Sore hari, Sabtu 14 Maret 2020 telah berlangsung diskusi dengan judul Redefinisi Pengabdian Profesi. Diskusi ini merupakan kali ketiga pada rangkaian kegiatan reguler dalam kerjasama antara ASF-BDG dengan Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Barat (IAI-JB) yang mengambil tema sosial, lingkungan, perkotaan, dan kebencanaan. Bertempat di sekretariat IAI-JB, tiga pembicara dari latar belakang mahasiswa, arsitek, dan pekerja kemanusiaan berbagi sudut pandang berkaitan dengan kegiatan pengabdian dan kemanusiaan. Pemapar pertama adalah Josephine Livina mewakili kelompok Bhakti Ganva. Kemudian Rakha Puteri Shonigiya dari Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) dan ditutup oleh Zulkifli dari KUN Humanity System+ sebuah organisasi kemanusiaan yang multidisiplin.
Josephine menjelaskan pengalamannya tentang sebuah program kerja yang berfokus pada pembangunan fasilitas umum dan sosial di lingkungan pedesaan dengan melibatkan masyarakat setempat. Program kerja Bhakti Ganva telah berlangsung di berbagai desa sepanjang tahun 2013-2019. Metode partisipatif dilakukan oleh Bhakti Ganva sebagai upaya mengungkapkan masalah-masalah secara otentik. Musyawarah warga menjadi sumber informasi secara langsung. Lebih lanjut, kegiatan pengabdian mahasiswa harus disertai dengan rasa kepemilikan dari masyarakat kampung maupun dari mahasiswa. Josephine menekankan bahwa esensi pengabdian profesi bukan “apa” namun “mengapa.”
Presentasi kedua, Rakha Puteri Shonigiya menceritakan pengalaman pengabdian profesi dari sudut pandang arsitek. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ASF-ID bekerja sama dengan Kemitraan (Jakarta) dan Karsa Institut (Palu) untuk membangun sepuluh rumah percontohan, posyandu, dan balai warga, keseluruhannya berbahan bambu setempat. Terdapat perbedaan dalam proses dan tantangan antara menjalankan program rumah dengan pengembangan fasum, terutama terkait jadwal pembangunan dan bentuk partisipasi para penyintas. Program ASF-ID untuk rekonstruksi Sulteng berlangsung dari bulan Februari sampai November 2019.
Zulkifli selaku pegiat organisasi KUN Humanity System+ membahas tentang arsitektur operasi kemanusiaan yang menjadi acuan dan diadopsi secara universal. Dipaparkan suatu tinjauan singkat tentang aspek-aspek kunci yang mempengaruhi inovasi dalam konteks operasi kemanusiaan. Beliau menjelaskan bahwa “Perkerjaan yang dilakukan tampak rumit dan sulit dinavigasi jika baru terlibat dalam aksi kemanusiaan… sangat penting untuk memiliki pemahaman yang baik tentang pekerjaan ini supaya efektif dalam tujuan kemanusiaan.”
Sesi diskusi dipandu oleh Andrea Fitrianto dari Badan Pengabdian Profesi, Ikatan Arsitek Indonesia. Ibu Diana dari latar belakang pendidikan arsitektur menanyakan bagaimana cara membangun kepercayaan dan mengundang partisipasi warga setempat sehingga mau melakukan pembangunan bersama-sama. Josephine merespon bahwa salah satu langkah awal untuk memenangkan kepercayaan warga adalah dengan memilih kampung yang warganya memang membutuhkan bantuan. Jika hat tersebut diperoleh maka akan berdampak langsung pada keberlanjutan bangunan dimasa depan.
Kemudian ada Bima yang bertanya mengenai cara bekerja sama dan berkomunikasi dengan komunitas setempat. Pertanyaan ini dijawab oleh Rakha dengan menceritakan pengalamannya saat menyelesaikan pembangunan di Sulawesi Tengah. Masyarakat di Sulawesi Tengah pada umumnya memiliki lembaga-lembaga sosial-kultural yang mereka percayai. Misalnya, di desa Bolapapu lembaga adatnya cukup kuat, sehingga ketua RT dan RW desa tersebut merupakan bagian dari lembaga adat juga. Sedangkan di Dolo Selatan, yang lebih kuat adalah lembaga agama. Disana pegiat bekerja erat dengan pemuda masjid dan pemuka agama. Dengan mengetahui bentuk kelembagaan yang terdapat di desa, maka pegiat dan masyarakat dapat merumuskan term of reference dan pola kerja sama.
Pertanyaan terakhir datang dari Fiqih seputar ketepatan pilihan metode dan peran pegiat supaya masyarakat tidak tergantung terhadap bantuan yang diberikan. Zulkifli menjelaskan bahwa setiap non-governmental organization yang memutuskan untuk mendampingi desa selayaknya menyiapkan program yang berkelanjutan. Kemudian, pegiat harus membuat program yang sesuai dengan kemampuan warga, atau istilahnya merancang program yang community–based. Ketika program dirancang dan dijalankan oleh masyarakat, maka peran pegiat adalah sebagai fasilitator. Hal ini niscaya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan warga dan kesinambungan program kerja. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. ////////
Leave a comment