Perween Rahman: Arsitek tanpa Batas*

Perween Rahman
Perween Rahman

Mimpi buruk tadi malam: asap putih mengepul dari cerobong asap Kastil Pritzker menandakan terpilihnya bapak baru ordo arsitek putih, yang konon telah empatpuluh tahun mengabdi pada profesi mencipta bangunan-bangunan putih yang klimis, berongga, dan sensual. Masih seputih kapel di Ronchamp rancangan le Corbusier enam dekade lalu. Hampir satu abad sudah arsitektur modern mengorbit dalam kelembaman. Kapel-kapel putih itu kini menjadi kapal-kapal hantu, benda-benda asing dalam vakum. Seperti serakan bangkai satelit Cina yang menabrak satelit Rusia, ia merusak sesamanya, swa-destruktif dalam eksistensinya, begitupun, ia langgeng oleh momen inersia.

Sementara itu di distrik Orangi, Karachi, Pakistan, pada tahun 1970-an gravitasi begitu kuat. Ribuan keluarga dari sekitaran, pedalaman, dan dari Pakistan Timur (kini: Bangladesh) yang tengah bergejolak tiba untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Namun, mereka dapatkan modernitas bagai sebuah mimpi buruk; distopia. Bagi kaum miskin di distrik Orangi, hidup di masa kini artinya harus mau tinggal di kampung-kampung kumuh dengan jalanan yang becek, minus sanitasi rumah maupun lingkungan. Lahan dan air bersih dibayar mahal karena dibeli dari para calo.

Perween Rahman, nama arsitek muda itu. Setelah lulus sarjana pada tahun 1981 ia langsung mendapat pekerjaan. Tapi, selang beberapa bulan ia tinggalkan kantor arsitek ternama itu begitu saja. Gravitasi yang begitu kuat menarik Perween membumi. Saat itu dengan satu-setengah juta penduduk, Orangi adalah salah satu kampung miskin terbesar di Asia. Perween bergabung dengan sebuah lembaga lokal bernama Orangi Pilot Project (OPP) dan bertemu ahli pembangunan Akhtar Hameed Khan. Terhindar dari bayang-bayang nama besar senior, ia bebas menyuarakan pikiran-pikirannya. Tentang seniornya kelak ia berkata, “saya beruntung sempat bekerja dengan yang terbaik. Di OPP kita belajar sambil tumbuh berkembang. Disini kita belajar bagaimana menikmati hidup meski dalam kesederhanaan.” Perween sempat menempuh pendidikan tinggi di Belanda hingga kembali tahun 1986 dan menjadi direktur OPP. Sejak itu ia fokus pada bidang sanitasi dan kredit-mikro demi memperbaiki kehidupan kaum yang ditelantarkan oleh pemerintah, dan dipinggirkan oleh saudara sebangsanya.

Ahh, tak penting bagi mereka apa itu konsep kebangsaan, tidak juga itu penting analisis budaya, teori-teori poskolonial, pertentangan ideologi dalam Perang Dingin, apalagi kerjasama pembangunan dan bantuan internasional, semua itu tidak mungkin dapat mengatasi masalah perumahan yang begitu kentara dan mepet dihadapi kaum miskin di Karachi, Sindh, maupun Pakistan. Etos mereka adalah bekerja langsung bersama warga. OPP berusaha menjadi organisasi yang responsif, relevan, mandiri, dan mengakar. “Kalau mereka bilang Bank Dunia perlu $10 untuk melakukan itu, kami sanggup melakukan hal yang sama dengan $1,” ujar Perween. OPP melatih anak-anak muda setempat untuk memetakan kampung sehingga mereka paham akan situasi mereka sendiri, mampu merencana kampung, memperbaiki jalan, meletakan sistim drainase, menyambung pipa dari rumah ke rumah.

Di kemudian hari OPP menjadi rujukan bagi pers dan siapapun yang haus akan informasi tentang kenyataan di Karachi. Hasil kerja mereka sangat dihargai di dunia profesi, oleh para pelaku pembangunan swadaya dan partisipatoris. Tetapi Perween tidak nyaman dengan sorotan media. Sehingga dunia mengenal perannya lebih detil lewat buku “Instant City: Life and Death in Karachi” yang ditulis oleh Steve Inskeep. Dari ibu asal Hyderabad dan ayah dari Patna, Perween lahir pada tahun 1957 di Dhaka, yang saat itu adalah ibukota Pakistan Timur. Perween remaja dan keluarga harus mengungsi ke Karachi, Pakistan Barat, saat kekerasan komunal atau konflik sektarian muncul seiring kekacauan politik menjelang berdirinya Bangladesh pada tahun 1971.

Melalui peta-peta itu kelak tampak bagi semua, pihak-pihak mana yang mengambil keuntungan besar dari bisnis kotor penyerobotan lahan, serta dari para pengecer sekaligus pencuri air ledeng. Peta-peta itu telah mengusik status quo. Di Karachi konflik perebutan lahan kota seringkali dikelabui dengan konflik dan kekerasan atas nama suku, agama, atau sekte. Tuding-menuding adalah permainan rutin bagi politisi dan penguasa kota, dan kaum militer menaklukkan rakyatnya sendiri sekali setiap empat tahun. Namun, Perween bukan pribadi yang berkecil hati, “saya orang optimis. Paling lama saya depresi 10 menit!”

Ancaman dan kekerasan adalah menu rutin bagi Perween dan staff OPP. Suatu saat gerombolan bersenjata mendatangi kantor, mengancam staff, dan mematikan komputer dengan kasar. “Menghubungi polisi adalah hal sia-sia, maka kami lapor pada geng yang lebih kuat. Lalu mereka pergi,” cerita Perween sembari menertawakan ironi. Baginya, tidak perlu menunjukkan rasa takut kepada para preman, “yang  kalian bisa lakukan hanya membunuh kami. Lalu apa lagi? Kami tidak takut pada kalian.” Namun demikian, dalam beberapa kesempatan Perween sampaikan kerisauannya akan kekerasan di Karachi yang semakin memprihatinkan.

Pada bulan Januari 2006 di Banda Aceh, saat peringatan satu tahun tsunami yang diselenggarakan oleh Jaringan Udeep Beusaree dan Urban Poor Linkage (UPLINK), Perween hadir berkumpul bersama teman seprofesi merayakan keberhasilan proses rekonstruksi oleh rakyat. Karena kesibukkan, hanya sesekali waktu ia hadir dalam pertemuan-pertemuan lain dalam jaringan Asian Coalition for Housing Rights (ACHR). Namun demikian, ia kembali hadir di tengah-tengah kami di Bangkok pada akhir Februari 2013. Pemilik tubuh tinggi-kurus yang bersuara halus itu bicara dengan berirama, “Kamilah kura-kura ninja pembuat peta! Peta bagi kami seperti foto Rontgen bagi dokter: ia menunjukkan dimana letak masalah dan bagaimana menyelesaikannya.”

Peta-peta yang dibuat OPP telah menolong ratusan-ribu penghuni kampung miskin, misalnya, ia menunjukan bahwa ada lebih dari 2.000 kampung semacam itu, ketika pemerintah kota hanya mengakui seperlima dari jumlah itu. Di tahun 2010, peta-peta ini meyakinkan pemerintah kota untuk menerbitkan sertifikat bagi sekitar separuh dari jumlah keseluruhan. “Peta melakukan itu. Peta membantu memperbaiki hubungan,” ujarnya. “Peta memberi tahu apa yang harus dilakukan, kemana harus pergi, siapa harus dilobi, serta menolong para ahli untuk melihat kenyataan, lantas punya keberanian untuk mengakui itu.” Banyak dari peta-peta ini yang diadopsi menjadi peta resmi ,“kami suka kalau otoritas mengklaim peta buatan kampung yang kami bantu siapkan,” lanjutnya, “dalam peta-peta ini, kita tidak pasang nama, sebenarnya pemuda kampung yang membuat itu. Kita hanya bantu melatih mereka, lalu mundur, duduk di belakang, hilang dari pandangan.”

Lanjutnya, “Saat ini Karachi membara, dan salah satu aspek dari kekerasan di kota adalah politik lahan dan penguasaan terhadapnya. Mendapatkan sertifikat lahan bagi kampung-kampung ini, yang sudah terbentuk jauh sebelum partisi 1947, merupakan langkah maju bagi perdamaian dan keseimbangan politik di Karachi. Sampai-sampai kami bergurau, kalaupun kita mati saat ini, kita akan mati dalam kesenangan, karena kerja kita telah berhasil.” Selang dua pekan, kami semua terhenyak ketika kenyataan menelan kata-kata itu. Sore hari itu, seusai jam kantor, tanggal 13 Maret 2013, dua pengendara motor bertopeng menghadang mobil yang dikendarai Perween bersama sang supir. Peluru menerjang leher Perween dan menyebabkan luka parah, supir melarikan Perween ke rumah sakit, namun jiwanya tak tertolong.

Polisi menuduh Taliban sebagai pelaku, tetapi sejak lama Perween sudah mengisayaratkan jika partai- partai politik utama adalah pelindung bagi para mafia kota dan berada dibalik serangkaian kekerasan yang terjadi di Karachi. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari otoritas sebuah negara yang digerogoti kanker korupsi, dijangkiti oleh kultur kalashnikov yang mengakar sejak masa Perang Dingin. Teroris dan para pembunuh menikmati impunitas, bebas melenggang selama para pelindungnya berkuasa.

Arsitek Perween Rahman hidup dalam kenyataan yang keras; dominasi pria dalam politik, budaya kekerasan, korupsi, dan kemiskinan. Tetapi ia menolak untuk hidup dalam ilusi sempit; superioritas arsitek dan Arsitektur diatas kenyataan sosial dan kemanusiaan. Karirnya sebagai arsitek komunitas selama lebih dari tigapuluh tahun meletakkan infrastruktur, sistim sanitasi bersama warga kampung miskin mendatangkan manfaat bagi tiga juta manusia; membantu mereka memperoleh hak tinggal, ketentraman, dan akhirnya untuk kehidupan kota yang lebih baik dalam damai. Empat tahun setelah kepergian Perween secercah harapan masih nampak untuk digapai oleh mereka yang memimpikan masa depan kota yang lebih baik, dan mereka yang memperjuangkan keadilan, di Karachi dan di manapun di muka bumi.

———— oOo ————

*) terbit sebelumnya di blog Ruang17 dan dalam bahasa Inggris di Architecture in Development.

ASF-BDG: Tasik Memanggil

Open Call Tasik
Open Call Tasik

ASF-Bandung mencari relawan arsitek/mahasiswa sebagai pengawas teknis dan manajer proyek dalam pembangunan fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini dengan konstruksi bambu di Tasikmalaya.

Kalau kamu suka arsitektur komunitas dan ingin belajar peran fasilitasi di masyarakat serta klop dengan syarat:

  • Masa kerja Januari-Maret 2018
  • Bersedia tinggal bersama warga (live-in)
  • Familier dengan ArchiCAD dan MS Office

Daftarkan dirimu dan isi form berikut selambatnya tanggal 24 Nopember 2017. Pengalaman dengan konstruksi bambu, kemampuan fotografi dan menulis akan menjadi nilai tambah.

Jejaring Mandiri dan Dinamis

Tahun 2017 masih tersisa dua bulan lebih, namun jelas sudah menjadi tahun yang penting dalam perjalanan kumpulan Arsitektur Swadaya dan Fasilitasi (ASF). Sebabnya, dua buah momentum formatur telah terselenggara untuk sebuah prototip wahana kepengurusan nasional: acara Musyawarah 2017 terselenggara pada tanggal 15 Juli di Bandung dan Musyawarah Luar Biasa terselenggara di Bantul pada tanggal 30 September dan 1 Oktober.

Musyawarah 2017

Untuk kedua kalinya musyawarah tahunan diadakan di Rumah KAIL yang terletadi Kampung Cigarukgak, dan ASF-Bandung kembali menjadi tuan rumah penyelenggara. Musyawarah tahun ini menghadirkan pegiat dari ASF-Malang dan ASF-Jakarta serta perwakilan forum Komunitas Arsitektur Semarang yang hadir sebagai pengamat. Acara dibuka dengan sharing antar kegiatan kota, kemudian dilanjutkan dengan laporan pertanggung-jawaban pengurus pertama ASF-Indonesia disampaikan oleh Andrea, Siska, dan Usie. Laporan diterima tanpa catatan dan sidang memutuskan pembubaran pengurus 2015-2017. Atas pertimbangan berbagai hal, sidang memutuskan penundaan acara pemilihan pengurus baru. Lalu sidang memutuskan perlunya penyelenggaraan Musyawarah Luar Biasa, “…selambat-lambatnja diselenggarakan dalam tempo tiga boelan!

Sesi Malam Minggu diisi dengan loka karya tentang pemahaman Mukadimah, Piagam Hasselt, dan dilanjutkan dengan penggalian bahan revisi terhadap Anggaran Dasar. Kedua sesi berlangsung cermat dan khidmat lewat fasilitasi Novada dari ASF-Malang. Sesi tersebut juga diwarnai oleh kehadiran teman-teman pegiat dari berbagai organisasi para-arsitektur; Takefumi, Umbu, Frans Ari, Nico, dan Kanoasa yang bergiat lewat gerakan permakultur Bandung, Kuncup Padi Ilalang, Lembaga Bantuan Hukum, Studio Akanoma, serta Parametr Architecture. Menjadi fasilitator penyelenggaraan dari ASF-Bandung termasuk pegiat muda dan relawan; Alfan, Uji, dan Fathin.

ASF-ID 2017

Musyawarah Luar Biasa

Diselenggarakan di sebuah rumah limasan dengan teras tepi kali serta halaman yang asri, Musyawarah Luar Biasa dihadiri oleh empatbelas pegiat dari wilayah kerja Bandung, Malang, Semarang, dan Jakarta. Sebagai pengamat proses MLB, Russel hadir mewakili kelompok pegiat wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Acara dimulai di sore hari dengan sesi sharing antar kegiatan kota.

Pada kesempatan Musyawarah Luar Biasa, Teman-teman pegiat di Bandung meneguhkan kembali undangan kepada teman-teman pegiat dari kota lain untuk merumuskan arah, bentuk, serta langkah-langkah transformasi menuju model dan relasi baru dalam arah gerakan ASF. Ini melibatkan dua aras pengelolaan kegiatan: kepengurusan pada tataran lokal dan kepengurusan pada tataran nasional. Menjadi perihal utama dalam Musyawarah Luar Biasa ini adalah bagaimana perwakilan pegiat secara kolektif dapat merumuskan bentuk kepengurusan nasional; agar ia menjadi cermin dari kebutuhan dan aspirasi ASF lokal yang mana adalah anggotanya. Tidak lain tidak bukan, ini juga merupakan sebuah konsekuensi dari perkembangan ragam kegiatan dan jumlah pegiat di berbagai lokal, sepanjang kurun waktu dua tahun lebih. Dengan demikian penentuan kriteria, jumlah, dan komposisi perwakilan ASF lokal menjadi bagian utama pembahasan pada sesi malam hari.

Sesi malam difasilitasi oleh Siska dan Usie mengupas satu per satu tiap-tiap elemen yang membangun wahana kepengurusan nasional. Dalam sesi pembahasan, Errik, Ari, Ondang, Raka, dan Hanifati, mewakili kelompok pegiat dari Semarang, secara bulat memutuskan bergabung ke dalam jaringan nasional sebagai ASF-Semarang.

Esoknya, sore hari menjelang berakhir, kelompok memutuskan bahwa rekan pegiat Siska, Robbani, Kamil, dan Hanifati, berturut-turut mewakili kelompok pegiat di Bandung, Malang, Jakarta, dan Semarang, serta Andrea sebagai penyintas dari kepengurusan terakhir, membentuk kepengurusan baru ASF-Indonesia. Sedangkan koordinasi lokal untuk kota-kota tersebut akan dijalankan oleh rekan pegiat Kristoporus, Robbani, Brahmastyo, dan Errik. Terima kasih terkhusus kepada Ivana atas fasilitasi tempat dan naungan untuk Musyawarah Luar Biasa ini… arsitek-arsitek Indonesia, bersatoelah!!!

Bambu Tanpa Batas

Artikel diperbarui pada 26 Mei 2020

Bambu Tanpa Batas
Bambu Tanpa Batas, bersama Jörg Stamm et al di Institut Teknologi Bandung tanggal 22 Juli 2017.

Banyak yang dapat dipelajari lewat acara “Bambu Tanpa Batas” yang diselenggarakan di kampus arsitektur Institut Teknologi Bandung di Sabtu pagi tanggal 22 Juli 2017 lalu. Tiga presentasi menjadi pemantik diskusi singkat dan padat tentang material bambu, material yang masih jarang digunakan di bidang arsitektur dan konstruksi. Dihadiri oleh empatpuluh peserta yang terdiri dari pegiat, praktisi, mahasiswa, dosen, serta pengurus Ikatan Arsitek Indonesia daerah Jawa Barat, tiga pembicara membawakan sudut pandang yang cukup berbeda berdasar pengalaman mereka masing-masing.

Pembicara utama acara ini adalah Jörg Stamm, seorang praktisi struktur bambu kelahiran Jerman dan terlatih sebagai tukang kayu. Dengan pengalaman selama hampir duapuluh tahun, Jörg menjelaskan proyek-proyek bambunya yang tersebar di seluruh dunia, terutama jembatan pedestrian yang dibangun di Cúcuta, Kolombia dan di Bali. Menurutnya, bambu adalah material lokal yang paling cocok untuk digunakan di negara-negara tropis. Sambil menjelaskan sisi teknis dari penggunaan bambu sebagai struktur, ia mengajak peserta untuk mulai melihat bambu sebagai material kelas atas yang membutuhkan investasi dan pengetahuan teknis memadai demi menggerakkan pasar konstruksi bambu.

Pernyataan Jörg didukung dengan presentasi dari  Andry Widyowijatnoko, sebagai dosen arsitektur ITB sekaligus salah satu arsitek yang konsisten menggunakan bambu pada karya-karyanya. Pada suatu titik di perjalanan karirnya, beliau memutuskan untuk tidak lagi menganggap bambu sebagai “kayunya orang miskin.” Melalui riset dan studi yang panjang, Andry mulai memamerkan sambungan-sambungan bambu menjadi elemen desain yang kuat dan indah.

Konstruksi jembatan bambu di Orangutan Haven, kredit klip: Sumatran Orangutan Conservation Programme

Bambu tanpa Batas presentasi Andrea dan Ihot, acara kolateral di Orangutan Haven, 12 Agustus 2017

 

Pandangan yang sedikit berbeda datang dari Andrea Fitrianto dari ASF Indonesia melalui pengalamanya mendesain dan mendampingi pembangunan jembatan bambu di Davao, Filipina, dan di Solo. Menurutnya, bambu adalah “bahasa yang universal” yang dapat menyatukan warga setempat dengan pegiat lintas profesi dan membentuk relasi sosial yang baru. Andrea juga mengajak para praktisi untuk tidak hanya berbagi tentang kisah sukses namun juga sikap terbuka dalam membahas kegagalan desain maupun hambatan dan resiko yang dihadapi dalam masa konstruksi.

Pada akhirnya, perbincangan ini mengajak para peserta untuk memulai ikut serta dan memilih peran masing-masing dalam perkembangan konstruksi dan arsitektur bambu.

Anarkisme dan Arsitektur

Anarkisme dan Arsitektur
Anarkisme dan Arsitektur

Anarkisme dan Arsitektur Sebagai Cara Mewujudkan Bangunan

Jika arsitektur – disebut secara sederhana – sebagai ilmu bangunan, bagaimanakah sebuah bangunan itu diwujudkan? Pernahkah dan bagaimanakah “arsitektur sebagai cara” untuk mewujudkan bangunan ini dibicarakan, dikritisi, bahkan digugat dalam wacana maupun praktik ber-arsitektur (di) Indonesia?

Bagaimanakah sesungguhnya bangunan-bangunan yang memenuhi dan membentuk wajah kota didirikan? Melalui proses seperti apakah? Bagaimana mereka itu dikerjakan, oleh siapa, dan untuk apa? Nalar dan sistem seperti apakah yang bergerak dalam cara mewujudkan bangunan? Pernahkah cara-cara mewujudkan bangunan yang berangkat dari realitas praktik, nalar, serta sistem pengalaman panjang masyarakat – yang tentunya sangat beragam – dijadikan dasar untuk membangun sistem cara mewujudkan bangunan secara nasional? Misalnya sebagai dasar dalam menyusun kebijakan bangun-membangun, ataupun dalam menyusun (Rancangan) Undang-Undang Arsitek yang sekarang?

Obrolan arsitektur kali ini merupakan sebuah upaya untuk membalik perbincangan arsitektur dari ranah perancangan dan perencanaan, memasuki langsung realitas nalar dan sistem pembangunan yang terjadi selama ini. Melalui pertanyaan soal cara mewujudkan bangunan, perbincangan ini mengajak untuk menggeser dasar perbincangan arsitektur yang tak berkesudahan mengenai: desain, pencarian identitas, dan produksi pengetahuan bangunan/kawasan, menuju pada perbincangan kritis yang berangkat dari realitas, nalar, dan sistem mewujudkan (pem)bangunan atau kawasan yang sangat beragam. Sebuah jalan anarkisme arsitektur digulirkan, di tengah praktik dan wacana arsitektur yang semakin terintegrasi sebagai praktik profesi(onal) global; sebagai cara membangun yang secara sistemik terkoneksi dalam nalar yang seragam, korporasional, dan tak bisa lepas dari bagian imajinasi pasar.

Menampilkan:

  • Yoshi Fajar Kresno Murti
  • Nino Haris

Sabtu, 22 Juli 2017 pukul 15.00 WIB
di Gartenhaus Co Working Space
Jl. Kenanga Indah No.1 Malang
(https://goo.gl/maps/EL88nZZ4x1B2)