuan yang terbatas. Maka, soal disiplin perencanaan dan arsitektur secara langsung maupun tidak langsung bekerja atas ruang kehidupan tersebut, hanya saja berada di pijakan atau keberpihakan kemana disiplin ini dirujuk atau digunakan. 

Penggusuran pemukiman warga kampung Bukit Duri pada 28 September 2016 adalah contoh bagaimana penataan paksa kota terjadi yang tidak hanya merusak bangunan permukiman, tapi juga menghancurkan harapan warga, inisiatif dari bawah (bottom-up) dan keberdayaan warga otonom dan kewargaan yang telah terbangun secara organik dalam kurun waktu yang cukup lama. Di sisi lain, skema keberdayaan warga juga menjadi eskalasi ruang urban lainnya yang tampak tidak nyata tapi memberikan narasi yang sebenarnya tentang sebuah ruang, sebuah kampung kota, dan sebuah kehidupan kewargaaan.

Ketika penggusuran paksa terjadi tidak hanya dimensi ekonomi yang tercerabut, tetapi juga hilangnya jalinan sosial kewargaan. Maka ketika ‘relokasi’ ke rusun, sebagai sebuah inisiasi top-down dari penguasa, dianggap sebagai jalan keluar yang terbaik untuk warga miskin kota yang mengalami penggusuran, siapakah yang bisa menjamin warga korban gusuran akan hidup lebih baik ketika pindah di rusun? Ini seperti mitos pembangunan yang terus menerus direproduksi oleh rezim kekuasaan. Lantas siapa yang paling mengerti kehidupan dan permasalahan yang dihadapi oleh warga di Bukit Duri? Apakah arsitek, perencana kota, aktivis, relawan, ataukah warga kelas menengah ngehek? Bukan! Yang paling mengerti adalah para penghuni, yaitu warga Bukit Duri.

Penataan kota yang melibatkan warga belum menjadi arena kerja populer di kalangan birokrat yang belum beranjak jauh dari mental patron-client Orde Baru hingga sekarang ini. Lama setelah reformasi, semua seolah berjalan di tempat di dalam kerangkeng developmentaris kacamata kuda.  Seharusnya ketika ada konsep atau solusi yang melindungi warga yang marjinal secara ekonomi-politik dan mengayomi warga yang bermukim turun-temurun puluhan tahun dan ikut membentuk wajah dan sejarah (kampung) kota hal ini menjadi alternatif inisiasi bottom-up yang patut untuk didukung.  Secara de facto, sebagian besar warga Bukit Duri mendukung usulan rencana alternatif, misalnya “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” dari Studio Akanoma, serta proses perencanaan oleh Ciliwung Merdeka yang nyatanya dilakukan bersama sama warga dibantu oleh para ahli dan dijalankan dalam kurun waktu yang tidak sebentar, ada proses, ada dialog, dan ada konsensus bersama, tanpa hierarki. Pada momen tersebut sesungguhnya “kemauan” menata itu bekerja dalam proses kerja partisipatoris. Warga yang dibantu oleh para ahli, arsitek, perencana, pengacara, dll. mengajukan alternatif solusi pemukiman yang ramah lingkungan dan dapat dipertanggung-jawabkan legitimasinya. Secara desain, misalnya melalui studi tipologi pemukiman atas air di berbagai tempat yang layak dikerjakan di Bukit Duri. Selain solusi pemukiman, warga juga melakukan kerja berdaya bersama para ahli untuk melakukan kerja untuk lingkungan, kerja budaya, dan kerja arsitektural.

Seyogyanya, setelah kontrak politik Joko Widodo dan Basuki Purnama (Ahok) yang ditanda-tangani pada 15 September 2012 lalu sebagai calon Gubernur an wakil gubernur DKI Jakarta, yang pada point dua menyatakan bahwa pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota yang meliputi legalisasi kampung ilegal, pemukiman kumuh tidak digusur, tapi ditata. Jika dalam kacamata rezim kawasan Bukit Duri masih dianggap ilegal dan kumuh, kontrak politik sesungguhnya merupakan suatu traktat moral; bahwa ketika terpilih penanda-tangan akan melakukan hal seperti tertulis; legalisasi kampung dan penataan. Nyatanya pada 28 September 2016, Ahok yang menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang sudah menjadi presiden mengingkari kontrak politik tersebut dan sang mantan gubernur Joko Widodo pun mendiamkannya.

Sebelumnya, ada pernyataan dan kesepakatan warga Bukit Duri saat mereka mengusulkan pembangunan “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” yang dinyatakan pada 12 Agustus 2016 untuk merespon kebijakan rusunawa. Warga mengusulkan Kampung Susun sebagai solusi alternatif dan konsep desainnya disetujui oleh Joko Widodo, sehari setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, saat kunjungan ke di Bukit Duri pada tanggal 16 Oktober 2012. Masih dalam pernyataan kesepakatan yang sama, warga memberikan usulan ini demi terwujudnya pembangunan Jakarta yang manusiawi, adil dan beradab. Kampung Susun adalah wahana lingkungan yang secara inkremental memungkinkan komunitas warganya membangun unit-unit secara fleksibel pada struktur dasar yang telah terpasang. Disini komunitas warga dapat lebih berperan aktif untuk menggali alternatif yang paling applicable dan acceptable, guna memperoleh suasana dan lingkungan kampung yang sesungguhnya. Kampung susun diusulkan dengan mengadopsi pola kehidupan kampung tradisional, dibangun secara partisipatif, ekologis dengan wakah kebhinekaaan yang khas dengan dukungan pranata sosial-ekonomi kewargaan yang demokratis yang memberikan porsi kebudayaan, keadaban, dan religiositas warga.

Dalam penyataan tersebut, Kampung Susun diusulkan oleh warga Bukit Duri dan komunitas Ciliwung Merdeka dengan perbandingan pembiayaan 50% dari Pemprov DKI, 30% dari warga Bukit Duri RW 10,11,12, dan 20% dari beberapa investor yang dikontrol Pemprov DKI. Ia disebut Kampung Susun, karena ia merupakan alternatif dari proyek rusunawa yang selama ini lebih sering gagal, karena hanya menyediakan tempat tinggal/tidur semata, tidak menyediakan ruang untuk usaha/mencari nafkah, tidak juga ruang sosial, ruang ekonomi, ruang budaya, keagamaan, dst. Pada Kampung Susun setiap lantai terdiri dari deretan unit rumah dan beragam kegiatan serupa dengan pola kampung tapak, dan tidak linier, tidak kaku seperti pada blok di hunian rumah susun. Kampung Susun warga Bukit Duri akan menunjukan keberdayaan warga secara keruangan dan secara sosial kewargaan.

Pameran Arsitektur Indonesialand

Bidang penciptaan ilmu pengetahuan seyogyanya di produksi dan dikonsumsi dalam skenario  tata ruang dengan tidak melakukan keberpihakan kelas masyarakat tertentu. Ketika arsitektur dan perencanaan sudah menjadi bagian rantai pasok  pada sistem produksi kapitalisme, maka yang dihitung sebagai patokannya hanya jam kerja dan produk kerja. Faktor manusia akan menjadi urutan terbawah dalam segitiga kerja kapitalisme. Kelatahan tampak dalam membangun sesuatu yang gigantis dan mewah melalui representasi gedung-gedung pencakar langit, hunian berbasis gated community atau manifestasi imaji modernitas lainnya. Tapi nyatanya pembangunan seperti itu hanya memberikan narasi miris pada ilmu pengetahuan arsitektur dan ilmu perencanaan kota serta mencerabut keadaban komunal dan memori kolektif kewargaan. Semua hanya dihitung pada sejumlah deret angka yang dilengkapi premis-premis developmentaris, tidak peduli itu sesuai atau tidak, secara etika benar atau tidak, atau bahkan diperlukan oleh warga atau tidak. Maka soal ini terkait berada dimana individu yang mengimplementasikan arsitektur dan penataan kota, berada di batas garis atau pijakan yang mana. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana implementasi arsitektural yang dikerjakannya dan berkelindan dengan pihak mana saja atau bahkan dengan rezim hegemonik; apakah  arsitek dan perencana kota bekerja dengan plat merah, plat hitam, atau plat kuning. Pada posisi tersebut dapat terlihat keberadaan pijakannya serta ideologinya.

Pameran Arsitektur Indonesialand yang berlangsung di Selasar Sunaryo Art Space di Bandung yang berlangsung dari 2 September sampai 2 Oktober 2016 merupakan sebuah upaya untuk merayakan ketakjuban arsitektur Indonesia sekaligus menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan arsitektur dan perencanaan diproduksi-dikonsumsi hingga pijakan keberpihakan kelas dan ideologi yang membungkusnya. Dari 30 karya pameran arsitektur yang dipamerkan, mayoritas diikuti oleh studio-studio atau arsitek-arsitek terkenal di Indonesia. Namun terdapat dua karya yang menunjukan kerja partisipatoris  nyata dan bersifat pro bono di kampung-kampung kota yang dituduhkan sebagai tempat produksi kekumuhan kota dan tempat melanggengkan kemiskinan warganya. Kedua karya ini bekerja secara langsung bekerja di kampung Bukit Duri, Jakarta Selatan bersama warga yang kemudian mengalami penggusuran paksa oleh rezim kota. Di satu sisi sedang terjadi euforia pameran arsitektur Indonesialand untuk merayakan arsitektur, tapi disisi lainnya yang lebih kongkrit sedang mengalami kemunduran arsitektur dengan adanya penggusuran, yang sekaligus menaifkan kerja arsitektural di tempat tergusur tersebut, yang sedang dipamerkan hasil produksi kewargaannya.

Perayaan arsitektural dalam pameran ini tentunya juga merupakan perayaan kelas. Disini dapat ditelususi rekam jejak dimana dan berpihak kepada siapa sebuah arsitektur itu bekerja, dengan ideologi apa mereka bekerja, dan siapa aktor yang mengerjakannya melalui produk-produk arsitektural yang dipamerkan. Dalam catatan kuratorialnya, pameran IndonesiaLand ingin menarik sebuah garis pada sebuah sistem arsitektural yang secara tersurat mengintegrasikan struktur dan konstruksi, secara tersirat mengintegrasikan variasi fungsi dengan kandungan subjetivitas estetika, yang objektivitasnya adalah nilai kapital. Alih-alih menghadirkan miniatur bangunan atau gambar kerja yang umum merepresentasikan gagasan arsitektural, keutamaan gagasan menjadi gerbang analisis kuratorial dari pameran ini, yang diterjemahkan bahwa aritektur adalah budaya dengan sebuah ikhtiar; mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur.

ASF-ID di IndonesiaLand
Tenda (bambu) Belalang pada pameran Indonesialand. Kredit: Romi Bramantyo Margono.

Kampung Susun dan Tenda Belalang merupakan dua narasi kecil arsitektural bagaimana keadaban, kemanusiaan, dan (peta) administrasi warga Bukit Duri dalam hidup dan penghidupannya coba dipertahankan, dipelihara, dan diproduksi oleh warga sendiri sebagai warga tempatan maupun oleh warga lainnya dengan latar belakang etnis, agama, disiplin keilmuan, dan kelas masyarakat yang beragam untuk menunjukan bahwa keadaban dan kemanusiaan itu bukan hanya sekedar bangunan dan ukuran administratif. Disinilah penerjemahan arsitektur sebagai budaya yang mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur tengah berlangsung secara kongkrit.

Pada gambar, menunjukan suasana gang di kampung Bukit Duri yang telah mengalami penggusuran paksa. Pada gambar memperlihatkan gang Bukit Duri dan seorang anak warga Bukit Duri yang sedang menatap rumah, tempat bermain, hidup dan penghidupannya selama ini. Namun tatapan yang sama dalam kondisi nyata, di waktu yang sama ketika pameran ini tengah berlangsung juga ditunjukan oleh anak-anak Bukit Duri ketika rumah, tempat bermain, hidup dan penghidupannya selama ini sedang dirampas oleh rezim lewat skema kerja penggusuran. Pada gambar juga terdapat tiang-tiang bambu membentuk konstruksi arsitektural Tenda Belalang yang digunakan ketika berlangsung Pasar Rakyat di Bukit Duri pada tanggal 2 April 2016 lalu. Pada moment tersebut keadaban dan kerja kultural dalam mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur sedang berlangsung dan diproduksi di keseharian warga, sebagai bagian dari memori kolektif warga Bukit Duri, melalui kerja arsitektural dan perencanaan partisipatif.

Tenda Belalang Pasar Rakyat Bukit Duri  di instal pada pameran menjadi memento bagi kewargaan Bukit Duri. Khusus untuk Tenda Belalang, kerja lapangan di Bukit Duri ketika berlangsungnya Pasar Rakyat dibawa ke ruang pamer pada skala satu-banding-satu sesuai peruntukan aslinya yang telah dan masih digunakan sampai penggusuran kampung Bukit Duri berlangsung. Ketika artefak ini dibawa oleh ASF-ID keranah pameran untuk menunjukan kepada warga umum lainnya dan khususnya kalangan arsitektur Indonesia bahwa warga dan kewargaan itu dibentuk melalui keadaban dan kemanusiaan itu sedang dihilangkan oleh fasisme rezim kekuasaan. ASF-ID menunjukan bahwa arsitektural tidak hanya bekerja dalam kontek ‘desain’ tapi juga sistem pengintegral para pihak dari berbagai disiplin ilmu dalam membangun struktur masyarakat. Merujuk hal tersebut dalam pameran ini, ASF-ID menyampaikan sebuah Laporan dari Garis Depan sebagai representasi arsitektur yang bekerja partisipatif dalam masyarakat sipil dengan memberi solusi atas kompleksitas permasalahan sosial dalam ruang-ruang marjinal. Arsitektur bekerja tidak hanya sebagai desain, tapi turut mengintegralkan para pihak dengan berbagai disiplin ilmu dengan cara memfasilitasi warga secara bottom-up. Karya ini merupakan studi kasus proyek ASF-ID di Kampung Tongkol dan Pasar Rakyat Bukit Duri,

Hal yang sama berlaku yang di tampilkan oleh Studio Akanoma yang dipimpin oleh arsitek Yu Sing. Realitas urban yang berupa kumpulan kampung-kampung kota terutama pemukiman warga menengah kebawah yang kerap luput dari pembanguan yang adil dan merata bahkan di singkirkan melalui skema-skema developmentaris melalui kerja penggusuran. Warga Bukit Duri telah mengajukan konsep penataan kampung dengan konsep Kampung Susun, sebelum rezim penguasa Jakarta memenangkan pesta elektoralnya.  Meminjam pernyataan warga Bukit Duri, bahwa  “Kampung Susun”  merupakan alternatif dari proyek rusunawa yang selama ini di Indonesia dianggap gagal, karena hanya menyediakan tempat tinggal/tidur semata, tidak ada ruang untuk usaha/mencari nafkah, tak ada ruang sosial, ruang ekonomi, ruang budaya dan religius.

Pada pameran Indonesialand, Akanoma menunjukan bagaimana proses kerja partisipasi dan kesejarahan kawasan  dan warga Bukit Duri dalam membentuk sejarah dan narasi warganya sebagai suatu kesatuan memori kolektif dalam melakukan kerja bottom-up untuk skenario/konsep kampung susun. Instalasi dalam pameran ini menunjukan bentuk atau ornamen kampung susun sebagai display informasi terkait kondisi kampung susun melalui contoh sudut visualisasi kampung susun  yang di sempurnakan secara keseluruhan melalui sebuah maket kerja. Namun nyatanya  konsep kampung susun yang sempat disetujui dalam kontrak politik calon gubernur dan wakil gubernur ini ditolak melalui penggusuran paksa yang dilakukan oleh gubernur yang sebelumnya jadi (calon) wakil gubernur Jakarta yang menandatangani kontrak politik tersebut. Maka soal, ketika warga telah berdaya untuk mengajukan alternatif solusi pemukiman yang ramah lingkungan dan dapat dipertanggungjawabkan secara desain melalui studi tipologi pemukiman atas air di berbagai tempat dibelahan dunia untuk dikerjakan sesuai dengan kontrak politik tersebut malah dilupakan bahkan dinistakan rezim dengan penggusuran.

FransAriPrasetyoKampungSusun
Kampung Susun karya Studio Akanoma. Kredit: Frans Ari Prasetyo.

Dalam catatan pamerannya, Akanoma mengutarakan bahwa perspektif pembangunan sering dipersepsikan sebatas gedung-gedung vertikal pada kenyataannya tak fleksibel menyikapi cara hidup khas masyarakat kita; cenderung mempertahankan tradisi ngariung layaknya di kampung. Realitas urban perkotaan kita adalah kumpulan kampung warga menengah ke bawah yang kerap luput dari pembangunan adil dan merata. Tak heran, isu sosial kontemporer urban pun identik dengan perebutan hak bermukim. Penggusuran pun menjadi cara aparatur membangun. Kampung Susun (Kota) hendak memproposisikan ulang kampung, menskalakan nilai atau tradisi kekeluargaan dan perikehidupan khas masyarakat kita pada tatanan arsitektural yang vertikal.

Desain yang mencoba mencari alternatif penataan kampung kota yang menghabiskan segenap energi kewargaan dan kebersamaan dan pemikiran warga secara bersama-sama dengan para ahli khususnya arsitek, kemudian hanya disindir-sindir rezim penggusur dan pendukungnya sebagai sesuatu yang utopis dan instalasi. Desain ini memang instalasi, memang benar adanya jika memang dipajang diruang pameran seperti yang terjadi dalam pameran Indonesialand ini, tapi jika desain ini berada di area pemukiman warga merupakan sebuah manuskrip artefak politis warga sebagai nilai tawar terhadap rezim untuk melaksanakan kontrak politiknya.

Berdasarkan kerangka kuratorial pameran diatas dan konteks kerja lapangan bagaimana arsitektur bekerja bersama warga terlebih warga yang termarjinalkan oleh rezim.  Apa yang telah dilakukan oleh ASF-ID dan Akanoma telah menunjukan struktur dan konstruksi yang mengintegrasikan fungsi dan estetika yang bernilai sosial-kapital versi warga yang komunal dalam kerangka kerja bottom-up. Gagasan arsitektural yang ditampilkan telah terealisasikan dalam wujud kongkrit baik dalam wujud nyata dengan skala satu-banding-satu seperti yang ditunjukan oleh Tenda Belalang-nya ASF-ID atau pun yang masih dalam konsep kampung (susun) kota yang di usung oleh Akanoma yang terpatri dalam memori kolektif warganya sebagai bagian dari kerja partisipatoris dengan waktu yang cukup lama yang menghasilkan sebuah rancangan arsitektural yang siap dan layak untuk  direalisasikan, hanya saja terkait kemauan politik dari kekuasaan kota-nya untuk melaksanakan kontrak politik yang sebelumnya pernah dijanjikan dan ditandatangani.

Tenda Belalang pada Pasar Rakyat Bukit Duri. Kredit: ASF-ID, Ciliwung Merdeka

Belajar dari Pruitt-Igoe

Penggusuran yang marak terjadi di beberapa kota di Indonesia yang warga terdampaknya kemudian di tempatkan di rusun-rusun sewa yang telah disediakan oleh rezim walaupun jaraknya jauh dari tempat semula, dari akses kehidupannya. Perihal tema pendisiplinan dengan menggunakan rusun sebagai tipologi pembenaran rezim, ada baiknya kita melihat pengalaman lampau, merujuk kepada kasus yang pernah terjadi Amerika Serikat di awal tahun 1950-an dengan kemunculan proyek Pruitt-Igoe.

Pruitt-Igoe merupakan kompleks apartemen/rusun yang dibangun untuk menyelesaikan masalah pemukiman kumuh di St. Louis-Amerika. Proyek ini terdiri dari 2870 unit apartemen yang berada dalam  33 bangunan yang masing-masing terdiri dari 11 lantai. Lalu pertanyaanya, apakah masalah pemukiman kumuh di St. Louis selesai?  Tanggal 15 Juli 1972, komplek apartemen itu dirubuhkan karena ditengarai menjadi sumber kriminaitas.  Melihat konsep desain arsitekturalnya, yang sangat khas pada Pruitt-Igoe adalah sistem ‘skip stop elevator.’ Sistem ini bekerja pada setiap bangunan yang terdiri dari 11 lantai, dimana elevatornya hanya berhenti di lantai-lantai tertentu saja, yaitu lantai 1, 4, 7, dan 10.

Rencana idealnya, lantai-lantai yang menjadi tempat pemberhentian elevator menjadi lantai-lantai ruang komunal, jadi ruang bersama warga. Tetapi kenyataaannya Disinilah sering terjadi kejahatan, mulai dari perampokan, pemerkosaan, hingga peredaran narkoba, belum lagi permasalahan mengenai segregasi rasial. Kompleks Pruitt-Igoe ini kemudian menimbulkan masalah yang kompleks terkait sebuah pemukiman, lalu berdasarkan hal tersebut pada tahun 1972, kompleks Pruitt-Igoe dirubuhkan. Jika dikaitkan dengan  sejarah arsitektur, maka dirubuhkannya komplek apartemen Pruitt-Igoe disebut orang sebagai “lonceng kematian arsitektur modern”.

Menengok kasus Pruitt-Igoe, hampir mirip dengan bagaimana rezim menggusur/merelokasi hunian warga miskin kota yang dianggap kumuh dengan menggunakan sudut pandang arsitektur modern berupa rusun. Pada titik ini, rezim tidak belajar bagaimana sudut pandang modernitas terkait hunian di rusun sudah pernah gagal terjadi dan skenario rezim terkait relokasi ke rumah susun secara paksa sedang mengarah kesana, kegagalan keadaban yang sebelumnya telah dipunyai warga di kampung-kampung kota yang telah digusur paksa.

Hidup di rusun tentu saja ada pihak yang senang dan mengalami kebetahan dengan akses kehidupannya yang baru dan menjadi sukses, tetapi hal ini tidak berlaku bagi semua warga dan sebanding dengan kesusahannya. Logika kesuksesannya pun pasti akan berbeda dengan logika kesuksesan ketika masih berada di kampung-kampung kota yang memiliki nilai komunalitas dan memori kolektif kewargaan yang kuat karena telah terjalin lama dan terikat secara ekologis dengan ekosistem kampung tersebut. Begitupun logika kemanusiaan dan ikatan sosialnya, pasti berubah dan berbeda. Terjadi reduksi keadaban dan kultural di rumah susun jika dibandingkan dengan di kampung-kampung kota. Maka soal kampung-kampung kota yang dianggap rezim sebagai sesuatu yang kumuh itu mestinya ditata bukan digusur paksa dan di relokasi ke rusun dengan entengnya.

Relokasi rusun itu hanya menyediakan hunian, perihal yang lainnya silahkan cari masing-masing termasuk nafkah dan pendidikan anak-anak. Terkait relokasi ke rusun, destruksinya dapat terlihat dalam waktu tertentu atau beberapa tahun yang jika terjadi salah urus; rusun yang dianggap sebagai kesuksesan modernitas dan solusi kekumuhan sebenarnya bisa menciptakan kekumuhan baru, bahkan nasib kehidupan di rusun bisa seperti apa yang terjadi di Pruitt-Igoe, dimana kualitas hidup tidak menjadi penting lagi. Skema rusun ini menunjukan bahwa modernitas pemikiran rezim sedang berkelindan dengan modernitas arsitektur dan tata ruang. Apa yang terjadi pada Pruitt-Igoe dan proses penghancurannya merupakan kemunduran bahkan kejatuhan arsitektur modern, namun apa yang terjadi di Bukit Duri sedang dirujuk ke arah skema yang pernah terjadi melalui Pruitt-Igoe yaitu rusunisasi. Apa yang terjadi pada Pruitt-Igoe mungkin akan berbeda dengan yang akan terjadi di Indonesia, tetapi tidak ada salahnya jika kita melihat contoh dari yang pernah terjadi, belajar dari sejarah. Akhirnya, berada di batas garis atau pijakan kelas yang mana posisi arsitektur dan perencana kota sekarang ini?

 

Terbit juga dengan judul: Bukit Duri: Arsitektur dan Politik (Perencanaan) Kota

 

Symposium Formal-[In]formal

JKTWS16-SYMPOSIUM
JKTWS16-SYMPOSIUM

“Symposium Formal-[In]formal”

In high density residential area like Central Jakarta, kampungs are often considered as slums. We might have heard the idea of “formalizing informal settlements.” Some said that the fact is, through informality, kampungs may have been independently and organically growing.

What do “formalizing informal settlements” means? The term “formal-informal” is being questioned in this sense. How do we consider formal-[in]formal?

This symposium is part of JKTWS2016. Together with experts, speakers and moderators from USA, Japan, and Indonesia, we will rethink and redefine again formal-[in]formal from different point of views and approaches.

Thursday | 18-8-2016 | 14:00-17:00 | Dia.Lo.Gue | Jl. Kemang Selatan Raya 99A | Jakarta Selatan

Speakers:
Hajime Ishikawa – Keio University
Sergio Palleroni, BASIC
Akiko Okabe, University of Tokyo
Kenya Endo, Ramboll Studio Dreiseitl
Brahmastyo Puji, ASF-ID

Discussant:
Ahmad Djuhara, IAI

Moderator:
Tomohiko Amemiya, UNITYDESIGN

Opening Remarks:
Evawani Ellisa & Rini Suryantini, Universitas Indonesia

Registration: 0852-1702-3606 (Inesa) or 0815-8550-5614 (Annisa). Organized by: The University of Tokyo, Universitas Indonesia, Chiba University, and Keio University. Supported by: Nippon Paint and Dia.Lo.Gue.

Dari St. Louis ke Jakarta: Bercermin pada Pruitt Igoe

Kiri ke kanan: Sri, Inne Rifai, Yunita, Herlily, Evi Mariani

Pruitt Igoe yang malang. Lahir dalam selimut impian dan kebanggaan. Imaji kesuksesannya menjangkau jauh melampaui bingkai kemiskinan, rumah yang layak, dan kemajuan kota. Namun waktu berbicara lain. Ia mati meninggalkan puing-puing harapan, debu mitos, dan bayang-bayang mimpi buruk.

 

Tapi apa makna sebuah kegagalan dalam perumahan? Rumah tak pernah bermakna tunggal. Ia memiliki banyak dimensi yang berkelindan, seringkali bersinggungan dengan ‘ruang di luar’ rumah. Pruitt-Igoe, perumahan vertikal dengan total 2.700 unit di area 22 hektar, merangkum dimensi yang jamak itu.

 

Bermula dari Grand Design

St. Louis tahun 1940 dilanda kekeringan ekonomi paska perang. Krisis menuntut negara untuk berdiet dalam pengeluaran proyek, menghemat material, dan mendorong pertumbuhan investasi. Housing Act 1949 mengemuka pada masa ini dalam bentuk kebijakan perumahan yang mengulurkan akses perumahan layak bagi seluruh lapisan masyarakat. Ia menyasar kota-kota yang membutuhkan, berpotensi berkembang dengan perencanaan dan perancangan skala besar. St Louis menjadi salah satu pion pengeraknya. Saat kota mulai lesu, hal pertama yang dilakukan adalah membuka keran investasi untuk mempercantik rupanya. Dana pemerintah pusat mengalir untuk megentaskan pemukiman kumuh di utara kota dan membangun perumahan massal yang menjadi tren kebijakan masa itu.

Maka Pruitt Igoe pun lahir di tahun 1954. Perumahan vertikal sebelas lantai dengan fasilitas taman dan area olahraga itu menggantikan rumah usang, lembab, dan gang kotor pemukiman kumuh di utara kota. Dengan lokasi strategis di St. Louis, Pruitt Igoe didamba menjadi simbol perumahan massal nomor satu. Kemampuannya mengakomodasi 657 jiwa per hektar diharapkan bisa menggeliatkan pertumbuhan di pusat kota. Namun, perencanaan itu melupakan dimensi lain di luar logika estetika pembangunan kota. Pruitt Igoe yang dihuni oleh warga migran kulit hitam korban penggusuran di menjadi momok bagi warga kulit putih untuk berbagi tempat tinggal. Di saat bersamaan, kota-kota satelit di sekitar St. Louis bertumbuh, disokong oleh kebijakan perumahan yang memberi kemudahan akses kredit perumahan milik. Berbondong-bondong warga kulit putih memiliki rumah impian dengan taman belakang yang luas, kebun, parkir mobil pribadi, dan dikelilingi oleh warga dengan ras yang sama.  Tahun 1958, dinamika politik antar kota membuat populasi St Louis berkurang hampir separuh.

 

Ketika ‘Pasar’ Bekerja

Eksodus kelas menengah dan menegah atas yang didominasi warga kulit putih membuat perekonomian St. Louis diujung tanduk. Harga pasar rumah milik turun drastis karena ditinggalkan oleh penghuni ke kota lain. Ditengah kepanikan itu, kemiskinan warga kulit hitam diperburuk dengan diskriminasi dalam mengakses pekerjaan. Pruitt Igoe hanya ditempati oleh warga miskin yang tak mampu mengakses kebijakan perumahan milik dan membutuhkan tunjangan sosial.

Meski lahir dari inisiasi pemerintah pusat, pengelolaan sehari-hari Pruitt Igoe dilepaskan pada pemerintah kota St Louis. Di bawah tangan Housing Estate, manajemen Pruitt Igoe dikelola dan didanai oleh subsidi pemerintah kota dan biaya sewa penghuni. Tahun 1960, penghuni Pruitt Igoe semakin berkurang sementara beban pengelolaan perumahan 22 hektar itu semakit berat. Kerusakan mekanis dan vandalisme mulai bermunculan. Hal ini diperburuk dengan meningkatnya kriminalitas dan pengelola yang mulai lepas tangan.

Gejala kejatuhan Pruitt Igoe kian bertambah dengan wacana stigma negatif dan kerusakan fisik yang kian parah. Dengan kondisi tersebut, para penyewa perumahan massal di St. Louis unjuk rasa, bersama-sama menuntut pengelola untuk bertanggung jawab atas ketidakmampuan mereka menjamin kenyamanan pemukiman. Advokasi dilakukan terus menerus, negosiasi diperjuangkan, namun hanya sedikit upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kompleks perumahan masif  itu.

Puncak dari gejolak perumahan massal itu adalah keputusan untuk menutup Pruitt Igoe di akhir tahun 1960. Setelah memindahkan penghuni yang tersisa, ledakan penghancuran Pruitt Igoe dilakukan di tahun 1973, disaksikan oleh berjuta mata yang menyimpan memori dan harapan tentangnya di masa silam. Media dan kritik arsitektur merekamnya sebagai ‘kegagalan arsitektur modern’, namun Pruitt Igoe tak bisa melupakan bayang-bayang dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang menghantuinya.

 

Dari St. Louis ke Jakarta: Bercermin pada Pruitt Igoe

Berkaca pada St. Louis dan Pruitt Igoe, apa sesungguhnya yang bisa dipejari untuk melihat Jakarta dan penggusuran yang kian marak?

St. Louis memaparkan logika pertumbuhan kota dengan transformasi ruang yang berorientasi profit, melalui perbaikan ‘wajah’ arsitektur kota. Ini berkelindan dengan transformasi pemukiman melalui konsep housing as driver for urban growth. Seringkali logika ini melupakan dimensi tak kasat mata;  kemiskinan, segregasi sosial, dan subjektivitas individu, berujung pada dominasi wacana yang memenuhi media maupun obrolan keseharian.

Slum, atau area yang diidentifikasi dengan kualitas pemukiman yang rendah, muncul dari kebutuhan bertempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena tertutupnya akses perumahan. Ia adalah pilihan yang bisa diakses oleh migran dengan modal minim. Keberadaan slum tak lepas dari pasar tenaga kerja di kota dimana para migran ini menggantungkan hidup mereka. Upaya memperbaiki slum dengan memindahkan populasi migran ke perumahan massal seperti Pruitt Igoe akan sia-sia tanpa dibarengi dengan peningkatan ekonomi individu dan kelompok.

Karena itu, kebijakan perumahan rakyat menuntut kerangka kritis akan posisi rumah yang multidimensi. Dalam konteks Indonesia, kebijakan perumahan rakyat tak lepas dari komitmen internasional pengentasan pemukiman kumuh. Sustainable Development Goals yang diterjemahkan sebatas perbaikan pemukiman kumuh dengan membuka akses pasar perumahan formal seluas-luasnya, seakan ahistoris dengan realita Pruitt Igoe di tahun 1960an. Penggusuran pemukiman kumuh yang terjadi di Jakarta hanyalah gejala permukaan dari logika pembangunan kota yang pragmatis dan strategi peningkatan nilai tanah di kota. Rumah, baik individual maupun massal, menjadi apa yang Foucault sebut sebagai ‘instalasi ekonomi politik’, dan tata kelola kota menciptakan konstruksi sistem relasi tersebut.

Jika kita ingin mengulik lebih jauh, Jakarta memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kasus St. Louis. Kehadiran kaum migran di kota tidak serta merta bergantung pada jatuh bangunnya lapangan pekerjaan atau ekslusi dalam aksesnya. Sebagian warga kota ini justru mengisi ruang-ruang ekonomi informal yang juga bersimbiosis mutualisme dengan ekonomi formal. Segregasi sosial pemukiman kumuh, yang sering identik dengan perkampungan, dalam kesehariannya lebih pada akumulasi ruang politik yang dibatas dan ditekan.

Kenyataannya, berjalan di perkampungan di Jakarta yang ramai dan vibrant, akan terasa lebih aman dibanding melintasi neighborhood ‘rapi’ tapi muram di kota Amerika. Ditambah lagi dengan aktivitas PKL, baik yang temporer menetap maupun yang mobile, menghidupkan ruang-ruang publik kota hingga larut malam. Bukankah keberadaan mereka yang luput dari perencanaan formal ini begitu positif pada keseharian kota?

Sesungguhnya keberadaan kampung di Jakarta adalah bentuk partisipasi warga kota untuk bertempat tinggal dengan aset yang mereka miliki. Jika Pruitt Igoe hanya bertahan dua puluh tahun, kehadiran kampung-kampung yang bahkan berusia lebih dari lima puluh tahun menegaskan bagaimana jaringan sosial dan ekonomi telah berhasil terbangun, terjaga, dan dikelola oleh warga sendiri.

Tentu saja ada keterbatasan infrastruktur fisik dalam kampung karena pertumbuhannya yang organik, namun ini dapat diselesaikan dengan penataan in situ. Rumah bagi warga kampung adalah sebuah proses bermukim yang mampu mereka bangun, disaat pemerintah tak sanggup menyediakan pemukiman terjangkau. Sementara kota sangat membutuhkan populasi untuk bisa menjaga stabilitas sosial ekonomi dan berkembang bersama kota-kota lain.

Karena itu partisipasi warga dari berbagai kalangan perlu dihargai dan diakomodir dalam proses pembangunan. Setiap warga kota memiliki peran di dalam membangun kota, dan ini adalah sebuah karya yang tak pernah selesai. Bukankah potensi kreativitas kota ini terlalu besar untuk diserahkan pada keputusan monolit segelintir orang?

Lantas, ketika warga kota ini berkata ‘tidak’ pada instalasi ekonomi politik yang meruntuhkan relasi sosial ekonomi, bukankah itu hal yang sangat logis? Bukankah negara menjamin keberadaan mereka bertempat tinggal yang layak dan kebebasan untuk berekspresi mengemukakan pendapat? Siapa yang paling mengerti dan memahami nilai sebuah pemukiman/kampung kalau bukan warganya sendiri? Apakah rusunawa adalah solusi imbang dan sepadan dengan nilai kolektivitas sebagai komunitas dan nilai rumah sebagai tempat berlindung serta mencari penghidupan di kota selama bertahun-tahun? Bagaimana kreativitas dan aspirasi warga yang bermukim dapat diakomodasi dalam proses perencanaan dan perancangan kebijakan perumahan?

Diskusi pemutaran film Pruitt Igoe tanggal 19 Juni 2016 menyiratkan refleksi kritis tentang makna rumah dan dimensi sosial, ekonomi, serta politik yang menyelimuti. Seperti lapis bata demi bata yang membuatnya terbangun, rumah menyimpan narasi dan memori yang tak ternilai. Dibelakang sebuah potret penghancuran rumah susun di Amerika, ada wajah-wajah sendu yang dibayangi oleh pertanyaan untuk ke sekian kali; kemana kami harus pergi setelah ini?  Di depan potret itu kita perlu belajar dan berusaha mencari ruang-ruang baru untuk mengembangkan gagasan kebijakan perumahan dan kota di masa sekarang.

 

Pemutaran film dan diskusi The Pruitt-Igoe Myth diselenggarakan atas kerjasama Ciliwung Merdeka, LBH Jakarta dan ASF Indonesia.

avatar
Suasana pemutaran film di LBH Jakarta

Rumah Pengusaha Starbike

Hari itu Wak Dadang absen bergotong-royong membangun rumah percontohan di kampung Tongkol. Sore hari, setelah bagian terakhir rangka atap dari bambu selesai digotong ke bubungan, baru nampak batang hidung lelaki paruh baya itu. Di balik senyum yang agak dipaksakan ada raut kekesalan…

“Pedalnya bengkok, Dek.” Wak mengadu, menunjuk pada sepedanya.
“Paling-paling tadi dijatohin dari truk sama tramtib.”

Rupanya sore itu Wak Dadang baru kembali menebus sepeda dari kantor tramtib Jakarta Utara. Sepeda mini berwarna biru bersalur bercak karat itu memang biasa dipakai berjualan kopi sachet seduh di sekitar Taman Fatahillah setiap pagi. Starbike, nama keren model jualan kopi dengan bersepeda seperti itu. Rupanya lagi, ruang publik paling ramai se-Jakarta Utara itu tidak boleh dipakai mangkal berjualan dengan starbike. Tunggu dulu. Mana mungkin mangkal dengan sepeda? Aneh sekali tramtib yang menggaruk sepeda Wak Dadang, sudah berbuat salah dirusak pula satu-satunya alat pencari nafkah itu.

20151212_572
Pedagang kaki lima melintas di depan rumah contoh, kampung Tongkol, Ancol, Jakarta Utara.

Menjadi pedagang kaki lima di kota besar perlu keuletan, kesabaran, dan keberanian. Seperti yang dimiliki Pak Jamal penjual sate dan Bang Yunus kang ojek, yang terus bekerja dan menolong saat kejadian bom teror di Sarinah. Yang sedang sial, angkringan STMJ di Surabaya diseruduk Lamborghini sembalap liar. Ada pula yang sampai putus asa. Lima tahun lalu, Mohamed Bouazizi di Tunisia protes dengan membakar diri setelah perangkat dagangnya diganggu tramtib kota Sidi Bouzid. Kita tahu, kejadian itu membangkitkan efek kupu-kupu; memicu gelombang pasang Arab Spring yang menerjang batas-batas negara, menjatuhkan pemerintahan korup. Demikian suka duka segelintir rakyat kaki lima.

Kembali ke Jakarta Utara. Seperti juga para tetangganya yang ikut kelompok arisan pembangunan rumah bersama-sama, Wak Dadang dengan penghasilan yang sangat terbatas membutuhkan tempat tinggal di tengah kota untuk dapat beranjak dari lingkaran kemiskinan. Misalnya, dari berjualan kopi sehari didapat penghasilan bersih Rp 20 ribu, dengan menabung Rp 10 ribu per hari Wak Dadang dapat mengangsur arisan rumah sebesar Rp 300 ribu per bulan. Supaya pinjaman Rp 150 juta dari Urban Poor Consortium (UPC) untuk enam keluarga di Tongkol dapat lunas dalam 6 tahun.

20151212_549
Konstruksi bambu: mudah didapat, terjangkau, dan dapat dikerjakan oleh warga.

Bertempat tinggal di kota adalah privilese. Karena kota menawarkan rejeki, pendidikan, wawasan, ide, pergaulan, pengalaman, hiburan, teknologi, dan banyak lagi. Bagi sosiolog perkotaan Henri Lefebvre, “hak atas kota lebih dari sekedar hak untuk mengakses sumberdaya kota, tetapi juga hak untuk mengembangkan diri dengan (turut) mengembangkan kota.” Dan bagi banyak orang saat ini, kota adalah rumah. Apalagi bagi mereka yang lahir dan dibesarkan disana. Seperti halnya Jakarta Utara bagi kebanyakan warga Kampung Tongkol.

Pada pertengahan 2015 kampung sebelah terkena penggusuran. Namun, kampung bernama Krapu tersebut hanya tergusur sebagian, karena Komnas HAM turun tangan. Krapu terletak di persimpangan yang ramai antara Jalan Tongkol, Lodan, dan Pakin. Kampung Krapu persis terletak di sepanjang tepi Anak Kali Ciliwung sebelum sungai kotor berbau busuk itu bermuara membawa polutan kota ke laut teluk Jakarta. Penggusuran itu demi kebutuhan jalur inspeksi bagi otoritas sungai. Untuk menjaga fungsi hidrologis, Anak Kali harus memiliki jalan akses selebar lima meter. Untuk itu Krapu merelakan sebagian bangunan dan ruang rumah sehingga tinggal menjadi sejarah dan kenangan, semua demi tercipta sebuah konsensus baru, sebentuk kesepakatan sebagai syarat untuk tinggal di ruang kosmopolitan.

20151212_583
Mengepras, menyediakan jalan akses dan inspeksi sungai selebar lima meter

Akibat pengadaan jalan akses selebar lima meter itu pula sebagian keluarga di Krapu dan Tongkol kehilangan rumah sehingga harus pindah ke Marunda, tempat rusunawa berlokasi, sekitar sepuluh kilometer ke arah Timur dari pelabuhan Tanjung Priok. Sebagian lain yang lebih beruntung, masih bisa tinggal dengan memperbaiki fasad atau muka rumah. Mereka yang masih berkesempatan tinggal secara sukarela merobohkan sebagian rumah. Dikepras, seperti warga kampung-kampung Strenkali di Surabaya menyebutnya. Warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Strenkali (PWS) sepanjang tahun 2005-2010 mengepras rumah dan menata ulang permukimannya sendiri. Selain itu mereka juga aktif merawat lingkungan sungai dengan mengolah sampah setiap tahun serta mengadakan prosesi larung sungai sebagai tanda syukur kepada alam dan Sang Pencipta. Sampai sekarang kampung-kampung di dalam jaringan PWS masih dibolehkan tinggal berdekatan dengan sungai.

Kampung Tongkol dan Krapu berada pada satu trayektori dengan kampung-kampung Strenkali di Surabaya. Kampung-kampung itu menata diri dalam rangka menjadi entitas yang baik dalam suatu kumpulan yang disebut kota. Terlibat dalam hal pendampingan pengorganisasian adalah UPC yang memberikan akses pada pinjaman kolektif bergulir sehingga kelompok-kelompok warga bisa merencana sendiri proses pengeprasan dan upgrading ini. Kondisi keuangan anggota warga seperti Wak Dadang terkadang membuat community organiser Gugun merenung. “Kalau penghasilan cuma dari jualan kopi seduh, apa nanti pinjaman bisa kembali?” Sulit untuk mencarikan jawaban awal buat Gugun. Tetapi inisiatif arus bawah ini mesti didukung, karena semua berhak mendapat kesempatan pertama. Maka Kamil, Bram, Ariel dan beberapa arsitek muda lain meringankan langkah untuk menemui Gugun dkk. untuk merancang rumah contoh dan menata-ulang kawasan.

Sebetulnya, para arsitek cukup menjalankan satu kepatutan saja, yakni mendesain dengan bahan-bahan yang terjangkau, mudah didapat, dan dapat dikerjakan oleh banyak anggota warga. Sehingga, investasi waktu dan kerja kolektif memiliki arti yang mendalam. Ini penting bagi sendi-sendi hidup berkampung di tengah kota masa kini yang sumpek oleh segala macam kompetisi Darwinian. Dari proses itu kelak dihasilkan arsitektur yang kuat, indah, dan fungsional seperti disyaratkan oleh Vitruvius di masa Romawi. Di zaman kita abad-21 belum lama para pemimpin dunia meratifikasi Sustainable Development Goals dan yang terakhir adalah kesepakatan bersama merespon perubahan iklim pada COP21 di Paris. Sebagai bentuk kontribusi, arsitek harus benar-benar mengusahakan bangunan yang akan hidup dalam rentang waktu yang panjang. Bukan rahasia, perihal rentang masa pakai lebih menjadi tantangan sosial dan politis, ketimbang teknis.

10 Ciri Rumah Contoh

Walaupun demikian tangkas dan cekatan warga kampung-kampung tersebut dalam menata lingkungan tinggal di kota, sukar sekali bagi kaum ini mendapat kepastian, apalagi perlindungan hukum. Misalnya, sebagaimana yang terjadi dengan Kampung Pulo di Jakarta Timur yang digusur pada Agustus lalu, selang sebulan kemudian Kampung Kolase di jalan Siliwangi, Bandung pun digusur demi sebuah amfiteater. Belum habis satu bulan di 2016 sudah ada dua penggusuran di Jakarta, di Bukit Duri dan terhadap perumahan Zeni Mampang Prapatan. Sesaat setelah bangsa memperingati eksistensinya yang ke-70 tahun, penguasa masih tanpa sungkan menggusur atas nama keindahan, ketertiban, dan pembangunan. Menjaring penduduk kampung ke rusunawa yang dikelola pemerintah akan membunuh lokalitas, keunikan, relasi sosial, kolektivitas, dan kemandirian bermukim à la  kampung.

Saat wakil-wakil rakyat di Senayan masih gemar bertengkar dan korupsi. Warga kampung tidak menunggu sampai sistem pemerintahan yang ideal hadir untuk mengantarkan kemakmuran sampai ke muka pintu sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Warga memperbaiki sendiri kampung dan lingkungan, mengklaim hak mereka untuk tinggal di kota. Terkadang ada yang menemani mereka; seniman, dokter, insinyur, antropolog, arsitek, ataupun profesi lain, tapi lebih sering sendiri. Sungguh, sebuah inspirasi bagi kaum kelas menengah berpendidikan yang berpikir dan ingin mengubah keadaan.///